Merah Matahari

Par fmahardini

5.5K 396 100

Ya, aku akan siap melepaskan kapan saja karena aku tak bisa mengatur siapa jodohmu. Yang aku bisa hanya memin... Plus

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam

Tiga Puluh

270 19 8
Par fmahardini

Aroma daging terbakar langsung tercium bersamaan dengan suara desisan terdengar. Tak jauh di belakangku, di arah pintu masuk restoran, seorang laki-laki menyambut pembeli yang baru datang dengan bersemangat, dengan bahasa yang aku tak paham.

"Nih, cobain bakar dagingnya." Kamu memasukkan penjepit makanan berukuran tak terlalu besar ke dalam genggaman tanganku.

"Iya, harus cobain sensasinya, Mas." Reno ikut berkomentar dari seberang meja.

"Kamu harus banget manggil dia pake 'Mas'?" tanya Dewi. "Nanti kalo udah nikah, aku juga harus manggil mas gitu ke Senja?"

"Ini tempat pembakarannya. Ini dagingnya, udah dimarinasi, jadi langsung dipanggang aja," lanjutmu seraya menyentuhkan ujung penjepit makanan yang kugenggam ke tempat-tempat yang kamu sebutkan. "Kalau secara struktur keluarga sih iya, Ei. Kan maminya Reno itu adiknya bapak. Orang Jawa bilang kamu tuh kalah awu, kalah tua di struktur keluarga. Termasuk nanti kamu juga bakalan manggil aku pake 'Mbak'," lanjutmu, menjawab pertanyaan Dewi barusan dengan sok serius.

Harus merasakan sensasinya. Baiklah. Aku menjepit daging dari piring, meletakkannya di atas pemanggang hingga suara mendesis terdengar lagi.

"Dih males banget," jawab Dewi.

"Diratain dagingnya biar cepet matengnya dan rata." Kamu menggenggam tanganku, memandu untuk meratakan daging yang sudah ada di atas panggangan.

"Awwww... romantis banget sih kaliaan," seru Dewi. "Aku juga mau gitu, Bi. Pegangin tanganku sini."

Kamu mendenguskan tawa.

"Kenapa?" tanyaku penasaran, ingin tahu apa yang sedang dilakukan dua manusia di hadapan kita itu.

"Reno tuh, Ja. Nurut bener sama si Monyet ini. Disuruh megangin tangan langsung laksanakan. Jangan nurut-nurut, No. Kesenengen nanti dia."

"Takut kuwalat sama senior aku tuh kalau nggak nurut, Mbak. Eh, aduh!" Reno lantas mengucapkan maaf seraya tertawa. Entah bagian tubuh mana yang mendapat serangan fisik dari Dewi sampai dia harus berulang kali meminta ampun begitu.

Tawa kita lepas juga mendengar jawaban Reno tadi. Perbedaan umur mereka memang tak pernah luput dari pembahasan setiap kali kita berkumpul begini.

Aku mengembalikan penjepit daging ke genggaman tanganmu, menyerah. Tak tahan dengan asap yang menerpa wajah setiap kali daging-daging berbumbu itu mulai terpanggang.

"Cobain," katamu sambil meletakkan potongan daging matang ke atas piring. "Hati-hati, masih..."

"Panas." Aku menyelesaikan peringatanmu dengan tepat seraya menarik cepat tangan setelah ujung-ujung jemari kiriku menyentuh isi piring.

"Padahal udah pegang sumpit," katamu.

Aku meringis. "Kebiasaan, susah ilang," ucapku sebelum meniup makanan yang sudah terjepit di ujung sumpit lalu memasukkan suapan pertama ke mulut. Ya mau bagaimana lagi, aku harus tahu di mana tepatnya posisi makanan sebelum mengarahkan ujung sumpit, kan?

Manis, asin, gurih. Ketiga rasa itu berpadu dengan tekstur daging yang kenyal. Sebagai orang yang bukan penggemar daging, aku harus mengakui bahwa ini enak. Yah, sepadan dengan harganya juga, sih. Sekali makan di sini bisa kugunakan untuk sepuluh kali makan siang di warung soto dekat rumah.

"Pake selada, bawang putih, sama potongan cabe makannya," kata Dewi.

"Sejak kapan dia mau makan sayur selain sayur bayam sama sop?" Kamu kembali meletakkan daging ke atas piring.

"Mau, kok. Daun bawang yang di bubur ayam aku makan." Aku mengajukan pembelaan.

"Itu garnish, nggak kehitung sayur," protesmu cepat.

"Aku doyan sayur, loh." Reno ikut berkomentar.

"Nggak nanya, Bi. Plis. Nggak usah jawab kalau nggak ada yang nanya," sahut Dewi.

Kamu tertawa sebelum membisikkan padaku tentang bagaimana Reno langsung memonyongkan bibir ke arah Dewi.

"Bi itu singkatan apa sih, Dew? Babi?" Aku memasukkan sesuap daging lagi ke mulut. Kali ini rasanya sedikut pedas, tapi masih bisa kutolerir.

"Heh! Sembarangan!" bentak Dewi.

"Baby, diambil belakangnya." Kamu menyahut.

"Diiih.. mbaknya sok tau. Kita udah bukan remaja, udah nggak ikut-ikutan tren begitu. Bi itu panggilan sayang kita, singkatan dari albi, artinya my heart," kata Dewi, memberikan penjelasan. "Apa senyum-senyum?" tanya gadis itu kemudian dengan galak.

"Galak, ngeselin, tukang ngatur, tapi kok ya aku sayang banget sih sama kamu, Bi," kata Reno.

Tanganmu tiba-tiba menempel di kedua pipiku, lalu aku merasakan wajahku ditarik, dipaksa untuk menoleh ke arahmu.

"Liat aku aja, jangan liatin mereka. Sayang kalau sampai muntah, hari ini jajan kita mahal," ucapmu pelan di depan wajahku.

Aku yang awalnya cukup terkejut dengan tindakan mendadakmu, langsung tertawa begitu sadar apa yang sedang terjadi. Untung sedang tak ada makanan di dalam mulutku, jadi tak kusembur wajahmu. Kutebak Reno sedang berusaha melakukan tindakan romantis tadi, sesuatu yang sering membuatmu merasa geli. Aneh memang kamu ini. Padahal jika aku melakukan hal yang sama, kamu tenang-tenang saja.

"Tahan, jangan nengok dulu." Kamu masih mempertahankan telapak tangan di kedua pipiku.

"Tss.. kaya dia bisa liat aja," cemooh Dewi.

Aku melepaskan sumpit ke atas meja, ganti meletakkan tangan di kedua pipimu, menariknya perlahan, lalu mendaratkan kecupan di dahi.

"Tenang, I'll be fine," bisikku.

Seketika tanganmu lepas dan tubuhku didorong menjauh.

"Iyuuh, bau daging!" protesmu. "Tisu.. tisu..."

Dua orang di hadapan kita langsung tertawa. Aku hanya mengangkat bahu, lalu kembali menikmati makan malam.

"Kalau Mas Senja, apa yang bikin jatuh cinta sama Mbak Rekta?" tanya Reno.

"Kamu tuh beneran harus manggil dia 'mbak', ya?" Dewi protes lagi. "Ja, pacarmu tuh. Mukanya ngeselin."

Aku menoleh. "Mana?" tanyaku. "Cantik gitu kok ngeselin sih, Dew."

"Emang Mas Senja tahu dari mana kalau Mbak Rekta cantik? Pernah ngeraba wajahnya ya?"

Aku tertawa, dengan cepat lantas menggelengkan kepala. "Kamu pikir kalau ngeraba wajah dia, aku jadi bisa tahu kaya apa wajahnya? Nggak, No. Aku tetep nggak bakal bisa bayangin wajah dia kaya apa mau kurabain seharian juga."

"Lah, di film-film itu kok pada raba-raba muka?"

"Film, No. Tapi ya mungkin ada yang bisa tahu kaya apa muka orang pake cara itu kali, ya? Yang jelas sih nggak ngepek kalau di aku. Temen-temenku yang tunet kebanyakan juga gitu deh kayanya. Lagian aku nggak perlu liat juga udah tahu kalau dia itu cantik soalnya semua orang bilang gitu."

"Halah, orang-orang itu cuma berusaha bersikap sopan aja. Nggak mungkin juga kan mereka tega bilang kalau si Rekta itu sebenernya jelek," komentar Dewi.

Kamu menyambar sesuatu dari piring di antara kita lalu tak lama Dewi mengaduh pelan.

"Heeeeh, bawang lagi mahal tau," katanya.

"Jangan percaya sama Ei, Ja. Aku cantik, kok." Kamu menepuk-nepuk pipi kiriku pelan.

Aku menangkap tanganmu, menggenggam dan membawanya ke atas meja.

"Iya, aku tahu, Red. Aku percaya." Aku mengusap-usap tanganmu di genggaman denga  ibu jari. "Kamu harusnya nanya ke Rekta kalau soal apa yang bikin jatuh cinta. Dia duluan yang jatuh cinta sama aku dulu," kataku pada Reno.

"Woooooh.. fitnah kalau yang itu!" Kamu langsung menarik tangan dari genggaman, ganti mencubit pipiku dengan gemas. "Jangan percaya, No. Dulu tuh dia duluan yang naksir aku. Aku udah dikasih tau sama Umi, ya. Jadi jangan bohong. Kata umi, kamu udah mulai nyeritain tentang aku pas pengumuman pembagian kelas. Padahal waktu itu aku belum tahu kalau ada manusia aneh ini di kelas. Dia aja nggak ikut MOS. Aku taunya pas habis MOS kalau sekelas sama dia." Penjelasanmu panjang. Aku hanya tersenyum geli mendengarnya.

"Sama-sama naksir tapi sok jual mahal. Sampe kesel aku liatin mereka dulu. Sampai nggak nafsu buat pacaran gara-gara eneg liatin mereka," sahut Dewi.

Aku mengerutkan kening. "Bukannya karena memang nggak ada yang naksir?" tanyaku. "Bukannya cowok-cowok dulu pada takut sama kamu, Dew? Makanya nggak ada yang berani nembak gitu?"

Satu siung bawang putih ganti mendarat di dahiku sebelum kemudian jatuh ke atas meja.

"Sabar, Bi.. Aku tahu kamu dulu sengaja nggak pacaran, kok. Kamu sengaja nunggu lelaki yang tepat. Nunggu aku." Reno menengahi. "Ya selain karena memang nggak ada yang mau kan?"

Kita langsung tertawa senang mendengar kalimat terakhir Reno.

"Kamu nanti pulang sendiri, ya?" kata Dewi.

"Kan kita naik mobilnya Renoooo." Kamu mengingatkan.

"Oiya. Nggak jadi," kata Dewi. "Tapi, serius. Aku dulu tuh gemes banget sama kalian. Sayang-sayangan, tapi nggak mau ngaku sayang."

Aku memainkan ujung sumpit ke atas piring kosong. "Ya kan waktu itu dia ada yang punya, Dew. Prinsipnya, kalau ada yang punya ya jangan direbut."

"Yak, bener banget, Mas. Aku sepakat sama yang itu," sahut Reno.

"Secara fisik sih nggak ngerebut. Secara hati?" Pertanyaan Dewi membuatku menundukkan kepala, menyembunyikan senyuman. "Justru yang kaya kamu tuh yang bikin gemes. Yang dimainin perasaan, dipikat, tapi terus dilepasin. Tarik ulur, nggak tegas. Egois."

Aku menoleh padamu, ingin sekali tahu seperti apa raut mukamu sekarang karena semenjak membahas tentang kita yang dulu, tiba-tiba saja kamu lebih banyak diam.

"Bahkan setelah bertahun-tahun pacaran, dia masih suka kaya gitu tuh, Bi. Suka narik ulur perasaannya Rekta. Makanya pas tahu kalian sepupuan, aku khawatir juga sih kamu bakal sama kaya Senja. Makanya, dari awal kutegasin tentang ke mana arah hubungan kita. Aku nggak sekuat Rekta kalau urusan kaya gini. Kalau aku jadi kamu ya, Ta, udah kutinggalin dia dari dulu."

Belaian pelanku di belakang kepalamu membuatmu menoleh. Tepukan pelan kembali kurasakan di pipi kiri. Kamu sedang memberitahu tanpa kata bahwa kamu tak apa-apa. Lalu ada hening yang tak nyaman. Aku kembali mendengar suara-suara keramaian di sekitar kita dengan lebih jelas: orang-orang yang sedang mengobrol, suara kompor dinyalakan, suara pelayan yang menyambut dan melepas pelanggan.

"Sori, malah bikin suasana nggak enak gini." Reno memecah kebisuan kita.

"Nggak papa, Bi. Kalau kamu nggak nanya tadi, aku nggak bakal punya kesempatan buat bilang semua itu ke dia ini nih," kata Dewi. "Seneng sih pada akhirnya kalian sampai ke tahap ini. Seneng pas denger Senja ngelamar kamu, Ta. Walaupun masih kesel aja kalau inget gimana kamu nangis di telpon tiap kali kalian putus. Udah gitu.... Hih, kok aku jadi nangis, siiih."

Di sisiku, kamu tertawa kecil, pelan.

"Udah, Ei. Jangan diterusin. Yang udah ya udah, sih," katamu.

"Nggak. Aku harus bilang sama Senja. Mumpung ada kesempatan. Biar dia nggak ngulangin kesalahan yang sama." Dewi ngeyel. "Habis ini aku nggak mau denger kamu bilang 'aku nggak mau jadi penghalang jodoh kamu yang sebenernya' atau 'aku lepasin kamu karena aku sayang sama kamu' lagi ya. Awas aja berani kamu gituin Tata lagi."

Senyumku kali ini pahit rasanya. Tapi, kepalaku terangguk juga.

"Janji?!"

Aku mengangguk lagi. "Janji."

"Ya, aku juga tahu kalau jodoh itu udah diatur. Cuma, jodoh itu juga kudu diperjuangin, Ja. Perempuan itu butuh buat merasa diperjuangin, bukan malah dilepasin sama takdir."

"Udah, Ei. Tisu.. tisu. Kasih tisu, No." Kamu berusaha meringankan pembicaraan dengan tawa kecilmu kemudian. "Dia tuh sebenernya lagi curhat tentang hatinya sendiri, No," godamu.

"Stress pra nikah?" tanyaku, berusaha ikut meringankan suasana.

"Tauk!" bentak Dewi dengan kesal.

Kita sama-sama tertawa, menyudahi obrolan yang mendadak berat tadi, menyudahi makan malam kita, bergegas menyelesaikan pembayaran lalu keluar bersama ucapan selamat jalan dari beberapa pelayan.

"Nganterin Mbak Rekta dulu, terus ke Mas Senja. Kamu terakhir ya pulangnya, Bi?" tanya Reno sambil membuka pintu mobil.

"Aku diturunin di rumah Rekta aja, No. Nanti aku pulang sendiri. Nggak searah soalnya. Kasian Dewi." Aku membukakan pintu penumpang belakang, mempersilakanmu masuk, lalu kembali menutup pintu dan memutari bagian belakang mobil untuk masuk dari pintu satunya.

"Aku nggak butuh dikasihani." Dewi mengatakan itu setelah terdengar suara pintu depan ditutup hampir bersamaan. Sengaja dikatakan dengan sedikit dramatis. "Tapi iya, kata mami nggak boleh pulang malem-malem. Aku harus tidur cepet buat nyiapin tenaga."

"Bukannya kamu udah mulai cuti, Ei?" tanyamu.

"Iya. Maka dari itu. Mulai besok udah harus dipingit biar nggak kena sinar matahari, harus luluran, harus cukup tidur biar fresh nih muka."

Mobil mulai sedikit lebih laju begitu masuk ke jalan utama. Sebuah lagu yang diiringi suara gitar akustik mengalun pelan dari pemutar musik. Dua sejoli yang ada di depan langsung ikut bernyanyi, seperti sedang latihan untuk menyanyikan di pernikahan mereka nanti.

"In case you didn't know. Baby, I'm crazy 'bout you and I would be lyin' if I said that I could live this life without you. Even though I don't tell you all the time, you had my heart a long, long time ago.[1]" Dewi dan Reno masih berduet di depan.

Kamu menarik tubuhku, memintaku mendekat, lalu berbisik tentang apa yang sedang dilakukan dua orang di depan kita. Sesekali kamu tertawa kecil, menertawakan betapa mabuk cintanya mereka berdua.

"Kemaren-kemaren waktu orang bilang kalau mau nikah itu bakalan banyak cobaan, aku nggak percaya," kata Dewi. "Kan katanya banyak yang udah ngalamin, tuh. Godaannya banyak. Mulai dari mantan yang tiba-tiba dateng lagi atau ada orang baru yang tiba-tiba muncul ganggu hubungan. Aku nggak percaya, nggak peduli juga."

"Karena kamu nggak punya mantan?" tanyaku.

"Mmm, Bi. Bisa tolong berhenti bentar? Aku mau nurunin si Senja, nih. Komentarnya dari tadi nyebelin terus soalnya," kata Dewi.

"Hahahaha.. sori, sori." Aku berusaha menahan tawa. "Oke, nggak komen lagi."

"Memangnya ada cobaan apa, Ei? Kayanya kalian lancar-lancar aja," tanyamu.

"Cobaan ya ada, lah. Eh, emang aku belum cerita ya kalau si mami tuh permasalahin umurnya Reno yang lebih muda?" Suara Dewi terdengar lebih jelas. Dia sedang menoleh ke arah kita. "Apalagi ni anak baru lulus kuliah, belum kerja mapan. 'Dia itu lebih muda loh, nanti nggak dewasa gimana? Masa kamu yang nanti momong. Kamu kan perempuan'. Gitu katanya."

"Emang iya, Bi? Perasaan si mami baik-baik aja ke aku?" Reno memelankan laju mobil.

"Eh, aku belum cerita sama kamu, Bi? Hahahaha.. Astaga. Sampe lupa. Ya ke kamunya sih baik-baik aja. Mami kan gitu orangnya. Biasanya kalau nyampein ketidaksetujuannya itu ke anaknya dulu, private. Mami harus denger pendapat anak-anaknya dulu, dibahas bareng gitu. Tapi tenang aja. Aku udah yakinin mami kok kalau kamu tuh dewasa banget."

Lagu sudah berganti dengan It's You-nya Sezairi saat Dewi menceritakan tentang komentar-komentar harian maminya. Pada dasarnya beliau hanya khawatir apakah anak perempuan satu-satunya itu akan dijaga dan diperlakukan dengan baik setelah menikah nanti. Dengan kondisi pekerjaan Reno yang menurut beliau belum aman dan usia yang lebih muda, dianggap jauh lebih tidak dewasa, wajar saja kalau beliau khawatir. Ternyata setiap orang tua memang memiliki kekhawatiran untuk melepaskan anak-anaknya. Untuk ayahmu, alasan beliau serupa. Kekhawatiran beliau pada intinya sama.

"Waktu SMA dulu, waktu masih polos, mikir hidup bakal selalu lancar. Lulus, kerja, nikah, punya anak. Nyatanya, garisnya nggak lurus, tapi muter-muter." Kamu meletakkan kepala di bahuku, memeluk lenganku.

Refleks, aku mengacak puncak kepalamu pelan.

"Kaya pacaran udah lama, semua keluarga udah kenal, eh tapi dapet izin nikahnya setengah mati, yak?" tanya Dewi sambil menahan tawa. "Semangat, Ja," kata Dewi. "Aku nggak bisa bilang apa-apa sih selain itu. Eh, tapi kalau butuh nomor kontak dukun pelet, bilang aja."

"Bi, kamu nggak melet aku kan ya? Aku jatuh cinta sama kamu bukan karena hasil kerja dukunmu kan ya?" tanya Reno.

Aku menggelengkan kepala, tak berusaha menahan tawa saat Dewi berpura-pura tertangkap basah mendukunkan Reno.

"Kalau butuh jasa buat ngebaik-baikin Senja di depan ayah kamu, juga tinggal bilang aja, nanti kukirimin daftar harganya, Ta. Mau ambil paket yang per kata atau per jam boleh," kata Dewi lagi dari depan.

Kamu beruntung sekali punya sahabat seperti Dewi ini. Dia berani menasihatimu apa adanya, selalu ada setiap kali kamu butuh, selalu bisa membuat kita tertawa.

Kamu tiba-tiba mengeratkan pelukan. Lagu berikutnya yang kudengar dinyanyikan seorang laki-laki. Lumayan menarik juga liriknya. Sepertinya daftar lagu ini adalah daftar lagu pernikahan mereka. Semenjak tadi lagu-lagunya memiliki tema yang sama.

"Oh I'm a mess when I overthink the little things in my head, you seem to always help me catch my breath. But then I lose it again. When I look at you, that's the end. [2]" Kamu bernyanyi pelan di pelukanku, membuatku tersenyum.

Suara nyanyianmu pelan kemudian adalah satu-satunya suara yang kudengar, mengalahkan suara Dewi yang sebenarnya lebih keras di depan sana.

"Ayahnya Tata nolak lamaranmu bukan karena kamu cacat kan, Ja?" tanya Dewi tiba-tiba, tak lama kemudian.

"Heh. Kok gitu sih nanyanya, Bi?" tegur Reno. "Sori, Mas."

"Kenapa memangnya?" Dewi terdengar tak terima karena mendapat teguran.

"Nggak papa. Emang cacat kan yak?" Aku tertawa. Dewi sudah tahu bahwa aku tak apa-apa ditanya seperti itu olehnya. Kami sudah terlalu lama mengenal, sudah saling paham batasan-batasan di dalam obrolan.

"Hmm.. Ya pastinya jadi faktor pertimbangan juga, Ei. Nggak mungkin engga, kan?" Kamu menyahut.

Pelukanmu merenggang, kepalamu diangkat, kamu ganti menyandarkan tubuh di sandaran kursi. Aku tahu kamu merasa tak nyaman dengan bahan obrolan ini.

"Some say love, it is a flower and you its only seed." Aku ganti bernyanyi pelan mengikuti suara Shane Westlife menyanyikan lagu The Rose yang mulai mengalun lewat pemutar musik, menggantikan lagu sebelumnya.

"Udah keracunan Westlife, Pak?" tanya Dewi. "Bukannya lagu-lagumu biasanya rock and roll gitu?"

"Hahahaha.. kok denger sih kamu, Dew? Aku udah pelan-pelan padahal tadi nyanyinya."

Gara-gara terlalu sering menemanimu mendengarkan lagu-lagu mereka, lama-kelamaan aku jadi hafal juga. Terutama lagu yang satu ini. Katamu, sewaktu aku menelpon untuk pertama kalinya dulu, kamu sedang mendengarkan lagu ini. Makanya, buatmu lagu ini punya kesan tersendiri. Duh, aku jadi teringat kata-kata Dewi tadi. Waktu itu aku memang egois, mengatakan tak akan merebutmu dari lelaki lain, namun tak mau mengakui bahwa sebenarnya sudah dengan sengaja merebut hatimu perlahan-lahan.

"Ini mau langsung pulang? Denger-denger ada pasar malam loh di alun-alun. Pada nggak pengen ke sana?" Dewi bertanya lagi.

"Kamu mau ke pasar malem dulu, Red?" tanyaku.

"Nggak. Bakalan rame banget di sana. Susah jalannya."

"Masih trauma ya?" godaku.

"Trauma? Trauma apa? Kenapa? Kok aku baru denger?" Dewi terdengar sangat ingin tahu.

"Rekta pernah ilang di pasar malem pas aku nyusulin dia ke Jogja dulu." Aku menemukan tanganmu, menggenggamnya.

"Kamu kali yang ilang." Kamu menolak untuk bersepakat. "Orang lagi rame banget, disuruh pegangan kenceng nggak nurut. Ketabrak orang langsung lepas terus kedesak sama orang mayan banyak." Suaramu terdengar kesal. "Udah gitu, Ei, dia sotoy lagi. Asal jalan aja, nggak mau nunggu aja gitu. Siapa yang nggak khawatir?"

Aku menarik tubuhmu, memeluk dengan gemas. "Ya kan posisinya lagi nggak bisa berhenti, harus jalan terus ngikutin arus. Orang didesak dari belakang juga." Aku membela diri.

"Iya. Terus dimarahin berapa orang aja gara-gara nabrak sama nginjek bagian belakang sendal orang?" Kamu menggemaskan sekali kalau sedang kesal begini.

"Hahahaha.. iya iya. Maaf sudah bikin kamu khawatir," ucapku seraya mengacak puncak kepalamu.

"Tebak dia bilang apa pas akhirnya aku temuin dia, Ei?"

"Pasti sesuatu yang ngeselin," tebak Dewi.

"Ati-ati, rame banget. Nanti kalau kamu ilang gimana?" Kamu menirukan kalimat yang kuucapkan dengan tepat di setiap kata, bahkan nadanya.

Dewi langsung menyerangku dengan kata-kata kutukan. Reno yang ada di sisinya tertawa.

"Parah memang kamu, Mas. Kupikir levelmu di bawah Mbak Arik, ternyata sama aja, ya? Hahahaha," kata Reno.

"Level apa?" tanya Dewi.

"Level nggak tahu dirinya. Hahahahaha.. Duh, aku jadi kasihan sama Mbak Rekta. Kesel banget pasti ya?"

"Sampe nangis." Aku teringat isakan kesalmu malam itu begitu berhasil menemukanku.

Mobil dihentikan dan mesin dimatikan, menyudahi obrolan kita. Di luar tak ada suara keramaian mesin kendaraan. Kita sudah sampai di depan rumahmu.

"Mas Senja beneran turun di sini aja, nggak dianterin pulang?" tanya Reno.

"Iya. Tenang aja. Aku bisa pulang sendiri nanti." Aku membuka pintu.

"Atau nginep?" tanyamu, ikut membuka pintu mobil.

"Halah, emang berani?" tanya Dewi. "Turun bentar, Bi. Ketemu sama mamanya Tata. Lama nggak ketemu."

Pada akhirnya semua ikut turun. Pintu depan dibuka sebelum kita sampai di teras. Sapaan hangat mamamu langsung terdengar. Dewi dan Reno hanya mengobrol sebentar di teras, hanya sekedar bertukar kabar dan obrolan basa-basi sebelum akhirnya berpamitan.

"Mas Senja nggak langsung pulang, kan?" Bukan pertanyaan basa-basi kurasa. Nada pertanyaan mamamu barusan sama seperti yang biasa kamu pakai ketika memintaku untuk tinggal sedikit lebih lama.

"Oh, nggak, Tante. Katanya sih tadi mau nginep." Dewi yang menjawab, membuat mamamu tertawa. "Ya udah, Tante. Saya pamit dulu, yaaa.. Kapan-kapan maen lagi. Kangen makan tumis kangkungnya."

"Ngabarin aja kalau mau ke sini. Nanti dimasakin spesial."

"Yey.. Tante emang the best. Dadah.. Pulang duluan yak?" Dewi menepuk-nepuk lenganku pelan.

Tak lama, aku mendengar mesin mobil dinyalakan kemudian menjauh.

"Tumben belum jam sembilan udah sampai rumah." Mamamu mendahului masuk ke ruang tamu. "Mas Senja bener mau nginep?"

"Hehe.. nggak, Bu. Belum berani." Aku duduk di kursi paling dekat dengan pintu.

"Mamah ih," protesmu. "Aku ke kamar sebentar."

Motor ayahmu berhenti di depan rumah. Aku refleks menelan ludah. Bukannya takut pada beliau, aku hanya merasa harus mempersiapkan yang terbaik setiap kali bertemu dengan ayahmu.

"Alhamdulillah sudah pulang," sambut mamamu. "Ada Senja."

Aku langsung berdiri, menyiapkan senyuman terbaik.

"Hmm.. ya," jawab ayahmu. "Ujung gang bagian utara sekarang dipasang portal. Jam sembilan sudah ditutup," lanjutnya seraya melewatiku untuk masuk ke ruang makan.

Kodenya jelas. Sejelas ingatanku tentang obrolan di ruang tamu ini di suatu hari Minggu.

***

Tenang. Tenang. Aku mengulangi kata itu dalam hati, berusaha mengirim pesan ke jantungku, memintanya untuk tak lagi berdetak secepat ini, untuk biasa saja.

"Jadi, apa yang mau disampaikan?" Pertanyaan itu langsung dilontarkan begitu ayahmu duduk. Tak ada basa-basi.

Aku menarik napas dalam lalu mulai mengutarakan maksud beberapa kali kedatanganku untuk menemui beliau.

"Saya sudah lama mengenal Rekta, Pak. Kami juga sudah merasa saling cocok dan siap untuk ke jenjang yang lebih lanjut. Jadi, saya bermaksud memohon izin ke bapak untuk melamar Rekta." Aku tak lagi peduli dengan susunan kalimat yang berantakan dan mungkin tak jelas. Yang penting sekarang adalah maksudku tersampaikan.

Ada jeda cukup lama. Tak langsung ada jawaban yang kudengar, membuatku sibuk menghapusi skenario-skenario buruk yang tiba-tiba bermunculan di dalam kepalaku. Suara gelas yang diangkat lalu kembali diletakkan ke atas meja semakin memperparah kekhawatiranku.

"Menikah itu nggak gampang," kata ayahmu. "Berumah tangga itu intinya saling. Nantinya nggak bisa cuma memberatkan salah satu pihak."

Aku menganggukkan kepala.

"Kalau sudah menikah, tinggal cuma berdua, harus bisa mandiri dan itu nggak gampang. Tanggung jawab laki-laki itu berat. Laki-laki harus nafkahin keluarga, siap sedia kalau ada apa-apa di rumah. Kalau ada anak, harus siap ngawasin anak dua puluh empat jam. Dan itu bukan cuma tugas istri. Itu juga tugas suami."

Lagi, yang bisa kulakukan hanya menganggukkan kepala.

"Anak-anak itu aktif. Rekta waktu kecil dulu, padahal sudah saya jagain penuh, tetep aja tiba-tiba jatuh sampai luka atau tiba-tiba sakit. Harus benar-benar dijaga, diawasi."

Helaan napas ayahmu terdengar jelas.

"Memangnya Mas Senja sudah benar-benar siap dengan semua tanggung jawab itu?"

Ayahmu memilih setiap kata yang digunakan dengan apik, bahasanya begitu halus. Tapi penolakan yang ada di setiap kalimatnya disuarakan dengan jelas.

"Saya siap, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawabku, tak ingin menyiakan waktu. "Saya paham bahwa berumah tangga itu tanggung jawab berdua, pun nanti kalau sudah ada anak-anak, tetap tanggung jawab kami berdua. Saya tidak akan memberatkan Rekta nantinya."

Keheningan kembali terulang. Kali ini lebih lama dari sebelumnya.

"Dengan kondisi Mas Senja, apa nanti...."

"Yah..," potongmu.

Aku cepat-cepat meraih tanganmu, memintamu untuk tak ikut berbicara dulu.

"Dipikir-pikir lagi saja dulu. Lagipula Rekta juga baru lulus, baru mulai kerja. Mas Senja juga masih lanjut kuliah kan ini? Diselesaikan saja dulu," kata ayahmu. "Sudah, ya? Saya mau siap-siap jemput mamanya Rekta."

Ayahmu beranjak, meninggalkan kita berdua. Di sisiku, helaan napasmu terdengar jelas.

"Udah, nggak papa. Nanti dicoba lagi," bisikku seraya meremas tanganmu pelan dan memberikan senyuman.

Kamu menarik tangan. Entah bagaimana, aku merasa kamu sedang berusaha menahan air mata. Menangis adalah respon yang biasa kamu tunjukkan ketika sedang kesal. Sekarang, kurasa, hatimu sedang kesal sekali.

"Memangnya karena kamu nggak bisa liat, terus kamu nggak bisa apa-apa gitu? Semuanya bakalan harus kubantuin gitu?" ucapmu pelan, jelas sekali rasa kesalmu terdengar.

"Udah, nggak papa. Jangan nangis."

Kamu memukul lenganku pelan. "Kamu tuh nggak papa, nggak papa terus. Jangan biasain diri nerima kalau dientengin orang begitu. Protes gimana kek sama ayah. Aku tadi mau protes malah kamu tahan. Aku tuh mau belain kamu tadi."

"Aku nggak perlu dibelain," jawabku. "Udah, nggak papa. Yang penting kamu masih yakin kan kalau aku serius, aku nggak main-main sama kamu?"

Tak ada jawaban.

"Red?"

"Aku udah ngangguk tadi."

Aku tertawa, meraih wajahmu, lalu mencubit gemas pipimu.

"Udah, ya? Aku pulang dulu kalau begitu. Kamu kan habis pulang jaga malem, nanti malem jaga lagi, kan? Istirahat dulu. Jangan sampai sakit."

Kamu menghela napas, mendahuluiku berdiri. "Aku pamitin ke ayah dulu," katamu sebelum meninggalkan ruang tamu.

Aku berdiri, melingkarkan tas di dada, lalu meraih tongkat dari atas meja, meluruskannya.

"Kata ayah, iya, hati-hati pulangnya," lapormu seraya mendatangiku. "Udah pesen ojek?"

"Naik bus aja, lagi nggak buru-buru."

Aku mengulurkan tangan. Tapi, bukannya mendapatkan uluran tangan balik, tubuhku justru ditubruk dan mendapatkan pelukan erat.

"Masih pengen kamu di sini," bisikmu.

"Dasar bucin," candaku sambil membelai belakang kepalamu lembut.

"Biarin. Emang bucin." Kamu melepaskan pelukan, ganti menarik wajahku, memaksa untuk menatapmu. "Pengen liatin wajah ini. Masih kangen banget rasanya."

Aku meraih tanganmu, melepaskanya dari pipiku. "Aku tahu," bisikku. "Susah emang buat nggak kangen sama aku." Kecupanku di dahimu ringan. "Udah, ya? Aku pulang dulu."

"Aku anter ke halte."

"Nggak usah. Kamu istirahat aja."

Dengan tak rela, tanganku dilepaskan. Aku masih memasang senyuman terbaik hingga kita melewati pagar. Masih juga kupertahankan sampai kudengar pintu pagar ditutup dan kurasa aku sudah cukup jauh dari rumahmu. Hanya sampai di situ. Yang selanjutnya ada adalah helaan napas. Walaupun berkali-kali diperlakukan begitu, dianggap tak bisa apa-apa, berkali-kali kubilang tak apa dan aku sudah terbiasa, nyatanya aku tak pernah terbiasa.

***

"Jeleeeeeeeeek!!!"

Aku disambut oleh panggilan penuh tanda seru itu saat sampai di rumah.

"Kapan dateng?" tanyaku sambil melepas sepatu.

"Mendarat habis magrib tadi. Mau ngasih surpres eh malah ditinggal pacaran." Arik berdiri tepat di tengah pintu, seperti sengaja menghalangiku untuk masuk. "Bau asep. Habis barbekyu-an?"

Aku mengangguk. "Mana Ose?"

"Hih, bisa nggak sih pada nanyain kabarku dulu? Sehat nggak, udah makan belum. Semuanya kok kalau ketemu langsung nanyain Ose. Udah tidur tuh sama bapaknya di kamar."

Arik memundurkan langkah saat kudorong, lalu mengikuti langkahku memasuki kamar.

"Kamu apa kabar?" Aku meletakkan tas, ponsel, dan lipatan tongkat ke atas meja.

"Baik. Alhamdulillah. Udah bisa ngikutin ritmenya si Bayik."

Aku mengangguk-anggukkan kepala, mulai melepasi kancing kemeja yang kupakai. "Kok nggak bilang kalau mau pulang?"

"Salah sendiri. Kan pas video call kapan itu aku mau bilang kalau ada rencana pulang hari ini. Eh belum kelar ngomong dimatiin."

"Ya kan habis itu masih berapa kali lagi video call-an. Nggak ngomong juga."

"Udah males."

Aku melemparkan kemeja ke arah Arik. Tak butuh waktu lama, aku mendapat lemparan balik tepat di wajah.

"Mau ke mana?" tanyaku saat Arik lewat.

"Ke sumur zam-zam, cuci muka. Ni muka baru aja kena dakimu, harus disucikan."

Aku tergelak, segera menyusulnya keluar kamar begitu selesai berganti pakaian. Televisi menyala dengan suara yang lebih pelan daripada biasanya. Obrolan tentang politik terdengar dari sana.

"Baru pulang?" tanya bapak.

"Iya, Pak."

"Dari rumah Rekta?"

Langkahku berhenti, urung menuju kamar mandi begitu mendengar nada pertanyaan bapak yang tak terlalu menyenangkan ini.

"Iya." Kepalaku terangguk pelan.

"Kamu nggak malu apa, Nang? Udah ditolak berkali-kali kok masih dateng ke sana?"

Aku tak menjawab. Bukannya ini hanya sebuah pertanyaan retorik saja?

"Kalau bapaknya Rekta sudah nggak mau, ya udah tinggalin aja. Perempuan nggak cuma Rekta. Masih banyak yang lain, yang orang tuanya bisa nerima kondisimu apa adanya." Tak ada nada tinggi, tapi tusukan kata-katanya tetap saja menyakitkan di telinga.

Pintu kamar Arik dibuka dari dalam. Entah Arik atau Fais, aku tak tahu pasti karena tak ada yang mengeluarkan suara.

"Temen-temen bapak banyak yang nanyain, yang pengen kamu jadi mantunya. Buat apa kamu bertahan, bolak-balik ke sana ngemis ke orang tuanya Rekta?"

Kedua mata kupejamkan. Yang kulakukan kemudian, sama seperti biasanya, hanya berdiri diam mendengarkan bapak memuntahkan semua kata yang sepertinya sudah lama dipendam. Kupikir, rumah akan menjadi tempat berlindung yang nyaman, menjadi tempatku mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Nyatanya di sini pun aku masih harus menghadapi ini setiap hari. Iya, setiap hari. Semenjak tahu bahwa ayahmu belum juga memberikan restu, bapak terus membahas ini setiap hari, menyuruhku untuk berhenti. Responku sama, hanya diam mendengarkannya saja, lalu meninggalkan bapak saat kurasa beliau sudah kehabisan kata-kata.

"Jadi anak itu mbok yang nurut sama orang tua. Bapak itu dari dulu banting tulang buat nafkahin keluarga. Bapak yang pelihara kamu dari kecil. Bukannya nurut, malah bikin malu. Cuma gara-gara satu perempuan saja sampai ngemis-ngemis begitu kaya nggak punya harga diri."

"Senja pernah nggak nurut sama bapak selama ini?" Entah apa yang membuatku tiba-tiba merasa tak ingin lagi diam malam ini. "Semua yang bapak perintahkan, bukannya sudah Senja ikuti? Waktu kecil dulu, bapak ajak Senja ke mana saja untuk berobat ke tempat-tempat nggak jelas sampai harus nahan sakit luar biasa waktu mereka praktikin nggak tau apa ke mata Senja, bapak suruh minum ramuan apa saja, bukannya Senja nurut? Bapak suruh operasi, walaupun tahu kemungkinan berhasilnya kecil, bukannya Senja nurut, Pak? Sewaktu akhirnya kondisi mata Senja makin parah, Senja tetap nurut kan, Pak?"

"Ja.." Arik mendatangiku.

"Senja tetep berusaha belajar, sekolah, jalanin kewajiban Senja sebagai anak, nggak pernah bikin malu bapak sama umi. Senja juga berusaha nyari kerjaan ke sana kemari biar nggak terus-terusan jadi beban bapak sama umi. Senja nggak pernah punya masalah di sekolah, nggak pernah melanggar hukum juga kan selama ini?"

Tanganku ditarik sebelah. Aku paham Arik sedang memintaku untuk menyudahi saja pembicaraan ini. Cuma, kurasa, aku harus mengatakan semua hal yang selama ini kusimpan.

"Kalau memang ternyata semua itu belum cukup untuk bisa membuat Senja menjadi anak yang penurut buat bapak, Senja minta maaf, Pak."

Sampai di sini, aku masih berhasil mempertahankan ketenangan di setiap kata-kataku.

"Bapak melakukan ini buat kamu. Bapak nggak mau kamu dipermalukan seperti ini!" Kali ini suara bapak mulai tinggi.

Aku menarik napas dalam, mengembuskannya panjang.

"Bukan, Pak." Aku mengambil jeda sesaat. "Bukan buat Senja. Ini semua buat bapak. Selama ini, yang bapak pedulikan cuma diri bapak sendiri. Sebenarnya semua hanya tentang bapak. Biar bapak nggak malu, biar bapak punya sesuatu buat dibanggakan ke teman-teman bapak. Sebuah kompensasi biar bapak nggak terlalu malu punya anak cacat kaya Senja."

"Senja!" Suara umi keras, nadanya tinggi, namun suara tangis yang sedang ditahannya bisa kudengar. "Minta maaf ke bapak sekarang."

Aku menarik napas dalam lagi. "Baik. Senja minta maaf," ucapku. "Senja memang salah. Senja belum bisa menjadi anak yang diharapkan bapak dan umi."

Sampai di sini, aku tak lagi bisa mempertahankan ketenangan. Nadaku meninggi, denyut jantungku meningkat. Dengan kasar aku melepaskan genggaman Arik lalu secepatnya menyeret langkah ke dalam kamar, menutup pintu. Aku menyambar ponsel dari atas meja, membawanya ke atas tempat tidur. Ada satu pesan masuk di ruang obrolan kita. Sebuah pesan suara.

"Ja, kamu nggak papa?"

Senyumku pahit saat mendengar rekaman suaramu barusan. Rasanya pas sekali. Waktunya tepat sekali.

Aku mengetuk layar, membuat balasan rekaman suara.

"Nggak papa," jawabku, berusaha sebaik mungkin untuk terdengar bahwa aku benar-benar baik-baik saja.

-------
[1] In Case You Didn't Know - Brett Young

[2] I Guess I'm in Love - Clinton Kane

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

16.5K 550 7
[ Book 2 of Menolak Lupa ] [ COMPLETE ] Tidak ada yang baik. Semua yang mereka pertahankan selama hampir lima sampai enam tahun menghadirkan luka dan...
767 33 2
Berprofesi sebagai penulis cerita fiksi menjadi profesi yang sangat dicintai gadis berusia dua puluh tahun ini. Kehidupannya tidak seperti anak gadis...
SAYAP GARUDA Par Anastasia

Fiction générale

6.4K 870 20
Declaimer : Cerita ini hanya fiktif belaka, nama tokoh, tempat, karakter tokoh, latar, serta alur dalam cerita ini dibuat berdasarkan imajinasi penul...
35K 3.4K 43
[END] (Cerita ini belum sempurna dan masih banyak revisi, jadi harap maklum kalau ada alur atau bagian yang membuat bingung pembaca. Akan segera dipe...