FLASHBACK [COMPLETED]

By indiariesday

10.9K 9.1K 4.2K

[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bertemu dengan si pembawa hadiah menuntunnya masuk kembali ke lingkaran tak berujung... More

PROLOG
[CHAPTER 1] Sebuah Pertanyaan
[CHAPTER 2] Sebuah Pernyataan
[CHAPTER 3] Boleh Kenalan, Gak?
[CHAPTER 4] Si Pria Beruntung
[CHAPTER 5] Posisi
[CHAPTER 6] Terlambat
[CHAPTER 7] Pacar?
[CHAPTER 8] Luka Lama
[CHAPTER 9] Orang Baru
[CHAPTER 10] Peringatan Pertama
[CHAPTER 11] Rabu Malam yang Dingin
[CHAPTER 12] Let's Be Friend
[CHAPTER 13] Suspiciousness
[CHAPTER 14] Kata Pamit
[CHAPTER 15] Kesan Pertama
[CHAPTER 16] To Be Unseen
[CHAPTER 17] Selangkah Lebih Dekat
[CHAPTER 18] Takdir, Si Pemberi Luka
[CHAPTER 19] Terikat
[CHAPTER 20] Tak Lagi Sama
[CHAPTER 21] Fakta Baru
[CHAPTER 22] Larut Dalam Masa Lalu
[CHAPTER 23] Perlakuan yang Sama
[CHAPTER 24] Luka
[CHAPTER 26] Lie Again
[CHAPTER 27] Kenyataan
[CHAPTER 28] Rasa Sakit
[CHAPTER 29] One Day With Andri
[CHAPTER 30] Dia Sebenarnya
[CHAPTER 31] Masa Lalu Seseorang
[CHAPTER 32] Dia Kembali
[CHAPTER 33] Rumor Aneh
[CHAPTER 34] Nomor Tiga?
[CHAPTER 35] Tak Berubah
[CHAPTER 36] Tak Ingin Kehilangan Lagi
[CHAPTER 37] Si Nomor Satu
[CHAPTER 38] Akankah Berubah Menjauh?
[CHAPTER 39] Bertemu Seseorang
[CHAPTER 40] Sosok Terasingkan
CHARACTERS
[CHAPTER 41] Empat Janji
[CHAPTER 42] Code Blue
[CHAPTER 43] Misi Rahasia
[CHAPTER 44] Kompetisi
[CHAPTER 45] Kawan atau Lawan
[CHAPTER 46] Si Pembawa Sial
[CHAPTER 47] Alasan Menjauh
[CHAPTER 48] Mulai Menjauh
[CHAPTER 49] Permintaan Maaf
[CHAPTER 50] Salam Perpisahan
[CHAPTER 51] Rasa Kecewa
[CHAPTER 52] Kembali ke Masa Lalu
[CHAPTER 53] Figuran Semata
[CHAPTER 54] Seperti Sedia Kala
[CHAPTER 55] Mengenang Masa Lalu
[CHAPTER 56] Say Goodbye
EPILOG

[CHAPTER 25] Hadiah

117 106 27
By indiariesday

“Hope you like it, Ira.”

*****

    "Tiara!"

    Langkah kakinya lantas berhenti mendengar namanya di gemakan seseorang. Tubuhnya berbalik ke belakang. "Ngapain lo masih di sini? Bukannya tadi lo udah pulang?"

    "Ada yang ketinggalan," jawab si pemanggil enteng.

    "Cih, bilang aja mau lihat doi," desis Tiara. Meski begitu di dalam hati, Tiara berseru kegirangan.

    Lelaki itu tertawa pelan. "Modus dikit gak apa-apa kali," celetuk Andri.

    "Modus kepala lo! Awas aja teman gue cuma di modusin!"

    "Tenang, Ra. Gue gak akan kecewain lo. Cuma yang jadi masalahnya itu teman lo yang susah banget gue taklukin."

    Tawa Tiara pecah mendengar penuturan temannya si pemegang kekuasaan pertama.

    "Malah ketawa lagi!" dengus Andri kesal.

    "Ya, berusaha, Dri. Ngeluh gak bakal buat Ayana takluk. Justru dengan sikap dia yang pura-pura atau emang dianya yang nggak peka, lo bisa belajar buat berjuang dapatin apa yang lo suka, termasuk cewek," tutur Tiara layaknya pakar cinta.

    "Tumben otak lo jalan."

    "Gue nasihatin malah ngeledek!"

    Sampai di kelas tujuan, Tiara tidak menemukan keberadaan gadis berambut panjang yang tengah mengerjakan tugas. "Loh, Ayana kemana?"

    "Ke toilet kali." Andri duduk di depan meja Ayana dan Tiara.

    Buku gadis itu berantakan di atas meja dan tasnya masih berada di tempat biasanya. Makin meyakinkan dugaan Andri mengenai Ayana yang pergi ke toilet.

    Berusaha berpikiran positif Tiara mendudukkan diri di kursinya. Tangannya bergerak lincah di atas layar benda canggih itu. Mengirim pesan kepada temannya yang menghilang seketika.

To: Ayana Reveira Iskandar
Ay, lo ke mana? Gue di kelas sama Andri.

    Lima menit berlalu namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Ayana, pesan pun tidak dibaca. Tenang, Tiara. Ayana pasti baik-baik aja, batinnya meyakinkan diri sendiri. Harap-harap cemas, mengirim pesan untuk kali kedua untuk orang yang sama.

To: Ayana Reveira Iskandar
Lo ngapain di toilet, sih? Kok lama banget. Gue tinggalin lo kalau sepuluh menit lagi lo nggak muncul.

    Waktu terus bergulir. Jam bergerak memutar bergantian menunjukkan angka-angka. "Dri, perasaan gue nggak enak," sahut Tiara.

    Andri yang semula sibuk memainkan ponselnya, entah sedang apa, menoleh. "Kenapa?"

    "Ayana. Dia … baik-baik aja, kan? Udah hampir tiga puluh menit kita nunggu, tapi dia gak balik juga," cemas Tiara. Suaranya terdengar sedikit bergetar.

    Andri tahu itu. Karena selama itu pula pesan dan panggilan teleponnya tak di indahkan si gadis. "Coba lo telepon," titahnya. Barangkali Ayana akan mengangkatnya.

    Segera Tiara menuruti titah Andri. "Angkat, Ayana," lirih Tiara. Kepala Tiara menggeleng. "Dri, sebenarnya tadi sebelum gue pergi, gue lihat Ayana … wajahnya pucat pas lihat handphone," cerita Tiara.

    "Maksudnya?"

    Tangannya masih asyik mengukir angka di buku tulisnya. "Gue mau ke kantin. Lo mau pesan apa?" tawar teman sebangkunya.

    "Nggak usah. Lo aja," balasnya tanpa menoleh walau sedikit.

    Tiara mendesah pelan. Kebiasaan temannya yang satu ini selalu berhasil membuatnya gemas terhadap dirinya yang kelewat rajin. "Ya udah gue pergi dulu. Lo jangan ke mana-mana!" peringat Tiara.

    Alis Tiara agak tertaut kala melihat raut wajah Ayana yang berubah cepat. Mengingat perutnya yang berdemo minta di isi, kakinya memaksanya berjalan menuju ke kantin. Meninggalkan rasa penasarannya sesaat mengenai perubahan raut sang teman sebangku.

    "Gue salah. Harusnya gue nggak pergi tadi." Kepalanya tertunduk.

    "Itu bukan salah lo. Kita cari Ayana, dia baik-baik aja, pasti," tegas Andri.

    Kepala Tiara terangguk pelan. Keduanya bangkit berlarian ke seluruh area sekolah untuk mencari Ayana.

    Ayana please jangan bikin gue khawatir, batin Andri.

*****

    Mendengar suara pintu yang terbuka membuat atensinya tersita sesaat. Gadis pembuka pintu itu terburu-buru mendekat. "Ayana! Lo dari mana aja? Gue nyariin lo! Lo nggak tahu apa gue khawatir sama lo?!" seru Tiara menyerocos.

    Ayana memutar mata malas. "Gue dari toilet, Ra. Lo sendiri yang—"

    "Gue takut, Ay," ujar Tiara di balik pelukan Ayana, temannya yang sejak satu jam lalu tidak diketahui keberadaannya.

    "Takut apaan, Ra? Siapa yang bikin lo takut? Sini bilang ke gue."

    Tiara mengurai pelukannya menatap sinis Ayana. "Lo! Lo yang bikin gue takut!"

    Alis Ayana tertaut bingung. "Gue?" tanya Ayana menunjuk dirinya.

    "Iya, gue takut lo kenapa-napa," cetus Tiara.

    Ayana tertawa kecil.

    Tak terima ditertawakan Tiara mendengus. "Handphone," ucap Tiara menengadahkan tangan.

    "By the way, sejak kapan lo di sekolah?" Ayana bertanya kepada Andri, yang sedari tadi berdiam diri.

    "Jangan coba-coba ngalihin pembicaraan," peringat Tiara. "Mana handphone lo?" tagihnya lagi.

    "Buat apa, Ra?"

    Tiara tak menjawab. Masih menengadahkan tangan meminta benda tipis canggih milik Ayana. Menyerah, Ayana menyerahkan ponselnya. Secepat kilat Tiara menyambarnya. Mengotak-atik ponsel Ayana mencari hal yang ganjil di sana.

    "Oh, iya gue gak tahu kalau lo kirim pesan. Gue baru lihat pas balik ke kelas," jelas Ayana sebelum Tiara mengamuk. "Handphone gue ada di tas."

    Mata Tiara memicing curiga terhadap teman sebangkunya tersebut.

    "Gue silent jadi nggak kedengeran."

    Tiara merogoh saku roknya. Melihat sebuah pesan baru saja masuk.

From: Bang Reza
Dimana?

    "Dari Bang Re?" tebak Ayana.

    "Lo masih betah di sini?"

    "Sebentar lagi gue pulang, kok," jawab Ayana.

    Tiara mengangguk paham. "Dri, tolong lo jagain ini anak. Jangan sampai kabur lagi! Apalagi luka! Ngerti, kan lo?" pesan Tiara.

    "Siap, Ra!" Andri memberi hormat.

    "Nih. Gue balik duluan. Jangan lupa pulang! Tante Fira khawatir nanti," ujar Tiara menasihati seraya mengembalikan handphone Ayana.

    Kepala Ayana terangguk. "Hati-hati," balasnya. Melambai-lambaikan tangan.

    "Yakin cuma dari toilet?" tanya Andri seperginya Tiara.

    Ekor matanya melirik Andri sekian detik. "Iya, gue emang dari toilet. Menurut lo?"

    Andri mengangkat bahu tak yakin. Memperhatikan wajah Ayana lekat-lekat. Apa yang lo sembunyiin, Ay? Gue tahu lo nggak ke toilet, batin Andri.

    Nggak seharusnya lo tahu, Dri. Cukup pura-pura lo gak tahu apa-apa. Itu lebih baik, batin Ayana. Ia melukis senyum ke arah Andri.

*****

    Sudah sepuluh menit pandangannya tertuju pada benda kecil di hadapannya. Bimbang akan pilihannya sendiri.

    Dia berjalan menyusuri koridor. Sampai di tempat tujuan, tangannya bergerak menyentuh pegangan pintu. Bau debu langsung menyerbu indra penciumannya.

    "Ada orang?" tanyanya. Kakinya perlahan mulai memasuki gudang tak terawat itu. "Lily?" panggilnya.

    Bukan tanpa alasan ia mendatangi tempat berdebu itu. Lily adalah alasan dia ke tempat itu. Di sanalah tempat dimana Lily meminta bertemu empat mata dengannya. Ayana mendapatkannya lewat pesan. Meski si pengirim pesan tak menyatakan secara gamblang bahwa ia Lily. Tetapi Ayana yakin seratus persen dia adalah Lily. Teman perempuan pertamanya.

    "Lily, ini aku Ira," sahutnya lagi. Ayana mendesah pelan kala tak menemukan siapapun di sana. Ketika hendak kembali ke kelas, Ayana tidak sengaja menyenggol sebuah kotak berukuran sedang.

    Dibukanya kotak itu. Ayana mengambil flashdisk dengan gantungan bergambar kamera tersebut. Kepala tertoleh ke kanan dan kiri bergantian. Mencari orang yang menaruh flashdisk tersebut.

    Haruskah dia membukanya? pikir Ayana dalam hati. Pandangannya jatuh tepat pada gantungan bergambar kamera itu. Seakan dilempar ke masa lalu Ayana melihat gambar-gambar itu berubah menjadi gulungan film.

    "Aku punya sesuatu buat kamu," sahut si lelaki berseragam putih-biru di sampingnya.

    "Sesuatu?" tanya si gadis antusias. "Buat aku?"

    Kepala si anak laki-laki terangguk cepat. "Ini, dari Ion si ganteng buat Ira si ceroboh," ucap Leon yang acap kali disebut Ion oleh teman-temannya.

    Ayana menerima hadiah berupa gantungan itu suka hati. "Buat Ira?" tanyanya memastikan.

    Lagi Leon mengangguk sebagai jawaban.

    Senyum Ayana terukir indah. "Makasih Ion. Ira suka gantungannya," balas Ayana. Gadis SMP itu memerhatikan setiap lekuk gantungan berkamera tersebut.

    "Sama-sama, Ira. Oh, iya jangan sampai gantungannya lepas, ya apalagi hilang. Nanti Ion marah," pesan Leon memperingatkan.

    Ayana mengangguk-angguk semangat. "Ira janji bakal jaga gantungannya."

    "Ion," lirih Ayana memanggil. "Tapi ... kenapa gantungannya—" Ia bergegas mencari gantungan kamera pemberian Leon padanya dahulu. Di mulai dari laci, lemari sampai kardus berisi barang-barang tak terpakai Ayana tak menemukan benda yang ia cari.

    "Kenapa gantungannya ada di Lily?" gumam Ayana heran. Seingatnya terakhir kali, ia memakai gantungan kamera itu ketika kecelakaan itu. Kecelakaan yang mengakibatkan sang pemberi hadiah terluka akibat hadiahnya sendiri.

    Diberanikannya diri, Ayana memilih untuk membuka isi flashdisk itu. Sebuah kalimat berbahasa inggris muncul di layar monitor.

    Hope you like it, Ira.

    Penasaran apa yang di maksud Ayana membuka folder bertuliskan “For Ira”. Di dalamnya terdapat sebuah video. Mengembuskan napas sejenak sebelum tangannya meng-klik videonya.

    "Pembawa sial!"

    "Jadi dia yang namanya Ayana? Si Pembawa Sial itu?"

    "Penyebab kecelakaan itu?"
 
    "Dasar pembawa sial!"

    "Kasihan banget Leon harus jadi korban kesialan tuh cewek!"

    "Mati aja lo!"

    "Panggilan Pembunuh lebih cocok buat orang kayak dia!"

    Segera Ayana mematikan tayangan berupa cacian dan makian yang ia terima dahulu kala. Dadanya kembang kempis akibat napasnya yang memburu. Terasa ditarik paksa ke masa lalu. Masa ketika dirinya harus menerima kenyataan bahwa dialah penyebab kecelakaan itu terjadi. Jika bukan karena dia, Leon tidak akan mengalami hal buruk seperti itu.

    Setitik bulir bening itu muncul. Melintasi wajah cantiknya. "Maaf. Maafin Ira," sesalnya lirih.

*****

    Tubuhnya terbaring di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya membawanya mengingat kembali Ayana yang sepulang sekolah sempat menghilang.

    Iris matanya tak lelah menyusuri tiap sudut sekolahnya yang tak bisa dikatakan sempit. Dia mendesah kasar. Jarinya mencari kontak sang gadis, mendekatkan ponsel ke telinga. Lagi-lagi panggilan itu tidak diangkat.

    Sembari berjalan mengitari seisi sekolah, tangannya terus-menerus menghubungi nomor Ayana yang entah berada di mana. Hingga matanya menemukan sosok itu keluar dari gudang. Sebelah alisnya terangkat naik. Apa yang Ayana lakukan di sana? benaknya dalam hati.

    Kening Andri makin bertumpukan saat seorang gadis yang baru-baru ini harus ia waspadai, menatap ke arah perginya Ayana. Dia bergerak bersembunyi di balik pintu salah satu kelas. Memperhatikan kepergian si gadis dalam diam. Yang entah mengapa mengukir senyum seolah telah memenangkan sesuatu. Dan sesuatu itulah yang di pertanyakannya. Apa itu ada hubungannya dengan Ayana?

    Andri menegakkan tubuh. Meraih ponsel, secepat kilat jarinya berseluncur lincah di layar benda pipih tersebut.

To: Ratu-nya Pangeran
Ayana? Lo nggak apa-apa, kan?

    Lima menit berlalu cepat, namun belum ada tanda-tanda Ayana akan membalasnya. Tidak sabar, ponselnya ia dekatkan ke telinga. Lagi-lagi Ayana tak mengindahkannya. Apa yang tengah dilakukan, Ayana? Dia baik-baik saja, bukan? pikirnya cemas.

    Berulang kali Andri mencoba peruntungannya. Dia mendesah, dia bersumpah jika kali ini Ayana tidak juga mengangkat panggilannya, maka dia akan mencari jawabannya sendiri. Apakah gadis itu baik-baik saja atau tidak.

    "Ayana?" sebut Andri sedetik setelah Ayana mengangkat panggilannya.

    Sedangkan di seberang sana, si gadis agak tersentak kaget. "Andri? Ngapain lo telepon?"

    "Lo nggak apa-apa?"

    "Huh? Gue? Gue nggak apa-apa. Lo kali yang kenapa-napa. Ngapain telepon gue?" cecar Ayana.

    Andri membuang napas lega. Setidaknya Ayana terdengar baik-baik. Tunggu! Terdengar? Bagaimana dengan rautnya saat ini? Apakah mata Ayana berkaca-kaca? "Beneran, lo nggak apa-apa?"

    "Iya, Andri," tekan Ayana menegaskan.

    "Kalau gitu, angkat video call gue."

    "Apa? Ngapain? Nggak, ah! Gue lagi belajar!"

    "Kalau gitu, terpaksa gue harus ke rumah lo."

    "Ke rumah? Ngapain, sih, Andri? Udah, ah gue tutup!"

    Dan benar saja, Ayana menutup panggilan secara sepihak, enggan menunggu balasannya.

*****

    Gadis itu mendesah berat. Iris matanya memperhatikan anak lelaki di hadapannya, yang sebelumnya menghubungi berulang kali, entah apa maksud si lelaki menerorinya dengan panggilan itu. "Ngapain ke sini?"

    "Lo nggak apa-apa?"

    Ayana berdecak sebal. Memutar bola mata malas. Kepalanya terangguk lantas berucap, "Seperti yang lo lihat, gue nggak apa-apa."

    Andri menganggukkan kepala. Bernapas lega Ayana baik-baik saja tanpa ada tanda-tanda telah menangis tersedu. "Oke, kalau gitu, gue balik sekarang."

    "Udah mau pulang?"

    "Iya, emang lo pengen gue nginep?"

    Lengan Ayana terangkat memperlihatkan kepalan tangannya. "Mau cepat mati lo?"

    Andri terkekeh geli. "Nggak sekarang. Gue belum dapatin lo sepenuhnya, Ayana. Jadi jangan cabut nyawa gue dalam waktu dekat, ya?"

    Ayana mendengus. "Udah sana, pulang!" serunya sembari membuat gerakan tangan mengusir.

    "Iya, gue pulang ke rumah. Kalau pulang ke hati lo lain kali aja," cetus Andri.

    "Andri! Nggak tahu tempat banget, sih lo!" gerutu Ayana sebal. Memperhatikan ke dalam rumah yang tengah ramai.

    Andri mengukir senyum. "Gue balik. Maaf nggak bisa lama-lama dan maaf juga ganggu waktu belajar lo."

    Ayana menggumam pelan. "Hati-hati."

    "Kabarin kalau udah pulang-nya enggak, nih?" goda Andri jahil.

    "Terserah lo!" bentak Ayana. Matanya memperhatikan Andri yang keluar area rumah. Dia mengembuskan napas panjang. Matanya melirik ponselnya yang bergetar sesaat.

From: Andri Antonio Dewantara
Selamat malam, Ratu.
Jangan lupa mimpikan Pangeran yang tampan nan menggemaskan ini.

    Ayana mendengus. Geleng-geleng kepala membaca pesan Andri. Tangannya menarik handle pintu. Berbalik badan hendak memasuki rumah. Namun getaran itu kembali terasa. Kali ini bukan dari Andri, melainkan sang rival bernama Adam.

    Dia bohong.

    Kening Ayana tertaut. "Siapa yang bohong?" lirihnya bertanya.



*

*

*

*

*

TO BE CONTINUED


NOTES
Hello, yeoreobun~
Gimana perasaan kalian tentang cerita ini? Mungkin ada yang mau kalian sampaikan ke aku atau karakter di sini? Ayo saling share. I'll waiting.
See you on the next chapter~

Salam Kenal,

Indri

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 142K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
2.2K 1.4K 29
Cinta itu butuh perjuangan untuk didapatkan, jika kamu mencintai seseorang, kamu harus terus berjuang untuk bisa menggapai nya. Namun jika semuanya...
555K 16.9K 84
Mau kata-katanya di post sama kita? Kirim lewat dm nanti kita bakal tag kamu:) Kumpulan-kumpulan sindiran zaman now. Kadang lucu kadang frontal. PLEA...
Daisy By Kutubutara

Teen Fiction

987 260 24
Hanya sedikit kisah hidup seorang gadis, yang katanya yatim piatu. Kisah seorang gadis yang katanya sangat menyukai bunga Daisy. Kisah gadis yang ka...