Jesse merasa bias. Ia seakan tidak percaya jika gadis yang ada di hadapannya ini adalah manusia. Adinda jauh lebih cantik daripada itu. Gadis itu tampak seperti seorang dewi kecantikan dalam balutan pakaian berkuda yang seksi, dan Jesse harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menerjang gadis itu, lalu menciuminya habis-habisan hingga mereka berdua berguling di tanah.
Bagaimana seseorang bisa terlihat begitu menarik seperti itu? Jesse telah melihat banyak wanita cantik sejak usia mudanya, bahkan pernah sangat jatuh cinta kepada salah satu dari mereka, tetapi ia tidak pernah melihat gadis seperti Adinda sebelumnya.
Kecantikannya bukan jenis seperti yang biasa ia temui di sini. Rambut dan mata yang berwarna, riasan yang mencolok, pakaian yang kelewat terbuka, juga kadang, tindikan dan tato di mana-mana.
Adinda tidak seperti itu. Bola matanya gelap seperti rambutnya yang hitam pekat dan sangat halus. Harum juga, sekarang ketika Jesse duduk di belakangnya. Keharuman itu bahkan masih sangat memabukkan meskipun rambut Adinda terikat rapi dan tertutup di bawah topi berkuda.
Pakaian sehari-hari Adinda selalu sopan. Celana panjang, atau sebatas lutut, kaus longgar, juga gaun yang meskipun tanpa lengan, tetap terlihat elegan. Wajahnya selalu polos tanpa riasan, seperti hari ini, tetapi itupun tidak mengurangi kecantikan alami yang gadis itu pancarkan.
Adinda adalah keindahan, dan Jesse tidak pernah merasa sangat ingin memiliki sesuatu seperti yang ia alami sekarang dengan Adinda. Bahkan tidak pada...
Jesse menggelengkan kepala untuk menghilangkan pemikirannya tentang wanita itu. Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan masa lalunya. Bahkan seharusnya, ia sudah melupakan itu bertahun-tahun silam. Akan tetapi, bagaimana ia bisa melupakannya ketika ada Chase yang setiap hari ditemuinya? Ketika mereka berdua terlalu mirip satu sama lain?
"Apa kau akan mengijinkanku menaiki Honey sendirian nanti?"
Suara merdu Adinda membuyarkan semua pikiran Jesse. Ia mengganguk, kemudian mendekatkan bibirnya di telinga gadis itu. Jesse ingin menggigit dan menjilat telinga itu, menciuminya hingga Adinda mengerang penuh kenikmatan.
Sialan! Ini pasti karena mereka duduk terlalu dekat. Tangannya melingkupi tubuh Adinda untuk memegang tali kekang. Punggung Adinda menempel dengan sangat tepat di atas dadanya seakan gadis itu adalah potongan puzzle yang selama ini ia cari. Paha mereka saling berdekatan, dan Jesse bisa merasakan kehangatan yang memancar dari tubuh kecil dan indah ini. Ia sangat ingin menelanjangi Adinda sekarang.
"Honey akan berlaku baik padamu," bisiknya tepat di telinga gadis itu. "Sudah kubilang dia gadis yang manis."
Selama bertahun-tahun memutuskan untuk tidak menggunakan alat bantu bicara, baru kali ini Jesse merasa menyesalinya. Ia tidak pernah merasa menemukan alasan untuk membuatnya bicara lagi setelah operasi itu. Namun sekarang, dengan adanya Adinda di sini, alasan itu muncul bersamaan dengan penyesalannya.
Jesse menoleh saat merasakan Adinda tersenyum. Dari jarak sedekat ini, Jesse bisa melihat kulit gadis itu yang tanpa cela. Rasanya, ia ingin mendekatkan bibirnya dan mencium pipi yang halus itu. Ia sudah tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan gadis itu walaupun alasannya lebih kepada karena ia marah melihat Adinda dan Chase bergenggaman tangan.
"Kenapa kau tersenyum?" bisik Jesse lagi di telinganya.
Suaranya begitu lirih hingga ia sendiripun tidak bisa mendengarnya. Itu adalah suara terbesar yang bisa dihasilkan oleh pita suaranya yang telah rusak, dan Jesse merasa sangat malu. Ia adalah pria cacat. Tidak seharusnya ia menyukai gadis sempurna dan tidak bercela seperti Adinda.
"Aku suka mendengar suaramu." Adinda ikut berbisik dan menoleh padanya.
Jarak mereka begitu dekat. Jesse hanya butuh memajukan bibirnya, dan mereka akan kembali berciuman. Rasanya udara di sekitar mereka memuai saat mata birunya bertatapan dengan mata gelap milik Adinda. Gadis itu menghela napas dan Jesse menghirup aroma hangat yang baru saja Adinda embuskan.
Getaran di antara mereka semakin menguat, membuat Jesse berada di antara dua pilihan. Mencium Adinda, atau mengembalikan akal sehatnya dan memacu Honey dengan lebih cepat.
Ternyata, akal sehatnyalah yang menang. Jesse mundur dan menghela tali kekang Honey hingga membuat kuda itu berlari lebih cepat melintasi padang rumput. Ia bisa mendengar Adinda terkesiap dengan kecewa, tetapi itu jauh lebih baik.
Jesse tidak bisa mencium Adinda sekarang. Tidak setelah ia melihat gadis itu menggenggam tangan anaknya. Sial! Kemarin dan semalam, Jesse masih sangat marah tentang itu. Namun, saat melihat Adinda pagi ini dengan pakaian berkudanya yang seksi, kemarahan itu sirna dan menguap begitu saja.
Ia masih harus bertanya apa yang Adinda lakukan dengan anaknya kemarin sore, sebelum Jesse melakukan hal-hal konyol seperti mencium gadis itu. Ia tidak ingin Adinda mempermainkannya maupun Chase. Adinda harus memilih. Jika memang gadis itu lebih memilih Chase, ia akan menjauh dan kembali menjalani hidupnya yang sepi dan menyedihkan.
Tidak apa-apa baginya ia hidup sendirian asalkan anak dan gadis yang sangat ia sukai ini hidup bahagia. Mungkin, ia akan membuat pondok di tengah hutan agar kedua orang itu tidak perlu bertemu dengannya lagi.
Jesse menghentikan langkah Honey saat mereka tiba di padang rumput luas yang sering menjadi tempat kuda-kuda merumput dan berlarian. Ia turun lebih dulu, merasa kehilangan saat tubuhnya tidak lagi menempel pada Adinda, kemudian mengulurkan tangan dan membantu gadis itu untuk turun.
"Kupikir aku akan belajar naik gunung atau sejenisnya."
Jesse tersenyum dan menggeleng sebelum tangannya bergerak dalam bahasa isyarat. 'Ini adalah tempat yang sempurna untuk belajar. Jika kau sampai jatuh, tubuhmu akan terpental di atas rumput, bukan di bebatuan.'
Adinda mengangguk paham. "Jadi, kau akan mengijinkanku menaiki Honey sendirian sekarang?"
Suara gadis itu terdengar bersemangat sekaligus takut dalam waktu yang bersamaan. Jesse mendekat dan meletakkan kedua tangannya di atas bahu Adinda. Kehangatan tubuh itu menyerangnya melalui balik lapisan kain yang menutupi bahu mulus Adinda. Lagi, keinginan untuk merobek pakaian Adinda dan menciumi kulit telanjang gadis itu, bergolak kuat di dalam dirinya.
Kendalikan dirimu, Jesse! Pakaianku tidak akan menolong jika kau bergairah karenanya! Tegur akal sehatnya dengan keras. Benar. Gairahnya akan terlihat dengan sangat jelas di balik pakaian ini, dan Adinda pasti akan menganggapnya mesum.
Untung saja, dengan komunikasi mereka yang hanya bisa dilakukan sambil saling menatap mata, Adinda tidak mengalihkan pandangannya ke bagian lain tubuh Jesse yang sedang memberontak itu.
'Kau pasti bisa melakukannya. Aku ada di sini, dan kau akan baik-baik saja. Percaya pada Honey, oke?'
Gadis itu mengangguk dan menatapnya dengan keyakinan baru. Jesse tersenyum, dan ia tidak tahan untuk mendekat dan memeluk Adinda. Ia ingin mencium kening gadis itu, tetapi topi menutup keningnya sehingga Jesse hanya memeluknya sekilas lalu melepaskannya.
Jesse menjelaskan teknik-teknik dasar yang harus Adinda ketahui, bagaimana membuat dirinya dan Honey nyaman dan saling percaya, sebelum membantu gadis itu menaiki punggung Honey. Adinda menarik napas lewat hidung, mengembuskannya lewat mulut, dan melakukan itu berkali-kali hingga merasa dirinya tenang.
'Kau sudah siap?'
Adinda menarik napas dalam-dalam sekali lagi sebelum akhirnya ia menatap Jesse dan mengangguk. Gadis itu menunduk, entah mencium Honey, atau membisikkan sesuatu pada kuda itu, karena Adinda melakukannya di sisi lain dari tempat Jesse berdiri, sebelum menghela kuda itu untuk berjalan.
Jesse mengamati dari tempatnya berdiri. Adinda tampak begitu alami meskipun gadis itu berkata ini adalah pertama kalinya ia naik kuda. Tidak cukup hanya berjalan pela, ia menepuk badan Honey dengan pahanya, hingga kuda itu berlari kecil mengitari padang rumput.
Adinda menoleh padanya dan tersenyum sambil melambaikan tangan. Jesse ikut tersenyum dan balas melambai. Hatinya, entah bagaimana kembali menghangat melihat Adinda berada di padang rumputnya, di atas kudanya, seakan gadis itu telah menyatu dengan tempat ini meskipun kenyataannya baru satu minggu Adinda berada di sini.
Selain itu, Jesse merasakan keinginan kuat lain dalam dirinya. Keinginan yang begitu besar untuk memiliki Adinda. Ia tidak pernah seperti ini sebelum dirinya jatuh cinta kepada Chassidy. Namun, bahkan saat itupun rasanya begitu berbeda.
Dulu, Chassidy jatuh cinta lebih dulu kepadanya, dan butuh waktu lama bagi Jesse untuk membalas cinta gadis itu. Kali ini, meskipun Adinda juga jatuh cinta lebih dulu, tidak butuh waktu lama bagi Jesse untuk menyadari perasaannya pada Adinda. Bahkan, mungkin sesungguhnya, dirinyalah yang jatuh cinta lebih dulu kepada gadis itu saat pertama kali mereka bertemu.
Namun, satu yang menjadi pertanyaannya adalah, sanggupkah ia bersaing dengan putranya sendiri demi wanita menawan itu? Mampukah ia menghancurkan lagi hubungan rapuhnya dengan Chase demi Adinda? Dan yang paling penting adalah, bisakah ia membiarkan dirinya dibenci lagi oleh satu-satunya putra yang tidak pernah menganggapnya ayah?