happier than ever. [vrene] โœ”๏ธ

By wafleur

4.2K 741 2K

โ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ช๐˜ด ๐˜ด๐˜ต๐˜ฐ๐˜ณ๐˜บ ๐˜ช๐˜ด ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ต ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜บ ๐˜ง๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฅ ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ด ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜ช๐˜ณ ๐˜ฐ๐˜ธ๐˜ฏ ๐˜ธ๐˜ข๐˜บ.โž Tak... More

๐ฉ๐ซ๐ž๐ฅ๐ฎ๐๐ž.
๐Ž๐Ÿ. ๐Œ๐จ๐ซ๐ง๐ข๐ง๐ , ๐’๐ฎ๐ง.
๐Ž๐Ÿ. ๐’๐ฐ๐ž๐ž๐ญ ๐๐จ๐ญ๐š๐ญ๐จ.
๐Ž๐Ÿ‘. ๐‹๐š๐ญ๐ž๐ซ, ๐๐ž๐ญ๐ญ๐ž๐ซ.
๐Ž๐Ÿ’. ๐Œ๐จ๐ซ๐ž ๐“๐ก๐š๐ง ๐–๐จ๐ซ๐๐ฌ.
๐Ž๐Ÿ“. (๐ง๐จ๐ญ) ๐…๐ข๐ง๐ž ๐š๐ญ ๐€๐ฅ๐ฅ.
๐Ž๐Ÿ”. ๐‚๐š๐ซ๐ข๐ง๐จ.
๐Ž๐Ÿ•. ๐๐ข๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐ฌ๐ฐ๐ž๐ž๐ญ.
๐Ž๐Ÿ–. ๐„๐ฆ๐จ๐ญ๐ข๐จ๐ง๐š๐ฅ ๐–๐ž๐ข๐ ๐ก๐ญ.
๐Ž๐Ÿ—. ๐’๐ฎ๐ฆ๐ฆ๐ž๐ซ ๐’๐œ๐š๐ซ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ž. ๐๐ฅ๐ฎ๐ž ๐‡๐ž๐š๐ซ๐ญ.
๐Ÿ๐Ÿ. ๐๐ฅ๐ฎ๐ญ๐จ.
๐Ÿ๐Ÿ‘. ๐๐ฎ๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐Ÿ๐ฅ๐ฒ ๐„๐Ÿ๐Ÿ๐ž๐œ๐ญ.
๐Ÿ๐Ÿ’. ๐“๐ก๐ž ๐‡๐จ๐ง๐ž๐ฌ๐ญ ๐“๐ซ๐ฎ๐ญ๐ก.
๐Ÿ๐Ÿ“. ๐‡๐จ๐ฎ๐ซ๐ ๐ฅ๐š๐ฌ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ÿ”. ๐๐ข๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐ง๐ž๐ฌ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ÿ•. ๐’๐ฎ๐ง๐ฌ๐ž๐ญ ๐ข๐ง ๐˜๐ž๐จ๐ฌ๐ฎ.
๐๐จ๐ง๐ฎ๐ฌ ๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ: ๐’๐ฎ๐ฆ๐ฆ๐ž๐ซ ๐๐ฅ๐ฎ๐ž ๐ข๐ง ๐’๐ž๐จ๐ก๐š.

๐Ÿ๐Ÿ. ๐“๐ฐ๐จ ๐๐ข๐ž๐œ๐ž๐ฌ ๐จ๐Ÿ ๐‚๐š๐ง๐๐ฒ.

150 33 130
By wafleur

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟏𝟏

𝐓𝐰𝐨 𝐏𝐢𝐞𝐜𝐞𝐬 𝐨𝐟 𝐂𝐚𝐧𝐝𝐲.

Perlahan, Taehyung terbangun dari tidur singkatnya. Bisa dikatakan singkat karena ia berusaha terjaga meski akhirnya terlelap juga. Mendapati sisi baringannya telah kosong, ia pun lekas terduduk. Mengedar pandangan ke sekeliling kamar, hanya pakaian miliknya yang tersisa di atas lantai. Sial! Sial!

Usai terburu–buru memakai pakaian kembali sebelum ke luar kamar, didapatinya Nenek Ryeo dan Minji telah di rumah. Hujan tak lagi terdengar dari luar, membuat ia berpikir bahwa Joohyun telah pulang mengingat hari sudah gelap. Putus harapan.

Selalu saja ... ia kecolongan.

Hingga makan malam itu terjadi, belum ada percakapan yang diungkit. Sedari tadi, Nenek Ryeo menyadari tingkah si cucu sulung yang sempat meringis pelan setiap mengunyah. Menggerakkan pipi kiri seolah rahang itu benar–benar kaku. Dan, ya ... terlalu bohong untuk tak mendapati bahwa pipi itu terlihat memar. "Kau keramas terlalu larut."

Taehyung terbatuk. Hampir makanan yang tersangkut tak bisa ia telan sepenuhnya jika Nenek Ryeo tak menawarkan air lebih dulu.

Nenek Ryeo tersenyum. "Itu tak baik, Taehyung. Tapi, jika sekali–kali tak masalah."

Helaan pelan itu terdengar. Taehyung tahu, sindiran lucu itu pasti ditujukan untuknya. Tak sabar mendiamkan, ia pun bertanya. "Joohyun ... sudah pulang, Nek?"

"Hm. Dia sempat meminta maaf karena telah berbuat kurang ajar. Padahal, aku sama sekali tak pernah memandangnya begitu."

"Nenek melihat Joohyun ... keluar dari kamarku?" tanya Taehyung lagi setelah menoleh sebentar. Memastikan Minji tak berkeliaran di sekitar.

"Minji telah melihatnya. Dia bertanya padaku urusan Guru Yoo denganmu. Meski aku berbohong ... mau bagaimana lagi? Lamban laun dia juga akan tahu 'kan?"

Taehyung tak punya opsi lebih, ya ... lamban laun semua orang akan tahu. Setelah membantu membereskan meja, rasa nyeri di pipi itu belum juga hilang. Hal itu sampai–sampai membuat Nenek Ryeo tak tahan juga dengan tingkah aneh si bocah tua. "Kau baik–baik saja? Pipimu?"

"Aku ... baik," dehem Taehyung kaku. Memberitahu yang sebenarnya pun tak ada artinya. Malah, ia yang akan dihajar nantinya. "Hanya terjatuh dari kasur, hm. Kalau begitu, aku ke luar sebentar!" pamit Taehyung buru–buru sebelum sang Nenek mencari tahu lebih jauh 'bekas cinta' di pipinya.

Sedangkan Nenek Ryeo hanya berkacak pinggang. Benar–benar tak habis pikir dengan apa yang terjadi selama rumah ditinggalkan beberapa jam saja. "Anak muda sekarang benar–benar banyak tingkah."

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Kegaduhan kecil terjadi pagi itu, suara langkah kaki terseret mondar–mandir ke sekitar ruangan. Minji sedikit terlambat bangun, mungkin karena akhir–akhir ini terlalu senang menggambar hingga larut. "Aku pergi, Nek...." Kemudian langkahnya terhenti pelan di serambi, mendapati sang Ayah telah duduk menanti.

"Sudah? Ayo," toleh Taehyung. Memberikan senyum manisnya—tanpa nada kalimat kasar seperti biasa.

Justru itu hal yang membuat bulu kuduk Minji berdiri tiba–tiba. Ayah ... salah makan obat kah? "Oh?" Rahangnya terjatuh sebentar, belum sepenuhnya meladeni Taehyung yang telah beranjak dengan penampilan rapi tersebut. Ya Tuhan, apa yang terjadi?

Rasa penasaran itu belum juga terjawab setelah sepeda yang mereka naiki tiba di sekolah. Minji tak benar–benar terlambat, ternyata. Masih ada waktu sekitar lima menit untuk ia berpamitan. Wajah pemuda Kim itu memang selalu tersenyum sejak tadi, membuat Minji lagi–lagi diliputi rasa penasaran akut.

"Aku ... tak mau menyalam Ayah," pancingnya ragu. Berparas ngeri seolah mendapati bunga–bunga bermekaran di atas kepala Taehyung. Jika setelah ini sang Ayah marah dan mengusirnya dengan caci makian, mungkin Minji tak perlu khawatir bahwa ini hanya mimpi konyol.

Tapi, tidak. "Tak masalah. Menyalamku membutuhkan banyak energi. Lebih baik kau menyimpannya agar berkonsentrasi lebih banyak saat belajar," tutur Taehyung ramah diakhiri pipi menaik senang.

Tepatnya, Ayah–mu sedang kasmaran, Kim Minji.

Sadar diri, Minji lebih membawa punggung tangan sang Ayah ke kening sebelum buru–buru angkat kaki. Melarikan diri. Sumpah, ia lebih baik mendapati Kim Taehyung yang ber'sumbu pendek' daripada penyabar seperti ini. Menyeramkan! "Aku pergi ... Ayah," pamitnya. Takut–takut.

Punggung bocah Kim yang mulai berlarian kecil ke gerbang sekolah ditatapi Taehyung sebentar sebelum berpindah objek pada perempuan berblus kerah tinggi di sana. Tersenyum, Taehyung menepikan sepedanya  sebelum mendatangi begitu saja. "Pagi, Guru Yoo," sapanya ramah.

Yang disapa tersenyum kikuk. Untungnya, Joohyun telah terbiasa berpura–pura tak terjadi apapun. "Pagi, Ayah Minji."

Tak ada tuturan lebih, Taehyung masih saja tersenyum simpul di hadapan. Membuat si gadis semakin sungkan sekadar bertemu tatap. Hingga bel mulai terdengar dari gedung sekolah, barulah Joohyun memangkas kecanggungan. "Aku ... menunggu hasil lukisannya."

"Oh. Benarkah?" angguk Taehyung antusias. "Akan segera ku selesaikan, hm. Ngomong–ngomong, kenapa kau kabur dari kamar ku semalam?"

"Apa yang kau—" Gertakan tertahan Joohyun membuat pemuda itu tertawa renyah. Pasalnya beberapa bocah masih berseliweran melewati mereka. Joohyun menoleh sebentar ke sekitar sebelum berujar pelan. "Bisakah kita tak membahasnya? Aku merasa tak nyaman."

"Sorry."

"Dan, lupakan apapun yang terjadi semalam. Aku meminta."

Sedikit rancu dengan ucapan barusan, Taehyung tak bisa menahan diri untuk menahan lengan Joohyun. Melupakan keadaan bahwa mereka masih di lingkungan sekolah dan anak–anak mulai berbaris di halaman. "Apa maksudmu?" kernyit Taehyung sinting.

"Aku hanya ... takut banyak kesalahpahaman yang terjadi. Minji dan Nenekmu begitu baik," ucap Joohyun jujur.

"Oh. Begitu...." Helaan Taehyung mengudara setelah lengan itu ia lepas perlahan. Hampir pikiran buruknya bercabang liar ke mana–mana. "Sejujurnya, tak ada yang perlu kau khawatirkan. Tak ada yang perlu ditutupi lagi tentang kita. Kalau begitu ... selamat pagi, Guru Yoo."

Anggukan itu Joohyun berikan samar, kemudian berjalan cepat memasuki area sekolah. Meninggalkan begitu saja si 'Pangeran Berkuda Putih' dengan jantung yang masih diliputi degupan kencang.

Sial, kenapa tak ia cium saja bibir itu tadi? Taehyung menggeleng keras, mengusir sedikit pikiran–pikiran nakalnya sebelum semua menjadi tak karuan.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Sesal. Itulah hal yang menguasai diri Taehyung malam ini, jika menelaah lebih dalam kalimat yang Joohyun berikan tadi pagi. Kenapa juga ia harus mengungkit soal 'tidur panjang' mereka? Kekanakan, ck. "Melupakan? Kenapa dia memintaku melupakannya? Aku seperti pria kesekian yang 'tidur' bersamanya!" monolog Taehyung kesal.

Seluruh gelisah itu Taehyung coba lampiaskan dengan sebatang nikotin. Tapi, belum saja ia hendak mencari pemantik, ingatan tentang bekas sulutan rokok di tubuh Joohyun kembali menunda gerak. "Tidak."

Tak hanya sebatang. Nyatanya, Taehyung berniat melakukan sesuatu pada kotak rokoknya di atas meja setelah merenung cukup panjang. Gelengan kuat itu pun ia layangkan, bergegas ke luar kamar untuk membuang kotak ke tong sampah.

"Kim Taehyung! Ayolah, pakai otakmu!" Berulang kali, Taehyung mendesis geram pada diri sendiri. Mencoba menuntaskan permintaan Joohyun yang sama sekali belum ia sentuh lagi. Di depan meja, mengurung diri di kamar sepi, mempersiapkan beberapa alat lukis dan sebagainya selama hampir setengah jam. Tapi, belum sedikit pun timbul niat untuk menyelesaikan itu semua.

Suara pintu kamar sontak memecah kesunyian, sedangkan si pelaku keributan hanya mengedip tak bersalah. "Oh? Ku kira Ayah tak di kamar," celetuk Minji.

"KIM MINJI, KETUK PINTUNYA!" Jelas, Taehyung gelagapan. Menyembunyikan buru–buru sketsa Joohyun—entah di manapun itu—sebelum bertingkah normal. "Kau ... membuatku kaget." Barulah nada ucapannya kembali tenang.

Mendapat bentakan, Minji malah mengerjap datar. Syukurlah, sang Ayah kembali bertingkah 'gila' seperti biasa. "Maaf," celosnya enteng. Tanpa basa–basi  meletakkan beberapa lembar kertas gambar dan cat lukisnya di hadapan Taehyung.

"Apa yang kau ...," kernyit Taehyung aneh. "Kau memintaku melakukan ini semua?"

Minji mencibir sinis. "Dengar dulu penjelasanku, Ayah bodoh. Aku hanya meminta diajarkan melukis."

Minji benar, Ayah–nya satu ini terkadang bodoh. "Oh, begitu," dehem Taehyung samar. Menahan senyum bangga. "Kapan? Sekarang?"

"Kapan pun Ayah punya waktu." Ekor mata Minji sesekali menyelidik diam–diam ke secarik kertas lain yang Taehyung sembunyikan di balik lengan. Mencurigakan. "Ngomong–ngomong, aku tak sengaja mendapati rokok Ayah di tong sampah. Ayah ... tak merokok lagi?"

Taehyung tertegun sebentar sebelum menyahut gugup. "Sepertinya, tidak. Tenggorokanku sakit ... akhir–akhir ini."

"Diganti dengan permen saja, bagaimana? Aku punya permen susu, sih. Itu pun jika Ayah mau." Mendapati paras Taehyung yang refleks mual saat mendengar satu kata itu; susu, Minji segera menangkap gelagat aneh barusan. "Sial, aku baru ingat Ayah benci susu. Whoa, sayang sekali. Padahal ini permen kesukaan Guru Yoo dan Paman Polisi juga," longok Minji diam–diam.

Mendapati dua nama itu, telinga Taehyung berdengung tiba–tiba. Sensitif sekali, sepertinya. "Ya sudah, sini! Mau ... ku coba. Mungkin bisa menghilangkan sakit tenggorokanku," pintanya cepat.

"Serius Ayah mau? Hmm, aku ke kamar dulu. Mungkin, masih ada di tas."

Ke luarnya Minji dari kamar membuat Taehyung membuang helaan gugup yang setengah mati ia tahan sejak tadi. Sial, kenapa akhir–akhir ini ia sering terbawa perasaan, sih?! Saat fokusnya hendak kembali pada sketsa Yoo Joohyun, si preman cilik kembali membuka pintu kamar lebar–lebar. "Kim Minji, ku bilang ketuk pintunya dulu," ujarnya tertahan. Tak habis pikir.

"Permennya habis! Mau ku belikan sekarang? Minta uangnya. Tapi, ajari aku melukis juga."

"Ambil di kantong celana setelah itu pergilah!" Taehyung memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut. Saat hendak berkonsentrasi penuh begini, ada saja gangguan kecil yang mampir tak terduga.

Minji mengedarkan tatapan sebentar ke sekitar kamar sebelum mendapati celana yang Taehyung maksud. Oh, tergantung di sudut ruangan. "Aku ambil semuanya, ya," lantangnya. Sekadar memastikan sang Ayah tak menoleh sedikit pun.

"Hm."

Minji mengatur napas hati–hati. Mengambil isi saku celana itu sebelum menukarnya dengan lipatan kertas origami. "Ya sudah, aku pergi ... Ayah." Menyisakan pemuda Kim yang kembali berkutat serius dengan sketsa gambar semalaman suntuk.

Sepertinya, lipatan origami itu tak Taehyung sadari hingga esok sorenya. Barulah ia punya firasat mendadak ingin merogoh kantong celana saat hendak mencuci pakaian. Sebentar, Minji sudah mengambil semua uangnya 'kan? Entah mengapa, Taehyung iseng memeriksa kembali saku celana kotornya.

Benar, lipatan origami merah muda itu masih ada di sana. Hampir ikut basah jika saja Taehyung tak buru–buru mengelap tangan. Sedikit penasaran, ia pun membuka lipatan rapi itu. Tulisannya;

𝘽𝙚𝙨𝙤𝙠, 𝙩𝙚𝙢𝙪𝙞 𝙖𝙠𝙪 𝙙𝙞 𝙠𝙚𝙙𝙖𝙞 𝙋𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙈𝙞𝙣.

"Besok?" Dari siapa kira–kira? Taehyung tertegun aneh. Tak mungkin tulisan Minji. Ukiran tinta ini masih bisa dibaca dengan jelas. Alias, mustahil tulisan Kim Minji serapi ini. "Atau...." Terpikir satu nama, Taehyung melompati ember rendaman cuciannya. Buru–buru ke luar rumah demi menuruti tak sabar perintah kertas origami tersebut.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Di serambi kedai, Paman Min lekas menyambut pemuda bersinglet putih yang baru saja datang dengan derap lebar, seolah paham apa yang dicari. "Taehyung, di dalam," tunjuk Paman Min agar Taehyung berbelok ke rumah saja.

Sesuai dugaan, Yoo Joohyun telah berdiam di ruang tamu. Membuat Taehyung sedikit merasa bersalah sambil mengatur deru karena berlarian kecil tadi. "Maaf, kau menunggu lama? Aku baru menemukan surat in—"

Tanpa kata, Joohyun beranjak begitu saja. Menarik pelan lengan Taehyung agar berpindah ke serambi samping. Lalu, memeluk erat tubuh tegap Taehyung dengan senyuman yang masih tertahan.

"A–apa yang terjadi...." kerjap Taehyung bingung sembari membalas pelukan Joohyun perlahan. Tersenyum bingung.

Joohyun mendongak pelan sebelum melepas begitu saja dekapannya. "Ada yang ingin ku berikan. Ku harap, kau tak menolaknya." Sama spontannya dengan perilaku alamiah Kim Taehyung, kali ini Joohyun mengambil sesuatu dari tas kecilnya sebelum mengajak Taehyung duduk bersama di serambi.

Kerut di dahi Taehyung kian menjadi, mendapati Joohyun menyodorkan sekotak kaleng kecil—seperti kotak coklat, tapi tampilannya begitu antik. Masih belum mengerti. Namun, Joohyun meminta dirinya membuka langsung lewat gerakan mata.

Taehyung bergerak patuh. Menarik praduga bahwa itu hanya kotak kaleng coklat biasa. Nyatanya, di dalam terdapat banyak sekali bundelan uang, buku tabungan, maupun beberapa perhiasan milik Yoo Joohyun. "Apa ... ini?" tuntutnya lewat kernyitan penasaran.

"Aku pernah mendapatimu melingkari iklan perumahan di koran yang ku minta. Hanya itu ... yang ku punya. Aku mengumpulkannya sejak berada di Seoul, dan ... aku belum pernah menggunakannya," sungging Joohyun tipis.

Mengerjap beberapa waktu, barulah Taehyung paham situasi sepenuhnya. "Tidak," gelengnya tegas.

Namun, tanggapan itu membuat senyuman di bibir Joohyun perlahan sirna. "Ku mohon, terima lah. Aku ingin berbagi. Kau ingin punya rumah 'kan? Aku ingin membantumu mewujudkannya. Aku hanya ingin hidupku berguna bagi orang lain, setidaknya ...," ujarnya pelan di akhir kalimat.

"Tapi, bukan begini caranya, Joohyun–ssi." Keduanya serempak berdiri dari dudukan, salah satunya mencoba meredam emosi tatkala mendapati keramaian kecil terdengar dari kedai Paman Min.

"Sungguh, tak apa. Simpanlah dan gunakan sesukamu. Aku tak mau menyimpan apapun di rumah itu. Dan, aku juga telah menyelipkan pin kartu tabunganku di sana. Jadi, pakai sesukamu."

"Kau semakin membuatku bingung. Kau ingin pergi 'kan? Aku benar?" desak Taehyung khawatir. "Kau tak percaya padaku? Kau tak mau menungguku sebentar saja?" Mengambil masing–masing pergelangan tangan Joohyun sembari menyudutkan perlahan ke tembok. Mengabaikan sirat cemas yang serupa Joohyun berikan.

"Demi apapun, aku tak bermaksud untuk itu!" jelas Joohyun tertahan. Menolak bersitatap dengan pemuda Kim yang kian menuntutnya untuk memberi penjelasan lebih. "Kau pernah bertanya ingin membawaku pergi 'kan? Jadi, pakai itu...." Gemetar pun mulai menjalar perlahan di sekujur tubuh Joohyun. Sumpah, ia takut setiap melihat Kim Taehyung berperilaku demikian. Sampai–sampai, ia lebih memilih berlindung dalam tundukan sembari menutup kedua telinga. "Ku mohon, jangan beri aku tatapan seperti itu lagi. Kau membuatku takut!" berontaknya kecil.

"Maaf...." Hanya kata itu yang mampu Taehyung cuatkan. Memberi ruang dan waktu bagi mereka sejenak, barulah Taehyung berujar pelan. "Tapi, aku tak mau menerimanya, Joohyun–ssi. Ini bukan hakku. Jika kau ingin, simpanlah pada Nenek saja."

Tak butuh berselang detik, Joohyun mendorong kecil tubuh Taehyung agar memberinya jalan sepenuhnya. Menyeret kaki cepat untuk segera pulang, tanpa perlu berujar lebih. Bahkan, saat Taehyung mencoba meraih bahunya untuk mencegah langkah, tepisan kasar itu Joohyun berikan tanpa menoleh sedikit pun.

Punggung kecil yang mulai berbelok dari pagar kayu Paman Min ditatapi Taehyung muram. Jujur, ia benci dengan diri sendiri setiap prasangka tak wajar ini selalu bersinggah tiba–tiba. Rasa bersalah itu masih ia pendam dalam–dalam, hingga baru tersadar jika senja telah berpamitan sepenuhnya dari ufuk Barat.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

"Minji pernah bertemu Ayah, Nek?"

Nenek Ryeo menggeleng. Meladeni pertanyaan Taehyung di suatu sore yang sunyi sembari menyelesaikan rajutannya. "Dia lebih malang darimu. Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Minji dibesarkan oleh orang tua Ibunya di Gangwon. Tapi, karena keluarga Ibunya begitu susah untuk mencari sesuap nasi saja, maka mereka menemuiku untuk mengurus Minji dalam kondisi bayi."

Tatapan Taehyung masih melurus, sebenarnya tak benar–benar memberi perhatian pada satu–dua warga yang melewati jalanan sepi dari serambi. "Ayah ... sejahat itu ya, Nek? Maksudku, dia melakukan hal yang sama padaku dan Minji. Bukankah ini sangat tak adil? Menghamili anak gadis orang lalu kabur begitu saja. Aku benci situasi ini."

"Ibumu pernah memberitahu tentang Ayahmu?"

Taehyung menggeleng singkat. "Aku ... lupa. Yang jelas, Ibu bisa tiba–tiba marah hanya karena wajahku sangat mirip dengan Ayah. Aku benci setiap disebut mirip dengan orang itu."

Tak jauh beda dari Taehyung, keresahan serupa juga turut bersinggah dalam diri Nenek Ryeo. "Aku juga tak tahu harus berkata apa," hela beliau berat. "Dulu, Kakekmu juga sangat menentang hubungan mereka. Ayahmu dikenal pemuda baik budi dan cerdas dari desa lain, Taehyung. Bahkan, tak ada yang mengira bahwa ia melakukan hal 'tak terpuji' pada Ibumu. Tapi, Ibumu tetap membelanya. Rela putus sekolah, memangkas seluruh cita–cita dan impian hidup lebih baik di Seoul demi mempertahankanmu."

Siluet sendu itu Taehyung dapati lewat lirikan diam–diam. "Maaf, Nek. Aku tak seharusnya terlahir seperti ini."

"Astaga, apa yang kau bicarakan?! Meskipun kau ku anggap sebagai anak nakal, tapi ... jangan sekali–kali kau mencoba mengatakan hal seperti itu di depanku!" gerutu Nenek Ryeo. Tak sampai hati dengan ucapan barusan.

"Maaf, itu saja yang ingin ku katakan. Aku baru–baru ini mendapati informasi dari temanku di Seoul." Rahang Taehyung perlahan menggertak, terikutkan kepalan buku–buku jari yang sesekali ia beri lirikan dingin. "Ayah ... telah hidup dengan baik di Gwangju, dan punya keluarga kecil yang membuatnya sudah merasa cukup."

Dengusan sinis itu terdengar jelas di rungu, membuat Nenek Ryeo masih terdiam. Memilih si cucu sulung melanjutkan seluruh ucapan.

"Minji juga sempat mendapat perlakuan tak mengenakkan dari teman–temannya. Ku pikir, dia juga layak tahu siapa Ayahnya yang sebenarnya kan, Nek?"

"Kau ... sendiri, bagaimana? Kau tak mau juga bertemu dengannya? Ayahmu?"

"Aku...." Mendadak, Taehyung hilang kata–kata. Enggan mengungkit dendam yang masih terbawa jika mengingat kenangan kelam bersama sang Ibu. "Aku bingung, Nek. Mungkin, akan ku pikir–pikir lagi nanti."

"Maaf, aku membiarkan Minji memanggilmu Ayah selama ini," tatap Nenek Ryeo pilu. "Aku hanya takut ... ia kehilangan figur nyata seorang Ayah. Meskipun, aku juga salah. Itu sangat membebanimu."

Sekali lagi, Taehyung membantah lewat gelengan keras. "Apa maksud Nenek? Aku tak terbebani, sungguh. Aku hanya terkadang merasa bersalah karena belum pantas bersikap selayaknya begitu. Aku hanya ... masih perlu mengendalikan emosi." Perhatiannya teralihkan pendek kala Minji baru saja muncul dari gerbang rumah. "Minji sudah pulang, Nek," ucapnya pelan.

Merasa paham dengan kode barusan, Nenek Ryeo mengangguk tenang. Membiarkan Taehyung beranjak masuk sebentar ke rumah, sebelum menyambut si cucu bungsu di serambi. "Minji, kau sudah pulang? Aku boleh meminta tolong?"

Langkah kecil itu melamban kemudian, si bocah turut mengerjap antusias. "Kenapa, Nek?"

"Ini ... tolong, temani Ayah ke kedai Paman Min. Sepertinya pesananku lupa diantar lagi sore ini."

Minji ber–oh pendek, lalu mengiyakan patuh. "Baik, Nek." Pipinya menaik senang mendapati wajah perempuan renta itu tersenyum lebih dulu.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Sebenarnya, Kim Minji bukan tipikal anak yang sulit diminta bantuan. Rasa pedulinya cukup tinggi pada sekitar, meski pada kesan pertama terlihat kasar dan tak bersahabat. Tepatnya, ia berbuat baik dengan caranya sendiri. Namun, jangan harap ia peduli pada hal yang membuatnya tak tertarik.

Setengah rute berjalan kaki, hanya senandung kecil yang keluar dari bibir tebal Minji. Sepertinya, perasaan bocah itu sedang baik. Membuat Taehyung merasa inilah momen yang tepat mengutarakan maksud sebenarnya. "Kau ingin bertemu ... Ayah?"

"Hah?" toleh Minji, membuat langkah keduanya turut terhenti serempak. "Ayah ingin aku bertemu dengan ... Ayah?" kernyitnya aneh. Bingung dengan susunan kata–kata sendiri.

"Hm. Bukan aku. Ayah. Ayah ... kita," serak Taehyung. Entahlah, Taehyung juga tak mengerti. Rasa–rasanya lidah ini terlalu berat dan kelu sekadar mengucapkan dua kata terakhir.

Tak menyahut. Minji memilih mempercepat langkah, mengabaikan satu orang dewasa yang masih memberinya tatapan heran dari kejauhan. Hingga tiba di kedai Paman Min, bibir Minji masih terkunci rapat. Pada satu akuarium kecil berisi empat ekor ikan guppy, barulah perhatian bocah itu teralihkan sepenuhnya.

Memberi lirikan sekilas pada Minji yang masih terbengong di depan kotak kaca, barulah Paman Min tersenyum ramah. "Kau menyukainya, Minji? Ikan–ikan itu diberi oleh saudaraku."

Minji mengangguk. Mendapati beberapa serpihan pakan mengotori air di akuarium. "Paman sering memberinya makan, ya?"

"Oh, tidak juga. Mungkin itu ulah anakku! Akhir–akhir ini, dia memang terlalu bersemangat dengan ikan–ikan itu," angguk Paman Min antusias sembari melayani beberapa pembeli.

"Jika aku boleh memberi saran, beri pakannya satu sampai dua kali sehari saja, Paman. Sisa–sisa makanan bisa berpengaruh pada kualitas airnya. Juga, ku lihat isi akuarium ini terlihat penuh. Itu juga kurang baik, mereka bisa stress nantinya. Setidaknya, itu hal kecil yang ku tahu, sih."

Decakan kagum terdengar dari Paman Min, turut disambut serupa oleh beberapa warga lain karena kecerdasan Kim Minji. "Benarkah? Whoa, aku belum pernah memelihara ikan hias. Terima kasih, Minji!"

Minji hanya tersenyum tipis. Menunggui sang Ayah yang masih sibuk di lorong belakang, sesekali bersandar kecil di meja kasir.

"Nah, ini kembaliannya."

Tak langsung menerima, Minji menghitung sebentar beberapa lembar uang di tangan. Mungkin karena banyaknya pembeli sore ini, Paman Min jadi kurang fokus—begitulah pikir si bocah Kim. "Uangnya lebih, Paman," tuturnya jujur. Meletakkan dua lembaran ke di hadapan Paman Min.

"Hah? Coba hitung lagi sebentar."

"Kali ini aku tak keliru, kok. Uangnya lebih."

"Benarkah?" Decakan kecil terkuak dari bibir Paman Min, sesekali menaikkan batang kacamata sembari menghitung uang kembalian. "Kau benar. Ya sudah, simpan untukmu saja."

"Tidak. Terima kasih, Paman. Kata Nenek, tak boleh menerima uang setelah melakukan kebaikan," tolak Minji halus.

"Hmm. Begitu, ya? Kalau begitu, tunggu di sini." Paman Min bergegas menuju rak pendingin minuman, bermaksud menukarkan uang lebih itu dengan dua buah eskrim saja. Taehyung mengamati itu semua dengan senyuman tertahan lewat sesekali intipan. Tak jauh beda dengan beberapa warga lain yang turut memberi pujian serupa.

"Kim Minji, kau benar–benar cerdas. Tak salah Nenekmu suka mengatakan hal serupa," puji pria seusia Nenek Ryeo. "Kalau boleh tahu, apa cita–citamu?"

"Cita–cita?" Minji memainkan jemarinya ragu sebelum menyahut lesu. "Apa itu cita–cita? Cita–cita hanya untuk orang yang punya uang. Kalau aku fokus pada cita–citaku, tak ada yang menjaga Nenek nantinya."

Mendadak, kedai Paman Min diisi oleh kesunyian setelah mendengar jawaban si bocah barusan.

"Aku tak mau punya cita–cita. Aku hanya ingin membantu Nenek."

Cekungan di bibir Taehyung perlahan sirna. Berganti oleh rahang yang menajam keras. Sial, siapa yang mengajarkan Kim Minji berpikir begitu?!

Salah seorang Ibu muda berceletuk halus, bermaksud melerai kecanggungan. "Itu tak benar, Minji. Memang, dari mana ... kau tahu hal seperti itu?"

"Paman Polisi Nam," celos Minji enteng. "Paman itu bilang ... dia juga pernah punya cita–cita. Tapi, seiring waktu berlalu dia memilih membuang cita–cita itu. Berpikir jika hidup memang butuh uang. Katanya; bekerjalah untuk uang dan harga diri, bukan untuk menggapai mimpimu. Begitu."

Ucapan itu seakan menampar Taehyung secara tak langsung. Pasalnya, pola pikir Minji sekarang persis seperti gambaran Kim Taehyung semasa kecil. Dan, sekarang ... Nam Jeongguk telah berhasil 'menanamkan' pola pikir serupa tentangnya pada Kim Minji.

.

.

"Hyeong, apa cita–citamu?" tanya Jeongguk kecil saat mereka mencoba mencari belalang di sekitar tepi sungai.

Taehyung menoleh sebentar sebelum menyahut sungkan. "Aku ... takut memikirkan hal itu."

"Kenapa? Bukankah itu pertanyaan yang sering diajukan untuk anak–anak seusia kita?"

Belasan detik mendiamkan, barulah Taehyung berhela sesak. Menghindari sesekali longokan penasaran yang bocah Nam berikan padanya. "Aku sangat suka menggambar. Tapi, Ibu selalu memarahiku setiap mendapatiku melakukan hal serupa. Jika aku terlalu fokus pada bakatku, tak ada yang membantu Ibuku nantinya."

Jeongguk ber–oh paham. Tertegun sebentar sebelum lagi–lagi menghampiri Taehyung yang selalu seolah menjaga jarak. Mungkin, karena satu pertanyaan sensitif tadi. "Kau benar, Hyeong. Sepertinya masalah kita sama," gerutunya malas. "Orang tua ku juga selalu memaksaku menjadi apa yang mereka mau. Aku lebih suka sains dan membaca buku. Tapi, mereka malah memintaku untuk lebih banyak berada di luar rumah."

Cengiran sinis Taehyung terlempar muak ke arah langit biru, membuat bocah di sebelahnya malah mengernyit heran. "Tapi masalah hidup kita berbeda, Jeongguk. Kau setidaknya harus bersyukur dengan apa yang kau punya. Hidup kita jelas berbeda. Aku hidup untuk uang. Berbanding terbalik denganmu yang tak perlu bersusah payah berpikir keras dan mengeluarkan banyak tenaga hanya untuk sesuatu yang kau makan esok hari."

Ucapan skeptis barusan belum serta–merta Jeongguk sahuti. Ia mencabut asal ilalang liar di sekitar kaki, barulah kembali bertanya pendek. "Tapi, Jimin Hyeong pernah bilang ... kalian ingin menjadi Polisi 'kan?"

Gelengan pelan itu Taehyung lemparkan, menoleh sekena sebelum meladeni panggilan Jimin dan bocah–bocah lelaki lain dari kejauhan. "Entahlah. Di masa depan, aku akan bekerja untuk uang dan harga diri. Bukan untuk menggapai mimpiku."

"Rasanya, kita baru mengenal satu–dua hari. Tapi, aku sudah mendapatkan banyak hal hebat darimu. Terima kasih, Hyeong!" sungging Jeongguk tulus.

.

.

Sesak itu merambat dada perlahan, membuat Paman Min turut memberi tatapan iba ke arah pemuda Kim yang terpaku di salah satu sekat. Menarik napas panjang, Taehyung memunculkan diri begitu saja ke meja kasir. Nam Jeongguk keparat! "Berhenti berkata seperti itu, Kim Minji!" bentaknya marah. "Kau harus bersekolah tinggi! Kau harus punya cita–cita! Aku akan melakukan apapun untukmu, meski harus mengorbankan nyawaku sendiri!"

"Lalu, cita–cita Ayah ... apa? Apa karena mengejar cita–cita ... Ayah sampai tak menghubungi Nenek selama ini? Sibuk? Atau, baru ingat jika punya keluarga?" tantang Minji tajam. Lebih murka.

"KIM MINJI!!"

Kaki kecil Minji berlari cepat ke luar dari kedai, seiring dua bungkus eskrim yang terjatuh dari genggaman Paman Min. Menghampiri Taehyung yang masih dikepung amarah lewat deru tertahan, disusul seorang warga lain yang berniat menyusul Minji yang tak bisa lagi dikejar. "Taehyung, redam amarahmu. Minji masih kecil, emosinya belum stabil," lerai Paman Min sembari menepuk sesekali bahu Taehyung. "Maaf, tak seharusnya aku membiarkan Minji berlama–lama di meja kasir."

Tidak, yang sepantasnya disebut bocah adalah aku. Kepalan Taehyung melonggar perlahan, tak menyahuti beberapa permintaan maaf karena mengungkit perdebatan di antara dua cucu Nenek Ryeo. "Tidak. Ini salahku. Aku minta maaf," akui Taehyung pelan.

Marah. Taehyung marah pada dirinya di masa lalu yang membuat itu semua kembali menjadi bumerang di masa depan. Benar, ini bukan salah Nam Jeongguk. Bukan pula salah siapapun. Mutlak, ini ... salahku. "Maaf, aku minta maaf. Aku membuat keributan kecil," ulangnya sekali lagi sebelum berpamitan sopan. Penuh sesal.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Kepulangan Taehyung yang berparas lesu sembari memikul kardus belanjaan disambut heran oleh Nenek Ryeo yang tengah menyapu halaman. "Taehyung, kenapa denganmu? Di mana Minji?"

"Minji ... belum pulang, Nek?" tolehnya kaku ke sekitar. "Oh, mungkin ke rumah temannya. Sebentar lagi juga pulang, hm." Bibir itu tersenyum tipis, seraya meninggalkan sang Nenek yang terbengong diliputi segudang tanya.

Sayangnya, kemunculan Kim Minji belum terlihat hingga hari mulai gelap. Air muka Nenek Ryeo terlihat gelisah, menghampiri Taehyung yang baru saja ke luar dari kamar mandi. "Minji belum juga pulang, Taehyung. Dia tak biasanya begini. Aku sudah bertanya pada orang–orang sekitar, tapi ... tak ada yang tahu ke mana Minji pergi. Ada yang bilang kalian sempat bertengkar hebat di kedai Paman Min. Apa yang terjadi?" dongak beliau cemas.

Tak sanggup lagi berkata apapun, Taehyung buru–buru mengambil jaketnya dari dalam kamar. "Biar aku yang mencari Minji, Nek." Berniat menuntaskan seluruh kesalahan sembari deru terpompa hebat. Tepatnya, Yoo Joohyun dan Kim Minji serempak menambah kegelisahan baru dalam diri seorang Kim Taehyung. []—



a/n: sejauh ini menurut kalian, ayah bunda nya minji ada bibit2 toxicnya ga? 🤔

Continue Reading

You'll Also Like

757K 75.7K 53
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
14.3K 1.2K 20
Naruto x Hinata Ada rahasia dari kejadian yang dialami Hinata, sehingga membuatnya harus menghabiskan hari-hari dengan Naruto, sang dokter yang berha...
11K 450 2
(Mature๐Ÿ”ž) Menjadi sekretaris seperti Jeon itu tidak enak.