happier than ever. [vrene] โœ”๏ธ

By wafleur

4.2K 741 2K

โ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ช๐˜ด ๐˜ด๐˜ต๐˜ฐ๐˜ณ๐˜บ ๐˜ช๐˜ด ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ต ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜บ ๐˜ง๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฅ ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ด ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜ช๐˜ณ ๐˜ฐ๐˜ธ๐˜ฏ ๐˜ธ๐˜ข๐˜บ.โž Tak... More

๐ฉ๐ซ๐ž๐ฅ๐ฎ๐๐ž.
๐Ž๐Ÿ. ๐Œ๐จ๐ซ๐ง๐ข๐ง๐ , ๐’๐ฎ๐ง.
๐Ž๐Ÿ. ๐’๐ฐ๐ž๐ž๐ญ ๐๐จ๐ญ๐š๐ญ๐จ.
๐Ž๐Ÿ‘. ๐‹๐š๐ญ๐ž๐ซ, ๐๐ž๐ญ๐ญ๐ž๐ซ.
๐Ž๐Ÿ’. ๐Œ๐จ๐ซ๐ž ๐“๐ก๐š๐ง ๐–๐จ๐ซ๐๐ฌ.
๐Ž๐Ÿ“. (๐ง๐จ๐ญ) ๐…๐ข๐ง๐ž ๐š๐ญ ๐€๐ฅ๐ฅ.
๐Ž๐Ÿ•. ๐๐ข๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐ฌ๐ฐ๐ž๐ž๐ญ.
๐Ž๐Ÿ–. ๐„๐ฆ๐จ๐ญ๐ข๐จ๐ง๐š๐ฅ ๐–๐ž๐ข๐ ๐ก๐ญ.
๐Ž๐Ÿ—. ๐’๐ฎ๐ฆ๐ฆ๐ž๐ซ ๐’๐œ๐š๐ซ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ž. ๐๐ฅ๐ฎ๐ž ๐‡๐ž๐š๐ซ๐ญ.
๐Ÿ๐Ÿ. ๐“๐ฐ๐จ ๐๐ข๐ž๐œ๐ž๐ฌ ๐จ๐Ÿ ๐‚๐š๐ง๐๐ฒ.
๐Ÿ๐Ÿ. ๐๐ฅ๐ฎ๐ญ๐จ.
๐Ÿ๐Ÿ‘. ๐๐ฎ๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐Ÿ๐ฅ๐ฒ ๐„๐Ÿ๐Ÿ๐ž๐œ๐ญ.
๐Ÿ๐Ÿ’. ๐“๐ก๐ž ๐‡๐จ๐ง๐ž๐ฌ๐ญ ๐“๐ซ๐ฎ๐ญ๐ก.
๐Ÿ๐Ÿ“. ๐‡๐จ๐ฎ๐ซ๐ ๐ฅ๐š๐ฌ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ÿ”. ๐๐ข๐ญ๐ญ๐ž๐ซ๐ง๐ž๐ฌ๐ฌ.
๐Ÿ๐Ÿ•. ๐’๐ฎ๐ง๐ฌ๐ž๐ญ ๐ข๐ง ๐˜๐ž๐จ๐ฌ๐ฎ.
๐๐จ๐ง๐ฎ๐ฌ ๐‚๐ก๐š๐ฉ๐ญ๐ž๐ซ: ๐’๐ฎ๐ฆ๐ฆ๐ž๐ซ ๐๐ฅ๐ฎ๐ž ๐ข๐ง ๐’๐ž๐จ๐ก๐š.

๐Ž๐Ÿ”. ๐‚๐š๐ซ๐ข๐ง๐จ.

198 33 185
By wafleur

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝐎𝟔

𝐂𝐚𝐫𝐢𝐧𝐨.

"Nenek memintaku membawakan ...," cengiran Joohyun menggantung di udara, mendapati Taehyung tak lagi di tempat semula. "... i ... ni...." Kotak makanan di genggaman tak lagi berminat ia tunjukkan, selaras senyuman yang luntur begitu saja.

Menoleh kecil, Taehyung pun berdiri. "Kau ... menyimpan pisau?" selidiknya samar. Memastikan bahwa firasat tak beres tentang benda satu ini benar adanya.

"Hm. Aku memang sering membawanya untuk keperluan sekolah. Menajamkan pensil, misalnya," angguk Joohyun enteng dibarengi senyuman. Seolah tahu apa yang pemuda Kim simpulkan tentangnya.

Lantas, Taehyung tak langsung menyahut. Sorot redup itu ditatapnya balik, menepis alasan Joohyun barusan lewat dengusan sinis. "Berikan semua pensilmu. Biar aku yang menajamkannya."

"Apa yang kau—" Bersirat tak berterima, Joohyun lekas menghampiri Taehyung guna merampas si pisau kecil yang mendadak disita. "Ini hanya pisau. Kembalikan," pintanya tertahan agar tak memancing Nenek Ryeo ke luar dari rumah.

Wajah panik itu masih Taehyung ladeni dengan sorot datar. "Akan ku ganti dengan rautan." Namun, bujukan tegasnya tak berarti. Joohyun berusaha mengambil sekuat tenaga pisau lipat itu dari genggaman eratnya. Seberapa berharganya pisau lipat ini sampai–sampai ditempeli beberapa stiker dan gantungan boneka kentang? Tepat seperti barang kesayangan pada umumnya.

"Ku mohon, kembalikan."

Pekikan kecil itu membuat Kim Taehyung tak berdaya. Pisau lipat terlepas begitu saja dari genggamannya, bersamaan dengan ekspresi Joohyun yang kembali melega. Hampir saja gantungan boneka kentang itu terputus dari sana.

Usai memasukkan hasil rampasan ke tas kecilnya, Joohyun kembali tersenyum tipis. Tak mau mengungkit apapun, meski Taehyung kini membuang pandangan. "Kau ... masih ingin di sini? Aku mau pulang," pamitnya sungkan.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Suara pintu utama memaksa Bibi Nam beralih perhatian, menyambut Yoo Joohyun yang muncul dengan paras lesu. "Kau ... sudah pulang? Ada telepon untukmu," jelasnya ramah sembari menyodorkan gagang telepon.

Joohyun hanya menoleh sekena, ragu–ragu melewati ruang tamu hanya untuk menghindari sosok itu.

Tak mendapat gestur yang diharapkan, Bibi Nam kembali memperjelas, "Tentang Ayahmu."

Benar ... kah? Langkah Joohyun terhenti perlahan, bimbang merasuki kepala. Tapi, ia tak punya opsi lebih saat Bibi Nam membawa bahunya untuk meladeni telepon tersebut.

"Ayo, bicaralah. Biar ku tinggal sebentar."

Joohyun berhela samar, belum benar–benar meletakkan telepon ke telinga. Kabel itu ia permainkan di jemari sesekali, masih cemas kalau–kalau itu sekadar bualan. "Ya," sahutnya serak.

"Apa kabar? Kau selalu menolak teleponku. Aku merindukanmu."

Suara dari telepon itu belum Joohyun tanggapi sepenuhnya. Atensinya bertumpu penuh pada satu figura di nakas berisi foto keluarga—terdiri dari Ayah, Ibu, seorang putra dan dirinya juga di sana. Penuh kebencian. "Benarkah? Oh."

Sahutan dingin seorang Yoo Joohyun memang selalu tak berarti bagi pria ini. "Kata Ibu, kau sangat sibuk akhir–akhir ini. Kim Taehyung pulang, ya?"

"Hm."

"Hadiah dariku sudah dibuka? Ibu sudah meletakkan semua bingkisan ke kamarmu. Atau, bahkan ... kau terlalu sibuk sampai tak sempat membukanya?"

"Berhenti memberiku perhatian," tegas Joohyun tertahan.

"Aku telah menunjukkan fotomu pada teman–teman dan atasanku. Mereka bilang, kita sangat serasi. Aku semakin tak sabar dengan hari bahagia kita."

"Jeongguk–ssi, ku mohon berhenti...."

Tawa si pemilik nama terdengar renyah. Mendiamkan sebentar desisan geram Joohyun yang lebih terkias seperti suara anak kucing tak berdaya itu demi meredakan lelucon sepihaknya. "Oh, kau masih menunggu kabar satu itu, ya? Dua minggu lalu, aku telah mengunjungi Ayahmu di sel. Sedikit merepotkan—sial, itu benar. Untungnya, dia belum berulah sampai detik ini."

Tak ada sahutan.

Helaan dongkol pun diberikan oleh si putra tunggal Kepala Desa. "Aku akan mempergunakan cuti akhir tahunku. Yang jelas, aku tak mau mendengar kau membuat alasan apapun lagi untuk menghindar setelah aku tiba di Seoha. Paham?" cetusnya dingin.

Telepon itu Joohyun putuskan sepihak. Mengabaikan beberapa panggilan kecil Bibi Nam atas dirinya yang berjalan cepat menuju kamar. Mengunci pintu, bersandar di sana dengan rahang yang masih tergerus kuat. Mual, sesak, pusing—seakan seluruh emosi yang berkumpul di dada hampir meluap dan siap ditumpahkan.

Langkah Joohyun menyeret gontai ke sudut kamar. Pada cermin seukuran tubuh yang meninggalkan satu retakan besar, Joohyun mendapati pantulan dirinya dari sana. Sama hancurnya ... seperti cermin itu. Berpilah–pilah. Tak utuh lagi seperti jati diri yang selama ini ia sembunyikan pada banyak orang.

Sekaligus, retakan pelampiasan amarah bahwa Nam Jeongguk pernah 'mengkhianati' kepercayaan yang salah satunya kira bahwa itu sekadar hubungan kakak–adik belaka. Membuat ia semakin  hina dari sebelum–sebelumnya.

Sekali lagi, Joohyun mencoba menarik masing–masing ujung bibir. Orang–orang yang selalu ia jumpai selalu menyukai senyumannya, bukan? Termasuk Kim Taehyung. Mereka lebih peduli pada cekungan di bibir ini daripada sepasang mata yang tersirat meminta pertolongan.

Mereka semua ... sama saja 'kan? Akan pergi jika senyuman ini juga hilang.

Joohyun tersenyum.

Hanya datang dan bersinggah sementara waktu ... untuk menghancurkanku yang semakin hancur.

Namun, semakin sosok yang terjebak di cermin itu menunjukkan senyuman andalan, semakin kebencian itu memuncak. Marah. Sesak. Jijik. Kacau. Bulir dari pelupuk bertumpahan seiring emosi yang memuncak, Joohyun meraih satu botol parfum  kaca di atas nakas. Melempar benda itu ke cermin, membuat retakan itu meninggalkan beberapa serpihan kaca di atas lantai.

"PERGI! KU BILANG PERGI, BANGSAT!!" geramnya kacau pada pantulan gadis yang masih terjebak di sana. Memukul kepala berkali–kali, mengusir bisikan demi bisikan yang menyesaki benak tanpa henti.

Masih dilanda kalut, ia buru–buru mengambil serpihan kaca itu. Membuka paksa balutan perban di lengan kirinya, melampiaskan semuanya pada sayatan–sayatan baru di garis–garis luka yang belum sepenuhnya mengering.

Tak juga puas, Joohyun menarik bantalnya dan memendam teriakan di sana. "ARRRRKKHHH!!!" Teriakan yang hanya bisa ia dengar dengan beberapa noda darah tertinggal di bantal maupun kasurnya. Aroma anyir perlahan membuat pening di kepala, seiring sesegukan yang memaksanya untuk berhenti sejenak dalam lelap.

Selalu berharap bahwa hari esok diawali dengan bahagia. Meski satu hal itu tak pernah terjadi ... hanya pada dirinya.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Akhir pekan di Seoha selalu ditandai dengan berkumpulnya pria–pria di serambi kedai Paman Min. Menyusul kedatangan si anak rantau yang disambut sapaan ramah oleh mereka.

"Taehyung, kau tak mau duduk sebentar?" Ramah? Tentu saja. Tapi, tidak dengan beberapa tatapan dari mereka. Terlihat berbeda dari biasanya. Atau, hanya perasaan Taehyung saja ... ck, entahlah.

"Hmm ... sepertinya tidak sekarang, Paman. Aku ada pekerjaan di rumah," tolak Taehyung sopan pada salah satu dari mereka kemudian masuk ke kedai. "Paman, aku ingin mengambil belanjaan Nenek. Kebetulan Nenek sedang ke desa sebelah bersama Minji," tuturnya pada Paman Min di meja kasir.

Paman Min terkesiap kecil sembari memelankan volume radionya. "Oh, ya. Maaf sekali, aku lupa mengantarnya."

"Tak apa. Biar ku ambil sendiri ke belakang."

"Taehyung?"

Langkah itu tertunda kecil, pemuda Kim menoleh pendek. Mendapati wajah Paman Min bersirat ragu. "Ya?"

Paman Min berhela khawatir. "Untuk apapun hal buruk yang kau dengar ... di desa ini, jangan terlalu ditanggapi, ya."

Sebentar, apa maksudnya? Taehyung mengernyit. Belum sepenuhnya paham. Oh, barulah ia ingat. Mungkin, obrolan Ibu–Ibu muda yang dibantah sang Nenek kemarin. "Oh, itu? Tak masalah, Paman. Aku juga bukan satu–dua hari mengenal desa ini."

"Tapi—"

"Kalau begitu, aku ke belakang sebentar," potong Taehyung santun.

Kepergian Taehyung membuat gusar di wajah Paman Min kian menjadi. Salah paham. Sebenarnya ... ada hal 'genting' lebih serius dari yang sekadar cucu sulung Nenek Ryeo itu pikirkan.

Taehyung mengangkat kardus berisi belanjaan sang Nenek beberapa menit berselang. Hendak muncul menghampiri Paman Min di meja kasir. Namun, belum sempat kakinya mencapai bilik kedai, obrolan kecil itu tak sengaja tertangkap telinga.

"Aku benar–benar tak menyangka cucu Nenek Ryeo seperti itu."

"Aku juga, sebenarnya. Entah mungkin terbawa lingkungannya di Seoul atau memang tabiatnya. Tapi, bukankah setidaknya ia tak menerapkan hal se'bebas' itu juga di desa kita? Sampai–sampai membawa pulang Guru Yoo entah dari mana hingga larut malam. Citra desa kita sudah cukup buruk di masa lalu, jangan sampai hal seperti itu terulang lagi. Terlebih, 'menodai' perempuan sopan seperti Guru Yoo yang juga seorang pendatang."

Paman Min kembali ke meja kasir sembari membawa kalkulator. Meladeni gosip hangat dua Ibu muda itu dengan helaan pendek. "Ck, mereka bukan anak kecil lagi yang membutuhkan perhatian khusus 'kan? Aku percaya, Taehyung tak seperti itu," bantahnya halus.

"'Aku tak seperti itu'—apa maksud kalian?"

Tiga pasang mata itu serempak berpindah poros ke arah Taehyung yang menyipit heran. Hanya dibatasi belasan langkah. Disusul wajah Ibu–Ibu muda tadi yang berubah panik, seolah tak menyangka percakapan mereka 'tersampaikan secara langsung' sekarang.

Oh. Jadi, ini arti dari tatapan para pria yang menyambutnya di serambi tadi? Taehyung menyeringai sinis pada diri sendiri.

"Kim Taehyung!"

Bahkan, panggilan terakhir Paman Min tak bisa mencegah langkah pemuda Kim yang terlanjur larut dalam luapan amarah. Melupakan kardus belanjaan sang Nenek yang seharusnya dia bawa pulang. Segera angkat kaki dari kedai dengan perasaan tak beraturan, tak peduli tatapan beberapa pria yang turut terheran di serambi.

Persetan! Ia tak peduli apapun. Satu–satunya tujuan yang terbesit di kepala hanya meminta penjelasan agar semuanya tak 'abu–abu' lagi.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Gedoran pintu itu terdengar tak beraturan memecah pagi yang sunyi. Taehyung meredam helaan kacau, kala beberapa waktu ia belum juga mendapati pintu rumah itu dibukakan segera. Membuat ia terpaksa menunggu di serambi samping. Tak sabar.

Mengulur detik, barulah suara pintu utama terdengar. Memunculkan Joohyun sembari membenahi sesekali lengan cardigan hitamnya. Mengerjap lamban pada punggung si pemuda Kim. "Hai ... umm ...," sapanya canggung.

Taehyung berbalik poros, meladeni Joohyun dengan rahang mengeras juga tangan terkepal. Masih mengunci bibir.

Saliva Joohyun terteguk pahit. "Maaf, aku ... sengaja memakai namamu sebagai alasan. Kepala Desa selalu berusaha menjodohkanku dengan putranya, meski sudah ku beri berkali–kali penolakan."

Merasa tatapan pemuda di hadapan kian bersirat menggertak, Joohyun melanjutkan kembali ucapannya. "Itu ... terdengar kekanakan, ya? Aku hanya tak tahu, harus melakukan apa lagi," gelengnya samar. Merasa bersalah. Bingung. "Minggu ini, ia mengabariku akan datang. Dia ... baik. Lebih muda darimu. Tapi, aku hanya sedikit tak nyaman. Aku benar–benar minta maaf. Jika kau keberatan, aku akan menjelaskan pada mere—"

Kalimat itu menggantung di udara kala Taehyung menarik kedua rahang Joohyun. 'Mengunci' perkataan barusan dengan mempertemukan bibir mereka. Tanpa aba–aba. Juga, deru tak beraturan yang kini melingkupi keduanya.

Sedangkan Joohyun masih bingung dengan itu semua. Tak sepenuhnya larut kala Taehyung mendorongnya perlahan demi melumat lembut bibirnya yang dingin nan bergetar, lalu—

Suara tamparan itu memecah sunyi, terikutkan Taehyung yang dipaksa menjaga jarak begitu saja. Merasakan panas yang mulai menjalar di pipi kirinya.

Gelengan Joohyun bersirat panik. Ingin segera pergi dari sana. Sayangnya, siasatnya tak berarti apapun. Taehyung terlalu sigap menahan masing–masing pergelangan tangannya diikuti sorot mata yang sulit diartikan. "Lepas," pintanya takut.

Namun, Taehyung memilih abai. Masih belum ingin berucap untuk genggaman eratnya di kedua pergelangan Joohyun yang sedari tadi menuntut dilepaskan. Kemudian, detik–detik terbaik itu ia lakukan dengan membawa tubuh mungil Yoo Joohyun dalam pelukannya. Teramat erat.

Deru tersengal berasal dari Joohyun. Pening melanda kepala, belum lagi rasa bingung nan kacau yang lagi–lagi membuat ia tak bisa melakukan perlawanan lebih. Ini aneh, sungguh. Perbuatan Taehyung benar–benar takut untuk ia maknai lebih jauh.

Hening masih melingkupi keduanya, seiring Taehyung merasakan tak ada lagi perlawanan di sana. Tubuh Joohyun masih ia bawa dalam dekapan erat. Berusaha menenangkan lewat sesekali usapan hangat di punggung Joohyun. "Maaf, aku tak bermaksud...."

Lalu, kecupan di puncak kepala itu terjadi begitu saja. Membuat gelenyar panik dalam diri Joohyun perlahan sirna. Tak membalas pelukan. Setelah beberapa waktu berada dalam gestur tubuh yang aneh—menurut salah satunya—barulah Joohyun memilih mengambil jarak lebih dulu. "Maaf ...," tunduknya. Teramat lirih.

"Jangan takutkan apapun. Kau aman di sini. Bersamaku," ujar Taehyung. Penuh kehati–hatian sembari merendahkan punggung. Berusaha bersitatap dengan gadis Yoo yang masih berusaha membuang pandangan.

Gelengan samar Joohyun layangkan, lalu memilih mundur buru–buru untuk kembali masuk ke rumah. Meninggalkan Kim Taehyung sendirian yang masih dilingkupi tanda tanya besar. Maaf....

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Rangkaian teka–teki seorang Yoo Joohyun masih belum terpecahkan hingga malam menyapa. Sedari tadi, Taehyung hanya memerhatikan gantungan ponsel boneka kentangnya di tangan. Bahkan, melewatkan ajakan makan malam sang Nenek beberapa kali.

Entahlah. Semakin rasa penasaran itu tumbuh setiap mengingat respon Joohyun yang menamparnya tadi, jantungnya turut berdetak hebat. Seolah tak mau kalah menaruh khawatir pada si Guru Yoo tersebut.

Mungkin Taehyung terlalu larut dalam lamunan. Sampai–sampai tak sadar bahwa Minji memberi lirikan ke arahnya sejak tadi. Jengkel. "Kemarin–kemarin pegangan tangan. Besok, apa lagi?"

Tersadar, Taehyung pun menyipit sinis ke asal suara. Bocah itu memang tengah mengobrol dengan boneka, tapi tiap kalimat yang keluar dari bibir Kim Minji seperti tak bisa diberi candaan. Terduduk lah ia. "Kau bicara apa, hah?" tantangnya sengit.

Minji merotasikan bola mata. Pertanda kesal. "Aku punya banyak 'mata'. Di mana–mana," cibirnya.

Sial. Taehyung tertegun was–was. Jangan bilang si 'biji cabai' ini sudah tahu?

"Kau kira perempuan suka dengan laki–laki yang tak punya tanggung jawab? Pergi, sana. Cari pekerjaan. Melihatmu selalu di rumah membuatku marah!"

"KIM MINJI!" Hampir Taehyung beranjak menangkap si bocah rambut hitam sebelum si target lolos lebih cepat sembari melempar boneka kasar ke arah sang Ayah. Taehyung berhela masam setelah pintu kamar Minji terbanting keras.

Nenek Ryeo muncul dengan raut khawatir. Tak jadi menegur Minji yang telah mengunci pintu kamar. "Sepertinya Minji marah karena kau tak membantunya mengerjakan tugas melukis."

"Sudah ku bilang, aku tak mau menyentuh benda itu, Nek! Harus berapa ribu kali ku katakan kalau aku tak mau?!"

Mendapati paras Taehyung yang berubah kacau, Nenek Ryeo menghampiri demi memberi beberapa kali usapan pada punggung Taehyung yang terduduk ke arah tembok. Tak mau menunjukkan ekspresi kekesalan atau apapun di depannya. "Maaf, aku tak lupa bahwa kau sangat menghindari hal itu."

Taehyung tak menyahut.

Tatapan Nenek Ryeo bersirat iba. Paham bahwa si cucu sulung punya pengalaman buruk dengan alat lukis dan sejenisnya. "Juga, aku mengerti ... kau masih kacau dengan gosip pagi ini. Lagi pula, apa yang salah dengan orang yang tengah jatuh cinta? Aku juga pernah muda sepertimu."

Tolehan samar itu Taehyung berikan. Seandainya sang Nenek tahu bahwa yang ia khawatirkan lebih dari sekadar 'jatuh cinta'.

"Tapi, jika kau sudah memulainya ... jangan melepasnya dengan mudah." Nenek Ryeo bangkit perlahan. "Makanlah sebelum laukmu dingin. Aku sudah memasak banyak makanan enak, sayangnya Joohyun tak datang."

Saat suara pintu geser itu terdengar, barulah Taehyung berbalik poros. Menatap sendu punggung sang Nenek yang tertatih ke lorong dapur. Ia tahu, ujaran barusan bersirat sedih nan cemas. Tapi, Taehyung juga belum bisa berbuat apapun.

Ya. Semua ... masih butuh waktu.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Taehyung kira, amarah Minji hanya sebatas malam itu saja. Namun, semua masih terasa sama hingga Senin pagi menyapa. Di serambi, Minji mengikat tali sepatu sebelum berangkat sekolah. Tak rewel seperti lalu–lalu.

Dan, kini Taehyung yang seakan berganti peran atas apa yang Minji lakukan semalam. Mengamati si bocah perempuan yang masih betah mengunci bibir. Menoleh ke arahnya pun rasanya tak sudi.

Nenek Ryeo menghampiri serambi. Memberi Minji uang saku sebelum meladeni salam pamit tersebut. "Bekalmu sudah kau masukkan ke tas?"

Minji hanya mengangguk. Tanpa sekali pun menoleh.

"Kau berangkat sendiri? Biar Ayah antar saja, ya," tawar Nenek Ryeo lagi.

"Tak perlu, Nek. Aku sudah terbiasa menjaga diri."

Nenek Ryeo dan Taehyung saling bertukar pandang. Tak lagi mengingatkan Minji untuk menyalam sang Ayah seperti lalu–lalu. Saat Minji berangkat lebih dulu, barulah Taehyung berujar. "Tak apa, Nek. Aku akan tetap mengantarnya."

"Lekaslah berbaikan. Aku lebih memilih kalian bertengkar setiap waktu daripada berbalas diam seperti ini," cemas Nenek Ryeo yang dijawab anggukan saja. Setelah itu, mengawasi Ayah–anak itu dari kejauhan hingga menghilang perlahan dari pandangan.

Tak ada obrolan berarti yang tercuat di sepanjang perjalanan. Embun masih hinggap pada beberapa dedaunan, meski matahari telah perlahan muncul dari singgasananya. Bocah pemilik rambut hitam sepunggung itu masih Taehyung buntuti dalam belasan langkah. Sesekali Minji juga menoleh samar agar tetap menjaga jarak pada sosok yang semalaman membuat kebenciannya meluap.

Penampilan Kim Taehyung memang terlihat rapi kali ini. Dan, dari itulah Minji memberi kesimpulan samar bahwa mengantarnya setiap pagi hanya alasan klasik. Alias, ada maksud.

Sesampai di gerbang sekolah, tak ada penyambutan yang biasa ditunggu–tunggu banyak murid. Memang ada satu Guru yang menyambut, tapi ... bukan Guru Yoo.

Langkah Taehyung terhenti perlahan. Benar, di mana dia?

"Menunggu apa lagi? Cepat, pergi."

Pengusiran tegas barusan membuat tawa pelan beberapa Ibu muda terdengar. Berbanding terbalik dengan Taehyung yang malah tak fokus dengan hal barusan. Meladeni Minji yang masih menunggunya pergi dengan tatapan tajam. "Akan ku lakukan. Setelah kau masuk lebih dulu."

Sahutan datar itu membuat cemberut di bibir Minji kian menjadi. Lekas ia menyeret langkah memasuki gerbang sekolah, sesekali menoleh tajam ke arah Taehyung yang masih bertahan di tempat. Mengamati dirinya dari kejauhan.

Mendapati Minji telah bergabung bersama teman–teman seusianya, barulah Taehyung berhela pelan. Berniat menanyakan halus pada seorang Guru lain di depan gerbang. "Permisi, aku mau bertanya ... di mana ... Guru Yoo?"

"Dia sakit, Taehyung–ssi."

Sakit? "Benarkah? Sakit apa, kira–kira? Dia pernah izin sakit sebelumnya?" tanya Taehyung tertahan. Tak sabar rasa penasarannya segera terjawab.

"Untuk itu ... aku kurang tahu. Tapi, yang jelas absensi Guru Yoo selalu terisi sejak ia datang ke Seoha."

Taehyung berterima kasih sebelum meminta pamit. Mempertanyakan itu semua dengan langkah tak menentu menuju rute pulang. Spekulasi Taehyung kian beranak–pinak.  Jelas, ini pasti ada hubungannya dengan kemarin–kemarin.

🌻𝓱𝓪𝓹𝓹𝓲𝓮𝓻 𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓮𝓿𝓮𝓻.🌻

Kepalan Taehyung tertahan di muka pintu kediaman keluarga Nam, sembari mengatur deru yang sejak tadi tak karuan. Selain permintaan Nenek Ryeo, tujuan ke sana adalah inisiatifnya sendiri. Setelah ketukan ia berikan, barulah pintu terbuka beberapa detik berselang.

"Kim ... Taehyung?" kerjap Bibi Nam. Sedikit tak menyangka. "Ada perlu?"

Taehyung mengangguk sopan. "Hanya ingin menjenguk Guru Yoo." Mengangkat kecil kotak makanan di genggaman lain. "Katanya, dia sakit?"

"Oh? Ya...." Bibi Nam membuka pintu lebar. "Kalau begitu, masuklah. Rasanya sudah lama sekali kau tak ke mari."

Langkah wanita itu Taehyung buntuti saat melewati ruang tamu. Beberapa interior rumah tak banyak yang berubah. Begitu pula atmosfernya. Membuat Taehyung tak ingin mengungkit hal lebih banyak perihal masa lalu di Seoha.

Paras Bibi Nam masih menyimpan senang sembari melalui anak tangga. "Kau masih ingat dengan Jeongguk 'kan? Dia pernah menanyakanmu. Kalian pernah bertemu?"

"Tidak. Tak ada warga desa yang pernah ku temui sejak aku pindah ke Seoul."

"Benarkah? Aku masih berhutang nyawa saat kau menyelamatkan putraku dari arus deras sungai."

Hanya tersenyum samar. Taehyung sengaja mengambil jeda di belakang Bibi Nam. Membiarkan wanita itu beberapa langkah lebih dulu di pertengahan anak tangga. "Tak apa. Manusia memang diciptakan memiliki naluri untuk menolong sesamanya."

Langkah Bibi Nam terhenti pelan. Menoleh demi satu pertanyaan baru yang turut ia beri tatapan ragu. "Hubunganmu dan Joohyun, itu ... tidak benar 'kan?"

Taehyung mendongak. Belum sepenuhnya menyahut dalam beberapa kerjapan tenang. Terbesit seketika ucapan Joohyun kemarin, ya ... sepertinya gadis Yoo itu punya masalah 'serius' dengan Nam Jeongguk. "Aku juga butuh jawaban darinya."

Helaan pelan Bibi Nam terlempar ke arah lain. Belum ada lagi obrolan yang tercuat dari salah satunya sesampai di pintu kamar Joohyun. Bibi Nam mengetuk pintu lebih dulu. "Joohyun, ada yang ingin bertemu denganmu."

Pintu pun terbuka pelan, menyisakan celah kecil saja bagi pandangan si pemilik kamar. "Aku akan turun ...," kemudian kerjapan Joohyun terhenti pada pria di belakang Bibi Nam. Lekat. "Tamu?" Barulah dibukanya pintu lebih lebar.

Mengatasi canggung, Bibi Nam memberi celah untuk keduanya. "Biar ku siapkan makanannya," katanya ramah. Meminta Taehyung menyerahkan kotak makanan di genggaman untuk ia siapkan di dapur.

Setelah Bibi Nam turun, barulah Taehyung bersua. "Kau ... sakit?" tatapnya cemas.

"Hanya pusing biasa. Tapi, untung saja sekarang lebih baik."

"Kalau begitu, aku tunggu di bawah saja."

Belum saja pemuda Kim angkat kaki, Joohyun segera menahan lengan kemeja tersebut. "Tak apa. Masuklah," pintanya sembari menarik pelan lengan Taehyung. Isyarat tak perlu mengulur waktu.

Taehyung mengiyakan saja. Menginjakkan kaki pertama kali pada ruang privasi yang telah Joohyun beri izin masuki. Mencoba menyelidik sekitar kala Joohyun tengah menutup pintu, namun seluruh properti tertata rapi. Tak ada yang aneh di sana, seperti kamar perempuan pada umumnya. Selain cermin setengah tubuh yang berposisi tak lazim. Menghadap ke arah tembok. "Kau ... sedang berberes?" tolehnya kecil.

"Baru selesai memindahkan beberapa barang. Suasana baru," cekung Joohyun tipis. Mendapati rambut hitam Taehyung tersisir sangat rapi, Joohyun beralih perhatian. "Kau ... terlihat sangat rapi. Ingin pergi buru–buru?"

"Paman Min menawariku pekerjaan di Kantor Pos. Aku masih ada waktu," sahut Taehyung sembari membenahi jam tangan sesekali.

"Benarkah? Itu bagus," binar Joohyun. Mengambil dudukan di tepian kasur disusul Taehyung. "Ngomong–ngomong, kau ... tidak marah ... padaku?" liriknya ragu.

"Kenapa? Oh, itu?" Taehyung berhela panjang. "Bahkan, jika kau tak mengatakannya ... mereka tetap akan berpendapat serupa. Ya, selamat datang di Seoha," sarkasnya datar.

"Apa ... Nenek akan datang setelah ini? Tolong, katakan padanya aku baik–baik saja."

Taehyung memilih abai. Lebih memberi perhatian pada lengan yang dibaluti cardigan itu sejak tadi. "Berikan tanganmu."

"Apa yang kau...." Joohyun mengerjap bingung, meringis pelan saat Taehyung meraih lengan kirinya. Menyingkap sedikit kain itu demi memastikan balutan perban itu benar ada di sana.

"Sesuai dugaanku, kau tak pandai berbohong," geleng Taehyung samar. "Di mana obat merahmu? Atau, aku tanyakan pada Bibi Nam saja—"

"Ku mohon, jangan biarkan ia tahu semua ini," tahan Joohyun panik pada lengan Taehyung. "Bibi Nam akan melaporkan semua itu pada putranya, lalu mereka akan menjadikannya sebagai alasan untuk mengikatku sepenuhnya."

Rahang Taehyung bergerus perlahan. Meladeni tatapan penuh harap Joohyun lewat helaan berat. "Maaf, jika aku lancang. Tapi, apa ini juga alasan kau selalu memakai pakaian tertutup di musim panas?"

Joohyun membuang lirikan ke sembarang arah. "Obatnya di laci meja rias."

Kendati tak dijawab, Taehyung tetap menurut. Beranjak demi mengambil kotak obat yang ia maksud. Kembali menghampiri Joohyun diikuti paras datar. "Atau, dia alasan kau melakukan semua ini? Jeongguk?"

Kau ... salah satunya. Joohyun menggeleng pelan, membiarkan Taehyung membuka hati–hati balutan perban yang disimpulnya sembarang. "Sungguh, aku baik–baik saja."

Tak menyahut, Taehyung mendapati garis–garis luka di lengan itu yang berbaris tak beraturan. Bahkan, beberapa sayatan besar di sana sesekali membuat Joohyun menahan ringisan kala balutan perban itu dilepaskan. Turut meninggalkan kusut di lengan kemeja Taehyung sebagai pelampiasan perih. Taehyung berani bertaruh, luka–luka ini masih lah sebagian kecil yang diperbolehkan untuk ia tahu.

Joohyun mengamati dalam diam tiapkali Taehyung mengobati luka–lukanya dengan cekatan. Diam–diam berharap seandainya waktu berjalan lebih lamban untuk mereka berdua saja ... mungkin, semua tak akan sepelik ini.

Usai membereskan garis–garis luka itu, Taehyung tak langsung beralih perhatian. Masih menahan lengan Joohyun di pangkuannya, kemudian mengajak bersitatap lekat. "Ku mohon, jangan melakukannya lagi," pintanya serius. "Jika kau kesepian, datanglah ke rumah. Nenek selalu menyiapkan makanan yang enak untukmu dan mendengar cerita apapun darimu. Minji juga selalu menunggu menghabiskan waktu bersamamu. Atau, jika itu belum cukup ... kau bisa menungguku pulang."

"Sebelum kau datang, aku sudah lama meninggalkan kebiasaan ini. Tapi, aku tak tahu ... aku memulainya lagi." Ujung bibir Joohyun tergigit kecil, menimbang kalimat berikutnya yang akan terucap. "Rasanya ... menyenangkan. Juga, lega. Melampiaskan seluruh emosi tanpa merugikan siapapun. Bahkan, aku iri denganmu," ringisnya kecil. "Kau bisa melampiaskan perasaanmu dengan mudah tanpa perlu memikirkan orang lain."

"Kau bisa melampiaskannya padaku."

"Seperti?"

"Menghajar kepalaku, atau apapun itu. Asal kau tak meninggalkan jejak pelampiasan di tubuhmu lagi."

Entah itu bermakna serius atau tidak, Joohyun lebih menganggapnya sebagai candaan lewat tawa kering. "Ku pikir, akan terdengar lebih baik jika kita melampiaskan di tubuh satu sama lain."

Sekarang, Taehyung yang malah tak habis pikir. Ide barusan lebih di luar ekspektasinya. "Kau ... gila," decaknya sinting yang masih dibalas tawa oleh Joohyun.

"Adil 'kan?"

Beberapa lama tak menyahut, barulah Taehyung melirik lagi. "Mungkin, akan ku pertimbangkan. Setelah kau menerima tawaranku satu ini."

"Tentu. Apa?"

Mengulur detik dikepung sunyi, Taehyung mempergunakannya untuk mengambil punggung tangan Joohyun. Mengusap hangat ruas–ruas jemari itu sebelum menghadiahi dengan kecupan mendalam di sana. "Aku ingin mengenalmu. Lebih dari sekadar teman," tatapnya tulus. []—

a/n: sesuai janjiku yang kemarin2 ya tsay✌🏻

/ supporting cast. /

I wish I had a perfect family portrait.Kim Minji.

Life's better when nobody knows anything about you.Nam Jeongguk.

Continue Reading

You'll Also Like

757K 75.7K 53
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
3.9K 1.6K 22
Semuanya dimulai ketika Jikyung mencari tahu kebenaran yang membuatnya hancur, dan memilih untuk bercerai. Merelakan rumah tangganya hancur demi keba...
11K 450 2
(Mature๐Ÿ”ž) Menjadi sekretaris seperti Jeon itu tidak enak.