happier than ever. [vrene] โœ”๏ธ

Por wafleur

4.2K 742 2K

โ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ช๐˜ด ๐˜ด๐˜ต๐˜ฐ๐˜ณ๐˜บ ๐˜ช๐˜ด ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ต ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜บ ๐˜ง๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฅ ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ด ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜ช๐˜ณ ๐˜ฐ๐˜ธ๐˜ฏ ๐˜ธ๐˜ข๐˜บ.โž Tak... Mรกs

๐ฉ๐ซ๐ž๐ฅ๐ฎ๐๐ž.
๐Ž๐Ÿ. ๐Œ๐จ๐ซ๐ง๐ข๐ง๐ , ๐’๐ฎ๐ง.
๐Ž๐Ÿ. ๐’๐ฐ๐ž๐ž๐ญ ๐๐จ๐ญ๐š๐ญ๐จ.
๐Ž๐Ÿ‘. ๐‹๐š๐ญ๐ž๐ซ, ๐๐ž๐ญ๐ญ๐ž๐ซ.
๐Ž๐Ÿ’. ๐Œ๐จ๐ซ๐ž ๐“๐ก๐š๐ง ๐–๐จ๐ซ๐๐ฌ.
๐Ž๐Ÿ“. (๐ง๐จ๐ญ) ๐…๐ข๐ง๐ž ๐š๐ญ ๐€๐ฅ๐ฅ.
๐Ž๐Ÿ”. ๐‚๐š๐ซ๐ข๐ง๐จ.
๐Ž๐Ÿ•. ๐๐ข๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐ฌ๐ฐ๐ž๐ž๐ญ.
๐Ž๐Ÿ–. ๐„๐ฆ๐จ๐ญ๐ข๐จ๐ง๐š๐ฅ ๐–๐ž๐ข๐ ๐ก๐ญ.
๐Ž๐Ÿ—. ๐’๐ฎ๐ฆ๐ฆ๐ž๐ซ ๐’๐œ๐š๐ซ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ÿ. ๐“๐ฐ๐จ ๐๐ข๐ž๐œ๐ž๐ฌ ๐จ๐Ÿ ๐‚๐š๐ง๐๐ฒ.
๐Ÿ๐Ÿ. ๐๐ฅ๐ฎ๐ญ๐จ.
๐Ÿ๐Ÿ‘. ๐๐ฎ๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐Ÿ๐ฅ๐ฒ ๐„๐Ÿ๐Ÿ๐ž๐œ๐ญ.
๐Ÿ๐Ÿ’. ๐“๐ก๐ž ๐‡๐จ๐ง๐ž๐ฌ๐ญ ๐“๐ซ๐ฎ๐ญ๐ก.
๐Ÿ๐Ÿ“. ๐‡๐จ๐ฎ๐ซ๐ ๐ฅ๐š๐ฌ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ÿ”. ๐๐ข๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐ง๐ž๐ฌ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ÿ•. ๐’๐ฎ๐ง๐ฌ๐ž๐ญ ๐ข๐ง ๐˜๐ž๐จ๐ฌ๐ฎ.
๐๐จ๐ง๐ฎ๐ฌ ๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ: ๐’๐ฎ๐ฆ๐ฆ๐ž๐ซ ๐๐ฅ๐ฎ๐ž ๐ข๐ง ๐’๐ž๐จ๐ก๐š.

๐Ÿ๐Ž. ๐๐ฅ๐ฎ๐ž ๐‡๐ž๐š๐ซ๐ญ.

195 32 104
Por wafleur

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟏𝐎

𝐁𝐥𝐮𝐞 𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭.

Malam–malam sebelumnya, Taehyung sengaja menunggui sang Nenek yang masih terduduk merajut di depan televisi. Jujur, ia pun belum bisa terlelap. Entah mengapa, akhir–akhir ini firasat khawatir tentang Yoo Joohyun seakan berpadu dengan mimpi buruk tentang kondisi Ibunya di masa lalu.

"Taehyung, kau belum tidur?"

Tanpa tolehan, suara itu menginterupsi tiba–tiba. Membuat Taehyung memunculkan diri dari belakang, mengisi dudukan kosong di atas lantai kayu. "Sebenarnya, ada yang ingin ku tanyakan. Tentang Yoo Joohyun, Nek," ungkitnya muram.

"Tentu. Katakan saja," angguk Nenek Ryeo ramah.

Taehyung tertegun sebentar, guna menggali ingatan yang masih membuatnya penasaran. "Aku ... tak sengaja mendapati bekas luka bakar di bahunya. Sebenarnya, aku juga belum bisa memastikan dengan jelas. Tapi, aku yakin sekali ... itu hanya sebagian kecil yang ku lihat."

Nenek Ryeo meletakkan alat rajutnya, sebelum tatapan sendu itu terlempar ke si cucu sulung. "Minji sudah tidur?"

Anggukan itu Taehyung berikan setelah menoleh sekilas ke pintu kamar Minji. Sengaja mengeraskan volume televisi agar obrolan mereka tak didengar, barangkali Minji belum tidur di kamarnya. "Mungkin sudah."

"Kau siap mendengar semuanya? Tentang ... Yoo Joohyun?" tanya sang Nenek sekali lagi.

"Apapun itu. Tolong beritahu aku, Nek. Aku tak mau membuat kesimpulan kasar dan menerka–nerka lagi," sela Taehyung tak sabar.

Mengambil helaan berat beberapa saat, Nenek Ryeo bersiap mengeluarkan seluruh kenyataan pahit tersebut. "Sewaktu kecil, Joohyun mengalami banyak penyiksaan fisik oleh Ayahnya. Mereka keluarga yang bahagia dan berkecukupan pada awalnya. Tapi, keadaan itu berubah drastis setelah sang Ibu depresi karena Ayah Joohyun yang tiba–tiba dipecat dari pekerjaan dan tak tahan dengan perilaku 'ringan tangan' seiring masalah itu datang. Ibunya kabur, dan tak pernah kembali. Meninggalkan Joohyun yang masih belum mengerti apapun dan sang suami dalam keadaan ekonomi terpuruk dan terlilit banyak hutang. Disusul perilaku Ayah Joohyun yang semakin bingung melampiaskan segala emosi. Bahkan, Joohyun pernah mengalami koma beberapa hari karena dihukum berdiam di luar rumah saat memasuki puncak musim dingin."

Kepalan Taehyung terkepal keras di atas meja, hampir kaleng minuman di genggamannya yang lain remuk sepenuhnya. Kini Taehyung yang menarik napas dalam–dalam, berpaling wajah agar matanya yang memerah tak disadari oleh sang Nenek.

'Ibuku hanya seorang Ibu rumah tangga, dan Ayahku ... Atlet gulat. Untungnya, dia sudah mati.'

Jelas, gadis Yoo itu berbohong sejak awal. "Pria itu ... masih hidup?" toleh Taehyung kecil.

Nenek Ryeo berparas sendu, masih mengingat jelas wajah Joohyun yang terisak sesak saat menguak seluruh kebenaran itu padanya. "Ayahnya sedang menjalani proses hukum di Seoul."

"Lalu, apa hubungannya dengan keluarga Nam?"

"Mereka kerabat jauh dari Ibu Joohyun. Meminta Joohyun sebagai putri angkatnya sejak lama, dan Joohyun menginjakkan kaki ke Seoha sejak dua tahun lalu."

"Itu saja yang Nenek tahu? Lalu, hubungan dengan Nam Jeongguk?" Lirikan Taehyung perlahan menajam. Sebenarnya ia tak siap mendengar seluruh hal yang akan terucap, tapi ia harus mengantongi semua fakta itu.

"Hah? Nam Jeongguk ... putra Kepala Desa?" terka Nenek Ryeo samar. "Aku tak begitu mengenalnya. Mereka mengirimkan putranya ke Seoul setelah kau juga pindah sewaktu kecil. Pun, Joohyun tak pernah menceritakan apapun tentang itu, meski ... aku punya firasat tak nyaman dengan perlakuan kecil Keluarga Nam. Sebentar, dia ... anak yang pernah kau selamatkan dari arus sungai 'kan?"

Bukan dia, seharusnya—satu kalimat yang tak akan sanggup ia tumpahkan jujur di hadapan sang Nenek. Taehyung hanya tersenyum tipis. "Oh, begitu. Terima kasih, Nek." Hampir beranjak dari dudukan mencari peralihan lain jika saja Nenek Ryeo tak mencegah lebih cepat.

Tangan keriput itu membungkus punggung tangan si cucu sulung, Nenek Ryeo berhela pelan. "Aku paham perasaanmu," kerjap beliau khawatir. "Taehyung, jika kau benar–benar menaruh serius pada Joohyun ... tolong, jangan sia–siakan kepercayaan itu. Dia sudah begitu terluka di masa lalu. Dia sangat tertutup dan selalu tersenyum. Aku benar–benar takut terjadi hal buruk padanya."

Lantas, Taehyung meladeni tatapan Nenek Ryeo. Teramat serius. "Bukan hanya Yoo Joohyun. Tapi, Nenek juga Minji—kebahagiaan kalian bertiga akan ku pikul kuat di bahuku."

.

.

Jemari Taehyung sesekali masih terselip di rambut coklat gelap Joohyun, kendati sesegukan menyedihkan itu lambat laun tak terdengar lagi. Entah karena terbawa lelah dan pusing, hening pun perlahan menyelimuti kamar kecil minim properti tersebut.

"Sungguh, aku iri denganmu. Kau melampiaskan emosimu dengan sangat baik, tanpa perlu memikirkan perasaan orang–orang di sekitarmu. Seperti yang pernah kau katakan, aku ... munafik." Kerjapan lamban Joohyun bertumpu ke arah tembok, tak lagi membalas pelukan erat Taehyung akibat luapan emosi tadi. Hanya menyandarkan pelipisnya di bahu Taehyung, sekaligus mencoba menetralisir rasa pusing di kepala.

Taehyung berkali–kali memberi gelengan, pertanda ucapan pelan Joohyun barusan tak serta–merta ia benarkan. Mengusapi punggung telanjang Joohyun penuh kehangatan, meski sesekali turut ia rasakan bahwa struktur kasar bekas luka bakar itu juga ada di sana.

Bibir Joohyun tergigit getir, semua kenangan masa kecil itu masih terlalu jelas untuk ia singkirkan dengan mudah. Bahkan, seluruh air mata yang ia keluarkan selama ini tak akan sanggup membayar itu semua. "Aku tak tahu ... kenapa Ayahku memilih untuk melampiaskan amarahnya di tubuhku daripada wajahku? Atau, lebih baik nyawaku? Kenapa dia tetap membiarkanku hidup?" kerjapnya kosong.

"Joohyun–ssi," sela Taehyung iba.

"Melihat selama ini kau begitu mempercayakan seluruh ceritamu padaku, aku juga ingin melakukan hal serupa. Aku belum pernah melakukan hal ini pada siapapun, ku harap kau tak keberatan." Joohyun mengambil jarak bagi mereka, menangkup masing–masing pipi Taehyung yang sedari tadi turut basah meski suara tangisan itu lebih tak terdengar darinya. "Tolong lukis aku untuk hadiah ulang tahunku, ya. Ini sudah ku pikirkan jauh–jauh hari. Aku ingin menjadikan ini sebagai kado terbaik sepanjang hidupku. Sudah lama aku bemimpi menjadi model seorang seniman," serak Joohyun sembari menyeka teratur pipi Taehyung yang sesekali masih dialiri bulir–bulir bening. "Jika pun kau membenci tubuhku, anggaplah jika bekas–bekas menjijikkan ini tak pernah ada. Ku mohon, Ayah Minji. Tolong, kabulkan permintaanku satu ini. Aku percaya padamu."

Cekungan di bibir itu membuat Taehyung berpaling ke sembarang arah. Jujur, ia memang tak pernah merasa menangis dengan sesuatu hal yang tak penting. Bahkan, tak ada air mata yang mengalir saat sang Ibu ia lihat terakhir kali terbujur lemah di ranjang rumah sakit. Tapi, untuk pertama kali kembali ... Kim Taehyung memberikan sisi lemahnya di depan orang lain. Serupa dengan Yoo Joohyun.

'Tak apa menangis, Taehyung. Menangis bukan berarti kita lemah. Tapi, terkadang ... ada banyak hal yang tak bisa diungkapkan oleh kata–kata. Ibu percaya, kau lebih kuat dari yang Ibu dan orang–orang kira.'

Rahang Taehyung masih saja bergerus keras, satu–satunya pelampiasan terbaik baginya adalah amarah. Bajingan, pria itu lebih pantas membalas semuanya dengan nyawa dibanding kurungan penjara! Tapi, lagi–lagi Joohyun berhasil meredam itu semua lewat senyuman terbaiknya.

"Sudah, berhenti menangis. Menangis di hari ulang tahun akan mendatangkan hal buruk, hm? Selamat ulang tahun, Ayah Minji. Selamat ulang tahun, Yoo Joohyun. Selamat ulang tahun, dua kentang bodoh," serak Joohyun tulus.

Lalu, tepukan kecil itu Taehyung dapati di lengannya. Membuat ia tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan Joohyun satu itu. Mengambil jeda menit sekadar persiapan panjang. Menghempas seluruh amarah dan emosi lainnya terhadap kisah masa lalu Joohyun sebelum beranjak ke sudut lain di kamarnya. Mempersiapkan beberapa alat lukis dengan jemari yang sesekali masih bergetar samar. Hampir ia meninju tembok sebagai luapan pelampiasan.

Di sisi lain, Joohyun memberi punggung demi menyeka kasar seluruh bulir yang tersisa hingga pipinya mengering seperti semula. Menarik napas panjang seolah tak terjadi apapun dan bersikap baik–baik saja. Ia telah terbiasa dengan 'pergantian topeng' secepat kilat seperti itu. "Bagaimana menurutmu posisi yang tepat?" Joohyun berbalik kembali, mengatur dudukannya di atas ranjang sembari merapikan rambut. "Ah, ya ... aku ingin diselipkan gambar seperti yang kau gambar sewaktu itu. Kupu–kupu, bunga matahari, langit biru, tapi ... terserah kau saja," cengirnya. "Semua ku percayakan padamu. Aku bangga menjadi model pertamamu, Ayah Minji."

Taehyung tersenyum tipis seraya mengatur helaan. "Tak apa, senyamanmu saja. Bagiku, kau selalu terlihat cantik," pujinya tulus. Joohyun benar, ia adalah model pertama bagi Kim Taehyung. Selama ini, Taehyung tak pernah meminta langsung bahkan mendapat permintaan dari siapapun untuk menjadi model lukisannya. Termasuk, sang Ibu sendiri yang menentang bakat terpendam si putra tunggal.

"Sumpah, aku sangat gugup," celos Joohyun yang dibalas tawa pelan oleh pemuda tak jauh di hadapan. Beberapa kali merapikan rambut yang terjatuh di bahu sebelum memutuskan posisi yang pantas untuk diabadikan.

"Mungkin, kau bisa ... berbaring? Atau, jika bekas luka itu masih terasa sakit ... kau bisa duduk saja," instruksi Taehyung serius sembari membenahi sekali lagi kertas kanvas dan wadah catnya.

"Tapi, aku ingin ... semua bekas luka ini terlihat jelas," celetuk Joohyun jujur. "Maaf, kalau begitu ... baiklah."

Taehyung beranjak dari pijakan, mengambil sebuah kursi untuk Joohyun. "Duduklah." Menunggu Joohyun mengerjap sebentar sebelum mengisi dudukan yang ia maksud. Setelah gadis Yoo itu duduk, punggung Taehyung merendah sembari membantu membenahi rambut Joohyun di bahu. "Tak apa. Kau sempurna, Yoo Joohyun. Jangan lupakan satu hal itu," ungkapnya setelah memberi ciuman singkat di bibir Joohyun.

Joohyun merasa sedikit panas dan malu di pipi, mengamati dalam diam Taehyung yang kembali pada tempatnya. Larut memindahkan objek dirinya ke dalam sketsa kasar sebelum menuangkan komposisi warna terbaik ke dalam kanvas sebagai campuran imajinasi yang telah terkubur sangat lama.

Hening merajai setiap sudut ruangan kediaman Nenek Ryeo, titik–titik air telah menghujani dari luar rumah sejak satu jam lalu. Sketsa Yoo Joohyun hampir rampung, selama itu pula lah Taehyung berusaha mengendalikan diri dalam kabut amarah. Ia tahu, melukis bukan sekadar menuangkan objek dan fantasi dalam kertas gambar. Tapi, juga harus menyelaraskan seluruh emosi ke dalamnya. Dan, dalam kondisi ini ... ia tak bisa menuruti ego sendiri dalam pemilik objek indah seperti Yoo Joohyun. Hingga pensil itu patah karena tekanan pelampiasan amarahnya sendiri. "Maaf, ku kira sampai di sini dulu," tutup Taehyung.

Kerjapan Joohyun bersirat kaget, terbangun dari lamunan yang sejak tadi menjadikan Taehyung sebagai objek ketenangan hatinya. "Kenapa?" tanyanya gusar. Mengamati Taehyung mengemasi kembali perkakas lukis dalam diam. "Kau ... masih marah?"

Taehyung tak menyahut. Memilih memunguti pakaian Joohyun di atas lantai dengan wajah yang masih terlampau mengeras. Sungguh, bekas–bekas luka di tubuh Joohyun semakin membuatnya larut dalam dendam tiba–tiba. Tak akan pernah memaafkan siapapun orang itu. "Aku sudah selesai. Setelah ini, pulanglah," ketus Taehyung.

"Sudah ku bilang aku tak mau pulang. Kau tuli?" tatap Joohyun kecewa. Menepis kasar tangan Taehyung yang berulang kali menyodorkan pakaian miliknya.

"PULANGLAH, YOO JOOHYU—"

Tamparan itu Joohyun berikan ke pipi kiri Taehyung. Sangat keras. Sampai rasa panas itu turut ia rasakan di telapaknya. "Bajingan," maki Joohyun. Penuh kebencian.  Belum saja tamparan baru hendak ia layangan lagi ke pipi Taehyung, namun lelaki itu segera mencengkeram erat kedua pergelangan tangannya hingga hampir remuk. Lalu, ciuman yang begitu kasar bersinggah di bibir Joohyun. Membuat ia terdorong paksa hingga punggungnya terjatuh di atas kasur.

Luapan amarah bercampur tak sabar tersirat dalam pagutan bibir keduanya. Menciptakan cecapan hingga suara–suara makian yang tertahan di dalam bibir, hingga seiring waktu lebur menjadi lenguhan penuh hasrat. Tak ada yang sudi mengalah. Keduanya mengadu imbang seolah ingin mendominasi satu sama lain.

Joohyun kian kewalahan, sebenarnya. Meladeni lidah maupun saliva yang menguasai seisi mulutnya tanpa jeda seolah dirinya hanya pemain amatir. Sedangkan, tangan kanan pemuda Kim tak lagi mencengkeram pergelangan kirinya yang memerah. Entah sejak kapan berpindah menjejaki turun setiap inci tubuhnya hingga usapan kelima jari Taehyung di antara pahanya membuat punggung Joohyun melengkung tiba–tiba. "Mmhh!"

Terengah–engah, Taehyung melepas paksa tautan bibir mereka yang sejak tadi kian tak bisa terkendali. Bersandar kening dengan Joohyun yang turut memberinya tatapan menyerah. Sedangkan, dua jarinya mulai meminta celah untuk memasuki si liang madu nan menggoda. "Kau ... yang memintaku memulainya ...," gertak Taehyung marah.

Bilah bibir Joohyun hanya bergetar bingung. Tak menemukan kata–kata yang tepat untuk mewakilkan sensasi aneh yang mulai menjalar hingga ujung kaki. Sembari mengatur deru, Joohyun menggerakkan pinggul saat jari–jari panjang Taehyung masih berkinerja di bawah sana dengan pola melingkar. "Tunggu—akh!" serunya susah payah.

Tangan kiri Taehyung tak lagi menahan pergelangan Joohyun, telah berpindah guna bertumpu siku di sisi kepala sang gadis. Membuat Joohyun lekas mencengkeram erat masing–masing bahu lebar Taehyung. Tubuhnya bergerak tak karuan, seiring Taehyung mengendalikan pusat tubuhnya sesuka hati di bawah sana. Setelah beberapa waktu helaan kasar dari bibir salah satunya terdengar, barulah Taehyung sadar dengan apa yang telah ia perbuat.

Licin menyelimuti jari tengah dan jari manis Taehyung, usai Joohyun mencapai pelepasan beberapa detik lalu. Sial, apa ... yang telah ia lakukan? "Maaf ...," gumamnya. Penuh sesal. Bukan seperti ini caranya memperlakukan orang yang kau cintai jika hanya menuruti ego sepihak. "Punggungmu ... sakit?" kerjap Taehyung khawatir.

Joohyun menggeleng lemah di depan wajah maskulin Taehyung. Baru sadar bila sudut bibir mereka meninggalkan titik kemerahan samar. Mungkinkah ... karena benturan dan gigitan tadi? Bagi manusia normal, udara yang melingkupi sekitar memang selayaknya dingin. Tapi, suhu panas itu telah melingkupi sekujur tubuh Joohyun lebih dulu. "Kau ... masih utuh," ujarnya sembari mengatur dada yang sesekali masih menaik–turun.

Taehyung paham, yang Joohyun maksud barusan adalah pakaiannya. Maka, Taehyung mengambil jeda untuk mengambil jarak menuruni kasur. Melepas teratur arloji dan satu–persatu pakaiannya hingga kain–kain itu bertumpukan acak di atas lantai. Tanpa melepas pandang dari Joohyun yang masih mengerjap lamban. Munafik bila ia berpura–pura mengabaikan bayang–bayang pemuda Nam yang sebelumnya telah membuat Joohyun lebih 'hancur' daripada ini.

Lalu, kernyitan pelan itu terukir di dahi Joohyun. Mendapati pinggangnya diangkat pelan. Taehyung menyelipkan bantal miliknya di bawah punggung Joohyun sebelum menindih gadis itu kembali. "Kau ... selalu penuh kejutan," puji Joohyun lirih. Masih tersengal–sengal. "Kau benar, aku ... takut. Putra Kepala Desa ... dia memaksaku melakukan banyak 'hal' yang tak sepantasnya ku lakukan. Tolong, bantu aku. Bantu aku ... menghapusnya dari kepalaku."

Aku tak sama sepertinya. "Aku akan menghapus lukamu," lekat Taehyung. Seluruhnya. Menghujani wajah Joohyun dengan ciuman penuh kehangatan dan usapan di dahi sesekali. Tak lagi memburu waktu dan menuruti nafsu semata seperti tadi. Kali ini, Taehyung memandang Yoo Joohyun sebagai wanitanya. Bukan objek hina yang sekadar memenuhi kehendak fantasi seks sepihak seperti pria–pria bajingan di luar sana.

Kelopak Joohyun terpejam erat, membiarkan permukaan bibir Taehyung yang lembab menyapa setiap inci wajahnya. Begitu teratur. Sampai–sampai Joohyun terlalu hanyut dalam tiap kata–kata manis yang Taehyung bisikkan. Lalu, perlahan suara itu terbesit kala bibir sang pemuda menyapa sela leher Joohyun.

'Ini cinta, Noona.'

"Aku mencintaimu, Yoo Joohyun."

Tidak. Dia ... Kim Taehyung. Akhirnya Joohyun berhasil menambatkan sosok pemuda Kim itu tanpa khawatir dihantui bayang–bayang kelam pemuda Nam itu lagi. Hanya Kim Taehyung.

Deru hangat Taehyung tak jarang terperangkap di kulit Joohyun dalam beberapa kali sesapan lembut yang ia tinggalkan di lekukan leher itu. Perih—itu yang baru saja ia rasakan kala ujung–ujung kuku Joohyun mencakar kecil punggungnya. Yang jelas, tak seberapa dibanding gigitan yang telah Joohyun tinggalkan di bahunya juga tamparan tadi. Cinta itu 'buta' dan gila, memang. "Katakan jika sakit."

Joohyun membuka mata pelan, tak perlu memberi jawaban bahwa tubuh mereka sama–sama ingin. "Lakukan apapun. Sesukamu." Mengekori tatapan ke arah Taehyung yang mulai menggerakkan bibir pada tiap jengkal bekas lukanya. Hingga deru hangat itu terhenti di dua bukit elok yang mustahil untuk dilewatkan.

Sempat memberi jeda, Taehyung membiarkan kesepuluh jemari lentik Joohyun berselip di antara rambut hitamnya. Memberi jambakan kecil sebagai pelampiasan acapkali isapan maupun lidahnya menyapa satu puting Joohyun sedangkan tangan kanannya memberi remasan lembut di payudara kiri Joohyun.

Memabukkan. Tak ada hal lebih yang Joohyun ingat atas menit–menit terbaik mereka yang telah berlalu. Yoo Joohyun belum terbiasa dengan sentuhan pemuda Kim yang seringkali tanpa aba–aba. Namun, tak bersirat ingin mengurungnya dalam hasrat penuh obsesi.

Pula, entah sejak kapan Taehyung menuntun kelima jari lentik Joohyun untuk membantu memijat asetnya. Bersamaan. Hingga si 'jantan' menegang sebelum bersinggungan nakal dengan liang hangat si Hawa. Sebelum pusat tubuh keduanya dipertemukan dalam belenggu kabut hasrat. Ini ... jelas cinta 'kan? Satu pertanyaan acak itu tiba–tiba saja hinggap di satu kepala.

Tak ada kata–kata yang tercelos dari alat ucap keduanya. Masing–masing sibuk dengan peran dan lenguhan yang tak terkendali kala antar kulit licin itu saling dipertemukan. Menciptakan suara–suara 'khas' yang dimaklumi untuk pasangan yang tengah dimabuk cinta. Hanya lewat kerjapan dan tatapan yang tak bisa mangkir ke mana–mana, mereka sudah paham ke arah mana semua ini akan berakhir.

Sungguh, Taehyung tak ingin egois. Tapi, salahkah jika ia menginginkan diri sebagai satu–satunya orang yang pantas dalam hidup Yoo Joohyun? Tak apa jika mereka 'bercinta' untuk malam ini saja. Tak apa sekalipun Joohyun tak sudi merapalkan namanya dalam tiap temu sapa. Asalkan Joohyun selalu bersamanya. Juga, ia tak mau dilupakan.

Sedangkan, gerak tubuh Joohyun kian turut tak terkendali dalam dorongan Taehyung yang mulai dipercepat itu. Panas. Sesak. Licin. Menuntut untuk segera mencapai puncak kenikmatan. Bahkan, Joohyun beberapa kali menggigit kuat bibir dan menutup mulut agar suara–suara dari bibirnya tak mengacau suasana. Ia masih malu, jelas.

Paham dengan situasi itu, Taehyung menyingkirkan pelan tangan Joohyun dari sana. Berisyarat tak ada yang perlu disembunyikan. Termasuk, suara. "Tak apa. Lepaskan semuanya," pinta Taehyung lembut. Menyeka sesekali tetesan peluh di dahi Joohyun yang berasal dari wajahnya. Memaklumi bahwa ini interaksi intim pertama mereka di ranjang.

Joohyun bergeleng sesekali dalam dorongan Taehyung. Menahan rasa sakit di tubuh juga debaran hebat tiap kali Taehyung mengajaknya bersitemu tatap saja. Kedua pahanya kian memberi celah dalam setiap usapan Taehyung di lekukan pinggulnya, sebelum ciuman panas itu kembali membungkam rintihan kecilnya dalam setiap perguluman bibir mereka.

Hingga puncak senggama itu tiba bagi mereka. Taehyung mengeluarkan pusat tubuhnya lebih dulu, membiarkan liquid miliknya mengenai perut dan sekitar paha Joohyun. "Kau ... tak boleh seperti Ibuku," gelengnya dibarengi deru yang terpompa hebat. Dan, aku juga bukan seperti Ayahku. "Setidaknya, kita harus meraih mimpi bersama."

Joohyun menyamankan posisi baringan kala Taehyung menindihnya dalam pelukan sejenak. Menahan bobot tubuh pemuda Kim seraya mengusapi punggung tegap yang basah dibanjiri keringat sebelum kembali bersitemu pandang. "Maaf, aku ... 'tak berdarah'. Kau bukan yang pertama. Tak apa 'kan?" bisik Joohyun sesak seraya menyisiri rambut hitam Taehyung yang basah dengan jari–jari lentiknya.

Tetesan air mata berakhir di atas wajah Joohyun, itu berasal dari pelupuk Taehyung yang tak sanggup lagi menahan semua emosi di depan gadis ini. "Tak apa, Sayang. Tak apa," balas Taehyung. Mengecupi dahi Joohyun beberapa kali dengan raut bahagia dan teramat lega. Pertanda, Yoo Joohyun adalah jawaban terindah atas seluruh harapan yang semesta persiapkan untuknya di Seoha.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Entah sejak kapan langit–langit kamar menjadi fokus yang paling menarik bagi sepasang manik indah Yoo Joohyun. Sedangkan, pemuda berambut hitam di sebelahnya malah menjadikan siluet dirinya sebagai intensi elok yang sangat sulit untuk dilewatkan.

Sunyi itu masih mengepung keduanya sejak belasan menit lalu, berbalas gerimis musim panas yang belum reda dari luar rumah. Keduanya terlalu lelah karena luapan emosi yang sejak tadi mengudara pelik. Memar yang saling terlampiaskan di tubuh masing–masing, bibir yang menyisakan beberapa gigitan kecil di tepian, maupun 'teritorial' lain yang saling terukir dalam lekukan kulit mereka. Sungguh, ini pergumulan konyol yang pertama kali mereka lakukan di atas ranjang. 

Taehyung membiarkan lengannya terbentang sebagai alas kepala Joohyun, memperbaiki posisi baringan menyampingnya sebelum bertanya pelan. "Kau belum mengantuk?"

Joohyun menggeleng. Menyeringai lepas tanpa menoleh lebih. "Rasanya masih seperti mimpi. Mimpi yang sangat indah. Aku tak mau tertidur."

"Jangan pulang. Bertahanlah di sini, bersamaku."

Kedua kali, Joohyun tersenyum. Masih enggan berpaling. "Aku takut ... Nenek dan Minji kembali."

"Tak apa. Mereka telah merestui kita jauh–jauh hari," bisik Taehyung yang dibalas sinisan pendek oleh gadisnya ... yang tak 'gadis' lagi.

Awal perjumpaan, hal pertama yang membuat Taehyung tertarik pada seorang Yoo Joohyun adalah senyuman itu. Kedua, perilaku pasang–surut yang penuh kejutan. Ketiga, obrolan kecil yang terkadang 'di luar nalar'. Menyusul poin–poin berikutnya yang seiring waktu mungkin Taehyung tak memerlukan alasan apapun lagi untuk menyatakan bahwa ini lebih dari suka.

"Beritahu aku apa cita–citamu," pancing Taehyung dalam obrolan guna mengusir kantuk.

"Aku tak tahu. Tapi ... aku pernah berpikir ingin menjadi planet," kenyit Joohyun aneh. Berharap menemukan seseorang yang bisa memahami obrolan–obrolannya yang terkadang di luar 'kotak' waras manusia kebanyakan. "Berdiam sendirian di ruang hampa. Planet terjauh dari tata surya pun tak masalah. Aku hanya ingin mendapat ketenangan." Barulah Joohyun menoleh. "Kau, bagaimana?"

"Aku ... ingin menjadi alien." Kekehan Taehyung tercelos di akhir. "Agar bisa menjajahmu sesuka hati, dan mengklaim bahwa; ini planet milikku. Hanya aku yang bisa mendiaminya."

"Aku tak mau dihuni siapapun. Sendiri itu lebih baik."

"Tapi, kau planet dingin yang menarik. Dari jauh, kau memiliki pesona tersendiri seperti cincin indah Saturnus. Memikat siapapun yang melihat untuk segera menaklukkanmu. Tapi, mereka manusia. Mereka tak sanggup untuk itu. Mereka punya batasan yang tak bisa mereka paksaan untuk mendaratkan diri di dalam dirimu. Tapi, aku hanya alien yang awalnya tak punya tujuan dan kau tarik dalam pesonamu. Lalu, memilih menetap dalam jangka waktu sesuka hati. Sangat lama. Sampai–sampai kau tak sanggup lagi mengusirku pergi."

Kelopak Joohyun terpejam malas, agak jengkel dengan jawaban panjang lebar barusan. "Kau semakin cerewet. Mau ku gigit seperti tadi lagi, hah?" helanya pelan.

Tawa Taehyung mengudara ringan. "Tapi, aku serius. Beritahu aku, apa cita–citamu." Entah sejak kapan ia mulai menyukai topik–topik acak sekadar memancing Yoo Joohyun mengungkit ide–ide aneh dari kepala.

"Perawat. Kau?"

"Polisi."

Dua tawa itu pun berbalas renyah. Cukup lama larut dalam kelucuan hingga perut rasanya amat kram. Seolah menertawakan kemustahilan dan lelucon yang semesta berikan untuk mereka berdua.

"Ayo, pergi," tawar Taehyung lagi.

"Hm?"

"Pergi. Ke mana pun itu. Yang membuatmu tenang dan bahagia." Taehyung tak sedang bercanda. Ia memang serius untuk satu hal barusan.

"Aku tak tahu. Aku tak punya tujuan. Aku hanya ingin keliling dunia, atau ... 'melayang' di atas awan biru? Ya, sesederhana itu." Joohyun tertawa lebih dulu, kali ini lebih sesak dan seakan dipaksakan. Sedangkan Taehyung tak menganggap itu sebuah kelucuan. "Kau ... tak mengantuk?"

Taehyung menggeleng. "Jika aku terlelap sedetik saja, kau pasti pergi."

Gantian, Joohyun melempar gelengan. "Tak mungkin. Kita sudah lebih dari teman. Aku lega sekali, kau orang pertama yang membuatku sangat bahagia seperti ini. Terima kasih. Selamat ulang tahun untuk kita berdua." Joohyun beranjak kecil demi memberi Taehyung ciuman hangat di kening. "Aku lelah. Selamat tidur."

Tak ada obrolan lagi yang terungkit kala Joohyun telah memberi punggung dalam baringan. Banyak hal yang sebenarnya ingin Taehyung tanyakan—seperti tiba–tiba ingin merayakan ulang tahun serempak secepat ini? Tapi, sudahlah. Joohyun telah memberi kepercayaan penuh padanya malam ini saja adalah momen terbaik yang tak akan Taehyung lupakan seumur hidupnya. Membuat ia memberi perhatian sebentar pada punggung itu, mendaratkan telunjuk guna menyentuh beberapa pola 'indah' dari bekas luka tersebut. Sebelum bergerak mendekat, membawa pinggang Joohyun dalam pelukannya. Erat sekali. "Selamat ulang tahun, Yoo Joohyun. Terima kasih ... telah bertahan sampai di titik ini. Aku mencintaimu. Selalu," bisiknya tulus. Tanpa perlu menunggu respon sebagai tuntutan lebih.

Belasan detik setelahnya, bantal Joohyun telah basah oleh bulir–bulir yang ia bawa dalam pejaman erat. Kau berhasil. Kau berhasil ... menjadi sosok pertama yang layak dalam hidupku, Kim Taehyung. Bibir Joohyun tergigit pelan, menahan euforia yang sangat ia luapkan pada seisi dunia. Untuk pertama kalinya ... ia merasa dicintai. Setulus hati. []



a/n: lg mood bikin manis–manis brutal, moga kalian ga gumoh ya😪

Seguir leyendo

Tambiรฉn te gustarรกn

4.5K 582 15
Terkadang kehidupan seperti lelucon yang sangat mengelitik, ada kalanya takdir bermain dengan semaunya. Kadang kehidupan sepeti kematian yang sengaja...
873 128 6
Kim Yerim gadis yang terobsesi dengan pria bernama Jeon Jungkook. Segala cara ia lakukan agar pria itu tertarik padanya. Bahkan gadis itu sampai rela...
14.5K 1.2K 20
Naruto x Hinata Ada rahasia dari kejadian yang dialami Hinata, sehingga membuatnya harus menghabiskan hari-hari dengan Naruto, sang dokter yang berha...
6K 973 18
Lee Jieun sempat berpikir kalau perjanjian yang ia lakukan dengan Jeon Jungkook hanya akan berlangsung singkat. Ia tidak pernah menyangka hubungan me...