Our Apartment

By TaniaMs

414K 23.8K 787

NICOLE selalu menganggap JUSTIN adalah sahabatnya, karena mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, Ju... More

Our Apartment
Our Apartment [1]
Our Apartment [2]
Our Apartment [3]
Our Apartment [4]
Our Apartment [5]
Our Apartment [6]
Our Apartment [7]
Our Apartment [8]
Our Apartment [9]
Our Apartment [10]
Our Apartment [11]
Our Apartment [12]
Our Apartment [13]
Our Apartment [14]
Our Apartment [15]
Our Apartment [16]
Our Apartment [17]
Our Apartment [18]
Our Apartment [19]
Our Apartment [20]
Our Apartment [21]
Our Apartment [22]
Our Apartment [23]
Our Apartment [24]
Our Apartment [25]
Our Apartment [26]
Our Apartment [27]
Our Apartment [29]
Our Apartment [30]
Our Apartment [31]
OUR APARTMENT AFTER STORY

Our Apartment [28]

9.9K 685 75
By TaniaMs

Selamat malam :)

16 hari, eh? maaf.

Well, maaf untuk kesekian kalinya. Aku nggak bisa nge-post lebih cepat. Apapun yang bakal aku bilang pasti kedengarannya mencari alasan, tapi memang begitulah keadaannya. Aku hanya berharap kalian bisa mengerti, kalau aku nggak bakal bisa nge-post setiap hari hari.

Maaf banget kalau konfliknya maksa banget karena well, aku nggak bisa bikin konflik. suer!

HAPPY READING!

AWAS TYPO!

oOoOoOo

Sebulan sebelum pernikahan.

 "Selamat malam!"

Nicole hanya menggelengkan kepalannya begitu melihat senyum lebar Justin. Dia menggeser tubuhnya dari pintu, memberi ruang sehingga Justin bisa masuk lalu kembali menutupnya.

Dia hanya sendirian dirumah karena 30 menit yang lalu kedua orang tuanya serta Greyson terbang ke Virginia. Ayahnya bilang ada rekan bisnisnya yang meninggal, jadi mereka semua pergi dan meninggalkannya sendirian di rumah. Tidak benar-benar sendiri, mengingat di gerbang ada satpam juga ada dua orang asisten rumah tangga yang kemungkinan saat ini mendekam di ruangannya sendiri.

Begitu Justin tahu kabar ini, laki-laki itu langsung meneleponnya. Memaksanya untuk ke apartemen. Tapi Nicole benar-benar malas pergi kemanapun apalagi harus dia yang menyetir. Akhirnya laki-laki itu mengalah dan datang ke rumahnya.

Belum sempat Nicole menyentuh sofa tempat Justin duduk, laki-laki itu berkata dengan ringan, "Bersiaplah. Kita makan malam di luar."

"Aku sudah makan," balas Nicole dan segera menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Dia benar-benar sedang tidak ingin pergi kemanapun. Termasuk kalau Justin berniat menyeretnya untuk melihat konser Cody.

"Tapi aku belum makan."

"Lalu?" tanya Nicole tak peduli. Memusatkan perhatiannya pada layar televisi.

"Astaga," keluh Justin. "Tunanganmu belum makan, dan kau hanya mengatakan 'lalu'?"

Nicole mendesah. "Kalau kau belum makan, pergilah ke belakang. Minta tolong buatkan makanan pada Mary," ujarnya. "Aku sedang tidak ingin kemanapun. Aku serius."

"Baiklah," putus Justin. "Aku keluar sebentar. Kau tidak perlu mengunci pintunya."

Nicole hanya menggumam sebagai jawaban. Benar-benar tidak menaruh perhatian pada Justin sepenuhnya. Pada dasarnya Justin tidak melakukan kesalahan ataupun mereka tidak sedang bertengkar. Hanya saja moodnya sedang jelek karena dia baru saja datang bulan. Seperti sebelum-sebelumnya, entah karena alasan apa, hari pertama tamu bulanannya datang, moodnya memburuk seketika di tambah lagi perutnya sakit minta ampun. Jadi siapapun yang berani mencari masalah, dia pasti akan melibas orang itu sampai mati.

Seharusnya aku menyuruh Greyson sebelum pergi untuk memesan pizza sialan itu, batin Nicole kesal.

Semenjak di high school, Nicole menyadari bahwa satu-satunya hal yang dapat menyelamatkan mood buruknya saat datang bulan adalah Pizza. Setelah menghabiskan beberapa potong, suasana hatinya akan membaik. Meskipun begitu, dia tidak ingin menelepon untuk memesan pizza itu. Dia hanya ingin orang lain yang melakukannya.

Mungkin aku memang seaneh itu, pikirnya.

Dengan malas, Nicole berbaring di sofa dengan posisi menelungkup. Setidaknya dengan posisi seperti itu, sakit perutnya tidak akan begitu terasa. Dia nyaris berada di alam mimpi saat mencium aroma itu. Aroma pizza. Bahkan kalaupun dia tertidur, dia pasti akan langsung terbangun jika mencium aromanya.

Nicole membuka matanya, dan langsung disuguhi sekotak pizza ukuran medium dengan toping seafod kesukaannya. "Ya Tuhan," gumam Nicole sambil merubah posisinya menjadi duduk.

"Kau bisa menciumku lalu mengucapkan terima kasih," balas Justin sambil menyeringai.

Nicole menoleh menatap Justin. Tanpa pikir panjang, dia segera menghambur dan mencium Justin dalam-dalam. Namun, saat Justin berusaha memperdalam ciuman mereka dia buru-buru mendorong laki-laki itu sambil menyeringai. "Kau tidak seberuntung itu, bung."

Justin mendesah. "Kau memang sangat mahir menghancurkan suasana," ujarnya. Namun tak urung juga dia tersenyum saat Nicole menyantap pizza pesanannya dengan nikmat. Bahkan saat dia masih terpesona, gadis itu sudah mengambil potongan kedua. "Hei, bukan kau yang belum makan disini," protes Justin.

"Terima kasih banyak," ujar Nicole sembarangan. "Seperti yang kukatakan tadi, kalau kau ingin makan, kau bisa minta Mary untuk buatkan sesuatu."

"Aku sudah makan."

Nicole menoleh. "Benarkah? Kapan?"

"Sambil menunggu pesanan pizza, aku makan dirumah."

Nicole mengangguk-angguk. "Baguslah," ujarnya. "Aku hanya tidak ingin kau kelaparan, lalu menyusahkanku."

Selama beberapa menit berikutnya, Nicole hanya diam dan berkonsentrasi pada pizzanya. Namun, karena Justin sudah berbaik hati memesankan pizza itu untuknya—tanpa dia minta sama sekali—dia pun memberikan satu potongan terakhir untuk laki-laki itu. Nicole membuang kotaknya ke tempat sampah, lalu mencuci tangannya di wastafel. Setelah itu, dia kembali bergelung di sofa, di depan televisi.

"Kenapa kau memesan pizza?" tanya Nicole sambil menyandarkan kepalanya di bahu Justin.

"Memangnya kenapa? Bukankah kau menyukainya?"

"Bukan begitu," balas Nicole. "Yah, dari sekian banyak menu, kau memilih pizza."

"Kau sedang datang bulan, kan?" tanya Justin tanpa basa-basi.

Nicole segera mendongak. "Bagaimana kau tahu? Apakah ada darah di celanaku?" tanya Nicole panik dan buru-buru berdiri. Dia melihat bagian belakang tubuhnya dengan susah payah, namun dia tidak melihat bercak darah sama sekali.

"Duduklah." Justin menarik tangan Nicole sehingga gadis itu kembali duduk di sampingnya. "Tidak ada darah sama sekali."

"Ini memalukan. Tapi bagaimana kau tahu aku sedang datang bulan?"

Justin tersenyum tipis. "Kita tidak sedang bertengkar tapi suasana hatimu sangat buruk. Apalagi yang kupikirkan selain itu?" Justin mengangkat bahu. "Seingatku, moodmu selalu memburuk saat kau datang bulan."

Nicole menatap Justin penuh haru. Tidak pernah ada orang sebelum ini, bahkan mungkin di masa yang akan datang, yang bisa memahaminya seperti Justin. Bahkan dulu dia selalu bertengkar dengan Jason atau mantan kekasihnya yang lain saat tamu bulanannya datang. Mereka tidak mengerti, bahkan setelah dia menjelaskannya bahwa moodnya memang selalu memburuk di hari pertama datang bulan. Tapi Justin tidak melakukannya.

"Dan, kalau-kalau ingatanku tidak salah, pizza selalu berhasil mengembalikan suasana hatimu seperti semula."

Nicole mencium Justin sekilas. Dan memeluk laki-laki itu erat. "Terima kasih."

"Anytime, Babe." Justin balas memeluk Nicole.

oOoOoOoOo

"Wah, kejutan!"

Nicole mendongak, dan matanya langsung bertemu dengan tatapan merendahkan milik Lauren.

Nicole baru saja selesai makan malam di restoran terbaik yang ada di The Star Hotel. Beberapa saat setelah makan, dia pamit pada Justin karena ingin ke toilet. Dan betapa terkejutnya dia saat bertemu dengan Lauren disana. Seharian ini semuanya berjalan baik, bahkan nyaris terasa sempurna jika dia tidak bertemu dengan Lauren di toilet itu.

Berusaha mengabaikannya, Nicole kembali mencuci tangannya dengan air yang mengalir.

"Kau tidak mungkin melupakanku, kan Nic?"

Nicole menutup kran, dan menatap Lauren malas-malasan. "Well, kau Lauren. Rekan bisnis serta teman kuliah Justin."

Lauren bersedekap. "Hanya sebatas itu?"

Nicole mengerutkan kening. "Memangnya apa lagi?"

"Tidak ingatkah kau pada Christian?"

"Christian?"

"Tampaknya kau benar-benar lupa, eh?" Lauren mendengus. "Baiklah. Aku akan mengingatkanmu kembali. Kau berpacaran dengan Christian Brody saat tahun kedua high school. Kau berpacaran dengannya padahal kau tahu bahwa Christian punya kekasih di sekolah lain. Kau merebut Christian dari gadis itu. Saat gadis itu memintamu untuk melepaskannya kau berkata dengan santai bukan salahmu jika christian meninggalkan gadis itu."

Nicole terkejut mendengar perkataan Lauren. Benar. Yang di katakan Lauren adalah salah satu dari sekian banyak scene dalam hidupnya. Itu terjadi sudah lama sekali. Dan seingatnya gadis yang di maksud gadis itu bukan Lauren, tapi dia memang tidak begitu ingat, bahkan rasanya dia juga tidak tahu nama gadis itu.

"Gadis itu adalah aku," ujarnya dingin.

Tidak mungkin, batin Nicole.

"Mungkin saat itu aku tidak bisa membalasmu," ujarnya. "Dan aku cukup bahagia pada akhirnya kau juga di campakkan oleh Christian demi gadis lain. Tapi itu tidak membuat perasaanku membaik. Aku mencintai Christian, dan kau merebutnya dariku. Dan menurutmu itu bukan salahmu? Hah!"

"Memang bukan salahku, kan?" Nicole menatap Lauren tajam. "Kalau Christian cukup mencintaimu, dia tidak akan meninggalkanmu dan berbalik memilihku."

Mata Lauren membara karena emosi. Saat Nicole berlalu di sampingnya, dia bertanya dengan santai. "Kau mencintai Justin, bukan?"

Nicole berhenti mendadak, namun tidak berbalik untuk menatap Lauren.

"Tentu saja kau mencintainya." Lauren menjawab pertanyaannya sendiri. "Kau mencintainya sehingga cukup yakin menikah dengan laki-laki itu."

Nicole ingin berbalik dan menanyakan maksud perkataan Lauren, tapi dia tidak akan memuaskan wanita itu. Sehingga yang dia lakukan adalah terus berjalan tanpa repot-repot berbalik lagi. Begitu tiba di mejanya, wajahnya pasti sangat keruh karena Justin bertanya padanya.

"Apa yang terjadi?"

Sambil terus berdiri, Nicole menggenggam tangan Justin erat. "Kau mencintaiku, bukan?"

"Tentu saja," jawab Justin dengan kening berkerut. "Kenapa?"

Nicole menggeleng dan menarik tangan Justin pelan. "Ayo kita pulang."

Perjalanan pulang terasa lambat. Nicole hanya diam, sibuk memikirkan semua perkataan Lauren. Pikirannya menolak semua kemungkinan yang akan dilakukan oleh Lauren. Tapi hatinya tahu dengan jelas bahwa wanita itu pasti akan berusaha untuk merebut Justin darinya. Entah bagaimanapun caranya.

Justin mencintaiku, kan? Nicole meyakinkan hatinya sendiri. Seharusnya perkataan Lauren tidak perlu dia pedulikan. Tapi tetap saja hatinya cemas. Takut menghadapi kenyataan bahwa ternyata cinta laki-laki itu tidak cukup besar untuknya.

Dengan pikiran tak menentu, Nicole mengeluarkan ponselnya dalam lift yang akan mengantarkannya pada lantai apartemen Justin berada. Dia mengetikkan beberapa kata, dan begitu pintu lift terbuka dia buru-buru keluar.

@NicoleAthena

Be sure to catch me, because I'm falling for you @JustinBieber

Justin berhenti dan mengeluarkan ponselnya yang berbunyi. Dia membuka pemberitahuan yang muncul di layar ponselnya dan tertegun. Dia mendongak dari layar dan mendapati Nicole tengah berusaha memasukkan password pada panel kunci.

Tanpa suara, dia menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Meskipun sudah memperkirakannya, dia tetap terkejut saat mendengar isak tangis Nicole. Sambil terus mengelus punggung gadis itu, Justin hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi pada Nicole.

oOoOoOoOo

Nicole merasa hidupnya berjalan sangat sempurna. Selama beberapa bulan terakhir, dia selalu bahagia—menurutnya—dan terasa terlalu bahagia. Laki-laki yang mencintainya, pernikahan, lalu pekerjaannya yang juga tidak menimbulkan masalah besar. Seharusnya dia tidak perlu memikirkan semua itu, tapi bukankah hidup itu tidak selalu tentang kebahagiaan? Mungkin hanya perasaannya. Mungkin karena kata-kata Lauren sehingga pikirannya mulai terganggu. Cemas kalau-kalau kebahagiaan itu direnggut darinya.

Sebelum jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Nicole sudah berada dalam perjalanan menuju apartemen Justin. Hari ini akhir pekan, dan kebetulan mereka berdua ada janji temu dengan desainer untuk fiiting baju pengantin pukul sepuluh nanti. Jadi dia datang lebih awal ke apartemen calon suaminya itu, karena tampaknya Justin belum bangun. Aneh menurutnya karena biasanya Justin selalu bangun pagi. Itu terbukti ketika teleponnya yang puluhan kali tidak di angkat sejak dia baru bangun. Mungkin laki-laki itu kelelahan karena Justin masih berada di bar ketika pukul dua dini hari untuk merayakan kerja sama dengan beberapa klien.

Nicole tengah memasukkan kode apartemen pada panel ketika ponselnya berbunyi. Dengan malas, dia mengeluarkan ponselnya dari saku dan mengangkat panggilan dari kakak laki-lakinya itu.

"Apa Grey? Aku bahkan baru sampai di apartemen Justin." Nicole langsung mengomel sebelum Greyson sempat mengucapkan salam.

Dia berhasil masuk ke dalam apartemen Justin, dan hanya bisa mendesah pasrah karena apartemen itu masih gelap. Tirai-tirai yang menutupi jendela yang berada di sisi kiri masih tertutup rapat. Hanya ada cahaya remang-remang yang berasal dari cahaya matahari yang berusaha menembus tirai.

"Yeah, kalau kau nanti pulang, belikan aku es krim juga coklat."

Nicole memutar bola matanya. "Seperti yang aku katakan tadi, aku bahkan baru sampai di apartemen Justin. Dan kau sudah menitipkan sesuatu jika aku pulang," omelnya. "Kenapa kau tidak meneleponku nanti saja? Ketika aku akan pulang?"

"Aku takut lupa, jadi aku katakan sekarang," balas Greyson riang.

"Minimarket hanya satu blok jauhnya dari rumah." Nicole berjalan menuju kamar setelah dia menyibak seluruh tirai yang menutupi jendela di ruang duduk. "Kau beli saja sendiri."

Nicole mendorong pintu kamar hingga terbuka, dan detik selanjutnya yang dia dengar adalah jeritannya sendiri. Kedua tubuh yang sedang saling memeluk di atas tempat tidur itu terlihat terperanjat karena jeritannya barusan. Bahkan selimut yang ada pun tidak begitu menolong untuk menutupi tubuh polos keduanya.

"Nicole, apa yang terjadi?" diseberang sana Greyson memberondongnya dengan pertanyaan yang sama terus menerus.

Dengan tangan gemetar, Nicole memutuskan panggilan dengan Greyson, dan hanya bisa terpaku ketika Justin mulai bangun dari tidurnya. "Justin," panggil Nicole dengan suara serak. Bahkan dia sudah tidak bisa melihat wajah Justin dengan jelas, karena pandangannya kabur oleh air mata.

Justin berhasil mendapatkan fokusnya dan terkejut mendapati Lauren yang—tanpa busana—tidur disampingnya. Lalu dia menoleh ke depan, tatapan terluka Nicole langsung mencambuknya. "Nic, ini tidak seperti—"

"Oh, hai Nicole," potong Lauren. Dia menatap Nicole sambil menyeringai lebar. "Maafkan aku. Seharusnya aku pergi lebih awal, jadi kau tidak akan melihat ini, tapi kami sangat kelelahan."

Nicole menatap Justin penuh harap. "Katakan kalau dia bohong," pintanya. Dia mengusap air matanya dengan kasar, ketika air matanya terus menetes.

"Aku tidak bisa." Justin merenggut rambutnya. Dia benar-benar kacau saat ini. kepalanya benar-benar pusing, dan semua hal yang terjadi setelah dia mabuk tampak buram. "Aku tidak ingat," akunya. Lebih baik dia jujur dari pada mengemukakan pembelaan, karena pasti Nicole tidak akan mempercayainya dengan mudah.

"Well, sayang sekali karena aku mengingat semuanya," kata Lauren memperkeruh suasana. "Justin benar-benar punya stamina yang bagus—"

"DIAM LAUREN!" bentak Justin.

"Tadi malam kau tidak bilang begitu." Lauren mengibaskan rambutnya. "Kau bahkan sangat suka desahanku."

"CUKUP!!" Nicole habis kesabaran. "Tutup mulutmu wanita sialan!"

"Wanita sialan?" Lauren menaikkan alis. "Well, ini apartemen Justin. Bukan apartemenku. Jika aku wanita sialan seperti yang kau katakan, seharusnya kami berada di apartemenku. Jadi—"

"Hentikan," ujar Nicole pelan. Dia tahu apa yang akan di katakan Lauren selanjutnya.

"Mengutip kata-katamu," lanjut Lauren santai. "Kalau Justin cukup mencintaimu, dia tidak akan tidur denganku sementara kalian berdua tengah mempersiapkan pernikahan."

Kata-kata Lauren benar-benar menohoknya, lalu tatapannya beralih pada Justin. Berharap laki-laki itu akan melakukan sesuatu untuk memperbaiki atau membantah semua perkataan Lauren. Namun Justin hanya terdiam dan menatapnya penuh permohonan maaf.

oOoOoOoOo

Greyson dan Miley hanya diam ketika Nicole terus menangis di hadapan mereka. Bahkan sudah hampir dua jam, dan tangis gadis itu tak kunjung berhenti. Nicole akan sesenggukan selama beberapa saat dan detik selanjutnya dia kembali menangis histeris.

Nicole benar-benar tidak percaya, ini akhir dari semua mimpi indahnya. Orang yang paling dia harapkan kesetiaannya, ternyata adalah orang yang sama dengan mantan-mantan kekasihnya dulu. Demi Tuhan, mereka akan menikah kurang dari sebulan lagi, dan Justin tidur dengan Lauren.

Apakah semua laki-laki menganggap seks adalah kebutuhan dasar? Lalu, kenapa selama ini Justin bersikap seolah-olah tidak masalah kalau mereka tidak melakukan seks? Kenapa laki-laki itu seperti menjaganya, menghormati pilihannya tidak ada seks sebelum pernikahan kalau ternyata pada akhirnya laki-laki itu memilih tidur dengan wanita lain? Dari pada dia harus menderita mimpi buruk ini, tidak masalah jika dia harus melanggar janjinya sendiri. Asalkan Justin tidak tidur dengan wanita lain. Dia akan berusaha melakukan apapun.

Dia mencintai Justin. Sangat. Dan perasaannya semakin terasa sesak mengingat fakta itu. Dia pikir, Justin adalah orang yang tepat, yang akan menangkapnya saat dia jatuh. Tapi semuanya hancur lebur begitu dia memasuki kamar Justin.

"Astaga, Nic! Berhentilah menangis!" bentak Greyson akhirnya. Tidak tahan melihat dan mendengar tangis Nicole yang sarat akan kepedihan. "Kalau kau tidak berhenti, aku akan pergi ke apartemennya, dan membunuh laki-laki itu dengan tanganku sendiri!"

Nicole segera berhenti menangis, dan menggeleng pada Greyson. "Jangan. Kumohon."

Greyson mendengus. "Sudah dua jam Nic, dan bajingan itu masih belum menunjukkan batang hidungnya," geramnya. "Aku mulai mempertanyakan seluruh kalimat cinta yang selama ini dia lontarkan! Meskipun aku menyukainya, tapi aku tetap tidak bisa menerima kalau dia menyakiti adikku!"

"Wah!" Miley berdecak kagum pada Greyson dan mendapat pelototan dari laki-laki itu.

"Kalau dia masih tidak muncul dalam satu jam ke depan, aku akan menelepon Pattie, dan membatalkan pernikahan kalian! Ah tidak." Greyson berhenti bicara. "Kalian akan tetap meneruskan persiapan pernikahan ini. Aku yakin Justin tidak akan menceritakan masalah ini pada keluarganya."

"Lalu?" tanya Miley karena Greyson berhenti bicara.

"Tepat sehari sebelum pernikahan, aku akan membatalkan pernikahan kalian secara resmi. Kalau perlu aku akan mengadakan konfrensi pers, dan membongkar perselingkuhannya saat itu. Yeah. Itu ide yang bagus."

Nicole menatap Greyson tak percaya, dan dia kembali menangis. Bahkan beberapa saat yang lalu Greyson memaki pegawai butik yang menghubungi Nicole perihal janji temu mereka. Kakaknya itu mengomel panjang lebar, padahal inti yang sebenarnya dalah Nicole tidak akan fitting baju pengantin dalam waktu dekat.

Miley mengusap puncak kepala Nicole sementara gadis itu terus menangis terisak. "Sudahlah, Nic," ujarnya. "Mungkin saja Justin sedang mencari bukti untuk mematahkan kata-kata Lauren."

"Setidaknya dia mengucapkan maaf atau apapun," isaknya.

"Aku benar-benar heran." Greyson kembali mengomel. Dia benar-benar kesal sekarang, dan kekesalannya itu tidak akan hilang sebelum dia berhasil menghajar Justin sampai babak belur. "Seharusnya yang kau lakukan tadi adalah memaki Justin dengan ribuan stok makianmu yang spektakuler itu! Bukannya malah meninggalkan laki-laki itu dan menangis meraung disini! Kau tampak menyedihkan, Nicole!"

"Aku tidak bisa membencinya Grey. Setelah apa yang dia lakukan, aku tetap tidak bisa walaupun hanya memaki kelakuannya." Nicole terisak keras. "Aku hanya kecewa—"

"Omong kosong! Itu omong kosong!" teriak Greyson. "Apa bedanya Justin dengan Jean? Kau bahkan memaki-maki Jean sampai laki-laki itu tidak sanggup membalasnya! Kenapa kau harus terlihat lemah di depan Justin?! Kemana dirimu yang dulu?!"

Nicole tidak menjawab dan terus menangis.

Akhirnya, Miley yang buka suara. "Mereka berdua berbeda jauh. Ketika Jean tidur dengan wanita lain, harga dirinya yang terluka. Harganya dirinya tidak bisa menerima kenyataan bahwa Jean tidak tahan dengan prinsipnya dan memilih tidur dengan asistennya sendiri. Tapi Justin," ucap Miley menggantung. "Dia mencintai laki-laki itu. Sangat. Dan ketika kenyataan ini menamparnya, bukan harga dirinya yang terluka. Tapi hatinya."

oOoOoOoOo

Pekanbaru, 30-05-2015

21:21

Love,

Tania Ms

Jangan lupa vote dan Comment yaa

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 44.1K 21
#2 ARCHER SERIES Tentang kisah cinta seorang bintang musik klasik terkenal dan seorang mantan atlet panjat tebing dari latar belakang keluarga konglo...
154K 11.7K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
87.7K 8.8K 37
FIKSI
412K 30.6K 40
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG