“Setidaknya dengan status pertemanan itu dapat membuat keduanya kembali lagi seperti dahulu kala.”
*****
"Di Cafe, gue lihat Lily. Dan kayaknya dia lagi nunggu seseorang, deh. Gak lama ada cowok yang nyamperin dia. Lo tahu siapa cowoknya? Adam, Ay! Adam Dhiafakri Pradipta!"
"Woah, gila! Kalau gue gak lupa diri, udah gue hancurin tuh mukanya si Lily! Yah, mereka sih cuma ngobrol biasa, deh, kayaknya. Abisnya gue gak bisa dekat-dekat. Nanti malah ketahuan, kan nggak banget!"
"Udah gitu, Adam pergi. Gue sempet lihat si Lily itu pegang tangannya doi gue! Terus gak lama Lily nangis."
"Nangis? Nangis kenapa?" tanya Ayana yang sedari tadi diam mendengarkan cerita Tiara mengenai “Pertemuan Rahasia Lily dan Adam”, Tiara memberi judul sebelum bercerita panjang lebar.
Tiara mengangkat bahu tak peduli. "Gue gak tahu, lah, Ay. Kan gue bukan Adam," candanya.
Ly, kamu kenapa nangis? Apa yang Adam lakukan sama kamu? gelisah Ayana dalam hati. Kepalanya kini di penuhi berbagai tanda tanya.
Tiara bertanya melihat temannya terdiam, "Ayana, are you okay?"
Ayana mengangguk singkat.
Tiara memperhatikan Ayana yang terlihat gelisah di tempat duduknya. Jadi, Tiara memutuskan untuk kembali bertanya. "Ayana, seriously? Are you okay?"
Ayana menolehkan kepala. "Yeah, of course, Tiara. I'm okay."
"Beneran?" tanya Tiara, lagi.
"Iya, Tiara."
"Terus apa yang lo pikirin?"
Alasan kenapa mereka ketemuan, jujur Ayana dalam batinnya. "Cuma kasihan aja sama teman sebangku gue ini." Ia merangkul bahu Tiara. Ayana akui dirinya cukup andal dalam menyembunyikan perasaannya dari orang lain. Namun entah kenapa itu tak berlaku kala ia berhadapan dengan Adam.
Tiara tertawa pelan paham ke mana arah pembicaraan mereka. "Astaga, Ayana. I'm fine! Really! Gue udah gak perlu tuh sedih lagi," jelas Tiara sambil mengukir senyum manis.
"Kenapa gitu?" tanya Ayana, sebelah alisnya terangkat.
"Karena secara gak langsung doi gue itu nolak si Lily. Dan semalam pas gue lihat dia nangis, rasanya tuh, duh, yang jelas gue bahagia. Sangat-sangat bahagia," cerita Tiara menggebu.
Ayana bangkit dari duduknya.
"Mau ke mana?"
"Perpus," balas Ayana tanpa menolehkan kepala ke arah Tiara.
"Dia kenapa, sih?" gumam Tiara. "Apa Tante Nada kambuh lagi, ya?" Biasanya jika Ayana ke perpustakaan ada kemungkinan kalau sang Mama kambuh.
*****
Gadis itu kini berada di perpustakaan. Mencari seseorang yang akan ia tanyai kebenaran mengenai cerita Tiara semalam, yang tiba-tiba muncul di kamarnya, entah bagaimana. Karena ia tahu, ini bukanlah masalah biasa. Jika mereka berbicara dua mata dan tanpa ada yang mengetahuinya, maka masalah tersebut ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Ayana segera menarik lengan seorang lelaki yang berdiri bersandar ke rak. Di tangannya tersimpan buku yang tengah ia baca. Ayana membawa lelaki itu ke bagian rak buku yang di isi deretan buku ensiklopedia—rak yang jarang dan hampir tak tersentuh.
Lelaki itu menukikkan alis. "Ira?" sebutnya.
Ayana bertanya to the point, "Kamu apain Ily?"
"Huh?"
"Semalam kamu ketemuan kan, sama Ily?"
Raut wajah kebingungan milik Adam sesaat kemudian berubah datar kembali. "Hmm," balas Adam cuek.
"Kamu apain dia?"
"Kamu nuduh aku yang enggak-enggak?" Adam justru balik bertanya.
"Aku tanya duluan ke kamu! Kamu jawab bukan balik tanya!"
"Aku bakalan jawab, tapi kamu harus mau kita kayak dulu lagi," sahut Adam.
Ayana mengeluarkan napas frustrasi. "Dam, udah berapa kali aku bilang, kita gak bisa bareng lagi," cecarnya.
"Ya udah, kalau kamu gak mau," kata Adam santai. Langkah kaki Adam bergerak hendak pergi.
Ayana dengan kilat menahan lengan Adam. Dalam hati, Adam berseru kegirangan. "Apa lagi?" tanya si lelaki terkesan bosan membahasnya.
"Oke, aku setuju asalkan syarat yang kamu ajukan bukan itu!" seru Ayana.
"Tidak ada penawaran lain selain itu," sahut Adam bersikukuh.
Kini Ayana menahan kepergian Adam dengan kedua tangannya. "Hanya berteman dan tidak lebih," ujarnya terpaksa. Matanya menatap Adam memohon.
Adam menoleh ke Ayana. "Emang dulu kita pernah lebih dari itu?" tanya Adam tersirat nada menggoda di ucapannya.
Ayana mencebikkan bibir. Tangannya menghempaskan lengan Adam kasar. "Dasar nyebelin!" gerutu Ayana.
Adam tersenyum merasakan kemenangan. "Jadi mulai hari ini kita temenan?"
"Hanya berteman!" tekan Ayana menegaskan.
Adam memamerkan senyuman yang jarang ia berikan kepada setiap orang. "Kalau gitu, kita—"
"Tidak ada kata “kita” di antara kamu dan aku!" sela Ayana menekankan kata “kita”. "Dan sebaiknya, panggilannya diubah."
"Nggak! Aku gak mau!"
Ayana menoleh cepat. "Kenapa? Orang lain bisa curiga."
"Aku nggak mau!" tegas Adam. "Bukannya kita udah biasa pakai aku-kamu? Dulu juga biasa aja. Kenapa sekarang harus diubah?"
Ayana bergeming. "Karena ... gak ada teman yang pakai aku-kamu," jawabnya asal.
"Yang jelas aku gak mau ubah panggilan kita! Atau jika kamu maksa terus, perjanjian kita tadi batal, mau?"
"Kamu ancam aku gitu?"
"Gak boleh emangnya?"
"Adam!" Ayana berseru kesal.
"Ya udah, aku pergi." Adam berlalu meninggalkan Ayana.
Ayana menatap punggung Adam yang mulai menjauh. Kakinya ia tugaskan untuk berjalan mengejar lelaki berjuluk Raja Es di sekolah ini. Ayana terkejut, ketika tangannya yang hendak meraih lengan Adam digenggam lelaki itu. Mata mereka bertemu. Tubuh Ayana seketika mematung.
*****
Beberapa meter di depannya adalah perpustakaan. Tempat dia berada kini. Kakinya berjalan gagah. Di sana, di depan pintu perpustakaan orang yang ingin ditemuinya keluar bersamaan dengan seorang lelaki. Tangan keduanya bertautan.
Spontan tangan Andri terkepal kuat. Rahangnya mengetat tak suka. Matanya menajam pada tangan yang bergenggaman. Langkahnya melebar mengikuti arah ke mana si lelaki menarik gadis-nya pergi.
Mencoba bersabar untuk tidak mengeluarkan semua emosinya di saat itu juga. Menurunkan ego sebentar. Menunggu apa yang akan dilakukan si Raja Es Lilin terhadap Ratu-nya.
"Aku duluan yang ajak dia ketemuan."
Yang pertama kali terdengar ialah suara lelaki. Andri makin merapatkan badannya di pintu. Mendengarkan baik-baik. Meski hatinya terus memaksa untuk menggebrak pintu, menarik Ayana ke sebelahnya. Menatap tajam si pelaku penarikan.
"Kenapa?" Suara seorang perempuan menyahut.
Kenapa lo ikut campur urusan dia, Ay? batin Andri bertanya.
"Cuma ngobrol biasa," kilah Adam.
"Soal apa?" tuntut Ayana. "Ada hubungannya sama aku?" sahutnya saat Adam tak menjawab, memilih bergeming di posisinya.
Melalui celah pintu yang agak terbuka Andri dapat melihat Adam yang menatap Ayana tepat di matanya. Sial! Dia malah diam saja ketika Ayana bersama lelaki lain!
"Sekarang aku tanya, apa yang kamu lakukan ke Ily sampai-sampai dia nangis? Dan parahnya, kamu tinggalin dia sendirian di Cafe," papar Ayana. "Kamu juga tahu, kan, dia gak suka ditinggal? Apa lagi sendirian dan di malam hari."
Ily? Oh, cewek baru itu? Nggak suka ditinggal sendiri, ya? Andri tekekeh sinis. Gotcha! Ia berhasil mengetahui kelemahan gadis pindahan itu.
"Adam, aku mohon, jangan buat Ily nangis. Itu pesan aku, aku mohon sama kamu, Dam," pinta Ayana tulus.
Andri mulai tidak tenang di tempatnya berdiri. Mengacak rambutnya asal-asalan. Kenapa, Ay? Apa yang sebenarnya nggak gue tahu soal lo?
"Kenapa kamu malah nyuruh aku—"
Ponsel Adam bergetar, menghentikan perkataannya sendiri. Adam merogoh saku celananya. Untuk beberapa detik dia terdiam, melirik Ayana.
"Lily?" tembak Ayana. "Angkat. Mungkin dia butuh teman," ujarnya berlalu.
Secepat kilat, Andri turun sebelum Ayana mengetahui keberadaannya yang menguping perbincangan mereka. Kepalanya terasa pecah mengira-ngira hubungan di antara mereka.
Sahabat? Kenapa terasa lebih? Pun mereka ber-aku-kamu.
Kekasih? Tapi bagaimana bisa? Kapan mereka jadian? Kenapa ia tidak tahu? Tiara yang teman sebangkunya pun tidak tahu menahu.
*****
Gadis itu tersentak kaget menemukan sosok pemuda berdiri di hadapannya, menghalangi jalan. "Ada apa?"
"Lo tahu kalau dia yang ngelakuin itu semua, kan?"
Si gadis mengerutkan alis bingung. "Maksud lo, apa, sih? Ngomong yang jelas biar gue ngerti. Eh, gue lupa lo kan emang dingin dari sananya," cetusnya.
"Sekarang lo jadi anak buah dia?" Adam bertanya tak menghiraukan sindiran gadis Ketua Para Penyebar Berita itu.
Diana mendengus sebal. Berpangku tangan pongah. "Maksud lo, gue tahu siapa yang neror Ayana? Dan lo nuduh gue sembunyiin itu buat ngelindungin teman sebangku gue? Cih! Otak lo ternyata bisa ngehayal juga, ya."
"Kalau benar lo terlibat, gue bisa bikin kalian nyesel seumur hidup."
Diana melirik Adam tanpa rasa segan. "Silakan aja, tapi gue nggak tahu apapun. Nggak ada yang gue sembunyiin, waktu itu gue cuma temenin Lily di UKS. Salah gue dimana? Dan yang jelas gue bukan anak buah siapapun, termasuk Lily!" tegasnya menekankan. Melengos pergi, meninggalkan Adam.
Dalam diam, Adam memperhatikan langkah menjauh Diana. Dapat dilihatnya jelas Diana menyembunyikan sesuatu, entah apa. Tetapi itu menjadi bukti bahwa dia berbohong. Sebab lengannya sedikit bergetar. Apapun itu, Adam akan membuat Diana buka mulut.
Dari arah belakang terlihat dua temannya datang menghampiri. "Tenang, Dam. Gue bisa bantu lo buat buka mulut itu cewek. Lo fokus aja jagain dia," sahut Novan sembari menepuk pelan pundak Adam.
Adam membuang napas berat. "Thanks, Van."
"Lah, terus gue gimana?"
"Urus urusan lo," balas Adam melirik intens ke sebelah kanannya.
"Tuh, dengarkan lo, Wil? Urus urusan lo!" ledek Novan menirukan nada bicara Adam.
Wildan berdecak kesal. "Woy, tungguin kenapa?" teriaknya berlari menyusul kepergian mereka.
*
*
*
*
*
TO BE CONTINUED
NOTES
Hello, yeoreobun~
There's no notes. So, see you soon~
Salam Kenal,
Indri