Our Apartment

By TaniaMs

414K 23.8K 787

NICOLE selalu menganggap JUSTIN adalah sahabatnya, karena mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, Ju... More

Our Apartment
Our Apartment [1]
Our Apartment [2]
Our Apartment [3]
Our Apartment [4]
Our Apartment [5]
Our Apartment [6]
Our Apartment [7]
Our Apartment [8]
Our Apartment [9]
Our Apartment [10]
Our Apartment [11]
Our Apartment [12]
Our Apartment [13]
Our Apartment [14]
Our Apartment [15]
Our Apartment [16]
Our Apartment [17]
Our Apartment [18]
Our Apartment [19]
Our Apartment [20]
Our Apartment [21]
Our Apartment [22]
Our Apartment [23]
Our Apartment [24]
Our Apartment [25]
Our Apartment [27]
Our Apartment [28]
Our Apartment [29]
Our Apartment [30]
Our Apartment [31]
OUR APARTMENT AFTER STORY

Our Apartment [26]

12K 793 42
By TaniaMs

Selamat sore !

 

Saya kembali lebih cepat, kan? Nggak tau mesti ngomong apa buat opening -_- Yang penting, terima kasih banget buat vote dan komentar-komentarnya di part sebelum ini...

 

WARNING : Semua makian dalam cerita ini nggak boleh di praktekkan dimanapun! Aku sengaja nggak pake sensor karena menurutku bakal hilang gregetnya kalau pake bintang bintang itu *ops Ya intinya jangan maki-maki di luar sana, bisa ditabok ntar! Ambil sisi baik dari cerita ini *kalau ada* dan tinggalkan sisi buruknya. Oke?

 

HAPPY READING!

 

AWAS TYPO!

 

oOoOoOoOo

Nicole menatap jam tangannya dengan resah. Jam mengajarnya sudah habis. Seharusnya dia sudah bisa pulang, tapi kakinya terlalu berat menuju apartemen. Takut kalau apa yang di carinya tidak ada disana.

Tanpa sadar dia kembali mengusap jari manis di tangan kirinya, tempat cincin yang diberikan Justin berada. Namun sekarang cincin itu tidak di sana. Bukan karena dia lupa memakainya, melainkan dia tidak tahu dimana keberadaan cincin itu sekarang. Dengan bodohnya, dia baru sadar cincin itu tidak ada di jarinya ketika dia sedang menyeka tangannya setelah makan siang. Dan itu adalah satu jam yang lalu.

Aku tidak mungkin menghilangkannya, bukan? Batin Nicole mulai panik.

Kalau ingatannya tidak bermasalah, tadi malam dia masih mengenakan cincin itu, karena Miley menggodanya. Miley bilang dia pasti sangat bahagia memakai cincin yang di berikan Justin tersebut, dan dia tersenyum sambil mengusap cincinnya. Dia tidak mungkin menjatuhkan cincin itu ketika mandi. Lagi pula, rasanya dia juga tidak membuka cincin ketika mandi, jadi mustahil cincin itu tertinggal.

Apa Justin akan memaafkanku kalau dia sampai tahu cincin yang diberikannya hilang?

Nicole sudah mengirim Miley pesan beberapa saat lalu. Bertanya apakah sahabatnya itu menemukan cincin di apartemen, dan Miley bilang tidak sama sekali. Semenjak sabtu dini hari lalu, Miley menginap di apartemen Justin, karena kebetulan suaminya sedang keluar kota.

Nicole masih sibuk memikirkan apakah sebaiknya dia pulang ke apartemen, atau pergi ke toko perhiasan dan mulai mencari cincin yang sama persis dengan cincin yang diberikan Justin saat ponselnya bergetar.

"Ya Miley? Kau menemukan cincinnya?" tanya Nicole langsung.

"Astaga! Kau benar-benar menghilangkannya?" Miley balik bertanya dengan cemas. "Bagaimana kalau Justin tahu?"

"Dia sedang di luar negeri, jadi dia tidak akan tahu kecuali kau memberi tahunya," tukas Nicole tajam.

"Calm down, Nic." Miley berdehem. "Bukan aku yang menghilangkannya, jadi jangan menyerangku."

Nicole menggigit bibirnya. Nyaris menangis. "Jadi, ada meneleponku?"

"Bukankah kau sudah selesai mengajar?"

"Kenapa?"

"Aku ingin kau menemaniku ke suatu tempat."

"Suatu tempat?" tanya Nicole curiga. "Kau tidak ingin bertemu selingkuhanmu, kan?"

Miley mendengus. "Hei! Suamiku sudah sempurna, jadi kenapa aku harus mencari laki-laki lain, hah?!"

Nicole terkekeh kecil. "Baiklah. Kau masih di apartemen? Aku akan menjemputmu kesana."

Miley berdehem pelan. "Well, sebenarnya aku sudah berada di depan gedung sekolah tempatmu mengajar."

"Astaga!"

oOoOoOoOo

Nicole menatap Miley yang duduk di hadapannya dengan curiga. Sahabatnya itu minta ditemani ke sebuah cafe yang berada di depan High School mereka dulu. Memang, cafe itu adalah tempat hangout favorit mereka—dia, Miley, Wero, Justin dan Cody—saat masih bersekolah disana.

Setelah memesan sebuah minuman yang tak lain hanyalah lemon tea, bahkan Miley tidak menghabiskannya sama sekali, wanita itu mengajaknya pindah ke tempat lain. Dan mereka pun mendekam di Steak House selama hampir satu jam. Miley memesan beberapa menu, namun hanya memakan dua sendok di setiap piring yang ada. Nicole nyaris saja mengomel ketika akhirnya Miley memutuskan untuk menghabiskan tenderloin, dan mengabaikan tiga pesanannya lain.

"Kau sedang hamil?" tanya Nicole sangsi.

Miley mendongak dari makanannya. "Tidak," ujarnya. "Thomas selalu memakai pengaman setiap kali melakukannya."

Nicole mencibir jijik. "Aku tidak mau dengar bagian itu."

Miley tertawa. "Well, pekerjaan Thomas masih mengharuskannya untuk berpindah-pindah. Dan dia tidak ingin anak kami menjalani suasana yang berbeda terlalu sering. Mungkin akhir tahun ini kami baru akan fokus pada penciptaan penerus kami."

Nicole mengusap wajahnya dan menatap Miley kesal. "Tolong gunakan bahasa lembut yang bisa diterima telingaku," ujarnya sarkastik.

Miley mendengus. "Lihat siapa yang bicara," gerutunya. "Orang yang tidak bisa melewati harinya tanpa adanya kata makian sama sekali."

Mengabaikan sindiran Miley, Nicole mengalihkan pandangannya pada jendela besar di sampingnya. Menyuguhkan pemandangan langit kota Washington D.C yang sore itu terlihat sangat menakjubkan. Langit seolah di lukis dengan warna kuning, oranye dan awan-awan berpendar di sekitar matahari yang mulai bergerak turun.

"Ayo kita ke taman hiburan," ujar Miley dengan santainya.

"Apa?!"

"Ayolah, Nic," bujuknya. "Kita sudah lama tidak berjumpa. Jadi kabulkan permintaanku. Please?"

"Sudah lama tidak berjumpa bagaimana?!" Nicole memutar bola matanya malas. "Kau bahkan sudah menetap di D.C sejak awal tahun. Sudah hampir tiga bulan. Kau ini benar-benar!"

Miley menunjukkan wajah memelas. "Bagaimana kalau aku benar-benar hamil? Kau mau mengabulkan permintaan bayiku?"

Nicole mendengus keras. "Cih! Bukankah kau bilang Thomas selalu memakai pengaman? Jadi kau tidak mungkin hamil!"

Miley memanggil pelayan, membayar pesanannya dan segera menyeret Nicole menuju parkiran. "Cepat! Antar aku kesana," ujarnya tegas. "Aku ingin melihat matahari tenggelam dari atas bianglala."

Nicole menggelengkan kepalanya. "Kau ini sudah lupa berapa usiamu?!" omelnya, namun dia tetap masuk dan duduk di belakang kemudi.

Nicole berjalan dengan malas di belakang Miley. Berbanding terbalik dengan Nicole, sahabatnya itu tampak sangat bersemangat menuju atraksi bianglala. Tidak banyak pengunjung di sore itu. Ini masih awal minggu, masih senin! Hari sibuk di dunia, jadi tidak mungkin orang-orang bertebaran di taman hiburan. Kecuali mereka tidak punya kegiatan sama sekali.

Kebanyak pengunjung adalah anak sekolah. High school maupun middle school. Terlihat dari seragam yang mereka kenakan.

Yeah, mungkin mereka sedang kencan, batin Nicole.

Mendadak dia teringat kencan pertamanya bersama Justin yang  juga di taman hiburan. Benar-benar tidak normal sama sekali. Lihat? Hanya anak sekolahan yang berkencan di taman hiburan! Sejauh yang dia ingat, Justin punya hotel di penjuru dunia, tapi laki-laki itu malah memilih taman hiburan sebagai tempat kencan. Sulit di percaya!

Berusaha tidak cemberut, Nicole duduk di salah satu sisi bianglala yang berbentuk kotak persegi itu. Miley duduk di hadapannya. Nicole benar-benar mengurut dada karena kelakuan sahabatnya itu. Bahkan semenjak menginjakkan kaki di taman hiburan ini, wanita itu tak henti-hentinya tersenyum. Tepat saat pintu bianglala itu akan menutup, Miley melompat keluar, meninggalkannya sendirian dan benda itu pun mulai bergerak.

"Astaga! Miley, kau wanita sialan!" makinya keras sambil menatap Miley yang tengah melambai dengan semangat ke arahnya.

Nicole mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi sahabatnya itu. Bahkan dia mulai mempertanyakan status sahabat yang disandang Miley. Pada dering pertama, Miley langsung mengangkat dan terdengar tawanya yang menyebalkan.

"Aku akan membunuhmu begitu aku berhasil keluar dari bianglala sialan ini!" bentak Nicole. "Aku akan memotong tubuhmu menjadi bagian-bagian kecil! Memberikan potongan bokongmu yang sangat kau banggakan itu pada buaya kelaparan, dan menebarkan sisa tubuhmu yang lain di seluruh penjuru rumahmu! Kau dengar itu, dasar sahabat kurang ajar?!"

Miley semakin tertawa mendengar makian yang dilontarkan Nicole padanya. Bahkan ancaman yang dilontarkan gadis itu tidak membuatnya gentar sama sekali.

Nicole menatap tubuh Miley yang semakin jauh dari pandangannya, tapi dia masih bisa melihat dengan jelas kebahagian di wajah sahabatnya itu. "Kau mengerjaiku?! Demi Tuhan! Ini bukan April mop!"

Miley terkekeh kecil, sebelum akhirnya berusaha menguasi dirinya. "Lebih baik kau tenang, dan menikmati pemandangan kota Washington D.C dari atas sana. Matahari mulai tenggelam!"

"Aku tidak butuh melihat matahari tenggelam dari bianglala menyebalkan ini!"

Miley kembali tertawa, dan segera memutuskan sambungan.

Nicole menatap ponselnya tajam. Kalau matanya bisa mengeluarkan laser, ponselnya pasti sudah hangus terbakar.

Berusaha menenangkan diri, Nicole mengalihkan pandangannya ke arah barat. Matahari semakin menurun, seolah tenggelam di balik gedung-gedung pencakar langit kota Washington D.C. Well, pemandangan yang cukup membuatnya lupa akan kekesalan pada Miley. Warna langit semakin indah.

Nicole mengabadikan momen itu ke dalam sebuah foto, dan meng-uploadnya ke instagram, dan mengetikkan beberapa kalimat disana.

Wherever you are, I always miss you.

 

Tepat setelah fotonya tersebut ter-upload, ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk, dan itu dari Justin. Tanpa sadar Nicole langsung mengulum senyum. Dia baru saja memikirkan laki-laki itu, dengan kebetulan Justin meneleponnya. Apa Justin sudah menerima video yang dia kirimkan? Dan mendadak saja, dia kembali teringat akan cincinnya yang hilang.

"Halo?" sapa Nicole ragu.

"Hai," balas Justin. "Kau sedang dimana?"

Belum sempat menjawab, Nicole terdorong kedepan karena bianglala tersebut berhenti mendadak. Dengan cemas, Nicole melihat ke bawah namun dia tidak melihat apapun selain kegelapan. Melihat keadaan sekitar, tampaknya dia sedang berada di puncak ketika kerusakan ini terjadi. Gedung-gedung lain di sekitar sana baik-baik saja. Lampu menyala terang, tapi kenapa taman hiburan ini gelap?! Apa listriknya rusak? Dan yang hal terburuknya, dia terjebak! Aku benar-benar akan membunuh Miley karena ini! Batin Nicole penuh tekad.

"Nic? Kau sedang dimana?"

Nicole tersadar saat suara Justin terdengar di telinganya. "Aku terjebak di bianglala, kau tahu?! Ini akan menjadi hari terakhir aku menginjakkan kakiku di taman hiburan!"

Justin terkekeh.

"Dimana letak lucunya, Justin Bieber?!" tanya Nicole, nyaris membentak. "Bagiku, ini tidak lucu sama sekali!"

"Oke, maafkan aku." Justin berdehem. "Bisakah kau melihat ke bawah?"

Meski bingung, Nicole tetap menuruti permintaan Justin dan melihat ke bawah. Dan dia pun terpana.

Dibawah sana, lampu sudah kembali menyala. Justin berdiri sambil melambaikan tangan padanya dengan senyum lebar di wajahnya. Namun bukan itu yang membuatnya terpesona. Melainkan karena sebuah spanduk sepanjang 10 m yang bertuliskan kalimat "Will you marry me, Nic?"

 

"So?"

Nicole mengangguk, meskipun Justin tidak dapat melihatnya. "Aku bersedia," ujar Nicole dengan suara serak.

"Benarkah?" tanya Justin. Alih-alih bahagia seperti laki-laki lain ketika lamarannya di terima, laki-laki itu malah bertanya dengan nada tak percaya. "Well, biar aku beritahu sesuatu," ujar Justin sambil terus mendongak ke arah Nicole. "Aku tipikal orang yang selalu ingin mendapatkan kepercayaan penuh dari orang lain, sangat tersinggung bila di curigai, terkadang aku bisa sangat menyebalkan karena lupa memberi kabar, karena sibuk bekerja. Aku mungkin juga mendengkur ketika tidur. Wajah bangun tidurku mungkin juga tidak begitu menarik. Selain kekayaan orang tuaku, aku bahkan tidak punya apa-apa." Justin menarik napas. "Setelah mendengar kekuranganku yang tadi kusebutkan, bahkan mungkin masih banyak kelakuan minusku yang lainnya, apa kau masih mau menikah denganku?"

Nicole tertawa dan mengusap air matanya. "Tentu saja, dasar bodoh!"

oOoOoOoOo

Nicole menatap gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya. Jendela gedung-gedung itu seperti papan catur, karena tidak semua jendela yang lampunya menyala. Di bawah sana, jalanan masih ramai oleh kendaraan, meskipun mulai tengah malam. Bahkan orang-orang yang berjalan kakipun tidak kalah ramainya. Keberadaan apartemen Justin yang nyaris di pusat kota membuat jalanan di sekitarnya tidak pernah sepi.

Entah bagaimana caranya, Justin berhasil menarik Cody dari Australia dan Wero dari Canada untuk menyaksikan lamaran mereka. Untung saja Justin sudah memblokir pengunjung sehingga besok wajahnya dan Justin tidak akan muncul sebagai berita utama di televisi. Lamaran itu terasa lebih privat karena hanya ada mereka dan sahabat mereka.

Setelah lamaran itu, mereka berlima berpesta di Blue Squirell. Merayakan kebahagian mereka. Acara mereka berakhir satu jam yang lalu karena Cody harus segera kembali. Menyiapkan perilisan album barunya bulan depan.

Begitu tiba di apartemen, Nicole segera mandi, membersihkan tubuhnya dan sekarang, disini lah dia. Duduk di kursi malas yang berada di balkon apartemen. Bukannya mengantuk karena dia sibuk seharian, matanya malah segar bugar. Mungkinkah karena dia terlalu bahagia sehingga kantukpun tidak ingin mengganggunya?

Nicole benar-benar masih tidak percaya bahwa Justin menyiapkan semua itu untuknya. Miley adalah pelaku yang mengambil cincinnya ketika masih tertidur, dan dia dengan bodohnya tidak sadar sama sekali. Dan tingkah aneh Miley yang mengajaknya ke tempat-tempat tadi, cafe di depan high school mereka, steak house, hanyalah untuk mengulur waktu hingga matahari nyaris tenggelam.

"Soda?"

Nicole tersadar dan menerima soda yang disodorkan Justin padanya. Tanpa sadar dia tersenyum ketika melihat cincinnya sudah berada ditempatnya semula.

"Kenapa tersenyum?" tanya Justin heran. Dia pun duduk di kursi malas disamping Nicole.

"Aku pikir, aku menghilangkan cincin ini." Nicole mengangkat bahu. "Aku bahkan sudah berniat untuk membeli cincin yang sama persis dengan cincin ini jika Miley tidak menghubungiku."

"Aku akan tahu cincin yang kau beli itu adalah palsu."

"Bagaimana mungkin?"

Justin mengulurkan tangan, memberi kode pada Nicole untuk melepas cincin itu. Setelah cincin itu ada di tangannya, dia menunjuk lingkaran bagian dalam cincin tersebut. "Kau lihat ini? Di dalamnya ada tulisan Jicole."

Nicole merebut cincin itu dari tangan Justin dan memperhatikan tulisan yang dimaksud laki-laki itu. "Merepotkan saja," komentar Nicole.

Justin terkekeh, lalu menatap ke depan sambil meminum sodanya.

Nicole ikut meminum sodanya, dan menatap langit malam yang ditaburi bintang. Rasanya bintang-bintang itu semakin banyak saja, pikir Nicole. "Justin?"

"Hmm?" sahut Justin tanpa menoleh sama sekali. Dia tengah memejamkan mata karena tubuhnya terasa sangat ringan. Mungkin dia bisa tertidur sebentar lagi. Perjalanan yang memakan waktu sehari lebih dari Thailand, membuat tubuhnya benar-benar remuk. Bahkan sebelumnya dia baru saja terbang dari Australia. Namun selama perjalanan dia tidak bisa tidur sama sekali. Dia tiba di Washington D.C sekitar pukul 10 pagi, dan diapun mulai mengatur semuanya. Cukup aneh karena dia tidak terserang jeltlag sama sekali.

"Kau tertidur?"

Justin berdehem dan membuka matanya. "Nyaris saja."

"Kalau begitu sebaiknya kita istirahat."

Justin menggeleng. "Kau ingin mengatakan apa?"

"Aku minta maaf soal makianku ketika terakhir kali kita bicara," ujar Nicole. Minta maaf bukan hal yang mudah. Walaupun jika kau memang melakukan kesalahan itu.

Justin mengangguk sambil tersenyum. "Well, aku juga minta maaf," katanya. "Tapi, bisakah kau mengurangi hobimu memaki orang lain? Terutama aku."

Nicole mendelik. "Aku memakimu juga bukan tanpa alasan," balasnya kesal. "Memangnya kenapa? Kau tidak suka punya istri yang suka melontarkan makian? Sayang sekali, itu sudah satu paket denganku. Kau harus menerimanya kalau kau ingin menikah denganku."

Justin berdecak dan menatap Nicole prihatin. "Tenanglah sedikit, oke? Aku hanya tidak ingin Pattie mendengar makian spektakulermu itu. Karena kalau itu terjadi, aku khawatir kau akan di coret dari calon menantu potensialnya."

"Apa?! Calon menantu potensial bagaima—Oh." Nicole berdehem dan merasakan wajahnya memanas. "Oh."

Justin menyeringai. "Yeah. Oh."

"Kenapa kau melamarku lagi?" tanya Nicole akhirnya. "Bukankah saat ulang tahun Ayahku kau sudah melamarku?"

"Saat ulang tahun paman Scott, aku melamarmu lewat ayahmu," ujar Justin. "Dan tadi adalah lamaran yang sebenarnya. Lagipula, bukankah kau ingin di lamar di taman hiburan? Aku mengabulkan keinginanmu. Dulu kau juga ingin ada seseorang yang rela mendaki gunung untukmu gara-gara serial drama. Aku juga melakukannya." Justin mengerling ke arah Nicole yang dibalas gadis itu dengan tatapan mau muntah. "Apa aku masih kurang sempurna untuk menjadi suamimu?"

Nicole memutar bola matanya dan mendengus keras. "Astaga! Kapan aku bilang kalau aku ingin di lamar di taman hiburan, hah?! Aku juga tidak pernah bilang kalau aku ingin seseorang mendaki untukku. Kau sudah mabuk?!"

"Well, untuk hiking kau memang tidak mengatakannya secara langsung. Kau hanya iri pada Abigail, tapi untuk menyenangkanmu aku melakukannya," ujarnya. "Aku tidak bohong tentang lamaran. Saat kita di middle school, tahun kedua seingatku. Kau bilang, kelak ketika kau sudah besar, kau ingin di lamar di taman hiburan. Kau di atas bianglala dan kekasihmu di bawah, merentangkan spanduk yang bertuliskan would you marry me."

Nicole menatap Justin sangsi. Samar-samar dia mengingat kalau dia memang mengatakan itu pada Justin. Astaga! Itukan hanya ucapan tidak penting seorang bocah? Bagaimana mungkin laki-laki itu masih mengingatnya? "Itu sudah lama sekali. Kenapa kau masih mengingatnya?"

"Karena aku mencintaimu," jawab Justin cepat.

Nicole kembali mendengus. "Benar-benar alasan yang sangat meyakinkan. Selamat, anda berhasil memenangkan hadiah utama sebesar satu juta dollar!" Nicole buru-buru bangkit dari duduknya, dan berjalan cepat menuju kamar. Dia harus segara menyembunyikan wajahnya yang memerah di balik selimut.

Justin tertawa dan buru-buru menyusul Nicole. Dia mengunci pintu balkon, dan begitu tiba di kamar, Nicole sudah mengubur dirinya dibalik selimut. Dia berbaring di samping Nicole, dan menyibak selimut yang membungkus Nicole dalam sekali sentakan. "Hei, aku ingin dengar secara langsung."

"Dengar apa?" tanya Nicole pura-pura tak mengerti.

"Three words?"

"I love you," ujarnya cepat.

"Aku tidak dengar."

"I love you," ulang Nicole, kali ini lebih lambat dan terucap dengan jelas.

"Kau bicara apa, hah? Aku tidak dengar apapun." Justin merengut.

"Aku bisa muntah jika mengatakannya lagi."

Justin menatap Nicole tanpa berkedip. Menunggu gadis itu kembali mengatakannya. Rasanya sangat menyenangkan ketika kalimat itu keluar dari mulut Nicole. Seperti nyanyian dari surga.

"Astaga! Kau ini tuli atau bagaimana hah?!" protes Nicole dengan emosi yang mulai memuncak. "Aku mencintaimu, sialan!"

Dan Justin tidak dapat menahan tawanya lagi.

oOoOoOoOo

Pekanbaru, 26 April 2015

15:109

Jangan lupa vote dan comment yaaa

Sampai jumpa di part selanjutnya~

Love,

TaniaMs

Continue Reading

You'll Also Like

88.3K 10.3K 55
PROSES PENERBITAN! [Dihimbau para pembaca baru untuk membaca sebelum adanya penarikan bab-bab untuk kepentingan penerbitan] #2 in Princess (29/3/24) ...
88.4K 11.4K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
83.4K 8.4K 36
FIKSI
7.8K 435 33
Awalnya Ruby mengira bahwa ia dan James dapat mengatasi segala hal bersama-sama. Namun, ketika keluarga James tertimpa musibah, dia harus menyadari b...