Tuan Kim dan Sang Pelacur

بواسطة VanadiumZoe

75.8K 11.2K 4.1K

Kim Seok Jin mendapat kiriman hadiah dari rekan bisnisnya di Macau, Seraphina, seorang Pelacur paling cantik... المزيد

UNGKAPAN-KATA
PROLOG
LIE
1
2
3
CERULEAN
1
2
3
4
5
6
7
8
WINTER SCENT
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
BLOSSOM TEARS
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
FOREVER RAIN
1
2
3
4
5
6
8
9
10
11
PEACH
1
2
3
4
5
UNGKAPAN-RASA

7

854 177 61
بواسطة VanadiumZoe

👑 🐯 👑

🍁🍁🍁

"Taehyung, kau itu benar-benar gila ya?" kata Riki di seberang sambungan telepon pagi itu.

"Memangnya kapan aku waras?" Taehyung cekikikan sembari bercukur, berdiri bertelanjang dada depan wastafel. Sesekali dia mengusap perutnya yang kian berlemak, digaruk, ditepuk-tepuk.

"Beritanya akan turun pagi ini loh, bunyinya begini; Adik Ipar berpacaran dengan Kakak Ipar selagi Kakaknya koma."

"Ya ampun, tidak ada judul berita yang lebih keren?" komentar Taehyung tak acuh. "Riki, ayolah, kau bisa bikin yang lebih baik dari itu."

Suara keran air saat Taehyung membasuh muka membuat jawaban Riki hilang timbul, Taehyung mengosok wajahnya dengan handuk bertekstur lembut yang disusun rapi di rak-rak samping kaca dinding atas wastafel.

"Apa? Kau bilang apa tadi?" tanya Taehyung.

"Berita ini bisa tayang kapan pun kecuali—"

"Anjing! Berani mengancamku sekarang?" Taehyung membuang handuk ke dalam keranjang di dalam walk in closet. "Harga dirimu bisa kubeli, bahkan kantor berita tempatmu bekerja."

"Iya, iya, Presdir Kim, duh aku jadi mau muntah." Riki tertawa mengejek. "Kau benar-benar menyukai kakak iparmu?"

"Siapa sih yang tidak suka sama istri kakakku? Kau sendiri juga suka kan, kecuali kau homo. Itu sudah rahasia umum, semua laki-laki suka wanita cantik."

"Oke... jadi kau mau aku bagaimana?"

Hening selama dua menit, karena Taehyung sibuk mengenakan pakaiannya.

"Siapa—?" tanya Taehyung kemudian.

"Maksudmu?"

"Si Anjing, pura-pura tolol lagi! Cepat katakan atau pacarmu aku sita."

"Orangnya Jung Ilwoo."

"Kalau berita basi itu tayang—" Taehyung berpikir sebentar, menarik simpul dasi menjadi lebih rapi dan berkata. "—kau akan berurusan dengan presiden Jeon, karena berita itu akan terbukti tidak benar. Selamat, ya."

Taehyung menunggu reaksi temannya, tapi Riki bergeming jadi dia melanjutkan.

"Seraphina adalah keponakan Mr Presiden, minggu depan beliau akan memberi pernyataan tentang hal itu di perayaan ulang tahun pernikahannya."

"Si Bangsat! Kenapa tidak bilang dari tadi, membuang waktuku saja." Riki mengumpat lagi, tertawa kering sebelum menutup panggilan itu.

Taehyung keluar dari kamar sembari bersiul, mengedikkan bahu tidak peduli. Siapa sih yang mau berurusan dengan Presiden Jeon yang terkenal sulit diajak bicara bila sudah tersingung. Taehyung menarik napas penuh kemenangan, dia lebih peduli pada pertemuannya dengan sang Presiden siang ini. Taehyung datang bersama Sera, membahas proyek gedung kesenian. Harusnya Felix ikut, tapi dia harus merahasiakan identitas Sera sampai diumumkan secara resmi.

"Ibu—?" Taehyung memeluk ibunya begitu bertemu di puncak tangga, tapi Damhee buru-buru mendorongnya menjauh.

"Apa yang kau lakukan?" Damhee mengernyit, sementara Taehyung tersenyum lebar.

"Kangen," katanya terus terang, lalu membingkai bahu Damhee dengan kedua lengannya.

"Berapa usiamu?" Kali ini Damhee diam saja, saat Taehyung merangkul bahu dan mereka menuruni anak tangga.

"Maunya sih 17, tapi sepertinya sudah 27 sih." Taehyung cekikikan saat Damhee meliriknya, dia mencium pipi ibunya sekilas yang membuat Damhee tersenyum samar.

Keduanya duduk di meja makan, sarapan roti telur panggang kesukaan Taehyung. Jemari Damhee bergerak ke rambut Taehyung yang tertata kurang rapi, sementara Taehyung tetap lanjut makan tanpa merasa terganggu.

"Semua lancar?" tanya Damhee kemudian, meneliti penampilan Taehyung yang terlalu rapi.

Taehyung biasa ke kantor dengan kemeja tanpa jas dan dasi, rambut berantakan, sesekali bahkan datang dengan sandal alih-alih sepatu. Katanya pakai sepatu merepotkan, Damhee sampai sakit kepala setiap mengingat tingkah putranya itu.

"Hhmm..." Taehyung mengangguk dengan mulut penuh roti, dia bicara setelah makanannya lolos dari tenggorokan. "Hari ini aku akan menemui Mr Presiden membahas proyek gedung kesenian, aku sudah melihat desain Felix, lumayan bagus."

"Dia ikut?"

"Ya," Taehyung tersenyum. "Seokjin benar-benar pintar, bisa-bisanya dia berpikir begitu, Sera sangat berguna untuk meloloskan proyek-proyek besar."

Damhee tersenyum tipis mendapati kelicikan Seokjin benar-benar tidak terduga, duduk tenang sambil menikmati kopi. Oke, Sera memang sangat berguna—pikir Damhee, tetapi apa alasan Seokjin memilih Taehyung? Selama ini Seokjin tidak begitu percaya Taehyung bisa melakukan banyak tugas berat di perusahaan, dan, Damhee sendiri berpikir demikian.

Taehyung tidak tertarik mengurus pabrik mobil, putranya lebih suka melukis. Bila dulu dia membiarkan Taehyung melanjutkan kuliah dibidang seni, mungkin Taehyung sudah jadi pelukis terkenal sekarang.

Damhee berpikir lagi, mencari-cari alasan masuk akal Seokjin memilih Taehyung.

"Taehyung, apa Namjoon pernah menemuimu?"

"Cih, dia lagi!" kemarahan Taehyung tumbuh cepat, sumbu kesabarannya yang pendek tiba-tiba saja putus. "Kalau bukan karena Jimin bilang aku tidak boleh menyentuh Namjoon, aku pasti sudah menuntutnya. CCTV jelas-jelas merekam perbuatannya, aku bingung kenapa Seokjin hyeong terus saja melindunginya."

"Jadi dia tidak pernah menemuimu?"

Taehyung menggeleng cepat. Damhee bergeming sampai Taehyung selesai makan, dan beranjak pergi. Mungkinkah, Seokjin melindungi Taehyung dari Namjoon?—Damhee mendengus kasar, jengkel dengan pemikirannya sendiri.

Anak angkat itu selalu membuatnya kesal, mungkin sudah waktunya Namjoon tahu hal sebenarnya dari tragedi buruk yang terjadi waktu itu. Sejujurnya Damhee malas berurusan dengan anak tidak penting itu, tetapi mengingat Seokjin tidak tahu apa-apa, terpaksa dia yang akan meluruskannya.

"Ah, membuat repot saja," gumamnya, sementara dia memutar-mutar cincin pernikahan.

🍁🍁🍁

Pertemuan singkat dengan Mr Presiden siang hari itu berjalan produktif, Taehyung memberi saran menambahkan lukisan di langit-langit gedung dan Jeon Jeha menyambut baik idenya. Di sepanjang pertemuan dia memerhatikan Jeon Jeha kedapatan berkali-kali memandangi Sera dengan manik berkaca-kaca, tetapi dia tidak paham kenapa kedua orang itu bersikap seolah-olah mereka belum tahu kebenarannya.

Dari keterangan yang diberikan Jimin, bahwasanya Presiden Jeon sudah tahu Cho Sera adalah sosok keponakannya yang hilang. Taehyung menduga ada hal yang dulu mungkin pernah terjadi di antara mereka, merujuk pada pekerjaan Sera sebelum dinikahi Seokjin. Meskipun Taehyung berharap asumsinya salah, tidak terbayang olehnya bila dulu Sera pernah melayani pamannya sendiri.

Semoga saja tidak—pikir Taehyung, lalu meneliti cara Jeha memandangi Sera.

Ketukan dari arah pintu mengalihkan atensi orang-orang di dalam ruangan, istri Jeon Jeha, Park Sooyoung, masuk begitu sang suami memberinya izin. Kehadiran Sooyoung memecah suasana professional di antara mereka menjadi haru biru, begitu Sooyoung memeluk Sera yang duduk di sebelah Taehyung.

"Maafkan Imo (bibi) yang sempat berpikir buruk tentangmu, sekarang kau sudah kembali, ini rumahmu, Sera."

Sera yang berusaha mengabaikan fakta tentang keluarga yang terlupakan di memorinya di sepanjang pertemuan akhirnya runtuh juga, dia balas memeluk Sooyoung bersama air mata yang tiba-tiba menggenangi matanya. Sementara Jeha tampak menahan haru dari kursinya, ada perasaan lega yang berusaha dia tutupi, menyadari dia tidak pernah menyewa jasa Sera selain untuk ngobrol dan bertukar pikiran.

"Sejak awal aku melihatmu, kau mengingatkanku pada anak adikku," kata Jeha, duduk di samping Sera. "Ternyata perasaanku tidak salah, kau memang putrinya Hyewon."

"A-aku, juga berpikir pernah mengenalmu—Samchon?"

Kepahitan hidup yang dijalani Sera disepanjang masa kecil, sedikit banyak mengubur memori dan kenangan di otaknya. Tumpang tindih sampai akhirnya terlupakan, Sera tidak amnesia, hanya tidak sempat berpikir tentang orang-orang yang dulu dia kenal. Hidupnya terlalu buruk dan berat, belum lagi eksistensi Beomgyu yang gencar membunuh ingatan para PSK, didokrin terus menerus, selama bertahun-tahun.

"Ya, panggil begitu, aku memang pamanmu, Sera."

Taehyung tersenyum dari kursi di seberang meja (Taehyung memberi ruang pada mereka yang baru bertemu lagi) ada perasaan hangat memenuhi relung hati. Pertemuan keluarga yang terpisah lama selalu membuatnya membiru, mengingatkan saat dia bertemu Seokjin setelah bertahun-tahun terpisah.

Hampir satu jam lamanya setelah pertemuan itu, akhirnya Taehyung dan Sera undur diri diiringan salam perpisahan bertubi-tubi dari pasangan pemimpin negeri itu. Lalu sewaktu Taehyung telah berdiri didekat mobilnya, dia melihat sosok teman lama tidak jauh dari beranda.

Namun, bukan sosok temannya yang membuat Taehyung terkejut, melainkan reaksi Sera yang buru-buru merapat kepadanya. Sera bahkan merangkul lengannya kuat-kuat, saat pria itu mendekat ke arah mereka.

"Halo, Jungkook, lama tidak bertemu." Taehyung menyapa ramah tapi Jungkook bergeming, dia menduga Jungkook tidak menyangka bahwa mereka akan bertemu, tapi dia salah, Jeon Jungkook justru menyapa Sera.

"Halo, Cho Sera."

Taehyung mendapati kecerahan wajah Sera sirna melihat Jungkook. otomatis dia memasang badan, menyembunyikan Sera di belakang punggung, meski dia tidak tahu ada urusan apa di antara dua sepupu yang sudah lama tidak bertemu itu.

"Hei, santai saja, Jungkook," kata Taehyung, "kakak iparku jadi tidak nyaman."

"Aku perlu bicara denganmu, Sera," ucap Jungkook.

Sementara Taehyung bimbang, dengan gelagat ingin menghalang-halangi Jungkook, tapi Sera justru keluar dari belakangnya.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" ujar Taehyung mendahului Sera, begitu bersitatap dengan Jungkook.

Menurut Taehyung, Jungkook tampak terlalu letih dan lebih tua ketimbang terakhir kali dia lihat, kurus, matanya agak cekung. Yang Taehyung tahu, Jungkook di kirim ke Perancis untuk meneruskan kuliahnya.

Sementara Jungkook memerhatikan Sera dalam perasaan aneh bercampur aduk, bagaimana dia pernah menganiaya gadis itu setelah menuduh Sera sebagai simpanan ayahnya. Akibat dari kejadian itu sang ayah membawanya ke psikiater dan didiagnosa; Intermittent Explosive Disorder atau gangguan ledakan amarah dan kekerasan. Alangkah aneh rasanya melihat perempuan yang begitu dibenci, adalah sepupu kecilnya yang telah hilang bertahun-tahun.

"Aku mau bicara," ujar Jungkook sekali lagi.

"Baik," kata Taehyung dengan membangkang, dia melirik Sera yang kini maju satu langkah.

"Aku sudah melupakannya," Sera berkata tiba-tiba, "bisakah kita lupakan saja kejadian itu?"

"Ya, aku juga tengah berusaha melupakanya." Jungkook tidak berdusta, puluhan wawancara psikiatri telah mengikis tragedi menyeramkan itu dari pikirannya. Namun pertemuan dengan Sera, sedikit banyak menimbulkan ingatan itu lagi, tapi kali ini Jungkook merasa menyesal.

"Aku sangat menyesal," ucap Jungkook sungguh-sungguh.

"Aku memaklumi alasannya." Sera menarik napas panjang-panjang, dia sudah menguatkan hati dan pikiran untuk tidak lagi takut pada sosok Jungkook.

"Kita sepakat melupakannya," tukas Sera.

"Oke, tapi setidaknya lakukan sesuatu pada—argghh!!"

Tanpa pernah Jungkook duga—termasuk Taehyung—tiba-tiba kaki Sera sudah mendarat di selangkangan Jungkook. Jungkook hanya mampu menahan erangan dan sakit luar biasa, kedua tangannya terkubur di pangkal paha, setengah membungkuk, matanya berair. Dia bahkan tidak sempat untuk berteriak.

"Oke, kita impas." Sera tersenyum samar, sementara Taehyung terbahak-bahak meski lagi-lagi dia tidak tahu masalahnya.

Tertawa dulu saja lah—pikir Taehyung.

Jungkook masih merintih, setengah ingin menangis setengah ingin tertawa, tapi dia buru-buru mengangguk setuju.

Sera segera memutar badan, menarik Taehyung bersamanya masuk ke dalam mobil. Di balik sabuk pengaman dia menatap Taehyung yang memerhatikannya sedari tadi, lalu saat mobil bergerak menjauhi pekarangan kediaman pribadi Jeon Jeha, Sera berkata:

"Waktu Jungkook menyewaku tempo hari, dia menyiksaku sampai aku hampir mati."

"A-apa?" Taehyung jelas terkejut, meski dia tahu perkara itu. "Jadi orang itu, Jungkook?"

"Ya."

"Demi Tuhan!" Kali ini Taehyung benar-benar terperangah, tidak menyangka temannya seseram itu. Selama ini yang dia kenal, Jungkook pemuda yang baik, pintar, juga ramah.

"Tapi—" Taehyung ragu-ragu sebentar, "kalian sempat melakukannya?"

"Tidak," jawab Sera cepat. "Jungkook tidak sudi tidur dengan simpanan ayahnya, dia tidak mau berbagi wanita yang sama dengan ayahnya sendiri."

Sera menoleh pada Taehyung. "Untungnya kau juga tidak pernah menyewa jasaku, kalau tidak pasti aneh sekali." Sera tertawa geli, melihat wajah Taehyung berubah pucat.

Taehyung lagi-lagi ternganga, tidak menyangka Sera akan menjelaskan segamblang itu. Lalu, tidak ada percakapan lagi di antara mereka, sampai keduanya tiba di kantor.

🍁🍁🍁

Jiyeon mendatangi rumah sakit Royal Blue demi melihat Seokjin secara langsung, meyakinkan dirinya bahwa hanya akan melihat Seokjin sebentar. Kalimat yang Sera utarakan tempo hari sangat mengganggunya, meski Jiyeon tidak yakin itu benar. Mengingat kesalahan yang dia lakukan pada Seokjin, mustahil Seokjin masih melihatnya dengan cara yang sama.

Seokjin tidak pernah mau berkompromi dengan orang-orang yang menghianatinya, meski Seokjin bisa memaafkan dan Jiyeon tahu betul tentang itu. Namun, ada rasa yang begitu besar menekan dari dasar hati, membuat Jiyeon melupakan kecilnya kesempatan dan tetap melangkah mendatangi Seokjin.

"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis dari balik meja keramik setinggi dada.

"Hai, aku ingin mengunjungi pasien Kim Seokjin."

"Maaf Nyonya, apa anda anggota keluarga pasien?"

"Ya, aku—" mendadak Jiyeon jadi kelu, statusnya sekarang terdengar sangat konyol. "Aku ibunya Reeya, putrinya Seokjin," tukasnya, menahan perasaan tidak nyaman dari tatapan staf rumah sakit.

"Kami butuh kartu identitas untuk proses verifikasi."

"Apa?"

"Pasien tidak bisa dikunjungi, selain anggota keluarga yang terdaftar di sistem kami."

Sial, batin Jiyeon, sementara staf rumah sakit itu menunggu dengan tidak sabar.

"Jika tidak ada, maaf kami tidak bisa mengizinkanmu menjengguk pasien. Permisi, silakan Tuan, anda selanjutnya."

Petugas meminta Jiyeon menyingkir, pasien yang berdiri di belakang Jiyeon memandanginya sebentar sebelum berbicara pada staf perempuan itu.

"Tunggu—" Jiyeon kembali ke resepsionis dan menyerahkan kartu identitasnya.

Petugas itu memeriksa nama Jiyeon di layar, butuh waktu dua menit lalu dia berkata.

"Maaf Nyonya, nama anda tidak terdaftar."

Jiyeon nyaris tertawa. "Tidak mungkin, cek sekali lagi."

"Tidak ada, tolong ya, pasien lain sudah menunggu."

"Memangnya siapa saja yang ada di daftar." Jiyeon tetap bersikeras, meski petugas itu mulai jengah.

"Nyonya Seraphina, Shin Damhee, Han Yongjoo, Park Jimin, Kim Namjoon, Kim Taehyung, Karina Harris, dan—"

Jiyeon menunggu dengan tidak sabar.

"Jung Hoseok."

Kali ini Jiyeon terkejut bukan karena namanya tidak ada dalam daftar, melainkan, kenapa nama kakaknya ada didaftar itu?

"Jiyeon!"

Jiyeon menoleh, dengusan kasar menguar begitu dia melihat Damhee berdiri di sebelahnya.

"Eoh, Ibu?—" mendadak kelu, Jiyeon hanya bisa membungkuk setelah itu.

Permusuhan di antara keduanya tercipta tanpa rencana, Jiyeon kesal karena Damhee membiarkannya menjadi antagonis sendirian, sementara Damhee seenaknya cuci tangan.

"Kau ingin mengunjungi Seokjin?"

"Ya, rencananya begitu, tapi ternyata tidak bisa." Jiyeon mengeratkan genggaman pada tali tas di bahu, berusaha tetap tenang.

"Oh, ya," Damhee tersenyum samar, "aku juga tidak mengerti kenapa Seokjin tidak menulis namamu di surat wasiatnya, sebagai orang yang boleh menemuinya kalau dia sakit."

Jiyeon jelas terkejut, dia sempat menduga daftar itu hanya akal-akalan buatan Damhee demi membuatnya tampak kalah.

"Dan aku juga tidak paham kenapa harus ada nama kakakmu di daftar itu," tukas Damhee, memahami raut wajah Jiyeon dengan tepat. "Kau pasti tahu 'kan, Seokjin itu sulit ditebak."

Jiyeon menghela napas kelewat panjang dan berat.

"Tapi hari ini aku akan berbaik hati padamu, kau bisa ikut denganku melihat Seokjin."

Damhee berjalan lebih dulu menuju lift tanpa repot-repot menunggu Jiyeon, tak acuh Jiyeon mau ikut atau tidak. Dia tersenyum begitu melihat Jiyeon akhirnya mengikuti di belakang meski dalam keragu-raguan, lalu menempelkan kartu akses yang hanya terhubung ke lantai ruangan Seokjin.

"Ibu, benar-benar hebat," Jiyeon tiba-tiba berkata. "Bersikap seolah-olah Ibu tidak pernah menghianati Seokjin."

Damhee memutar atensi dari pintu lift ke Jiyeon, tersenyum samar. "Memangnya kapan aku pernah menghianati Seokjin?"

"Ibu, ayolah."

"Aku hanya membantumu memesankan Sera, kau yang membayar gadis itu, selebihnya aku tidak tahu apa yang kau rencanakan."

Damhee maju selangkah.

"Aku hanya membantumu bercerai dari Seokjin, dan—" Damhee menyeringai, "aku hanya ingin membantu putraku lepas dari benalu sepertimu, Jung Jiyeon."

Jiyeon memaku, detak jantungnya mendadak memacu.

"Kau hanya mengincar saham Hyunjin, kau bahkan nyaris membunuh penerus Kim. Seokjin yang bodoh tidak mau melihat semua itu karena terlalu mencintaimu, jadi terpaksa aku memanfaatkanmu. Bukan 'kah bagus, kalau Seokjin lepas dari istri tidak berguna sepertimu?

"Bukankah kau juga tidak suka padaku, Jiyeon? Jadi berhentilah berpura-pura. Santai saja, aku juga tidak peduli kalau kau membenciku."

Jiyeon mendengus kasar, menatap muak pada Damhee yang sok membenarkan diri sendiri.

"Jadi maksud Ibu, sekarang Ibu mau bergabung bersama pelacur itu, demi nama baik palsu di depan Seokjin?"

"Aku tidak butuh nama baik di depan putraku sendiri."

"Seokjin membencimu—"

"Aku tidak peduli," sela Damhee.

"Ibu telah menghancurkan keluarga Seokjin, Ibu yang telah membuat ibu kandung Seokjin meninggal."

Damhee tertawa sumbang, sementara pintu lift terbuka di belakangnya.

"Setidaknya aku tidak pernah menghianati suamiku, seperti yang kau lakukan." Damhee keluar dari lift. "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga kami, jadi tidak perlu repot-repot bersikap sok tahu."

Jari-jari Jiyeon saling menggenggam, dia mundur selangkah, napasnya kian memburu kasar. Jiyeon tidak tahan lagi, dia tidak mau Damhee mempermalukannya. Namun, sebelum dia menekan angka satu dan lift bergerak turun, Jiyeon mendengar Damhee menerima telepon.

"Ya, aku sedang di rumah sakit," kata Damhee. "A-apa? Seokjin sudah sadar?"

Pintu lift terbuka, Jiyeon buru-buru turun dari dalam lift dan menatap Damhee yang tertawa lega dengan ponsel masih menempel di telinga.

"Jiyeon, Seokjin sudah sadar."

Untuk dua detik Jiyeon tertegun, melihat bagaimana Damhee mengusap ujung mata yang tiba-tiba basah, Damhee terlihat bahagia sebelum berlalu ke ruang perawatan Seokjin.

🍁🍁🍁

Bunyi ketukan dari arah pintu membuat Sera menghela napas panjang, dia kelelahan dan ngantuk, kepingin tidur panjang di kasurnya yang empuk. Meski Karina sudah mengalihkan sebagian besar pekerjaannya pada Taehyung, tapi tetap saja Sera merasa capek. Ya, dia juga manusia yang punya kadar kelelahan, tidak bisa terus-terusan bersikap masa bodoh disaat tubuhnya terasa remuk redam.

Percayalah, Sera tidak bohong. Keliatannya saja pekerjaan CEO atau Presdir menyenangkan, perintah sana perintah sini, kenyataan mereka harus kerja ekstra dua kali lebih cepat dan tangkas dari para staf di bawahnya.

Bagian terburuknya adalah Sera tidak punya pengalaman, tidak pernah sekolah selain enam tahun di bangku Sekolah Dasar. Kini, mendadak Sera rindu pada ruang latihan baletnya. Hari ini teman-temannya tengah perform, Lira sempat mengirim foto para penari sebelum naik panggung, sementara dia justru terkurung dalam ruang kerja Seokjin entah sampai kapan.

Seokjin benar-benar jahat—maki Sera, rasa-rasanya dia mau mencekik Seokjin saat ini juga. Tapi kemudian, Sera mendesah putus asa dalam pikiran-pikiran tentang; Seokjin badannya besar, tinggi pula, ototnya di mana-mana. Aku pasti kalah kalau adu tinju dengannyasa—pikir Sera yang mulai tidak waras.

"Nyonya Seraphina—?"

Sapaan dari suara berat seorang pria mengingatkan Sera kalau beberapa detik lalu pintunya diketuk, dia mengalihkan atensi lalu buru-buru tersenyum pada sosok pria paruh baya itu dan mempersilakannya duduk.

"Pengacara Han, maaf aku sedang kurang konsentrasi—nyaris gila lebih tepatnya," tapi Sera tidak meneruskan kata-katanya, agak malu dengan Yongjoo kalau dia terdengar mengeluh.

"Kau terlihat sangat lelah."

"Ya, sangat," jawab Sera tanpa berusaha menutupi. "Sepertinya aku lebih cocok latihan balet berjam-jam dari pada di sini, kapan ini akan berakhir—?" gumam Sera pada diri sendiri, meski Yongjoo mendengarnya dengan jelas.

"Aku sangat mengerti yang kau rasakan saat ini, pengalaman pertama bekerja tapi posisimu langsung berada paling atas." Yongjoo berusaha menjelaskan hati-hati, "tapi kau tidak perlu meletakkan semua beban pekerjaan di pikiranmu, semua sudah ditangani masing-masing divisi. Kau hanya perlu mengawasinya."

"Seokjin benar-benar mau aku mati," Sera tetap bertahan dengan pendapatnya, dipicu rasa lelah yang menggelayuti otak dan matanya. "Tidak seharusnya dia memberiku pekerjaan ini, dia pasti tahu aku tidak berguna di perusahaan selain statusku sebagai keponakan presiden.

"Apa itu tujuan dia memilihkan posisi ini untukku? Untuk meloloskan banyak proyek besar karena status istimewa itu?" Nada bicara Sera terdengar menghakimi, jengkel, meski agak gemetar. Rasa-rasanya Sera ingin menangis, andai Karina yang duduk di seberangnya.

"Aku paham, tapi percayalah bukan itu tujuannya."

"Terlalu jelas sih." Sera mulai menampakkan taringnya, syukur-syukur ekor rubahnya tidak ikut-ikutan keluar. "Tidak usah membelanya, Pengacara Han, Seokjin pandai memanfaatkan situasi dan kondisi!" tukas Sera berapi-api.

Han Yongjoo tersenyum samar, memerhatikan Sera mendengus kasar sambil bersedekap. Merasa diperhatikan, Sera mengubah posisi duduk lalu tertawa—menertawakan dirinya sendiri, mengingatkan kalau harus tetap tenang. Taehyung bilang, marah-marah bisa bikin cepat tua.

"Pengacara Han, aku boleh izin kerja tidak sih?" Sera cemberut, matanya mengerjap lemah, ekspresi wajahnya dibuat begitu merana. "Kepingin tidur seharian, boleh ya, cuti satu hari?"

Kali ini Yongjoo yang tertawa, cara Sera membujuknya mengingatkan dia pada putrinya yang duduk di bangku SMA. Yongjoo jadi ingat Seokjin pernah bilang: Kalau sudah ada maunya, istriku akan bersikap kekanakan dan terlalu manja.

"Baiklah—"

"Beneran?" sela Sera cepat-cepat, senyumnya merekah lebar sekali.

"Ya, tapi sebelum itu kita ke rumah sakit dulu."

Keduanya keluar dari ruangan di bawah nuansa gembira, Sera mulai sibuk menceritakan hal-hal lucu selama bekerja. Seperti; Yeonjun sering tersedak setiap kali mereka bersitatap di ruang meeting, Taehyung sekonyong-konyok berteriak tanpa sebab tiap kali bertemu di lift, atau para staf yang salah tingkah sampai tersandung tiap kali berpapasan dengannya.

Hilang sudah niat Sera mencekik Seokjin, tertutup bahagia karena diberi cuti satu hari.

"Sera, kau tahu." Yongjoo mulai bicara, ketika mereka sudah duduk di mobil. Dia membawa mobil dalam kecepatan sedang, di sebelahnya Sera sibuk ngemil churros yang diberikan Yongjoo, dibuat khusus oleh istrinya untuk Sera.

"Sewaktu Seokjin memintaku untuk menulis surat wasiat, aku juga tidak paham kenapa dia memilihmu yang notaben tidak mengerti masalah perusahaan."

Sera mengangguk setuju dengan mulut penuh churros, pipinya kembung seperti ikan.

"Seokjin hanya ingin melindungimu, dia tidak ingin orang-orang merendahkanmu selama dia tidak ada."

"A-apa?" Sera nyaris tersedak churros, lalu menelannya buru-buru.

"Dengan posisimu sekarang, orang-orang akan berpikir dua kali untuk menilaimu rendah. Juga Taehyung, Seokjin tahu ada orang-orang yang ingin menyingkirkan Taehyung. Posisi kalian berdua akan sulit disingkarkan karena Nyonya Damhee, komisaris Lee, termasuk Mr Presiden, otomatis berada dipihak kalian.

"Memang sulit memahami Seokjin, juga cara berpikirnya yang tidak terduga. Bagaimana dia telah menyiapkan semua hal jauh sebelum dia sakit, bahkan Seokjin membuat list orang-orang yang boleh menjenguk kalau keadaannya menjadi tidak baik. Meskipun Seokjin tetap saja kecolongan—" Yongjoo ragu-ragu meneruskan. Melihat raut wajah Sera, Yongjoo menduga Sera tidak tahu masalah Namjoon.

"Kecolongan dari siapa?"

Bunyi dering ponsel Yongjoo mengubur pertanyaan Sera, Yongjoo segera mengangkat panggilan itu dan seketika raut wajahnya berubah cerah.

"Sera, Seokjin sudah sadar."

Sera tidak bereaksi untuk dua detik, dia bahkan terlihat tidak bernapas. Di detik ke tiga barulah matanya membesar dan dia nyaris berteriak.

"Hah!—Apa!"

🍁🍁🍁

Ini kali kedua Sera datang ke rumah sakit dengan perasaan yang meledak-ledak. Pertama sebab Seokjin hilang kesadaran setelah jatuh dari tangga, kini karena Seokjin sadar dari koma panjangnya. Lima belas hari adalah hari yang Sera habiskan menanti Seokjin dalam keyakinan yang kian hari kian menipis, takut Seokjin tidak pernah bangun lagi, entah berapa banyak air mata yang dia habiskan untuk Seokjin.

Sesampainya di rumah sakit, Sera buru-buru turun, menyeberangi lobi dengan tidak sabar. Jantungnya mendadak memompa lebih cepat, cemas sekaligus senang yang terlalu banyak. Sera tersenyum lebar begitu mereka sampai di lantai tujuh, berjalan mendahului, membuka pintu ruangan yang sudah setengah terbuka.

Dia bisa mendengar suara-suara, langkahnya menggantung begitu melihat Jiyeon duduk di sofa dekat ranjang bersama Seokjin. Seluruh senyumnya hilang, beban yang tadi sempat terangkat tiba-tiba ambruk menimpa dirinya, Sera merasa alat pompa jantungnya rusak karena dia sulit bernapas.

Apa-apaan—batin Sera tidak terima. Apa Seokjin tidak tahu siapa yang menangis berhari-hari selama dia koma, sekarang baru bangun malah enak-enakan sama mantan istri.

Awas kau Seokjin—gumam Sera penuh dengki. Alih-alih mundur dan menangisi statusnya yang selalu kalah dari Jiyeon, Sera melangkah maju sampai Seokjin menyadari keberadaannya.

Dada Sera naik turun karena bernapas terlalu keras, biji matanya perih dan berkabut saat akhirnya bersitatap dengan Seokjin. Sera tidak tahu mau beraksi seperti apa, melihat Seokjin justru menatap datar ke arahnya, tanpa ekspresi apa pun di wajahnya yang pucat.

"Nyonya Seraphina," suara dari belakang membuyarkan konsentrasi Sera, "maaf saya harus bicara dengan istri pasien secara pribadi," tambah dokter itu yang otomatis membuat Jiyeon beranjak keluar tanpa berkata apa-apa.

"Begini, Nyonya Sera." Dokter itu mulai bicara, setelah mengajak Sera duduk di sofa dekat jendela. "Saya sudah menjelaskan kondisi Tuan Kim kepada Nyonya Shin, tetapi beliau meminta saya menjelaskan langsung padamu."

Sera mendengarkan dengan tidak sabar, jantungnya memukul keras dari balik pakaian kantor yang dia kenakan. Sera ditemani Yongjoo, dia takut sendirian tiap kali dokter ingin menjelaskan kondisi Seokjin.

"Sistem motorik Tuan Kim belum kembali bekerja sempurna, tangan kiri dan kedua kakinya belum bisa digerakkan terlalu banyak, termasuk lidah dan setengah wajahnya. Perlu terapi rutin untuk mengembalikan fungsi organ sebagai mana mestinya, selama pengobatan pastikan keadaan psikisnya baik dan jangan terlalu banyak berpikir.

"Keadaan pasien masih sangat lemah paska koma, tolong berhati-hati, tubuh Seokjin masih rentan untuk dipegang dan digerakkan."

Sera mencerna penjelasan itu dengan sangat lamban, kepalanya mendadak pening. Dia beku berdetik-detik, sampai Yongjoo yang mewakilinya bicara.

"Baik Dokter, kami mengerti. Tolong lakukan pengobatan dan terapi, kami mempercayakan semuanya pada tim dokter."

"Sera—" Yongjoo mengusap bahu Sera yang menegang, begitu dokter meninggalkan mereka. "Kita sudah tahu keadaan ini sebelumnya, ingat, ini hanya sementara."

"Ya," jawab Sera setelah menemukan suaranya.

Yongjoo meninggalkannya di ruangan, tinggallah dia seorang yang kini memandangi Seokjin. Dia tersenyum melihat Seokjin tidak berpaling darinya, air mata yang sudah susah payah ditahan akhirnya jatuh juga saat dia duduk di hadapan Seokjin. Jemarinya menyentuh wajah Seokjin yang pucat, memandangi pria itu berlama-lama.

Seokjin duduk bersandar di ranjang pasien, dokter memintanya berbaring tapi dia menolak. Seokjin merasa seluruh tulangnya lunglai tapi dia tidak berniat berbaring, berusaha sekuat tenaga menggerakkan jari-jari juga lidah meski rasanya sangat sulit.

"Se'ra—"

"Ya, ini aku." Sera menangis begitu saja, menggenggam jemari Seokjin erat-erat, tertunduk-tunduk depan dada Seokjin.

Belum sempat Seokjin merangkai hurup dari lidahnya yang kelu, tiba-tiba tubuh lemahnya sudah berada dalam rangkulan Sera, begitu erat sampai-sampai Seokjin merasa sekujur tubuhnya remuk. Sera melonggarkan pelukan saat teringat pesan dokter, Seokjin masih lemah, belum bisa menggerakkan semua otot tubuh yang kaku paska terbaring koma.

Seokjin menyandarkan kepalanya di bahu Sera, membiarkan Sera memeluk selama yang diinginkan, mengusap punggung dan lengannya berkali-kali. Tidak ada kata yang keluar dari bibir Sera yang gemetar, terlalu senang Seokjin sudah sadar. Sera hanya memeluk Seokjin bermenit-menit, sampai Seokjin yang masih terlalu lemah itu tertidur dalam pelukannya.

[]

👑 🦊 👑

🍁🍁🍁

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

270K 21.2K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
106K 8.7K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
6.4M 145K 57
Punya alur campuran dan pasti ketagihan jika membaca ini. So Setiap part akan ada misteri. Dan ini akan berlanjut sampai tangan Author Lelah. + "Sorr...
785K 80K 55
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...