"Kamu punya kulit yang halus, tapi sepertinya kamu kedinginan." Joong bertutur tatkala tangannya berhasil meraih sesuatu yang bergerak di punggung Dunk lalu menariknya keluar.
Dunk sempat menoleh, merasa ingin tahu dengan benda apa yang Joong dapatkan tapi tak sempat mendapatkan gambarannya sedikitpun. Joong sudah melemparnya jauh sekali tanpa memperlihatkan makhluk itu pada Dunk. Apakah itu binatang melata ataukah serangga penghuni hutan, Dunk setidaknya ingin tahu. Dia mungkin terbilang tak banyak tahu soal keragaman 'penduduk' yang ada di hutan, tapi dia menyukai hutan dengan cara pandangan sendiri. Dunk menyukai hutan dengan menikmatinya secara visual, menjaga tanpa menyentuhnya. Dunk sering kali mengatakan bahwa hutan harus dijaga dengan baik, bahkan oleh orang-orang yang tak pernah mengunjungi tempat itu. Setidaknya, ada hutan-hutan yang memang perlu untuk dibiarkan tetap dalam kondisi aslinya, tak perlu diusik apalagi dicampuri oleh kejahilan tangan manusia.
"Jadi, apa itu tadi? Apakah serangga?" tanya Dunk.
Joong mengangguk santai. Cowok yang kelihatannya tak takut pada apapun itu kembali menyusupkan telapak tangannya yang lebar ke punggung Dunk.
Dunk diam sejenak karena terkejut, tapi kemudian dia segera menepis tangan Joong, memaksa pemilik manik cokelat itu untuk tidak bertindak tanpa izin.
"Bukankah sebaiknya aku memeriksa apakah serangga tadi sudah berbuat kurang ajar pada punggungmu yang cantik?" tanya Joong dengan tatapan yang intens.
Dunk menggelengkan kepalanya. Balas menatap Joong dengan tatapan yang tidak menyiratkan keraguan.
"Tidak perlu. Aku sudah cukup berterima kasih kamu menyingkirkan serangga itu dari punggungku, tidak perlu menyentuh tubuhku lagi!" tegas pemilik wajah mungil dengan mata meggemaskan itu.
Joong, secara mengejutkan malah terkekeh, tapi tak dipungkiri, suara kekehan cowok berbahu lebar itu memberikan ketenangan tersendiri dalam diri Dunk. Setidaknya, dengan melihat betapa tenang dan santainya Joong di tengah situasi mereka yang belum pasti, Dunk merasa seperti mereka akan segera ditemukan kembali oleh tim pencari, atau setidaknya sejenak dia bisa menenangkan dirinya sendiri dan mengatakan pada kekhawatirannya, bahwa dia hanya sedang camping, berlibur sejenak dari kejenuhan rutinitas yang monoton.
Kediaman dan udara dingin membuat Dunk lebih cepat mengantuk. Dia sangat lelah meratapi kesialan yang terjadi hari ini, energinya terkuras habis untuk mengkhawatirkan dirinya dan Joong, apakah akan segera ditemukan atau tidak, juga karena situasi. Tubuhnya serasa remuk, mungkin ada lebam di beberapa bagian yang belum dia temukan atau baru akan muncul besok.
Begitu Dunk menguap, Joong menarik leather jaket yang dia keringkan lalu menyelimutkannya ke tubuh Dunk.
"Tidurlah, aku akan menjagamu. Ambil waktu untuk beristirahat, kamu sudah banyak menghabiskan waktu di kampus dan juga untuk berpose di depan kamera!" Joong berucap.
Dunk terlihat sedikit keberatan, tak yakin dengan apa yang harus dia lakukan, tapi Joong segera menuntunnya untuk bersandar pada bahunya.
"Hei, Joong. Apakah menurut kamu di hutan seperti ini akan ada hantu yang bergentayangan?" yang memiliki tubuh lebih kecil bertanya.
Joong menepuk pelan puncak kepala Dunk, membuatnya mengedipkan mata beberapa kali dalam gerakan slow motion yang khas. Bulu matanya yang lentik bergerak mengikuti pergerakan kelopak mata, membuat Joong sempat terpana.
"Kamu takut hantu?" tanya Dunk lagi, setelah beberapa waktu dia diam.
Joong tak menjawab. Dia memilih untuk menutup wajah Dunk dengan telapak tangannya, yang malah berakhir dengan nyaris menutup keseluruhan wajah Dunk.
***
Pagi sudah datang. Matahari tidak berhasil menguasai dasar hutan itu dan dikalahkan secara penuh oleh selapis tipis kabut dan juga ribuan tetes embun.
Dengan matanya yang baru terbuka separuh, Dunk bisa melihat dedaunan memayungi dirinya, jauh di atas sana. Aroma hutan, tanah yang dibasahi embun, dedaunan kering dan juga suara air yang mengalir membuatnya merasa seperti sedang berada di suatu tempat penuh keajaiban. Hutan itu bernapas, sama seperti dirinya. Aroma napas hutan adalah campuran antara aroma daun yang segar dan kayu-kayuan.
Tubuhnya terbaring di atas outernya sediri, sementara di bagian atas diselubungi leather jaket Joong. dia tak memakai jam tangan dan juga tak membawa gawainya, membuatnya tak bisa menebak jam berapa saat itu. Joong juga tak terlihat ada di sekitarnya.
Dunk bangkit. Dia sempat mengira akan merasakan sakit di sekujur tubuhnya karena telah terjatuh dari tempat yang cukup tinggi, terbawa arus sungai berbatu sehingga sangat mungkin tubuhnya telah berbenturan dengan bebatuan atau dasar sungai. Namun, secara ajaib, dia tak merasakan rasa sakit sebanyak itu. Dia masih bisa bangun dengan tenang meski sedikit pegal. Leather jaket Joong runtuh ke bawah begitu dia mengangkat bagian atas tubuhnya untuk menjangkau wilayah yang lebih dauh dalam pencitraan visual.
Tak ada.
Si model baru yang sempat dia anggap aneh itu tak ada. Suasana sudah beberapa tingkat lebih terang dari pada semalam, dan api unggun yang Joong buat hanya menyisakan sedikit bara api bersama arang kayu yang menghitam.
"Joong!" Dunk memanggil. Ada getar ketakutan di dalam suaranya. Masih terasa jelas meskipun Dunk mencoba sekuat mungkin untuk menyamarkannya.
Suara sesuatu yang jatuh ke dalam air terdengar keras, membuat Dunk terkejut dan langsung berdiri. Dia berjalan dengan hati-hati tanpa berpikir untuk memakai sepatunya terlebih dahulu.
"Joong!" Panggilnya lagi, kali ini dengan lebih hati-hati dari sebelumnya.
Dunk berjalan melewati dua batang pohon yang sepertinya sudah lama mati karena suara percikan besar air tadi berasal dari sana.
"Joong!" Dia memanggil nama model baru itu sekali lagi, tapi masih tak ada sahutan.
Suara burung-burung terdengar sahut menyahut begitu dia melewati celah selebar setengah meter di antara dua batang pohon yang sudah mengering sampai nyaris terkelupas kulit kayunya tadi. Aroma wangi bunga-bunga terendus dengan jelas, sementara angin yang bergerak sepoi-sepoi menerpa wajahnya, melimpahkan kelembaban dan juga kesegaran di saat yang sama.
Kabut di tempat itu beberapa lapis lebih tebal sampai Dunk kehilangan jarak pandangnya. Matanya hanya bisa menjangkau paling jauh satu meter ke depan, tapi warna-warna bunga yang cerah dan indah membuatnya tertarik.
Seekor burung dengan ekor yang panjang, berwarna cerah campuran kelompok warna merah dan biru dengan warna sejingga senja di dadanya hinggap di sebuah bunga yang mekar. Burung itu terlihat sangat ringan dan hanya berukuran tak lebih besar dari tiga jarinya.
"Hei, apakah ini jenis burung yang sudah langka?" Dunk bergumam sendiri, lupa bahwa tak ada siapapun yang sedang menemaninya.
Satu langkah ke depan dan burung cantik itu tak terlihat bergeming. Sebaliknya, dia seperti sedang menunggu Dunk untuk datang dan mengadu kecantikan. Pada langkah kedua, pergerakan Dunk dicekal oleh sebuah tangan yang dengan kuat meraih pergelangan tangannya. Tangan itu menariknya dengan kuat, membuatnya nyaris terjungkal ke belakang. Beruntungnya, punggungnya mendarat dengan sempurna di bagian depan tubuh seseorang.
"Berbahaya berkeliaran sendirian, sudah aku bilang bukan?" Suara Joong degan kuat memberikan tekanan ke pendengaran Dunk.
Selain terkejut, sekejab tadi dia seperti merasakan rasa takut yang aneh, seolah Joong baru saja meniupkan ketakutan itu ke tengkuknya.
Dunk terseret dari tempat itu, dibawa kembali oleh Joong menjauh. Dunk masih memperhatikan bagaimana warna-arna indah burung kecil itu memudar sampai menghilang. Joong membawanya kembali ke tempatnya bangun.
"Pakai sepatumu, sepertinya sahabat tersayangmu sudah memanggil-manggil namamu!" Joong melepaskan tangan Dunk lalu berjongkok untuk memakaikan sepatunya.
"Kamu pergi ke mana tadi?" tanya Dunk.
Dia merasa sedikit tersipu dengan perlakuan Joong yang sangat dominan, tapi di sisi lain, dia teringat bahwa dia pergi untuk mencari cowok itu.
Joong mendongak dan menatap Dunk dengan lembut, "Memastikan kamu aman!"
Dunk ingin bertanya lebih jauh, tapi batal karena sayup-sayup dia mendengar suara Pond berteriak memanggil namanya.
"Dunk!!"
"Ooiii Joooongggg!!!"
"Duuuunkkkkk, kamu di mana? Kamu ada tugas kelompok minggu depan oiiiii!!" Suara Pond terdengar semakin jelas.
"Pond sialan, jangan sampai aku menarik tiga helai rambutnya!" Dunk mengeram mendengar apa yang Pond teriakkan.
***