Sore itu sepulang sekolah, Arfa melajukan motornya ke apartemen Ratu. Gadis itu bilang ia ingin mengajaknya ke suatu tempat. Entah ke mana, ia juga tidak bertanya lebih lanjut karena Ratu memberitahunya lewat pesan singkat.
Begitu sampai di sana, Ratu terlihat sudah menunggu di lobi gedung. Ia memakai kaos hitam lengan panjang dengan celana denim sepaha. Gadis itu memang sedang dalam masa skorsing, karena itulah sudah beberapa hari ini ia tidak masuk sekolah.
"Kita mau ke mana, Rat?" Tanya Arfa setelah Ratu naik ke atas motornya.
"Cafe sixty-two. Kita mau ketemu Ms. Anna,"
Seketika Arfa sedikit menoleh ke belakang dengan kening mengernyit. "Ms. Anna?" Ulangnya memastikan.
"Iya." Sahut Ratu. "Dia bakal bantu kita buat nemuin bukti kalo Sean bersalah."
Arfa semakin mengerutkan dahi kebingungan. Namun tak ingin bertanya lebih lanjut, ia lantas melajukan motornya ke tempat yang dituju.
Begitu sampai Ratu segera menarik Arfa menuju salah satu meja. Sesuai dugaan, di sana sudah ada Ms. Anna yang menunggu. Namun wanita itu juga terlihat terkejut melihat keberadaan Arfa bersama Ratu.
"Saya bawa Arfa, Miss. Dia juga udah tau kalo Sean pelaku dibalik kecelakaan Amaris." Ujar Ratu menjelaskan.
Ms. Anna hanya mengangguk paham kemudian mempersilahkan keduanya duduk. Wanita itu mengeluarkan sebuah memory card dari tas selempangnya lalu meletakkannya di atas meja.
"Kemarin saya coba cek di ruang keamanan, tapi kebetulan CCTV rooftop rusak 2 hari sebelum kejadian. Saya cuman dapet CCTV dari tangga rooftop, itupun rekamannya udah hilang. Kata petugas semua rekaman memang otomatis terhapus setiap sebulan sekali. Masih bisa dipulihin, cuman bakal butuh waktu yang lama." Ujarnya sambil menyodorkan memory card tersebut.
"Gapapa Miss, terimakasih banyak ya." Ucap Ratu sambil mengulas senyum tipis. Ia mengambil memory card itu lalu meniliknya sekilas.
"Kamu udah cari lawyer untuk tuntutan soal kasus kemarin?" Tanya Ms. Anna kemudian.
Ratu sempat terdiam sebelum menggeleng. Dua hari yang lalu ia baru saja mendapatkan surat panggilan sidang atas tuntutan penganiyaan. Entah bagaimana prosedur hukumnya, namun Ratu tahu ia bisa mendapat bantuan hukum gratis yang ditanggung negara kalau tidak mampu menyewa pengacara.
"Belum Miss, mungkin saya bakal pake lawyer yang disediain pengadilan aja." Ujarnya kemudian.
Ms. Anna lantas mengangguk paham. "Soal sekolah kamu gimana?"
"Um.., saya masih cari-cari sekolah yang cocok, Miss." Ujarnya berbohong.
Ia sama sekali belum memikirkan soal perpindahan, bahkan memberitahu persoalan ini kepada kakaknya pun belum. Untuk saat ini Ratu rasa ia harus menyelesaikan masalahnya dulu supaya bisa lanjut belajar dengan tenang.
Miss Anna mengangguk paham. "Sejujurnya saya belum percaya kamu sepenuhnya. Tapi saya akan bantu semampu yang saya bisa, saya gak mau kamu merasa sendirian. Jadi saya harap kamu gak mengecewakan kepercayaan saya." Ucapnya.
Ratu mengangguk mengerti. "Iya Miss, terimakasih banyak ya." Ujarnya sambil mengulas senyum tulus.
"Kalian juga harus bertindak hati-hati. Gak mudah buat ngalahin orang seperti Sean. Bahkan meskipun dia tumbang, masih ada orang tua dan keluarga yang nyokong dia." Ujar Ms. Anna memperingati.
Belum sempat Ratu merespon, perhatiannya langsung teralihkan saat ada satu pesan masuk dari El.
Eleanor
Ke rumah gue sekarang
- Sean
"Kenapa Rat?" Tanya Arfa begitu melihat perubahan ekspresi Ratu yang kentara.
"Sean minta gue datang ke rumahnya." Jawab Ratu. Ia melirik ke arah Arfa dan Ms. Anna bergantian.
"Lo mau kesana?" Tanya Arfa.
Ratu lantas mengangguk. "Gue harus pergi, Fa. Mungkin ada sesuatu yang bisa gue dapet di sana."
Ratu lantas berpamitan pergi meninggalkan Ms. Anna dan Arfa. Setelah sampai di rumah Sean, salah seorang pelayan mengantarnya menuju paviliun kolam renang belakang.
Di sana terdapat Sean yang sedang asik berenang. Begitu menyadari keberadaan Ratu, Sean lantas berhenti lalu mendongak menatapnya. Ia tersenyum⎯tepatnya menyeringai sambil menyugar rambutnya yang basah.
Tanpa banyak bicara Sean segara naik ke permukan. Pria itu hanya menggunakan celana renang sepaha, mengekspos abs dengan otot-otot liat yang dipenuhi oleh beberapa bekas luka jahitan di tubuhnya.
Ia menghampiri Ratu lalu mengambil handuk yang tersampir di kursi santai. Sean mengelap tubuh tegapnya yang dialiri tetesan air tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.
"Take a sit." Ujarnya mempersilahkan Ratu yang masih berdiri.
(Duduk.)
Setelah Ratu mendudukkan diri di atas kursi, Sean kemudian mengambil beberapa lembar kertas di atas meja.
"Tanda tangan surat ini dan gue bakal cabut tuntutan lo di pengadilan." Ucap Sean tanpa banyak basa-basi.
Ia duduk di kursi santai yang berada tak jauh dari Ratu. Saat Ratu masih fokus memeriksa isi kertasnya, Sean terlihat asik memperhatikan. Namun perhatiannya terdistraksi saat seekor anjing pomerania berlari mengendus-endus kakinya.
Laki-laki itu tersenyum. Ia membawa anjing mungil dengan kalung nama bertuliskan Charlie tersebut ke pangkuannya. Sesekali ia bermain-main sambil mengelusnya sayang.
"Gue gak mau." Ucap Ratu yang berhasil membuat Sean mendongak.
Ratu sudah membaca semua isi suratnya. Intinya masih sama, untuk mencabut tuntutan terhadap El. Namun di akhir ada lembar tambahan mengenai surat beasiswa dari yayasan Adiwijaya. Mereka akan mendanai Ratu untuk kembali bersekolah di GIS.
Yang satu ini agak aneh, kenapa Sean mau repot-repot membuat Ratu bisa bersekolah kembali di sana.
"Sampai kapanpun gue gak akan nandatanganin surat itu. Bahkan meski harus mertaruhin nyawa gue sekalipun." Tandas Ratu penuh kesungguhan.
Sean lantas tersenyum kecil, "bahkan meski harus mertaruhin kakak lo sekalipun?" Tanyanya. Seketika Ratu tertegun di tempat.
"Gue denger kakak lo lagi magang jadi jurnalis di salah satu kantor berita. Lo tau, perusahaan tempat dia kerja baru aja diakuisisi sama bokap gue awal tahun kemarin. Kalo lo gak keberatan, gak susah buat gue hancurin karir dan kehidupan dia." Tandas Sean santai sambil mengelus sayang anjing peliharaannya.
"Saat ini gue gak mau banyak negosiasi. Tanda tangan sekarang atau gue terpaksa harus bertindak lebih jauh."
Telak, ancaman Sean berhasil mempengaruhi Ratu. Gadis itu terlihat mengepalkan tangannya erat sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan di atas kertas. Ratu memang pantang untuk mengalah. Tapi untuk kali ini sepertinya pengecualian.
Ia akan melakukan apapun asal Arini tidak terusik. Termasuk mengesampingkan ambisinya sendiri untuk mengalahkan El dan Sean.
Setelah Ratu selesai membubuhkan tanda tangan, Sean terlihat bangkit dari duduknya. Ia mengambil stick golf yang ada di gazebo lalu tiba-tiba memukuli Charlie sekuat tenaga.
Anjing malang itu seketika menggonggong keras, meraung kesakitan saat gagang besi itu memukulinya dengan membabi buta. Percikan darah dengan cepat menyebar memenuhi bulu putihnya.
"ANJING! LO NGAPAIN, BANGSAT?!" Ratu memekik histeris, membuat Sean berhenti untuk sesaat.
"Kenapa? Lo mau gantiin posisi anjingnya?" Tanya Sean datar. Nafasnya memburu dengan tatapan yang menggelap.
Ratu memaku, menatap kejadiaan gila di hadapannya dengan perasaan berkecamuk. Separuh dari dirinya ingin mencegah namun nyalinya ciut saat Sean kembali memukuli anjing mungil itu.
Sean berhenti setelah Charlie teronggok lemah tak berdaya. Ia beralih menatap Ratu sambil menyeringai. Kedua tangannya terentang, seolah baru saja mempersembahkan sebuah pertunjukan mahakarya di depan gadis itu.
Sean kemudian melempar asal stick golf di tangannya lalu berjalan menghampiri Ratu. Pria itu membungkuk, membiarkan suara nafasnya yang memburu terdengar jelas di telinga Ratu. "Mulai saat ini hidup lo gak akan pernah tenang setelah apa yang lo perbuat." Ujar Sean pelan, nyaris berbisik.
Ia kemudian menyambar lembaran kertas di tangan Ratu sebelum berlalu begitu saja. Sedangkan Ratu masih mematung syok di tempat dengan isi kepala gamang. Hingga sesaat kemudian sebuah pesan masuk menambah keterkejutannya.
Arfa
Amaris baru aja meninggal, Rat.