Another Color

By noquiyea

834 111 72

Lala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tan... More

0. Sunset With Memory
1. COYOTE V.I.P CLUB
2. RUN AND GO
3. Help You
4. Leave
5. Some Information
6. Breakfast
7. Plan
8. Trouble
9. With You
10. Party In The Galery
12. Move
13. Tell them
14. Meet Komang
15. Something Begin
16. Can I?
17. Here We Are
18. Meeting
19. A Good Bad Day
20. After That
21. VIP 3
22. How
23. Sorry To Your Self
24. To Hug You
25. The Box
26. Lala And Neo
27. Savero's Family Lunch
28. Savero and Komang
29. Amerika - Indonesia
30. It's Okay, Sav
31. Propose
32. Savero's Step
33. Girl's Talking
34. On Rainy Day
35. Party Begin

11. Meet My Girl

24 4 2
By noquiyea

Mata itu sangat indah. Menatap dengan teduh dan menenangkan. Mata itu jernih, terpatri sempurna di wajah Lala yang begitu membekas di ingatannya. Dulu, Milo jatuh cinta. Tergila-gila pada paras sempurna Ileana Nabastala. Hingga ia tersadar bahwa perasaan saja tidak ada gunanya apabila Lala tidak bisa memberikan apa yang ia inginkan. Lala tidak bisa menjadi pendukungnya untuk mewarisi tahta tertinggi di keluarganya. Lala memilih mengejar ambisi dan cita-citanya sebagai pelukis dan bukan pebisnis seperti anggota keluarga lain. Dan sejak saat itu, Milo memilih mundur. Ia pergi jauh untuk melupakan rasa cintanya pada Lala. Ia pergi jauh untuk kembali pada realita bahwa perasaan hanya semu dan tidak membawakannya tahta.

"Hai," Milo menyapa setelah berhasil menguasai dirinya yang sesaat terpesona dengan kecantikan Lala. "Long time no see. Apa kabar? Aku dengar kamu baru diseret pulang. Tapi sepertinya kamu berhasil kabur."

Berpisah dari Lala bukan berarti tidak mengetahui keberadaannya atau kabarnya. Ia tahu meski secara tidak langsung. Dan baru kali ini Milo bisa bertatap muka secara langsung setelah perpisahan mereka beberapa tahun yang lalu.

"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja. Soal diseret pulang, kayaknya Nadin udah cerita banyak, ya?" Lala tersenyum anggun. Sorot matanya terkesan tegas dan mengintimidasi. "Pertama, aku gak diseret pulang. Aku hanya dipaksa pulang oleh Kak Alden. Itupun karena aku kabur dalam perjodohan tempo hari dan itu membuat keluargaku marah. Dan yang kedua, aku gak kabur. Savero nyulik aku dan nahan aku di rumah mamanya. Katanya kangen dan gak bisa ditahan." Lala menoleh pada Savero dan tersenyum manis.

Savero membalas senyuman itu dengan kagum. Lelaki itu tampak memuja dan menatap penuh cinta.

"Oh, jadi kalian berhubungan? Pacaran?" tanya Nadin menginterupsi.

Lala menatap saudara tirinya itu dan hendak menjawab. Namun Savero lebih dulu memotong. "Calon tunangan, bukan cuma pacar." Ia menegaskan.

"Jadi kamu memilih Savero?" Milo menatap Lala dengan tegas. Seperti ada kekecewaan di sorot matanya. "Kabur dari perjodohan dan memilih adik tiriku?"

Lala membalas tatapan itu dengan lembut dan senyuman. "Iya. Aku memilih bersama Savero. Aku tidak tahu kedepannya ini menjadi pilihan yang tepat atau tidak. Tapi bersama Savero, semua rasanya lebih mudah."

Milo diam sejenak. Ia kemudian tersenyum dan membuang napas sekaligus. "Baguslah. Dua orang tidak berguna yang tidak punya ambisi akhirnya menemukan satu sama lain. Beruntung Nadin yang dijodohkan sama aku menggantikan kamu. Jadi aku gak perlu khawatir sama masa depanku."

Baik Lala maupun Savero sama-sama diam. Namun mereka akhirnya tersenyum. "Terserah apa katamu," balas Savero. "Kami gak ada waktu untuk menanggapi omong kosong ini. Buang-buang waktu," lanjutnya.

Beberapa saat kemudian, seseorang yang tak asing menghampiri mereka. Ia pelukis yang mengajak Lala kenalan dan berbicara kemarin. Savero menyambutnya ramah.

"Hai, akhirnya ketemu lagi," lelaki itu menyapa Lala dengan ramah seperti kemarin. "Seperti ucapan lelaki ini, katanya aku bisa berkenalan kalau kita ketemu lagi. Kenalkan, aku Nayaka. Panggil aja Naka." Lelaki bernama Naka itu mengulurkan tangannya pada Lala.

"Saya Ileana," Lala membalas uluran tangan Naka dan menjabatnya sesaat. "Senang bertemu dengan Anda. Perkenalkan juga, ini Savero, calon tunangan saya."

Diperkenalkan demikian, Savero pun menjabat tangan Naka dengan senyum lebar. "Hai, saya Savero. Maaf atas sikap kurang sopan saya tempo hari. Semoga tidak menyinggung Anda."

Naka membalas jabatan tangan Savero dengan senyuman. "Tidak masalah. Saya pun akan bersikap sepertimu jika memiliki pasangan yang mempesona seperti Ilea."

Naka kemudian beralih kembali pada Lala. "Aku adalah ketua perkumpulan pegiat seni di Inggris. Kebetulan mentor kami, Sir. Paul Hueber-James sering menyebut namamu. Beliau bilang kamu adalah salah satu murid terbaiknya."

"Sir Paul? Wah! Lama tak mendengar kabar beliau." Lala tampak antusias. "Saya merasa sangat beruntung pernah menjadi muridnya. Dia adalah guru yang hebat."

"Beliau sangat mengharapkan kehadiranmu, Ilea. Kami juga mengharapkan kamu untuk hadir di acara peresmian acara pekan seni The Soul of Art di sana. Kami ingin sekali salah satu hasil karyamu di pamerkan di acara itu."

"Benarkah? Sungguh suatu kehormatan. Mungkin kita bisa bertemu lagi untuk membahas ini lebih lanjut."

"Aku akan sangat senang jika kita memiliki waktu yang nyaman untuk minum teh," sahut Naka dengan senyuman lebar.

Lala menjawab dengan anggukan kemudian meminta Savero memberikan kartu namanya.

"Ini kartu nama Savero. Kamu bisa menghubungiku melalui dia. Nanti, kita atur waktu untuk bertemu."

Naka menerima kartu nama Savero lalu mengucapkan terima kasih. "Aku akan segera menghubungimu setelah acara ini selesai."

Lala sekali lagi menjawab dengan anggukan. Naka kemudian pamit pergi. Bergabung dengan para pelukis lain yang tampak antusias setelah kehadirannya. Lala hanya mengamati dari jauh. Tersenyum simpul melihat bagaimana wajah-wajah cerah itu begitu mencintai dunia seni.

"Bertemu teman, huh?" Milo bersuara. Tatapannya mengejek dan jelas meremehkan.

Senyum Lala memudar perlahan kemudian ia menatap Savero. "Aku rasa kita sudah cukup berada di sini. Bagaimana kalau kita pulang dan mencari makan malam?" Ia mengabaikan ucapan Milo. Lala enggan untuk menanggapi ucapan mantannya yang tidak berguna.

"Baik," balas Savero tanpa pikir panjang. Ia juga merasa tidak nyaman berada di acara itu. Jadi ia langsung setuju untuk pergi. "Kalian mau ikut sekalian?" Savero menawarkan pada teman-teman Lala.

Ansell, Gia, Jeff, dan Neo saling pandang kemudian mengangguk setuju.

"Kami ikut," ucap Jeff mewakili.

Mereka kemudian pamit pada Milo dan Nadin. Mereka lantas berpamitan pada pemilik acara kemudian bergegas menuju tempat parkir.

•••

Rooftop Coyote menyala cukup terang malam itu. Berada di tengah kota. Diantara ingar bingar gemerlapnya dunia malam. Puncak tertinggi gedung Coyote sudah sejak lama disulap sebagai lahan hijau. Dihiasi dengan tanaman pot yang tertata rapi, dinding dengan tanaman rambat, dan sebuah rumah kaca yang indah dengan hiasan lampu kekuningan.

Di dalam rumah kaca itu ada sebuah sofa besar. Beberapa single sofa, sebuah meja besar, lemari pendingin, beberapa tanaman hias, serta deretan lukisan Lala yang masih bersandar rapi di spanram. Rumah kaca itu cukup besar. Cukup luas juga untuk menyimpan sebuah loker panjang dengan lima pintu yang tertutup rapat. Di setiap pintu ada inisial nama masing-masing. A, G, N, I, dan J.

Jeff mengajak mereka ke sana untuk menenangkan diri dan sedikit bersantai. Ia juga sudah memerintahkan pengelola Coyote menyiapkan makan malam dan membuka atap rumah kaca supaya langit malam bisa terlihat jelas dari sana. Savero pun turut serta. Berada di sisi Lala rupanya memang membawa Savero mengenal teman-temannya secara perlahan.

"Mau makan apa aja, biar gue minta koki masakin," Jeff menjatuhkan tubuhnya di sofa diikuti oleh teman-temannya termasuk Savero, sementara Lala duduk di kursi dan menghadap ke lukisannya yang tampak belum selesai.

"Apa aja. Gue laper. Yang penting jangan hidangan laut. Si Neo lagi alergi." Gia mengingatkan.

"Oke. Gak minum alkohol dulu, ya. Besok pada kerja, kan?"

"Iya. Eh, bawain gue kopi," pinta Neo sambil mengamati Lala yang menatap lukisannya dengan tatapan kosong. "Sekalian smoothies stroberi buat dia," Neo menunjuk Lala dengan dagu.

Savero mengikuti arah yang ditunjukan Neo lantas beranjak dan mendekati perempuan itu. Ia diam di belakang Lala dan ikut mengamati lukisan itu.

"Cantik. Tapi belum selesai, ya?"

Lala menoleh ke belakang menatap Savero sesaat kemudian kembali pada lukisannya.

"Lagi gak bisa di selesaikan. Idenya macet, perasaannya menguap."

"Tadi makasih atas kerjasamanya."

Lala mengangguk pendek. "Makasih juga atas penampilan yang menyenangkan. Puas juga lihat mukanya Milo sama Nadin yang kelihatan kesel."

"Aku nyebelin, ya? Maksudku sikapku."

"Iya," jawab Lala pendek.

Savero diam lagi. Ia kemudian melepas jas yang ia kenakan dan memasangnya di bahu Lala.

"Pake aja. Dingin. Aku gabung sama temen-temen kamu dulu."

Lala tidak menjawab ia masih memandangi lukisannya kemudian menaikkan kaki dan memeluk lutut.

"Dicariin Malik di bawah," ucap Jeff yang baru kembali usai memesan makanan ke dapur yang ada di lantai bawah. "Dibolehin naik ke sini gak?" tanyanya lebih ditujukan pada Gia.

Gia berdecak. Ia melepas sepatu yang ia kenakan kemudian menaikkan kakinya selonjoran di sofa. "Kenapa lagi dia? Bukannya nyerah masih aja semangat ngejar gue."

"Ya maklumin, deh. Lo kan cantik, Gi." Ansell menanggapi. "Suruh naik, deh. Biar gak sepi-sepi amat."

Jeff mengangguk singkat. Ia lantas meminta seorang bodyguard yang berjaga di pintu masuk untuk memanggil Malik di lantai bawah. "Lala tremor lagi?" bisik Jeff ke Ansell setelah melihat tangan kiri Lala bergerak tidak wajar. Ia hanya mengangguk pendek sebagai jawaban dan Jeff tidak lanjut bertanya lebih jauh.

Ansell sudah tahu sejak tadi dan memilih diam. Ia bukan tidak mau mendekat atau tidak peduli. Tapi orang memang sering kali tidak ingin kelemahannya dikasihani. Hal itupun berlaku pada Lala seperti yang teman-temannya pahami sejak lama.

Ditengah keheningan itu, Savero mengamati Lala. Diperhatikannya punggung kecil perempuan yang membelakanginya itu. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang berbeda. Hanya saja, Savero melihat kerapuhan di sana. Seolah sedikit sentuhan mampu menghancurkannya.

"Heh! Lihatin Ilea biasa aja gak usah sampe kayak gitu. Kayak gak pernah lihat cewek cantik aja," Malik yang baru datang langsung ikut duduk di sebelah Savero dan berkomentar seenaknya. Neo dan Jeff yang tadi menikmati minuman di tangannya pun menoleh. Mereka bertukar pandang dan mengangkat bahunya ringan.

"Ngomong apa, sih? Berisik!" Savero melepas dua kancing teratas kemudian menggulung lengannya sampai siku. "Ngomong-ngomong lo ngapain nyusul? Nyari Gia? Kagak sadar dia nolak lo mulu?"

Malik menoleh pada Gia lalu tersenyum dan melambaikan tangan. "Hai cantik. Aku nyari kamu juga. Tapi nanti, habis urusan sama Savero selesai."

Malik lalu kembali menatap Savero. "Lo tuh emang ga ada pikiran apa sengaja, sih? Sadar, gak. Lo udah bikin geger orang-orang gara-gara gandeng Ilea di acara tadi. Bokap lo sama bokapnya Ilea lihat kalian dan mereka kayak gak suka sama hubungan kalian."

Savero menghela napas kemudian menyandarkan punggungnya. "Terus?"

Malik berdecak. "Kok, terus, sih? Ya sekarang rencana lo apa? Gue yakin besok lo bakalan di panggil sama bokap lo gara-gara ini. Tentu saja karena elo udah ngerusak rencana dia."

"Rencana? Oh, rencana buat besanan sama keluarga Lala? Kan udah si Milo sama Nadin. Terus masalahnya dimana?" Savero menanggapi dengan ekspresi yang menurut Malik menyebalkan.

"Ya, gue tau. Tapi di sini posisinya, kalian berdua dianggap menyalahi aturan. Sejak awal Ilea yang dijodohkan sama Milo tapi dia kabur. Begitu dia kembali, malah gandengan sama lo yang jelas-jelas saingan sama Milo. Kurang jelas dimananya?"

"Bukannya bagus. Permainan jadi lebih menarik," Jeff berkomentar. "Ngasih sedikit guncangan untuk sebuah rencana yang tersusun sempurna. Kayaknya bukan ide yang buruk."

"Iya. Selagi mereka sibuk ngurus perkara ini, kita bisa bergerak mengincar saham FL.Distribution." Ansell menambahkan. Mereka sejak lama memang sudah menargetkan salah satu anak perusahaan milik keluarga Savero itu. Perusahaan yang mereka anggap berpotensi tapi tidak dikelola dengan baik. Rencana mereka untuk mendapatkan mayoritas saham yang sudah tersusun sejak lama, bisa dipastikan berjalan dengan lancar kali ini.

"FL.Distribution? Maksud lo perusahaan yang dikelola Milo?" Savero memastikan. Ansell menjawab dengan anggukan.

"Kita udah punya dua puluh persen saham di sana. Setidaknya kita harus punya dua puluh persen lagi supaya kedudukan kita di sana kuat." Neo menambahkan.

"Dua puluh persen? Itu hampir sama dengan saham pribadi milih Milo di situ." Savero menegakkan duduknya dan menatap mereka bergantian. "Apa rencana kalian? Ngancurin hasil kerja Milo?"

"No, of course," Gia membantah. Ia menurunkan kakinya dari sofa lalu menegakkan posisi duduknya dengan anggun. "Milo bahkan gak kerja dengan baik disitu. Gimana bisa kami ngancurin hasil kerjanya yang bahkan gak ada," ia tertawa geli di akhir ucapannya.

"Gia bener. Milo di situ cuma pemimpin, pengelola, atau apalah itu. Tapi dia gak beneran kerja atau ngasih usaha terbaiknya. Jadi keputusannya adalah kami akan berusaha keras mengambil alih saham mayoritas di sana. Dan lo sebagai anggota keluarga Floyd gak bisa menghalangi kami," Neo memperingatkan.

Savero menggeleng. Ia tersenyum dengan mata cerah. "Lakuin aja apa yang kalian mau. Silahkan. Gue gak akan menghalangi atau apapun itu. Lagian Milo emang gak kerja di sana. Dia cuma pemimpin boneka. Semua keputusan orang-orangnya yang lakuin. Dia tinggal tanda tangan doang."

"Berapa persen lagi?" Lala beranjak dari posisinya. Ia berjalan mendekat dan berdiri di dekat meja. Ia menatap Ansell datar namun tegas. "Berapa persen lagi target kita buat bisa pegang kendali?"

"Sepuluh sampai lima belas persen lagi. Yang jelas harus melampaui saham milik Milo." Ansell menjawab. Ia kemudian menarik napas dan menghembuskannya sekaligus. "Perlu naikin target supaya yang gak mungkin bisa makin jadi jelas?"

"Dua puluh persen sampai tiga puluh persen lagi kalau memungkinkan. Seperti rencana semula. Ayo tunjukin kalau orang gak berguna ini bisa ambil sesuatu yang berharga." Tekad Lala sudah bulat. Ia akan membuktikan bahwa ia bukan tidak berguna. Ia memang memilih menjalani hidupnya sebagaimana keinginannya. Dan kalaupun ia mengubah arahnya sekarang, itu tidak berarti ia kehilangan kehidupan yang ia pilih.

"Jadi? Lo mau proyek ini lebih ambisius? Mau terjun sendiri?" Jeff menatap Lala serius. Kali ini sorot mata mereka tak lagi tenang namun bersemangat. Ada bara yang berkobar siap untuk memulai pertempuran.

"Iya. Gue bakal terjun sendiri. Nanti kalau rencananya berjalan mulus, gue yang akan datang ke rapat pemegang saham."

Jeff tersenyum miring. "I like it. Gue usahakan yang lo butuhin. Silahkan berpesta setelahnya." Ansell dan Gia ikut tersenyum. Neo langsung berdiri sambil mengangkat gelas jus di tangannya.

"Perang kali ini bakalan seru." Neo mengajak semua bersulang termasuk Savero dan Malik. Mereka minum bersama meski hanya jus dan minuman ringan lainnya.

[]

See you in the next chapter. Thank you for you time.


21 Juli 2023

Noquiyea


Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 63.1K 28
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.9M 388K 37
[DIMOHON BUAT READER'S SEBELUM BACA CERITA INI UNTUK TAHU KALAU INI MENCERITAKAN TENTANG TRANSMIGRASI YANG CUKUP KLISE. JADI JIKA ADA KALIMAT YANG SA...
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
488K 53.3K 23
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...