happier than ever. [vrene] โœ”๏ธ

By wafleur

4.2K 742 2K

โ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ช๐˜ด ๐˜ด๐˜ต๐˜ฐ๐˜ณ๐˜บ ๐˜ช๐˜ด ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ต ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜บ ๐˜ง๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฅ ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ด ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜ช๐˜ณ ๐˜ฐ๐˜ธ๐˜ฏ ๐˜ธ๐˜ข๐˜บ.โž Tak... More

๐ฉ๐ซ๐ž๐ฅ๐ฎ๐๐ž.
๐Ž๐Ÿ. ๐Œ๐จ๐ซ๐ง๐ข๐ง๐ , ๐’๐ฎ๐ง.
๐Ž๐Ÿ. ๐’๐ฐ๐ž๐ž๐ญ ๐๐จ๐ญ๐š๐ญ๐จ.
๐Ž๐Ÿ‘. ๐‹๐š๐ญ๐ž๐ซ, ๐๐ž๐ญ๐ญ๐ž๐ซ.
๐Ž๐Ÿ’. ๐Œ๐จ๐ซ๐ž ๐“๐ก๐š๐ง ๐–๐จ๐ซ๐๐ฌ.
๐Ž๐Ÿ“. (๐ง๐จ๐ญ) ๐…๐ข๐ง๐ž ๐š๐ญ ๐€๐ฅ๐ฅ.
๐Ž๐Ÿ”. ๐‚๐š๐ซ๐ข๐ง๐จ.
๐Ž๐Ÿ•. ๐๐ข๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐ฌ๐ฐ๐ž๐ž๐ญ.
๐Ž๐Ÿ–. ๐„๐ฆ๐จ๐ญ๐ข๐จ๐ง๐š๐ฅ ๐–๐ž๐ข๐ ๐ก๐ญ.
๐Ž๐Ÿ—. ๐’๐ฎ๐ฆ๐ฆ๐ž๐ซ ๐’๐œ๐š๐ซ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ž. ๐๐ฅ๐ฎ๐ž ๐‡๐ž๐š๐ซ๐ญ.
๐Ÿ๐Ÿ. ๐“๐ฐ๐จ ๐๐ข๐ž๐œ๐ž๐ฌ ๐จ๐Ÿ ๐‚๐š๐ง๐๐ฒ.
๐Ÿ๐Ÿ. ๐๐ฅ๐ฎ๐ญ๐จ.
๐Ÿ๐Ÿ‘. ๐๐ฎ๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐Ÿ๐ฅ๐ฒ ๐„๐Ÿ๐Ÿ๐ž๐œ๐ญ.
๐Ÿ๐Ÿ’. ๐“๐ก๐ž ๐‡๐จ๐ง๐ž๐ฌ๐ญ ๐“๐ซ๐ฎ๐ญ๐ก.
๐Ÿ๐Ÿ“. ๐‡๐จ๐ฎ๐ซ๐ ๐ฅ๐š๐ฌ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ÿ”. ๐๐ข๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐ง๐ž๐ฌ๐ฌ.
๐๐จ๐ง๐ฎ๐ฌ ๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ: ๐’๐ฎ๐ฆ๐ฆ๐ž๐ซ ๐๐ฅ๐ฎ๐ž ๐ข๐ง ๐’๐ž๐จ๐ก๐š.

๐Ÿ๐Ÿ•. ๐’๐ฎ๐ง๐ฌ๐ž๐ญ ๐ข๐ง ๐˜๐ž๐จ๐ฌ๐ฎ.

190 34 41
By wafleur

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟏𝟕

𝐒𝐮𝐧𝐬𝐞𝐭 𝐢𝐧 𝐘𝐞𝐨𝐬𝐮.

SEOUL, 2OO3녀 8월 3O일

Barangkali, sebagian perjalanan dalam hidup hanya dipertemukan dalam dua pilihan; dikenang maupun dilupakan. Tiga tahun berlalu, mungkin berlalu begitu cepat bagi sebagian orang. Tapi, itu bukanlah hal yang mudah dijalani jika kau masih larut dalam kenangan yang mustahil kau relakan. Apalagi dilupakan.

Musim demi musim bergulir, orang–orang baru datang silih berganti. Ia tak melihatnya lagi. Semua seperti deburan pasir yang dihempas angin tanpa arti. Mungkin, ia saja yang berharap lebih selama ini ... entahlah. Yang jelas, hati kecil itu masih berharap semuanya kembali.

"You have saved our lives. We are eternally grateful~"

"You saved their lives? Oh, my hero! And they're so adorable! Let's adopt them!"

"Daddy~"

"Oh. No...."

Penggalan kalimat Mrs. Potato Head menyambut hangat tiga boneka alien yang tak sengaja 'mengekori' Mr. Potato Head menjadi adegan favorit yang selalu Taehyung ulangi kala ia menyempatkan diri menonton animasi itu. Menjadi 'kapsul ajaib' baginya setiap menghilangkan penat dari rentetan kesibukan yang mengusik kepala.

Mustahil. Mustahil gadis sebaik Yoo Joohyun tergantikan dengan mudah dari ingatan.

Senyuman kecil yang sempat tertahan di bibir pun teralih mendapati suara ponsel menghalau lamunan. Taehyung mengarahkan remote ke arah televisi sebelum meraih ponsel di atas meja. "Ya, Nek?"

"Kenapa tadi meneleponku, Taehyung?"

"Oh. Itu ... hanya ingin mendengar suara Nenek," dehemnya lucu saat suara sang Nenek terdengar menggerutu. "Minji sudah tidur, Nek?"

"Baru saja masuk ke kamar. Tadi, ia sangat lelah bermain bersama teman–temannya. Kau tahu? Minji sempat mengatakan bahwa ia tak sabar segera lulus sekolah dan menyusulmu ke Seoul."

Taehyung mengiyakan antusias. "Cukup sampaikan padanya rajin belajar dan selalu patuh pada Nenek. Mmm ... Nenek sendiri, bagaimana? Masih belum mau ikut bersamaku?" ungkitnya. Penuh harap.

Helaan kecil sang Nenek terdengar pelan, barulah bibir renta itu berujar, "Aku sulit meninggalkan tempat ini. Bukannya apa, tapi ... lingkungan Seoha sudah seperti bagian dari hidupku. Jika kau kelak berusia sepertiku, kau akan memahaminya suatu saat nanti."

"Hm. Tak apa, Nek. Aku tak memaksa." Taehyung tak bisa membantah untuk jawaban Nenek Ryeo satu itu. Sekian kali ia menawarkan ajakan untuk pindah ke Seoul, sang Nenek selalu memberi jawaban serupa. Bagi orang tua, mungkin rumah yang tepat bukan lagi tentang bangunan kokoh maupun lingkungan yang dipenuhi banyak fasilitas mewah. Melainkan ketenangan di hari tua maupun lika–liku kenangan yang terjadi di sana. "Kalau begitu, kabari saja kapan pun Nenek dan Minji ingin datang ke Seoul."

"Kau sendiri bagaimana, Taehyung? Tak ingin berkunjung ke Seoha? Sekadar melihat–melihat ... mungkin?"

Satu pertanyaan barusan belum Taehyung tanggapi. Itu benar. Sejak surat perpisahan Yoo Joohyun sampai di tangannya, Taehyung mengubur seluruh kenangan musim panas kelam di Seoha dan memutuskan kembali ke Seoul. Seperti jati dirinya dulu–dulu yang sangat membenci desa kelahirannya itu.

Merasa tak ada jawaban, kali ini Nenek Ryeo yang menenangkan cucu sulungnya. "Taehyung, ini hanya masalah waktu. Percayalah, setiap manusia memiliki porsi kebahagiaannya masing–masing. Selagi menunggu, kita bisa memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Dan ... aku bangga, kau bukanlah sekadar Kim Taehyung yang tiga tahun lalu kembali pulang ke Seoha dengan segenggam keputus–asaan. Kau tetaplah Kim Taehyung—cucu sulungku paling hebat dan penuh ambisi 'gila' di dunia ini."

Pujian itu berhasil membuat Taehyung tersenyum simpul. "Terima kasih, Nek. Aku memang se'gila' itu," angguknya seadanya.

"Jangan lupakan satu hal, kita semua telah menjadi pahlawan setidaknya dalam hidup seseorang."

Entah bermaksud menyinggung 'seseorang lain' dari ucapan itu, Taehyung tak mau mengungkit lebih. Fokusnya mendadak teralih pada dering tunggu dari sambungan teleponnya kali ini. "Ini sudah larut. Nenek belum tidur?"

"Ya. Kau juga pasti lelah 'kan? Tak terasa sebentar lagi musim gugur, kau sudah membeli baju hangatmu? Atau aku harus datang mempersiapkan apapun yang kau perlukan? Ck, kau masih seperti bocah nakal di mataku."

Tawa Taehyung mengudara renyah. Telah terbiasa jika sang Nenek begitu rewel dan suka menaruh khawatir berlebih padanya. "Tenang saja, Nek. Aku masih sanggup mengurus diri," kelakarnya pendek. "Ngomong–ngomong, tak ada hal lain lagi yang ingin Nenek obrolkan?"

"Rasanya tidak. Tidurlah lebih cepat. Besok akhir pekan, pakai waktumu untuk banyak beristirahat."

"Hm," angguknya sembari pura–pura menguap. "Aku tutup, kalau begitu. Selamat malam, Nek. Titip salam pada Minji juga," pamit Taehyung santun.

Setelah sambungan itu diputus lebih dulu, barulah Taehyung meluruskan punggung di sofa. Memilih berpura–pura mengantuk agar Neneknya lebih banyak beristirahat kali ini. Sial, ingin melakukan apa ia tadi? Oh. Baru saja Taehyung hendak berkutat pada ponselnya lagi, satu panggilan pun berdering dari sana.

"Kim Taehyung?"

Dari nomor asing, ternyata. "Oh. Siapa?"

"Lukisanmu mendapat kesempatan disertakan dalam pameran karya seni terbesar di Italia tahun depan."

Taehyung mengiyakan. "Sebentar, bukankah aku sudah mendapat kabar ini sebelumnya?"

"Masalahnya ... kami butuh pertimbanganmu kali ini. Pada hari menjelang penutupan pameran, seorang wanita muda mendatangiku dan begitu tertarik dengan lukisanmu. Sepertinya, dia benar–benar menginginkannya. Mengingat ia siap membayar berapa pun nominal untuk membawa pulang lukisanmu."

Sial, apa karya lukis bisa segampang itu ditukar dengan nominal uang? Merasa direndahkan karena permintaan satu itu, Taehyung memilih menolak halus. "Tak perlu. Biarkan saja lukisanku diikutsertakan ke—"

"Dia dari Yeosu."

Tertegun. Punggung Taehyung perlahan menegak dari gestur santainya, seiring desir kacau yang hinggap di tubuh saat satu nama kota itu menyapa rungu dengan mudah. Apa katanya? Yeo ... su? "Hah?" kerjapnya lamban. "Dia ... berkata sesuatu ... atau semacamnya?" ungkit Taehyung pelan. Takut berharap lebih.

"Ku pikir tidak. Dia cantik, dan tutur katanya begitu tenang. Penampilannya juga terlihat sopan meski tak mau menyebut lebih banyak tentang identitasnya. Mungkin, jika kau berubah pikiran—"

"Biar aku sendiri yang mengantarnya," potong Taehyung cepat. "Apa lagi hal yang dia sampaikan?" Satu pertanyaan itu tak sabar Taehyung lontar kan. Bersiap meneguk saliva pahit untuk tenggorokannya yang mulai serak.

"Katanya, jangan mencarinya atau apapun itu."

"Oh." Hanya itu sahutan yang sanggup ia lantunkan dari bibir. Mengedarkan lirikan tak puas ke sembarang arah. "Maaf, aku tak janji."

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Hari terakhir penutupan Galeri seni masih saja diisi oleh banyak orang pada tiap lorong. Langkah sepatu putih itu terlihat tak beratur, melewati beberapa bahu demi satu tujuan tertentu. Hingga tubuhnya perlahan terhenti, bergabung bersama beberapa orang lain di muka satu lukisan yang berhasil menarik perhatian pengunjung selama pameran seni itu dibuka.

Mata bulat perempuan pemilik rok di bawah lutut itu berbinar takjub, mendapati lukisan yang didominasi warna biru berjudul 'Matahari dari Yeosu'. Lukisan gadis telanjang yang di sekujur tubuh itu dililit oleh kelopak bunga matahari dan belasan ekor kupu–kupu biru yang beterbangan indah di sekitar. Menutupi seluruh cacat di tubuh objek nyata beberapa tahun silam. Hampir linangan air mata menyesaki pelupuk, dibarengi sesak di dada yang hampir saja tak lagi terbendung.

'Yoo Joohyun, bahkan jika musim semi telah berlalu, kelopak bunga di tubuhmu tak akan pernah layu.'

Benar, itu lukisan hadiah ulang tahun untuknya ... tiga tahun lalu.

Mendatangi salah seorang Panitia Galeri beberapa waktu kemudian, kerjapan hangat nan antusiasnya disambut ramah begitu saja. "Permisi, aku ingin bertanya tentang lukisan itu...."

Telunjuk lentik itu membuat pria berpakaian rapi sedikit menyipit, mengekori arah objek yang dimaksud. "Tentu, Nona. Silahkan," angguknya. Meladeni imbang senyuman percaya diri barusan.

"Di mana Pelukisnya?"

"Oh, itu. Tuan Kim Taehyung—ia hanya menyempatkan waktu datang pada tiga hari pertama pembukaan Galeri ini. Kenapa?"

Mendengar satu nama itu kembali tergaung indah menyapa rungu, darah Joohyun kembali berdesir hebat. Gejolak menyenangkan itu sekian waktu singgah meletup–letup, berusaha untuk ia kendalikan dalam gestur tenang. "Aku hanya ... ingin bertemu langsung," tatapnya lekat. Sesekali berhela teratur, menetralkan detak jantungnya yang masih berguncang kacau. "Aku datang dari jauh."

"Oh, benarkah? Penting sekali? Kalau begitu, biar ku hubungi dia sekarang."

"Tidak. Bukan itu maksudku," potong Joohyun cepat. Mencegah sekilas sebelum pria itu berinisiatif merogoh saku jasnya. "Maksudku, aku ingin 'bertemu'. Langsung."

Sekian detik saling melempar tatapan dalam diam, barulah anggukan itu dilayangkan. Merasa paham dengan maksud 'bertemu' yang gadis Yoo itu berikan. Jelas, ini bukan lagi tentang pertemuan biasa. "Baik, Nona," sunggingnya hangat.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Berbekal informasi sederhana, Taehyung nekad membatalkan jadwal penerbangan liburannya ke Jepang demi menghirup udara Yeosu yang sempat membuat ia tak sanggup mendengar nama kota itu lagi.

Jujur saja, atmosfer Yeosu seperti membawanya dalam puncak musim panas masa lalu. Rasanya, tiga tahun belumlah cukup untuk sekadar mengobati perasaan yang sempat terluka. Mungkin, itu terkias berlebihan bagi sebagian orang. Tapi, kau tak akan ikut mencibir jika pernah meletakkan harapan begitu dalam pada seseorang.

Langit di atas kepala tak begitu cerah, sepertinya cuaca akan kembali tak bersahabat seperti ramalan siaran mingguan. Katanya, hujan musim panas seperti kesedihan yang perlahan berbalas oleh kebahagiaan karena pelangi akan muncul setelahnya. Benarkah demikian? Semoga saja.

Turun dari gerbong kereta, kesunyian menyambut kala Taehyung mengedarkan pandangan ke sekitar. Meski akhir pekan, tapi tak begitu banyak orang–orang yang ia temui di stasiun. Tak jauh berbeda seperti situasi di dalam kereta tadi. Sebelum benar–benar angkat kaki dari sana, ia sempat berdiam demi satu helaan panjang. Apapun hasil yang akan ia temukan setelah ini ... ia hanya ingin bertemu dengan Yoo Joohyun. Meski itu untuk terakhir kali.

Hal yang pertama kali Taehyung lakukan ialah menapaki jalan menanjak setelah belasan menit menempuh jarak. Suara kapal–kapal nelayan tak lagi terdengar dari kejauhan, bersama hiruk–pikuk ringan dari dengungan mobil menyapu jalanan. Taehyung belum memutuskan mencari penginapan atau apapun setelah ini. Pun, firasatnya tak begitu yakin mencari Yoo Joohyun berdasarkan rumah lama yang pernah mereka kunjungi bersama dulu.

Sial, apa salahnya mencoba?

Benar saja. Sekian waktu bertanya ke sekitar, tak ada satu pun warga yang mengenali nama Yoo Joohyun. Sebagian besar dari mereka telah digantikan oleh perantau, Taehyung juga tak menyangka tiga tahun bisa begitu cepat 'melenyapkan jejak' seseorang.

Tibalah ia pada satu rumah yang sangat ia hapal rutenya. Rumah sederhana dengan halaman kecil yang tak lagi diisi oleh beberapa pot bunga di sudut pekarangan dan pagar kayu. Juga, bekas tebangan pohon besar tak lagi ditemukan di sana.

Banyaknya perubahan itu membuat Taehyung sempat merasa asing dengan lokasi tujuannya kini.

Mengumpulkan kepercayaan diri setelah beberapa kali membenahi tali ransel, barulah ia memutuskan menginjakkan kaki ke pekarangan rumah itu. Dua kali ketukan pintu ia berikan, belum ada sahutan dari dalam yang menyambut. Ketukan berikutnya memancing rasa sabar, sesekali Taehyung melongok gelisah ke sekitar teras.

Ku mohon, beri aku harapan.

Barulah pintu terbuka, membalas kerjapan antusias Kim Taehyung yang seketika itu memudar lesu. Pria yang tengah menggendong seorang balita perempuan turut mengerjap serupa. "Siapa?" tanyanya heran.

Tiga detik, barulah Taehyung menggeleng pelan. Mengambil langkah mundur teratur meski beberapa kali panggilan masih tertuju ke arahnya seraya pergi dari rumah itu. Pun, Taehyung tak mengerti alasan ia bertindak cepat seperti tadi. Hanya bisa memaki diri sendiri atas sikap pengecut dalam setiap langkahnya yang kian menyeret cepat pada tepian aspal.

"Taehyung? Kau yakin ingin mencari perempuan itu? Aku bisa membantumu menyewa Detektif swasta."

Omelan dari telepon beberapa waktu terakhir tak lagi berminat Taehyung sahuti. Tujuannya masih belum jelas kendati rasa penasaran terus saja mendesaki diri. Untuk kembali ke Seoul pun rasanya belum juga puas. Taehyung menjawab ketus sembari menapaki jalanan tanjakan. "Tak perlu. Mungkin aku hanya salah tempat—"

"Kim Taehyung?"

Tidak, itu bukanlah panggilan temannya. Taehyung berbalik perlahan, mendapati satu suara indah baru saja menyuakan namanya. Bahkan, jemarinya refleks mengakhiri telepon sepihak tanpa sedikit pun beralih dari objek tersebut.

Taehyung terdiam di pijakan. Masih tak percaya dengan apa yang ia dapati dalam belasan langkah saja. Semua masih sama, gadis itu masih sama—rambut hitam yang terjatuh menutupi bahu, sorot mata hangat, senyuman ringan yang merekah ramah, bibir kecil yang dipoles lipstik tipis merah muda, pipi yang merona merah jambu samar, rok sebatas betis dan busana sopan yang menutupi tubuh itu—persis seperti tiga tahun silam saat pertama kali pertemuan keduanya di bawah langit Seoha.

Gemuruh mendung dari kejauhan seperti tak membawa pengaruh bagi interaksi dua insan yang sudah lama tak diperjumpakan.

"Yoo ... Joohyun?" balas Taehyung lirih. Masih tak yakin dengan penglihatannya kini.

Benar, Yoo Joohyun ... memanggil namanya.

Gadis Yoo kembali tersenyum. Kenangan indah itu kembali membanjiri ingatannya sewaktu mendapati Taehyung tak jauh dari sana. Tampak sama tampan dan menawannya seperti yang terakhir kali dia ingat. "Kim Taehyung," ulangnya lagi. Terdengar candu untuk menyuakan satu nama itu berulang kali. "Kim Taehyung, apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku datang untuk mencarimu. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku harus menemuimu. Mengantar lukisan—maksudku. Aku ... ya, salah rumah," sahutnya gugup. Hal yang membuat Taehyung semakin tak habis pikir ialah kilauan bandul yang terlihat familiar di leher Joohyun kala gadis itu mengambil langkah lebih dekat. Itu kalung kupu–kupu yang ia tinggalkan pada Nenek Ryeo bersamaan dengan kotak kaleng berisi uang milik Yoo Joohyun sebelum ia pindah ke Seoul dan menutup seluruh kenangannya di Seoha.

Sepasang mata Joohyun membulat terkejut, tapi kemudian tersenyum senang. Terlebih, mendapati gantungan boneka kentang pemberiannya dulu yang masih tersemat di ponsel Taehyung. "Kau baru saja singgah ke rumah lamaku?" kernyitnya samar. Mencoba menebak. "Aku baru saja pindah ke Yeosu. Padahal aku ingin mendatangimu ke Seoul lebih dulu. Apa kabar?" tanyanya. Penuh minat.

Belum saja Taehyung menyahut, gerimis mulai turun membasahi kepala. Akal sehatnya masih mengembara ke mana–mana, membuat si lawan bicara tak ayal salah tingkah atas perhatian Taehyung yang masih tak berkedip beberapa saat. Bahkan, ia tak bisa berbuat apapun saat pekikan pelan Joohyun disusul oleh tarikan pada lengannya begitu saja.

Berteduh di teras toko yang tutup, rintik hujan yang menerpa bumi kian berderai lebat. Mengusik kegiatan orang–orang di sekitar jalanan untuk segera menepi sebentar. Tangan kanan Joohyun menengadah sebentar ke arah langit yang gelap, membiarkan tetesan air hujan tertinggal di telapaknya. "Musim panas yang payah," rutuknya pelan.

Dalam diam, Taehyung beberapa kali mencuri lirikan pada siluet cantik Yoo Joohyun yang masih berfokus ke arah langit. Ini ... nyata 'kan? Jantungnya semakin berdetak kacau, perasaan menggebu tak karuan itu hampir membuat isi kepalanya hilang kata–kata. Sungguh, ini seperti pertemuan mereka pertama kali yang belum memikirkan apa–apa maupun ancaman buruk di luar sana. Murni dan polos, sebelum 'bekas–bekas luka' itu saling terbagi satu sama lain.

"Ngomong–ngomong, kau ingin mengantar lukisan? Mana lukisannya?" Tanpa meladeni tatapan mata itu, Joohyun mencoba mengungkit percakapan. Ia tak sanggup bila bersinggungan terlalu lama pada sepasang mata pria Kim yang masih sama seperti tiga tahun silam. Memujanya setulus hati.

"Aku meninggalkannya di Galeri. Nanti akan menyusul," sahut Taehyung jujur. Mendiamkan kelima jemari kiri Joohyun yang belum lepas dari lengan kanannya.

Sekian waktu, Joohyun tersenyum lembut. Kali ini terkesan menahan sesuatu yang hampir meledak dalam dada. "Kau punya rencana menginap hari ini? Mau menemaniku naik kereta gantung ... setelah hujan reda? Atau, kau sudah makan? Aku ingin mentraktirmu banyak makanan laut kali ini."

Kala Taehyung meladeni tatapan penuh harap Joohyun, ia pun kembali terdiam. Ini seakan Joohyun tak sudi menerima penolakan, tersirat jelas dari cekungan tipis di bibir indah gadis Yoo itu. Tepatnya, ajakan retoris. Taehyung tersenyum imbang. Ini ... pertanda baik 'kan? Hati kecilnya berbisik untuk segera mengiyakan. "Tentu," angguknya senang.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Yoo Joohyun menepati janjinya, menjadi 'Pemandu Wisata Dadakan' untuk si pendatang Seoul yang awalnya tak memintanya memperkenalkan banyak tempat terbaik di Yeosu. Keduanya menghabiskan banyak hal diselingi obrolan maupun candaan selama berjam–jam. Berbagi segala sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupan satu sama lain.

Kendati mereka bertemu, sayangnya udara di sekitar tak jarang masih kental dengan rasa canggung dan kata–kata yang tak terucapkan. Joohyun dapat merasakan jantungnya berdegup kencang tiap kali bersitemu dengan mata Taehyung. Sungguh, ia tidak bisa menyingkirkan rasa bersalah yang telah menggerogoti dirinya begitu lama.

"Aku menghabiskan waktu tiga tahun untuk sembuh. Berjuang melalui banyak hal untuk kembali hidup dengan baik dengan terapi yang sempat mengalami banyak kendala di masa lalu," toleh Joohyun. "Kau sendiri, bagaimana? Ku dengar, kau akan membuat projek besar di Seoul?"

Taehyung mengiyakan kikuk, sedikit kaget atas rencananya yang tiba–tiba diketahui oleh gadis Yoo itu entah dari mana. "Hm. Tahun depan, projek bernama 'Semicolon' di Galeri ku akan segera rampung. Dan, dana dari seluruh lukisanku yang terjual akan ku sumbangkan untuk orang–orang kurang beruntung di luar sana yang mengalami trauma kekerasan semasa hidup mereka. Juga, sebagai motivasi untuk kembali hidup lebih baik dan melawan rasa takut itu."

"Benarkah?" cengir Joohyun takjub. "Kau membuat banyak lukisan?"

"Aku membuat banyak lukisan ...," angguk Taehyung singkat. Terlebih tentangmu.

"Aku semakin tak sabar melihatnya!"

Taehyung memberi tatapan lekat saat garis mata Joohyun menunjukkan cekungan senang. Baik suara tawa, nada bicara, sikap tubuh maupun ekspresi lepas itu—Taehyung masih memiliki keyakinan kuat bahwa perasaan mereka terhadap satu sama lain masih kuat seperti dulu. "Kau bisa datang kapan pun kau ingin," balasnya tersipu. Mengusap tengkuk.

Jujur saja, Joohyun takut berharap apapun meski ia ingin. Sadar bahwa rasa sakit itu tak bisa terelakkan saat ditinggalkan orang yang kau kasihi hanya dengan surat perpisahan. Pun, Joohyun tidak tahu bagaimana dia akan bereaksi sepantasnya untuk muncul di hadapan Taehyung lagi. Tapi, dia tidak punya pilihan saat itu. Jika Joohyun memilih bertahan bersama Taehyung, keluarga Nam akan menggunakan Minji sebagai ancaman untuk menghancurkan impian dan harapan Joohyun. Dia tidak sanggup bila anak perempuan tak bersalah seperti Kim Minji terseret ke dalam 'umpan empuk' keputusan egoisnya.

Dan akhirnya, Yeosu kembali menjadi saksi 'bisu' pertemuan dua orang yang sempat terluka oleh masa lalu. Kota pesisir indah dengan pemandangan memukau serta menyuguhkan suasana damai yang membawa kenangan mendalam pada keduanya.

Kala senja mulai menunjukkan pesonanya, Taehyung membawa tangan Joohyun untuk bersama–sama ke pantai. Suara ombak yang menghantam pantai memenuhi udara, dan pasir hangat yang menyapa telapak kaki terasa seperti pelukan selamat datang.

"Apa yang terjadi?" Belasan menit mengulur diam, barulah Taehyung mengungkit obrolan. Memang sedari tadi, tak ada yang berminat mengungkit insiden terakhir kali di Seoha. Entah salah satunya menunggu waktu yang tepat atau sengaja enggan merusak suasana, semua itu tak bisa dibawa dalam diam begitu saja 'kan?

Helaan itu menguar samar dari Joohyun. Tak bisa mengelak bahwa Taehyung lah orang pertama yang akan mempertanyakan semuanya. Joohyun membuang wajah ke lain arah, meski mereka masih saling beradu langkah. "Maafkan aku, Kim Taehyung," sahut Joohyun serak. Bibirnya bergetar seraya menahan bola mata yang mulai memanas. "Aku tahu aku telah menyakitimu, dan aku ... seharusnya tak pernah pergi darimu dengan cara seperti itu. Aku seorang pengecut, dan ... aku tidak bisa meminta pengampunanmu semudah itu. Tapi, ketahuilah bahwa aku ... benar–benar menyesal."

"Aku tak ingin mendengar permohonan maafmu," sela Taehyung datar. "Aku hanya ingin tahu apa saja hal yang terjadi setelah kau mengambil keputusan itu."

Menarik napas panjang, Joohyun pun memainkan tautan jemarinya dalam diam. Cemas. Masih berusaha mengelak atas tatapan Taehyung yang masih menoleh antusias menunggu jawaban darinya. "Aku mendapat banyak tekanan. Aku sempat berpikir bahwa mati benarlah satu–satunya cara. Tapi, Ayahku sempat berpesan serius saat aku mengunjunginya di penjara. Dia terlihat begitu menyesal dan seperti menebus rasa bersalah padaku selama ini setelah sempat memberikan nomor telepon sanak saudaranya agar aku terlepas dari jerat keluarga Nam. Ku pikir, dia benar–benar tahu apa yang terjadi."

'Kau bebas, Yoo Joohyun. Tetaplah menjadi putri kecil Ayah. Kau tak perlu merasa punya beban apapun lagi untuk melangkah ke mana pun kau ingin. Apapun itu ... baik masa depanmu, maupun pria pilihanmu. Maafkan Ayah, Ayah sangat menyesal. Tapi, ketahuilah bahwa Ayah selalu menyayangimu.'

Mengulur waktu demi beberapa kali pejaman erat, air mata itu tak mampu terelakkan juga. "Aku tak menyangka ... itu ucapan terakhir yang ke luar dari bibirnya. Juga, pertemuan terakhir kami. Hanya tak berselang dua hari setelahnya, ia dilaporkan bunuh diri di dalam selnya." Langkah Joohyun terhenti begitu saja, disusul Taehyung yang turut memberi perhatian iba di sisinya. "Bibi Nam juga membantuku, merasa bersalah atas apa yang disebabkan oleh putranya selama ini. Semua itu meluap setelah kau menemuinya dengan penuh amarah. Aku tak tahu, entah mengapa banyak bantuan yang datang padaku saat itu. Tapi, aku tetap merasa 'kosong' saat harus mengorbankan dua pria yang sangat berharga dalam hidupku. Aku benar–benar hilang harapan dan sangat ingin mengakhiri hidup. Bahkan, Nam Jeongguk lebih memilih menyiksaku secara perlahan daripada aku menghabisi nyawaku dengan sendirinya," helanya sesak. "Sebanyak apapun aku memikirkan cara mengakhiri hidup, sebanyak itu pula kegagalan yang ku dapati saat orang–orang di sekitarku berusaha menggagalkan itu semua. Aku tak tahu ... apa itu bermakna bahwa Tuhan masih membiarkanku hidup. Membiarkanku menikmati bahwa masih banyak hal indah yang selayaknya tak boleh ku lewatkan di dunia ini. Maaf, aku meninggalkanmu saat itu. Maaf, aku sangat egois. Aku hanya tak mau semua berakhir buruk karena aku memilihmu."

Tuturan pahit itu membuat rahang Taehyung menggertak ke sembarang arah. Sudah bisa menduga bahwa semua itu hanya ancaman busuk Nam Jeongguk untuk menggertaknya begitu dalam. Membuatnya tersiksa secara emosional di depan mata. Bahkan, kenyataan pahit lain ialah si lelaki Nam masih melanjutkan hidup dan karir dengan baik meski pernah menghancurkan hidup dan harapan dua orang yang saling mencintai. Pun, ia sadar bahwa hukum di negaranya tak jarang memandang sebelah mata untuk orang–orang 'kecil' seperti mereka. "Sekarang, kau merasa lebih baik?" tanyanya hati–hati.

Joohyun mengangguk samar. "Aku sudah mengikhlaskan semuanya. Memaafkan seluruh masa laluku seiring terapi penyembuhanku. Orang–orang itu meminta maaf sampai berlutut di depanku, saudara Ayahku menyarankanku untuk membawa itu semua ke Pengadilan. Tapi, aku memilih tak melakukannya. Jika Tuhan tak mengizinkanku mati dengan tenang saat itu ... mungkin, ia memintaku untuk tetap melanjutkan hidup dengan baik."

Kini, sepasang bola mata Taehyung yang mulai berkaca–kaca. Menghalau bias senja yang membuat Joohyun merasa silau dengan tubuhnya, meski sebenarnya gadis itu hanya mengelak untuk menyeka pipi yang telah basah. Tak bisa menahan diri, Taehyung pun membawa tubuh Joohyun yang bergetar pilu dalam dekapannya. Sangat erat. Sampai–sampai untaian kata–kata indah pujangga di luar sana tak bisa menggambarkan kerinduan yang ia pendam selama ini. "Berhenti meminta maaf, ini bukan salahmu. Aku paham mengapa kau mengambil keputusan itu, aku sangat menyesal membiarkanmu memikul semua beban ini sendirian. Maaf, ini salahku. Tapi, sekarang kita sudah kembali bersama. Kita bisa menghadapinya bersama. Perasaanku tak pernah berubah untukmu, Yoo Joohyun. Aku ingin selalu bersamamu, apapun yang terjadi," bisik Taehyung. Berusaha menenangkan isakan Joohyun yang masih terdengar parau dibarengi riak ombak pantai.

Joohyun belum sanggup menyahut. Sudah lama ia tak menangis dalam pengobatan kurang lebih tiga tahun yang ia jalani. Sekarang seluruh kepedihan itu kembali ia tumpah ruahkan pada pria yang pernah ia beri rasa sakit. "Kau tidak membenciku? Atas apa yang telah ku lakukan padamu selama ini? Kau tak membenciku, Kim Taehyung? Ku pikir, aku terlalu jahat untuk membuatmu selalu berjuang untukku," tuding Joohyun kacau. Memberi jarak beberapa senti untuk mendapati wajah Taehyung dalam dongakan.

Lekas, Taehyung mengernyit samar sembari menyeka bulir bening yang mengalir tanpa henti di pipi gadis Yoo. "Tidak. Sama sekali tidak," kata Taehyung, suaranya nyaris tidak lebih dari bisikan. "Kita akan menghadapinya bersama. Aku sudah berjanji akan selalu melindungimu, Yoo Joohyun. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu tetap bahagia bersamaku."

Kemudian Joohyun menunduk, masih terisak sesak. Keningnya bertumpu di dada Taehyung, seakan belum siap bertemu pandang lagi untuk seluruh kata–kata yang akan keluar dari bibirnya kali ini. Terikutkan ke sepuluh jemari lentiknya yang mencengkeram erat masing–masing ujung kemeja putih pria Kim itu. Melampiaskan takut bercampur gugup atas interaksi tubuh yang Taehyung berikan belasan detik lalu. "Aku ... berbohong. Aku bertemu denganmu tidak secara kebetulan. Aku sering bertukar kabar dengan Nenek Ryeo. Aku ... selalu memperhatikanmu dari kejauhan selama ini," helanya dalam–dalam di sela tangisannya. "Aku merasa bersalah dan sangat bingung untuk kesalahanku yang meninggalkanmu begitu saja di Seoha. Tapi, di sisi lain aku juga takut kau marah dan memintaku pergi. Maaf atas sikap egoisku ...," isaknya parau. "Aku yang pertama kali menyapamu pada pertemuan pertama kita di Seoha. Aku juga yang membuatmu merasa bertanggung jawab penuh atas seluruh rasa sakit dalam hidupku. Aku juga yang meninggalkanmu begitu saja. Aku juga yang menghilang dan kembali muncul sesuka hati tanpa memikirkan perasaanmu selama ini. Terkadang, aku merasa sangat tak pantas untuk semua ini. Aku lah orang jahat itu, Kim Taehyung. Sumpah, maafkan aku. Aku masih pantas mendapat permintaan maaf darimu 'kan? Aku masih pantas dicintai oleh orang sebaik dan setulus Kim Taehyung 'kan?"

"Harus berapa kali ku katakan bahwa aku tak ingin mendengar permintaan maafmu, Yoo Joohyun," protesnya pelan. "Jangan pernah meminta maaf. Kau tak pernah melakukan kesalahan apapun." Taehyung mengerti ia sempat mengalami masa–masa sulit dalam hidupnya tanpa gadis itu. Tapi, di sisi lain ia juga telah menjadi orang yang lebih baik karena semua keadaan ini. "Aku tak merasa menyesal atas waktu dan jarak yang sempat menghalangi kita. Aku banyak belajar sejak itu, untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kata Nenek; sebelum mencintai seseorang, setidaknya kita harus mempertanyakan satu hal dalam diri kita ... sudahkah kita mencintai diri kita sendiri lebih dulu? Itu ada benarnya." Taehyung menangkup kedua pipi Joohyun agak kembali menatapnya dalam–dalam. "Sama sepertimu. Aku banyak belajar dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, mengontrol egoku yang tak jarang selama ini telah merugikanku dan orang–orang di sekitarku. Kau, Ibuku, Park Jimin, Nenek, Minji, dan siapapun itu yang pernah dirugikan dengan emosi burukku di masa lalu."

Joohyun mengangguk dalam tangisnya yang penuh sesak, mendapati bahwa pelupuk Taehyung telah dialiri air mata sama seperti dirinya. Bedanya, tangisan itu tersirat haru dan penuh kelegaan karena dibarengi senyuman lepas. "Aku telah memaafkan mereka. Semuanya. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku tanpa menyimpan dendam pada orang–orang itu. Aku ingin fokus dengan kebahagiaan diriku sendiri dan orang–orang di sekitarku. Terima kasih telah memberi banyak pelajaran terbaik dan alasan untuk terus bertahan hidup. Terima kasih telah menyelamatkan hidupku, Kim Taehyung."

"Tentu, Yoo Joohyun. Tentu, aku juga berterima kasih dan sangat bersyukur karena kau memilih untuk terus hidup dan memiliki harapan baru atas kejutan–kejutan hebat lain yang menanti di hari berikutnya. Setiap orang pantas mendapatkan kebahagiaan, dan aku bersedia bekerja keras untuk memastikan kita bahagia—apa pun yang terjadi," tutur Taehyung penuh keyakinan sembari menyeka teratur bulir bening di pipi Joohyun yang telah menaik karena tertawa lepas.

"Hidup memang tak jarang tak adil untuk orang–orang seperti kita. Aku tak mau terus–menerus menoleh dalam masa lalu—itu sangat melelahkan. Semua ucapan yang pernah kau berikan padaku membuatku selalu memiliki harapan untuk hidup, untuk terus mencari jalan ke luar dari lorong gelap itu. Seiring waktu, aku telah menemukan kuncinya—itu adalah diriku sendiri. Aku berhenti mencari objek rasa sakit yang ku minta pertanggung jawaban untuk seluruh rasa sakit yang ku alami. Aku berhenti menuntut dunia atas kebahagiaan yang seharusnya ku dapatkan seimbang seperti orang–orang di luar sana. Aku ingin bahagia dengan caraku ... dan ku pikir, aku telah menemukannya." Joohyun mengambil jeda beberapa detik demi kata–kata lain yang sebentar lagi tercuat menakjubkan dari bibirnya. "Kim Taehyung—aku hanya ingin tumbuh melewati seluruh suka–duka bersamamu. Ku pikir, itu sudah lebih dari cukup."

Taehyung mendengarkan dengan penuh perhatian, bangga akan kekuatan dan keteguhan Joohyun. Setelah keduanya saling melempar cengiran lepas, dua bibir itu dipersatukan di bawah bias jingga yang mulai terbenam di garis lautan. Melampiaskan seluruh kerinduan maupun kelegaan atas rintangan yang telah mereka lewati bersama dengan penuh harapan. Tak ayal deburan ombak menyapa dua pasang tungkai mereka yang sesekali masih diisi tawa lepas di sela–sela ciuman hangat.

"Aku senang karena tiga tahun lalu bukanlah ciuman terakhir kita," bisik Taehyung haru di sela pertemuan bibir mereka. Masih dengan deru tak beraturan karena letupan bahagia, Joohyun kembali dikejutkan dengan pergerakan lain Taehyung yang tiba–tiba merogoh saku celana. "Dan, aku datang bukan untuk mengantarkan lukisanku. Aku datang untuk menjemputmu, Yoo Joohyun. Aku masih ingat dengan janjiku, membantu mewujudkan semua impianmu—impian kita. Maupun impian kecil lainnya yang hanya kau bagikan padaku," hela Taehyung lega. "Membawamu pergi ke tempat tenang dan bahagia yang kau inginkan, melihatmu memakai gaun pengantin pilihanmu sambil mendatangiku dengan langkah anggun di atas altar, mengucap sumpah setia pernikahan untuk selalu bersama baik suka maupun duka, dan aku tak akan meninggalkanmu sendirian hingga maut memisahkan kita. Kau masih ingat tentang janjiku yang satu itu 'kan?"

Bilah bibir Joohyun tergigit kacau, belum sempat mengiyakan atas permintaan Taehyung yang tahu–tahu telah menyematkan cincin itu di jari manisnya. "Aku bahkan belum memberimu jawaban," kernyitnya panik. Sedangkan Taehyung kembali membawa tubuh Joohyun dalam dekapan eratnya dibarengi sesekali kecupan mendalam di puncak kepala calon pengantinnya. Pun, keduanya menyadari bahwa definisi sederhana dari rumah yang selama ini mereka cari ialah berada dalam pelukan hangat satu sama lain.

Perjalanan yang sempat putus asa, trauma maupun masa lalu kelam yang turut menjadi sandungan langkah, kini merangkak bangkit seperti semula. Memperbaiki apa yang sempat dirusak, dan perasaan mereka kembali harum seperti bunga bermekaran. Tanpa perlu terucapkan kata–kata. Tanpa perlu lagi dipenuhi oleh pekikan lara maupun gelisah. Kembali dipertemukan, seperti takdir yang telah ditentukan. Rasa yang berkobar, dalam momentum yang begitu menakjubkan.

Bunga yang layu pun bisa kembali mekar saat kembali ke tempat yang benar. Begitu pula dengan cinta yang sempat hilang akan kembali tumbuh dan berpulang pada asal singgahnya. Memperbaiki hati yang terluka, masing–masing dengan caranya. Hingga pada suatu saat ... cinta mereka menemukan kembali jalannya.

Sekarang, mereka siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan. Dipenuhi dengan kasih, harapan, dan kebahagiaan nyata. Menemukan diri mereka untuk kembali saling jatuh cinta ke sekian kalinya, dengan cara baru tanpa luka–luka masa lalu yang sempat menghalau dan menakuti keduanya ... karena bahagia tetap menjadi jawaban terindah dan pantas untuk akhir kisah mereka.

[FIN]

©wafleur, 2O23




a/n: lama engga nulis, sekali nulis kayanya tulisanku kaya 'bawel' gitu ya kwkwk. iya bawel krn masih ada yang pengen aku nyempilin lagi buat mereka huhu, sabar yaa  shay, seengganya pada lega krn ga ada lg jumpscare ya 💀

maaf kalo aku suka bikin emossy ya huahaha tp aku suka seneng kalo kalian ikutan emosi 🙏🏻 janji dah kelar work ini mau fluffy brutal uwu dikit 👀💐

Continue Reading

You'll Also Like

11K 450 2
(Mature๐Ÿ”ž) Menjadi sekretaris seperti Jeon itu tidak enak.
40.5K 5.9K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
13.2K 942 10
Ini hanya tentang Hyuuga Hinata, gadis yang suka sekali denial dengan perasaannya sendiri terhadap sahabatnya, Uchiha Sasuke, hal itu semakin diperpa...
54.2K 6.7K 35
Hubungan persaudaraan. Hal yang kompleks penuh hamparan emosi. Awalnya mereka bukan siapa-siapa, tak saling mengenal bahkan tak tau sedang menghirup...