Our Apartment

By TaniaMs

414K 23.8K 787

NICOLE selalu menganggap JUSTIN adalah sahabatnya, karena mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, Ju... More

Our Apartment
Our Apartment [1]
Our Apartment [2]
Our Apartment [3]
Our Apartment [4]
Our Apartment [5]
Our Apartment [6]
Our Apartment [7]
Our Apartment [8]
Our Apartment [9]
Our Apartment [10]
Our Apartment [11]
Our Apartment [12]
Our Apartment [13]
Our Apartment [14]
Our Apartment [15]
Our Apartment [16]
Our Apartment [17]
Our Apartment [18]
Our Apartment [19]
Our Apartment [20]
Our Apartment [21]
Our Apartment [22]
Our Apartment [23]
Our Apartment [24]
Our Apartment [26]
Our Apartment [27]
Our Apartment [28]
Our Apartment [29]
Our Apartment [30]
Our Apartment [31]
OUR APARTMENT AFTER STORY

Our Apartment [25]

12.8K 778 41
By TaniaMs

Hai semua :) Selamat berjumpa kembali yaa~

terima kasih atas vote dan komentar di part sebelumnya :)

Dulu sempat ada yang nanya, cuma aku lupa siapa -_- *maaf* Dia nanya apakah aku bikin Our Apartment terinspirasi dari lagu Fall-nya Justin Bieber. jawabannya Nggak. Lagu itu muncul setelah aku nulis cerita ini. dan lagu theme song buat part ini juga baru nemu pas cerita Our Apartment udah jalan setengah, dan kebetulan banget rada nyambung sama lagu Fall - Justin Bieber, karena lagu buat part ini juga nyinggung masalah "Fall"

Nah, theme song buat part ini adalah Tiffany Alvord - Baby I love you

HAPPY READING!

AWAS TYPO!


oOoOoOoOo


"Apa benar, Nicole dan Justin akan melangsungkan pernikahan di The Star Hotel, akhir tahun ini?"

Scott tersenyum tipis. "Aku tidak tahu," ujarnya. "Justin masih berada di luar negeri sampai setengah atau satu bulan lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Jadi kami belum membicarakan masalah pernikahan sama sekali."

"Dari kabar yang beredar, Nicole tidak akan mengundang Jean. Benar begitu?"

Nicole segera mematikan televisi di hadapannya, dan melempar remote-nya ke atas nakas. Sejak lamaran Justin di pesta ulang tahun Ayahnya bulan lalu, mendadak segala berita tentangnya dan Justin menjadi menarik minat para penonton. Selama dua minggu tanpa henti, berita berita gosip hanya membahas tentang lamaran Justin padanya, tentang kedekatan mereka, dan hal hal remeh lainnya. Bahkan wartawan-wartawan gosip itu dengan semangatnya mencari orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Mewancarai mereka satu persatu, bertanya tentang hubungannya dan Justin. Seolah-olah, dia dan Justin adalah artis papan atas.

Hal itu membuat Nicole tidak terlalu nyaman keluar rumah. Dia sudah tidak bisa senyaman dulu, karena orang-orang akan mulai menunjuk-nunjuk wajahnya seolah dia teroris yang menakutkan. Dan sebagian orang-orang—kebanyak remaja—tak malu-malu untuk meminta tanda tangan dan berfoto dengannya.

Apalagi rasanya, antifans-nya semakin bertambah saja. Ketika dia berpacaran dengan Jean dulu, sebagian fans Jean tidak mendukung hubungan mereka, mangatainya wanita materialistis, mencari ketenaran lewat Jean dan lain-lain. Dan belakangan ini, semakin ramai saja caci maki pengguna twitter yang mampir ke mention-nya. Intinya mengatakan bahwa dia hanya mencari laki-laki kaya.

Aku bahkan sudah cukup kaya tanpa harus berpacaran dengan Jean atau menikah dengan Justin, batin Nicole gemas di suatu hari. Bukan dia yang mengejar laki-laki itu, tapi mereka yang mengejarnya. Seperti dia peduli saja dengan kekayaan Jean ataupun Justin. Kalau dia memang mencari laki-laki kaya, seharusnya dia terbang ke London dan menggoda pangeran William, sehingga laki-laki itu mencampakan Kate dan dia pun menjadi ratu.

Berita yang baru saja di lihatnya adalah hasil wawancara dengan Ayahnya dua malam yang lalu, ketika Ayah dan Ibunya menghadiri acara lelang amal di pusat kota. Seperti yang sudah dia katakan, berita yang terkait tentangnya dan Justin selalu berhasil menarik minat wartawan. Bahkan dia sendiri tidak melihat dimana hal menariknya. Dan saat tengah malam seperti sekarang ini, stasiun televisi itu masih menayangkan gosip.

Sambil mendesah, Nicole bangkit dari tempat tidur, dan berjalan keluar kamar menuju balkon apartemen. Yeah. Dia sedang di apartemen Justin. Semenjak tragedi lamaran itu, para wartawan dengan rajin berkunjung ke rumahnya, sehingga untuk menghindarinya dia mengungsi ke apartemen Justin. Lagipula, para wartawan-wartawan itu tidak tahu apartemen Justin sama sekali. Karena mereka berpikir Justin tetap tinggal di seberang rumahnya.

Angin malam menerpanya dengan kuat, namun tak membuat Nicole kembali masuk ke dalam. Dengan santai, dia duduk di kursi malas yang di balkon dan menekuk kedua lututnya. Musim semi sudah datang minggu lalu, tapi hawa musim dingin masih terasa pekat, nyaris membuatnya menggigil.

Nicole melirik ponselnya putus asa. Justin masih belum menghubunginya. Sudah tiga minggu tanpa ada kabar sama sekali. Tidak ada tweet maupun foto baru di instagram Justin. Terakhir foto yang di upload Justin adalah foto saat laki-laki itu memasangkan cincin di jarinya. Entah dari mana Justin mendapatkannya, dan itu sudah sebulan yang lalu.

Satu minggu setelah hari lamaran, mereka masih berkomunikasi, meskipun hanya sebatas saling menyapa karena perbedaan waktu yang signifikan. Terakhir mereka saling mengirim chat adalah saat Justin mengatakan akan segera pergi ke Australia. Dan semenjak itu, boom! Justin mendadak hilang.

Nomor laki-laki itu tidak bisa dihubungi, dan chatnya tidak pernah terkirim. Meskipun berpindah-pindah negara, Justin tidak mengganti nomornya sama sekali, Sebelum pergi, biasanya laki-laki itu selalu mengatur mode nomornya sehingga tetap bisa digunakan di negara manapun dia berada.

Nicole tersadar dari lamunan saat ponsel di tangannya bergetar. Nomor tidak dikenal, namun dia segera menggeser layar untuk mengangkat panggilan internasional itu.

"Justin?"

"Hei," balas Justin dengan suara yang terdengar santai.

Nicole mendadak kesal karena mendengar nada bicara Justin, seolah-olah mereka tidak berkomunikasi baru kemarin sore. "Suaramu terdengar sangat santai. Padahal sejauh yang aku ingat, sudah tiga minggu berlalu tanpa ada kabar sama sekali. Darimu."

Justin terkekeh kecil. "Maafkan aku. Ponselku tercebur kolam renang, dan aku tidak sempat memperbaikinya ataupun membeli yang baru. Bahkan sekarang aku meminjam ponsel Bella."

"Kapan ponselmu rusak?"

"Sejak terakhir kali kita bicara. Atau mungkin beberapa hari setelahnya, aku tidak begitu ingat."

"Dalam waktu tiga minggu kau bahkan tidak sempat untuk membeli ponsel baru? Astaga." Nicole berdecak kagum. "Kau memang terlalu sibuk dengan pekerjaan atau sibuk dengan hal lain, hm?"

"Nic, aku tidak suka nada bicaramu," ujar Justin mengingatkan. Nicole selalu menggunakan nada santai saat dia menuduh seseorang, dan itu terdengar sangat menyebalkan, dibandingkan dengan nada menuntut sekalipun.

Nicole mendengus. "Well, aku juga tidak suka nada bicaramu yang terkesan sangat santai, seolah-olah tidak terjadi apapun."

"Memang tidak terjadi sesuatu, bukan?"

Nicole tertawa keras. "Kau tidak menghubungiku selama tiga minggu, dan itu bukan sesuatu yang penting menurutmu?! Great!"

"Aku minta maaf untuk itu, aku benar-benar sibuk—"

"Sibuk?" potong Nicole kesal. "Biasanya, sesibuk apapun seseorang tetap saja ponsel itu benda penting. Jadi bagaimana mungkin kau bisa hidup tiga minggu belakangan ini tanpa ada ponsel? Alasanmu tidak masuk akal!"

"Tidak masuk akal?" protes Justin. "Lalu apa alasan yang menurutmu masuk akal?"

Nicole tidak menjawab.

"Hati-hati dengan apa yang kau pikirkan Nic," desis Justin saat menyadari apa yang dipikirkan Nicole. Dia terlalu mengenal gadis itu, bahkan sampai bisa tahu seluk beluk pikiran Nicole. Dan mengetahui apa yang ada dipikiran Nicole saat ini membuatnya sangat kesal. "Aku tidak suka."

"Lalu menurutmu, apa yang akan aku pikirkan saat orang yang melamarku pergi keluar negeri, tidak bisa di hubungi selama tiga minggu, selain dia melakukan kencan panas dengan wanita disana?!"

"Aku tidak mungkin melakukannya, Nic!"

"Kenapa tidak?" tanya Nicole. "Bahkan mantan-mantan kekasihku dulu tidak repot-repot pergi keluar negeri untuk melakukannya. Mereka melakukan hal itu tepat di depan wajahku!"

"Aku bukan mereka!"

"Kenapa bukan? Kalian sama-sama laki-laki." Nicole mendengus. "Atau kau bukan laki-laki?"

"Nicole!" bentak Justin habis kesabaran. "Bisakah kau tidak menyebalkan sebentar saja?"

"Apa?!"

"Aku terlalu sibuk menyelesaikan masalah yang dibuat oleh karyawanku, sehingga untuk bercukur saja aku tidak sempat. Apalagi membeli ponsel. Dan yang lebih tidak mungkin lagi adalah aku melakukan kencan panas dengan wanita disini!" Justin menghela napas panjang. "Aku memaafkanmu karena sudah menuduhku melakukan hal yang tidak-tidak. Karena mungkin saja otakmu terjatuh disuatu tempat atau mungkin kau melakukan operasi pengangkatan otak kemarin malam. Tapi—"

Nicole benar-benar syok mendengar rentetan kalimat Justin. "Otakku terjatuh disuatu tempat, katamu?" Nicole bangkit dari duduknya, merasakan matanya memanas. Air matanya bisa tumpah kapan saja. Bahkan saat bicara, suaranya bergetar, "Dengarkan aku, bajingan! Kau—"

"Kau yang harus mendengarkanku, sialan!" balas Justin tak kalah keras. "Menurutmu lamaranku hanya main-main sehingga aku dengan mudahnya berpaling dengan wanita lain begitu tidak berada di dekatmu?! Apa kau memandangku sebegitu rendahnya?! For your information, Miss Chance, aku bukan bagian dari mantan-mantan kekasihmu yang terkutuk!" Justin tertawa. Sinis. "Apa kau percaya padaku? Apa kau pernah percaya padaku? Karena kalau tidak, kita punya masalah yang serius."

"Kau bertanya masalah kepercayaan padaku?" tanya Nicole dengan suara bergetar. Dengan kasar, dia mengusap air matanya yang mulai menetes. "Jangan bahas masalah kepercayaan padaku kalau kau tidak mengutamakan komunikasi, dasar bajingan!"

Justin terkejut mendengar suara Nicole yang bergetar. "Hei—"

"Shut your fucking mouth and use your fucking brain, bastard!"

oOoOoOoOo

Justin langsung mendengus begitu Nicole memutuskan panggilan mereka. Dengan kesal, dia membanting ponsel Bella ke meja dan mengacak rambutnya putus asa. Disaat-saat seperti ini, kenapa mereka malah bertengkar? Ini pertengkaran pertama mereka, dan rasanya sangat tidak enak. Baru kali ini dia lepas kendali dan ikut-ikut emosi seperti Nicole. Biasanya disaat Nicole mulai panas, dia akan berbicara dengan tenang, meredakan emosi Nicole dan pertengkaran itu terelakkan. Tapi sekarang, dia tidak bisa menghindarinya.

Terjadi masalah pada hotelnya di Melbourne. Sehingga dia memusatkan fokusnya pada masalah itu, berusaha mencari jalan keluar, tanpa perlu diketahui oleh ayahnya. Karena dia sedikit lebih lama di Australia, dia meminta bantuan Lucas Grey untuk mengunjungi hotelnya di Asia tenggara. Dan masalah hotel ini baru saja selesai, sehingga dia segera menghubungi Nicole. Namun yang terjadi malah sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Dia bisa saja menghindari pertengkaran tadi, tapi semuanya kacau balau saat Nicole mulai menuduhnya bermain wanita lain disini.

Tiba-tiba dia teringat suara Nicole yang bergetar saat gadis itu memakinya habis-habisan.

"Apa kau menyimpan nomor Miley?" tanya Justin saat Bella duduk di hadapannya, sekembalinya wanita itu dari toilet.

"Miley?" Bella mengerutkan kening. "Miley Cyrus? Sahabatmu yang menelepon tempo hari?"

Justin mengangguk. Dan mulai mengecek panggilan masuk di ponsel Bella. Miley memang sempat menghubunginya dua hari yang lalu, bercerita panjang lebar, tentang Nicole yang menginap di rumahnya. Dan dia tidak perlu bertanya dari mana Miley mendapatkan nomor Bella. Justin segera menghubungi sebuah nomor yang dia yakini adalah nomor sahabatnya. Panggilan itu baru diangkat pada dering keempat. "Miley?"

"Hm? Ini siapa?" tanya Miley dengan suara mengantuk.

"Aku Justin."

"Astaga Justin! Kau sedang dimana, hah?!" omel Miley. "Kalau kau tidak di DC, aku beritahu sesuatu. Sekarang pukul satu malam, dan aku baru tidur beberapa menit!"

Justin meringis mendengar bentakan Miley. "Aku minta maaf karena mengganggu tidurmu, tapi aku sangat butuh bantuanmu saat ini."

"Butuh bantuanku pada pukul satu malam? Yang benar saja!"

"Aku ingin kau menghubungi Nicole. Memastikan dia tidak melakukan hal hal aneh."

"Kenapa?" tanya Miley penasaran. "Kalian bertengkar?"

"Yeah. Aku rasa begitu."

"Baiklah!" ujar Miley semangat. Berbanding terbalik dengan nada suaranya saat mengangkat telepon. "Aku akan memastikan calon istrimu itu dalam keadaan aman. Bye!"

oOoOoOoOo

Nicole masih sesenggukan, dan sesekali menyeka ingusnya dengan tisu dan melemparnya begitu saja ke ujung balkon. Sudah nyaris pukul 3 dan dia masih belum mengantuk. Seharusnya, setelah selama itu menangis, dia kehabisan tenaga dan memutuskan untuk tidur. Namun nyatanya tidak sama sekali. Matanya segar bugar, dan dia sendiri cemas kalau dia tidak akan tidur sampai fajar menyingsing.

Sejak Miley datang dua jam yang lalu, mereka tetap duduk di balkon. Miley sudah memaksanya untuk ke kamar, tapi dia tidak mau sama sekali. Bahkan dia juga menolak jaket yang di tawarkan sahabatnya itu. Miley hanya diam ketika dia menangis meraung seperti istri kehilangan suami.

Well, dia juga tidak tahu kenapa tepatnya dia menangis. Mungkin karena tadi adalah pertama kalinya Justin benar-benar marah padanya. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai kekasih. Laki-laki itu juga memakinya. Dan pertanyaan Justin tentang kepercayaan juga sangat menyinggungnya. Memangnya Justin pikir, dia akan menerima ajakan kencan laki-laki itu kalau dia tidak percaya? Kalau dia tidak percaya sama sekali pada Justin, hubungan mereka tidak akan sampai sejauh ini!

"Kau boleh menyebutku jahat, tapi aku senang kalian bertengkar," ujar Miley dengan santainya.

Nicole mendelik tajam. "Apa?!"

Miley terkekeh. "Well, dimataku, hubungan kalian nyaris sempurna. Kau tipikal orang yang meledak-ledak, sedangkan Justin memiliki pembawaan yang tenang. Sehingga kalian saling menyeimbangkan. Kau, bisa kukatakan selalu membuat masalah dan Justin dengan besar hati menyelesaikannya. Seperti air panas yang digabungkan dengan air dingin, akan menghasilkan air hangat. Menentramkan," jelasnya. "Dimataku kalian seperti itu."

Nicole sukses melongo mendengar penjabaran Miley. Apakah filosofi itu efek obrolan dini hari? Batin Nicole bertanya-tanya.

"Dan melihat kalian bertengkar malam ini, aku merasa bahagia karena itu artinya kalian manusia." Miley mengangkat bahunya. "Kalian juga melakukan kesalahan. Sehingga aku bisa menekan rasa iriku karena kesempurnaan hubungan yang kalian miliki."

Nicole menatap Miley dengan tatapan kau-sedang-mabuk-atau-sudah-tidak-waras?

Miley tertawa keras-keras melihat tatapan yang ditujukan Nicole padanya. Dalam kondisi apapun, Nicole selalu berhasil membuatnya tertawa. Bukan hanya karena kalimat yang dilontarkan gadis itu, tapi kadang hanya dengan tatapannya.

"Justin yang salah, bukan?" tanya Nicole setelah Miley selesai tertawa.

"Kau tahu, aku bukan pemberi solusi yang baik," aku Miley. "Kau ingin komentarku? Akan kuberikan, tapi jangan kesal mendengar apapun yang kuucapkan. Dan jangan berharap kau bisa menemukan solusi setelah mendengar komentarku."

"Lalu apa gunanya kau disini, hah?!" protes Nicole tak terima.

Miley mengulum senyum. "Justin tidak menghubungimu selama tiga minggu mungkin karena dia memang sibuk. Dia bilang ada masalah di hotelnya, kan? Bisa saja itu masalah yang rumit, sehingga dia benar-benar terfokus kesana. Kau tidak salah karena sudah mencurigainya, tapi sepertinya Justin tipikal orang yang tidak suka dicurigai. Dia ingin kepercayaanmu sepenuhnya. Karena itulah dia menanyaimu masalah kepercayaan. Lalu yang Justin tidak tahu, komunikasi adalah prioritasmu. Tapi baginya, saling percaya sudah cukup tanpa perlu harus saling komunikasi. Bagi Justin, prioritasnya adalah kepercayaan." Miley berdehem ketika merasakan mulutnya kering. Buru-buru dia mengambil soda yang ada di meja yang memisahkannya dan Nicole. Dia belum pernah jadi penasehat cinta siapapun, dan rasanya cukup menyenangkan. Mungkin dikehidupan yang akan datang, disaat dia dilahirkan kembali dia akan menjadi psikolog. "Pada akhirnya, kalian harus saling minta maaf. Dan menjelaskan apa yang menjadi prioritas kalian. Kalian mungkin terlalu lelah dan mudah terbawa emosi."

"Aku tidak akan minta maaf padanya," cetus Nicole.

"Kata-katamu keterlaluan." Miley melirik Nicole yang tengah cemberut. "Shut your fucking mouth—astaga Nicole! Kau ini wanita! Kenapa bicaramu kasar sekali, hah?!" protes Miley. "Kenapa makianmu semakin bertambah saja?! Dulu kau hanya mengatakan kata-kata makian, dan sekarang kau melontarkan satu kalimat makian. Kau benar-benar!"

Nicole mendelik protes. "Selama makian tidak membuatku mati, aku akan selalu melakukannya. Dan jangan hanya menasehatiku! Justin juga mengataiku sialan. Bisa kau bayangkan itu?! Bisa-bisanya dia memaki seorang wanita!"

"Kau bukan wanita." Miley geleng-geleng kepala. "Kau pria yang terjebak ditubuh wanita mengingat hobimu memaki orang lain!"

Nicole memasang raut wajah terluka. "Teganya kau," ujarnya dramatis. Bahkan sekarang suasana hatinya sudah membaik. Meskipun tampaknya sebelum tidur dia harus mengompres matanya. Untung saja besok masih hari Minggu.

"Ah, aku penasaran. Apa benar kalian sudah mencetak undangan?"

Nicole meneguk sodanya dan menatap Miley dengan kening berkerut. "Undangan? Undangan apa?"

Miley memutar bola matanya. "Undangan pernikahanmu dan Justin."

Nicole tertawa. "Dia sedang diluar negeri, Miley. Kami bahkan belum membahas masalah pernikahan itu dengan serius. Seolah-olah lamaran bulan lalu hanya angin lewat."

Miley langsung duduk tegak. "Kau belum menjawab lamaran Justin?"

Nicole mendengus. "Tentu saja belum," ujar Nicole dengan santainya. "Dia memberiku waktu berpikir selama dia di luar negeri. Jadi kenapa aku harus menjawabnya sementara dia belum kembali?!"

Miley menjentikkan jarinya. "Mungkin itulah penyebab Justin membahas masalah kepercayaan," ujarnya.

"Apa maksudmu?"

Miley menatap Nicole serius. "Justin bertanya padamu, apa kau percaya padanya, benar?"

Nicole mengangguk.

"Ini semacam mencari pembuktian. Dia ingin tahu jawaban lamaran yang dia ajukan. Kalau kau percaya padanya, kau pasti akan menanggapi lamaran Justin dengan serius. Mungkin yang dia inginkan adalah kau langsung menjawab saat itu juga."

"Dia langsung pergi setelah memasangkan cincin padaku," balas Nicole. "Lagipula, kalau dia ingin jawaban langsung, kenapa memberiku waktu untuk berpikir—"

"Ego laki-laki, Nic." Miley mendengus. "Mungkin tidak pada saat itu langsung karena dia harus ke bandara. Tapi, bukankah kau bisa meneleponnya, atau mungkin memberi kode padanya kalau kau menerima lamarannya? Bukannya meng-upload foto kesepuluh jarimu yang baru diberi kuteks tanpa ada cincin sama sekali di jari manisnya."

Nicole mengerucutkan bibirnya karena Miley menyindir foto yang dia upload dua hari setelah lamaran Justin ke instagramnya. Foto itu diambil oleh pegawai salon langganannya, tak lama setelah ke sepuluh jari tangannya di beri pewarna kuku. Kebetulan saja saat itu dia tidak memakai cincin yang diberikan Justin. Ratusan komentar langsung mengisi foto tersebut dan malamnya dia segara menghapus foto itu sebelum hal-hal yang tidak dia ingin terjadi. Tapi dia tidak menyangka Justin sempat melihat foto itu, karena besoknya ketika mereka saling bicara lewat telepon, Justin tidak menyinggung masalah foto itu sama sekali.

"Mungkin dia masih berpikiran positif, menganggap kau lupa memakai cincinnya. Lalu ketika kau tidak juga memberi tanda-tanda, dia sampai pada kesimpulan bahwa kau menolak lamarannya." Miley mengangkat bahu. "Mungkin itu juga yang membuatnya malas untuk membeli ponsel baru. Memberi dirinya sendiri waktu menerima kenyataan, sebelum akhirnya kembali bisa menghadapimu."

Nicole mencibir. "Seolah-olah dia akan mati saja kalau aku menolak lamarannya."

"Memang." Miley mengangguk. "Seluruh dunia tahu seberapa besar cintanya padamu. Tidak sepertimu. Hanya menyimpan perasaanmu sendiri."

Nicole merasa tertohok di tempat yang tepat.

Ketika melihat Nicole tak berkutik, mata Miley melebar. "Kau bahkan belum mengatakan kau juga mencintainya? Sampai saat ini?"

Nicole menggeleng pelan.

Miley bangkit dari duduknya dan berteriak dengan kesal. "Astaga, Nicole! Sepertinya kau benar-benar baru saja melakukan operasi pengangkatan otak! Ya Tuhan Yang Maha Kasih! Terkutuklah ciptaanmu ini," omelnya sambil melirik Nicole tajam.

oOoOoOoOo

Justin menghempaskan tubuhnya di kasur hotel yang empuk. Matahari baru terbenam beberapa saat lalu di Bangkok, dan cuacanya benar-benar panas diluar sana. Dia baru saja tiba di hotel beberapa saat lalu, dan penerbangannya kali ini tidak memakai pesawat pribadinya membuat tubuhnya terasa remuk. Besok dia akan mulai mengecek keadaan hotel.

Tepat ketika matanya akan terpejam, Justin teringat file yang dijanjikan Lucas padanya, yang akan dikirimkan laki-laki itu lwat email. Dengan malas, dia menyeret tubuh mengambil Ipad, begitu sudah mendapatkannya, dia kembali berbaring. Memeriksa email masuk. Matanya menyipit ketika melihat email baru dari Nicole. Dikirim lima jam yang lalu. Berarti dini hari waktu D.C?

Di bawah email Nicole adalah email dari Lucas. Tapi dia lebih tertarik pada email yang berupa lampiran yang dikirim Nicole. Dengan hati berdebar, Justin membuka email Nicole. Mendownload lampiran Nicole yang ternyata berupa video.

Mata Justin menyipit ketika menyadari video itu di ambil di kamar apartemennya. Nicole duduk di pinggir ranjang, hanya bagian samping tubuhnya yang terlihat karena gadis itu tidak menatap kamera sama sekali, dan gadis itu terlihat memegang gitar. Tak lama setelah dia menakan tombol play, lantunan intro mulai terdengar dan suara lembut Nicole membiusnya.

There are three words, that I've been dying to say to you

Burns in my heart, like a fire that ain't going out

There are three words, and I want you to know they are true

I need to let you know

 

I wanna say I love you, I wanna hold you tight

I want your arms around me and I want your lips on mine

I wanna say I love you, but, Babe I'm terrified

My hands are shaking, my heart is racing

Cause it's something I can't hide, it's something I can't deny

So here I go,

Baby I love you

Justin benar-benar terpaku selama beberapa saat. Tidak percaya bahwa hari ini akan datang juga. Hari dimana Nicole mengatakan cinta padanya. Buru-buru, dia merogoh ponsel barunya di dalam saku celananya dan menghubungi Bella tanpa mengalihkan pandangannya dari layar Ipad sama sekali.

I've never said these words to anyone, anyone at all

Never got this close, cause I always afraid I would fall

But now I know that I'll fall right into your arms

Don't never let me go

 

I wanna say I love you, I wanna hold you tight

I want your arms around me and I want your lips on mine

I wanna say I love you, but, Babe I'm terrified

My hands are shaking, my heart is racing

Cause it's something I can't hide, it's something I can't deny

So here I go,

Baby I love you

 

Take it in, breath the air

What is there to really fear

I can't go contain, what my heart's saying'

I gotta say it out loud

Justin langsung menarik napas begitu Bella mengangkat teleponnya. "Bella, pesankan tiket tercepat malam ini ke D.C. Aku harus pulang!"


oOoOoOoOo

Pekanbaru, 23 April 2015

20:25

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT YAAA

Continue Reading

You'll Also Like

286K 23.7K 37
SUDAH KELUAR DALAM VERSI E-BOOK DAN CETAK https://play.google.com/store/books/details?id=_CWKDwAAQBAJ THE ANGELS SERIES book #1 (Beberapa part sudah...
1.9M 106K 27
[COMPLETED] Part 1-7 : Public Part 8-End : Private TENDERLY TOUCHED Book #1 in The Whittaker Brother Trilogy The Whittaker Brothe...
498K 37.1K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
181K 27K 42
SOME, hubungan yang tidak terikat namun saling mengikat. Kang Seulgi, wanita berusia 28 tahun yang belum pernah menikmati manisnya hubungan percintaa...