BUCINABLE [END]

By tamarabiliskii

16.1M 1.6M 588K

Galak, posesif, dominan tapi bucin? SEQUEL MY CHILDISH GIRL (Bisa dibaca terpisah) Urutan baca kisah Gala Ri... More

PROLOG
1. Kolor Spongebob
2. Seragam Lama
3. Hadiah Untuk Gala
4. Lagu Favorit
5. Gara-Gara Kopi
6. Bertemu Bunda
7. Kesayangan Riri
8. Gala VS Dewa
9. Mirip Ilham
10. Pelampiasan
11. Kabar Buruk
12. Kelemahan
13. Panti Asuhan
14. Tawaran Menarik
15. Syarat Dari Riri
16. Tersinggung
17. Foto Keluarga
Daily Chat 1- Kangen
18. Peraturan Baru
19. Tanpa Riri
20. Gagal
21. Amora VS Riri
22. Singa dan Kura-Kura
23. Diculik?
24. Kisah di Masa Lalu
Daily Chat 2 - Ngambek
25. Jalan-Jalan
Daily Chat 3 - Cemburu?
26. Ingkar Janji?
Daily Chat 4 - Kecewa
27. Are You Okay, Gal?
28. Bawa Kabur?
29. Campur Aduk
Daily Chat 5 - Caper?
Daily Chat 6 - Lanjutan Sebelumnya
30. Prom Night
Daily Chat 7 - Drama Instastory
31. Menghilang
32. Yummy
33. Sunmori
Daily Chat 8 - Marah
Daily Chat 9 - Tweet Gala
34. Rencana Amora?
35. Pengorbanan?
Daily Chat 10 - Bayi Gede
36. I Love You!
37. Mama?
38. Permen Kis
39. Mode Bayi!
Daily Chat 11- I Love U
40. Fakta-Fakta
41. Fucking Mine
Daily Chat 12 - Mabuk
43. Hug Me
Daily Chat 13 - Prank
44. PMS
45. He's Angry
46. Break?
Daily Chat 14 - Break? (Penjelasan Penyakit Gala)
47. Camp
48. Terlalu Toxic
49. Bucin
50. Bukan Tuan Putri
51. Selesai?
52. Ending (Baru)
PO MASSAL BUCINABLE
Special Chapter
BUCINABLE SEASON 2?!
GALA & RIRI [Bucinable Universe]
BUCINABLE 2 UPDATE!!!

42. Bocil Kesayangan

200K 20.3K 12.6K
By tamarabiliskii

Hai guys, jangan bosen yaa baca dan nunggu cerita ini update. I love you💖🦋💥✨

Btw chapter ini 4900+ kata bisa jadi 3 chapter kalo di ceritaku yg lain😭👍🏻 siapin cemilan biar gak bosen wkwk

Bantu semangatin lewat vote komen sebanyak-banyaknya okaii, aku lagi kehilangan semangat nulis🥺💖


"GALA?!"

Mata Riri membulat melihat keadaan Gala yang benar-benar kacau. Cowok itu meringkuk di atas sofa sembari memeluk jaketnya dalam keadaan setengah sadar.

"Untung aja lo cepet dateng, Ri. Masa tadi Gala mau mukul kepala gue pake meja cuma gara-gara gue larang dia buat minum lagi," seru Akbar lega melihat Riri dan Ilham tiba di kafe dengan cepat.

"Loh? Kok gak jadi sih?" tanya Ilham seolah kecewa karena Gala tidak jadi menghantam kepala Akbar menggunakan meja.

Akbar memukul punggung Ilham. "Bangsat lo! Harusnya gue aja yang jemput Riri! Biar kepala lo yang dipukul Gala!"

"Lah? Kan tadi lo sendiri yang minta gue buat jemput Riri dan lo bagian jaga Gala di sini. Gimana sih, Bar? Labil amat kaya kakek-kakek reyot."

Akbar berdecak kasar. Tadi setelah kerusuhan yang Gala perbuat di kafe, Akbar memang langsung menyuruh Ilham untuk menjemput Riri di rumahnya. Karena Riri adalah satu-satunya orang yang bisa menenangkan Gala dalam keadaan seperti ini. Ralat, dalam keadaan seperti apapun.

Kalau tidak segera meminta bantuan Riri, Akbar dan Ilham tidak bisa membayangkan kekacauan apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Bisa-bisa seisi kafe hancur karena ulah Gala.

Pasalnya jika Gala sudah mabuk berat, cowok itu akan bersikap semaunya. Seperti tadi, Gala langsung mencari mangsa untuk ia hajar hingga babak belur lalu mengobrak-abrik seisi kafe sambil mendumel jika sekarang Riri tidak lagi menyayangi dirinya.

Kaget? Tentu saja tidak. Ini adalah seorang Gala Bucin Arsenio yang tingkat kebucinannya sudah tidak bisa dinalar dengan pemikiran manusia normal. Yang rela melakukan segala hal jika urusan itu menyangkut tentang Riri.

"Ish! Jangan ribut dong!" lerai Riri. Gadis dengan baju rumahan seadanya itu menatap Akbar dan Ilham kesal. "Sekarang Riri harus ngapain? Riri kan gak bisa bawa Gala pulang sendirian."

"Lo bujuk dia biar mau bangun, Ri. Ntar gue sama Ilham yang bawa dia ke mobil Ilham. Biar motornya gue yang bawa."

Ilham menambahkan. "Kalau gue sama Akbar yang nyentuh dia, bisa-bisa kita berdua langsung dibanting, Ri. Serem. Mana gue belum kawin."

Riri menurut. Meski takut Gala kembali mengamuk seperti yang Ilham dan Akbar ceritakan, Riri tetap mencoba untuk membujuk Gala agar mau bangun. Gadis itu duduk di pinggiran sofa tempat Gala meringkuk.

Riri sedikit terkejut ketika kedua mata Gala langsung terbuka lebar begitu tangan mungilnya menyentuh pipi dingin cowok itu.

"Gala..." panggil Riri pelan sambil berusaha melepaskan tangannya yang langsung Gala genggam erat. Bukannya apa, Riri hanya takut jika tiba-tiba Gala akan mematahkan tangannya.

"Cantik kayak bidadari," puji Gala lalu tertawa tidak jelas. Seolah ia salah tingkah karena bertatapan langsung dengan sosok yang ia sebut seperti bidadari.

Sorot mata Gala beralih ke arah Akbar dan Ilham yang masih berdiri di belakang Riri. "Ahahaha lucu. Mukanya warna kuning kayak tai," tunjuknya pada Akbar yang membuat Ilham menahan tawanya.

Sekarang Gala berganti menatap ke arah Ilham lekat-lekat. "Kalo itu mukanya warna coklat kayak--" Gala menggantungkan ucapannya dan kembali tertawa kencang. "Kaya tai busuk hahaha!"

"Gala gak boleh gitu. Kita pulang, ya?"

Gala menatap Riri sambil tersenyum lebar. "Pulang? Pulang kemana cantik?"

"Pulang ke rumah Gala."

Gala menggeleng. "Gak mau. Kan ini rumah gue," jawabnya sambil memeluk Riri sebentar lalu melepaskannya lagi.

"Eh tapi kan gue gak punya rumah. Punyanya apartemen. Gimana sih? Goblok banget lo!"

"Galaaa, kita pulang yaaa," bujuk Riri lagi. "Besok Gala ada kuliah. Kalo Bang Agam tau Gala mabuk kayak gini, nanti Gala dimarahin."

"Gue marahin balik lah. Terus gue buang ke tempat sampah. Kan harus buang sampah pada tempatnya kayak tulisan di tembok itu haha," jawab Gala kembali melantur.

"Bar, Bar, lo ngerasa gak? Gala kalo lagi mabuk terus ada Riri, kok jadi humoris, ya? Ketawa mulu," bisik Ilham yang langsung diangguki oleh Akbar.

"Tapi kalo gak ada Riri kayak setan, Ham," balas Akbar ikut berbisik.

"Mereka berdua mirip kolor Spongebob gue hahaha..."

"Gala bangun coba."

Gala menatap Riri dengan raut wajah sedih. "Gak mau."

"Harus mau. Kita harus pulang Gala. Ini udah jam satu pagi loh."

Kepala Gala menggeleng ribut. "Gak mau! Cewek gue gak sayang gue lagi! Gak mau!"

Riri mendengus pelan. Hanya karena kesal dan menganggap dirinya tidak menyayanginya lagi, Gala sampai rela meminum banyak alkohol untuk meluapkan emosinya hingga mabuk berat seperti sekarang. Benar-benar definisi bucin.

"Riri sayang sama Gala. Emang kapan Riri bilang gak sayang lagi sama Gala?" rayu Riri selembut mungkin. Gadis itu mencoba untuk tidak menghiraukan bau alkohol yang tercium menyengat dari tubuh Gala.

"Bohong!" Gala menghempaskan tangan Riri lalu membalik badannya memunggungi Riri. 

"Ilham, Akbar, bantuin Gala bangun."

"Lo dulu deh, Bar." Ilham menyenggol lengan Akbar sebagai isyarat agar cowok itu bergerak duluan.

Akbar melotot. "Gak! Ayo barengan! Enak aja lo mau ngumpanin gue!"

"Ih, kan ada Riri. Kalian gak usah takut." Riri mengodekan agar Akbar dan Ilham segera membantu Gala untuk bangun. Mau tak mau, mereka berdua menuruti permintaan Riri.

"Tenang aja, Gala gak bakal ngam--"

"ANJING! JANGAN SENTUH GUE!" teriak Gala marah begitu Akbar dan Ilham menyentuh pundak dan lengannya.

Tidak mau mengambil resiko, kedua cowok itu langsung bergerak menjauh. "Tuh kan, kalo sama kita emang kaya git--eh! Gal! Gal! Gue temen lo Gal!" teriak Ilham dan Akbar panik.

"Gala!" Riri memeluk Gala dari belakang. Hingga membuat cowok yang tadinya berjalan sempoyongan ke arah Akbar dan Ilham itu berhenti.

"Jangan pukul mereka," bisik Riri lembut. "Mereka cuma mau bantu Riri bawa Gala pulang. Kita pulang, ya?"

Gala melepas pelukan Riri kemudian membalik badannya hingga mereka berhadapan. Cukup lama Gala menatap Riri dalam diam. Sampai membuat Akbar dan Ilham sedikit was-was. Begitu juga dengan Riri. Hingga akhirnya Gala bersuara namun lebih terdengar seperti suara rengekan.

"Peluuuuk! Kepala gue pusiiiingggg." Gala merentangkan kedua tangannya ke Riri dengan bibir tertekuk cemberut.

"Sini."

Tersenyum lebar, Gala tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cowok itu langsung memeluk tubuh mungil Riri se-erat mungkin. Tidak peduli dengan tatapan aneh yang diberikan oleh orang-orang di sekitar mereka.

"Mereka lucu ya, mukanya kuning kaya kolor Spongebob gue ahahahaha," tunjuk Gala ke Ilham dan Akbar. Gala terus tertawa sambil menikmati usapan telapak tangan Riri di punggung lebarnya.

Tidak lama kemudian mata Gala terpejam dan tubuhnya ambruk ke Riri. Untung saja Akbar dan Ilham dengan cekatan langsung membantu Riri menopang tubuh Gala. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan Riri akan jatuh ke belakang.

Riri bernapas lega karena akhirnya bisa membawa Gala pulang ke apartemennya. Begitu juga dengan Akbar dan Ilham. Meski di sepanjang perjalanan Ilham harus tebal telinga untuk mendengar semua rengekan dan gombalan Gala pada Riri yang terdengar sangat aneh dan tidak masuk akal, setidaknya malam ini kepalanya dan wajah tampannya tidak menjadi sasaran amukan Gala. Ilham bersyukur.

"Hayo ngaku! Lo bukan manusia kan? Lo cantik banget kayak bidadari. Em, tapi masih cantikan cewek gue dibanding bidadari," racau Gala sembari menduselkan kepalanya ke ceruk leher Riri. Sementara Ilham yang menyetir di depan hanya bisa diam. Menjadi saksi bisu atas sikap random Gala malam ini.

Gala mengangkat kepalanya untuk menatap Ilham yang ada di depan. "Sopir lo baru, ya, Sri? Kok jelek banget sih? Mukanya warna ijo kaya rumput kambing haha."

"Sssttt." Riri memeluk kepala Gala agar kembali tidur seperti tadi. Riri merasa tidak enak dengan Ilham. Sudah dibantu, tapi sejak tadi Gala justru tidak berhenti menghina cowok itu.

"Aaaa ayo puk-puk, gue ngantuk mau bobo di sini." Gala menggerakkan kepalanya untuk mencari posisi ternyaman di pelukan Riri. "Enak, empuk hehe."

******

"Ck, nanti jam setengah tiga gue ada kuliah lagi."

"Sekarang masih jam satu. Gue tunggu di kantor. Maksimal tiga puluh menit."

"Tapi sekarang gue lagi--"

Tut! Tut! Tut!

Sambungan telfon terputus begitu saja. Gala melempar ponselnya ke meja lalu mengumpat kesal.

"Anjing!"

"Misuh mulu lo, Gal," celetuk Akbar yang sedang menikmati mie instan dan nasi. Makanan favoritnya. Dari jaman SMA hingga kuliah, kesukaan Akbar yang satu ini memang tidak pernah berubah.

Di sebelah Akbar, Ilham ikut menanggapi sambil tertawa pelan. "Kalo gak misuh bukan Gala namanya, Bar."

"Mau kemana?"

Alan yang baru saja datang, heran melihat Gala yang tampak membereskan barang-barangnya di atas meja, seperti laptop, ponsel, charger, seolah cowok itu akan segera pergi meninggalkan kantin kampus. Padahal tadi Gala lah yang meminta Alan untuk datang karena katanya mereka harus membahas lagi mengenai calon leader Drax yang baru.

"Ada kerjaan mendadak yang harus gue kelarin sekarang," jawab Gala tanpa menoleh ke Alan.

"Ke kantor?"

"Ke kebun binantang, Lan."

Alan menoleh ke Ilham dengan tatapan datar namun sarat akan rasa kesal yang begitu besar. "Gue gak ngomong sama lo!" semprot Alan.

Ilham menggerutu. "Lagian pake nanya. Ya jelas ke kantor. Emang Gala punya kerjaan lain selain kerja di kantor bokap nya?"

"Punya, Ham," sahut Akbar. "Jagain bocil kan juga kerjaan Gala."

Akbar dan Ilham tergelak. "Bener juga lo, Bar. Itu kerjaan utama. Tumben lo satu pemikiran sama gue."

"Bacot lo, Ham. Daripada lo gak ada kerjaan," balas Gala. Gala berdiri di hadapan Alan yang sejak tadi masih setia berdiri di samping meja. "Sekarang lo bahas dulu sama mereka, Lan. Ntar malem kita bahas lagi di markas."

"Hm," angguk Alan lalu duduk di tempat duduk Gala tadi.

"Gue duluan," pamit Gala menatap Ilham dan Akbar yang kini sedang berebut minuman. "Awas aja lo berdua ngerusuh, gak dengerin apa yang Alan omongin. Gue gorok kalian."

"Terutama lo, Ham." Ancam Gala tidak main-main. Karena selama ini segala kerusuhan yang terjadi di antara mereka pasti bersumber dari Ilham.

"Buset. Gue kena mulu." Ilham menghela napas sabar seraya menatap kepergian Gala dari kantin kampus. "Gala kalo sama gue kaya guk guk. Galaknya gak ada obat. Giliran sama Riri kaya kucing manja."

Akbar tertawa pelan. "Kalo kata Riri, Gala kaya kucing garong haha."

"Eh, mau gue ceritain gak semalem waktu Gala mabuk, di mobil Gala ngoceh kayak gimana aja?" tawar Ilham menatap Alan dan Akbar bergantian.

*****

Agam menghela napas melihat penampilan Gala yang jauh dari kata rapi.

"Gak usah protes lo, Bang. Gue dari kampus langsung buru-buru ke sini. Jadi gak sempet ganti baju rapi."

Seakan tahu apa yang akan Agam katakan, Gala langsung melontarkan kalimat pembelaan diri. Namun sayangnya Agam tetaplah Agam. Manusia disiplin yang tidak suka melihat sesuatu berantakan, apapun alasannya. Apalagi sekarang mereka tengah berada di tempat dan kondisi yang formal.

"Cepet ganti. Sepuluh menit lagi kita ada meeting sama perusahaan yang sahamnya pengen lo beli."

"Ya." Gala segera berlalu ke walk in closet yang ada di ruangan kerjanya untuk berganti pakaian formal.

Entah kenapa mendengar ucapan Agam barusan, seolah rasa kesal Gala yang tadi sempat menggebu-gebu kini berangsur menghilang. Sekarang hati Gala jadi menghangat. Selain Riri, barang kesukaannya yang satu itu memang selalu bisa membuatnya bahagia.

Setengah jam berlalu, Gala mulai bosan mendengarkan berbagai pembahasan dalam meeting mereka kali ini. Sayangnya Gala tidak bisa berbuat banyak untuk menghilangkan rasa jenuhnya, selain menghela napas berkali-kali. Bisa-bisa ia kena amuk Agam kalau sampai membuat kerusuhan atau kesalahan dalam meeting penting kali ini.

Sampai akhirnya pilihan Gala jatuh pada memainkan ponselnya. Gala iseng membuka room chat-nya dengan Riri. Lalu senyum-senyum sendiri ketika membaca chat mereka.

"Shit! Kangen banget gue," gumamnya pelan.

Setelah meeting selesai dan semua orang membubarkan diri keluar ruangan, Gala justru di tahan oleh Agam.

"Kenapa lagi? Gue ada kuliah, Bang!"

"Udah gue izinin," jawab Agam santai. "Kita ada meeting lagi setelah ini."

Gala mendengus kasar lalu mendumel pelan. "Meeting, meeting, meeting. Pantes lo gak punya cewek."

"Ini anaknya almarhum Bapak Abraham yang ikut meeting minggu lalu, kan?"

Gala menoleh sedikit terkejut ketika orang yang baru saja masuk ke ruangan meeting itu menepuk pundaknya pelan.

"Selamat datang, Pak Danu." Agam langsung menyalaminya sebagai tanda hormat antar rekan bisnis. Begitu pula dengan Gala yang langsung berdiri dan mengikuti apa yang Agam lakukan.

"Masih kuliah, ya? Semester berapa?"

"Satu."

"Seumuran sama anak saya kalau begitu." Danu tertawa pelan lalu kembali menepuk-nepuk pundak Gala. Ini adalah pertemuan kedua mereka setelah meeting satu minggu yang lalu. Namun waktu itu Danu belum sempat bertegur sapa dengan Gala karena buru-buru pergi untuk mengurus pekerjaan lain.

"Kapan-kapan kenalan sama anak saya, ya. Dia susah sekali saya ajak masuk ke dalam dunia bisnis. Padahal dia juga kuliah di jurusan bisnis."

"Anak saya perempuan. Siapa tahu kalau punya teman sepantaran dalam dunia bisnis, dia jadi tertarik untuk belajar bisnis dan mau menjadi pengganti saya kelak. Di meeting minggu lalu, saya juga benar-benar kagum dengan kemampuan kamu."

"Di usia kamu yang masih belasan tahun. Bakat kamu dalam dunia bisnis memang tidak diragukan lagi. Mirip seperti almarhum ayah kamu." Danu memberikan tatapan kagum pada Gala yang justru membuat Gala merasa risih. "Sepertinya anak saya memang harus belajar banyak sama kamu."

"Kamu tidak keberatan, kan? Kalau misalnya suatu hari nanti saya meminta bantuan pada kamu?"

Gala berdehem pelan. "Lebih baik anak Bapak belajar sama Kakak sepupu saya saja." Gala menatap ke Agam yang kini mengangkat kedua alisnya seolah memberi isyarat kalau dirinya tidak terima dengan saran bodoh yang Gala lontarkan barusan.

"Dia lebih hebat dibanding saya. Saya juga masih belajar ke dia," lanjutnya.

"Ah, tentu saja. Kalau Bapak Agam ini memang kehebatannya tidak diragukan lagi. Tapi kalau sama kamu, anak saya pasti lebih enak belajarnya. Karena sepantaran, jadi gampang nyambung dan cepat akrab."

Gala tersenyum tipis. Tentu saja hanya senyum paksa untuk menghargai Danu sebagai orang yang lebih tua sekaligus rekan bisnis. "Maaf tapi saya gak bisa," tolak Gala jujur.

"Loh? Kenapa? Anak saya cantik dan pintar. Siapa tahu kalian co--"

"Sekali lagi maaf. Saya gak minat untuk membantu dan mengenal anak Bapak," tegas Gala.

Danu terdiam sejenak lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi, barusan anak cantik semata wayangnya itu ditolak? Ah, padahal selama ini Danu lah yang selalu menolak laki-laki yang dekat dengan anak gadisnya itu.

Menyadari Gala yang mulai tidak nyaman dengan ocehan pria paruh baya yang melantur kemana-mana itu, Agam berdehem pelan untuk mencairkan suasana. "Silahkan duduk Bapak Danu, biar meeting bisa segera kita mulai."

*****

"Bunda."

"Kenapa sayang?"

Amora terdiam. Membuat Asti bertanya-tanya. Sejak beberapa hari yang lalu sepertinya Amora memang terlihat lebih banyak diam dari biasanya. Entah apa yang terjadi pada gadis itu. Asti sendiri tidak paham.

"Kenapa?" Asti mendekat. Meletakkan piring kotor yang hendak Amora cuci di tumpukan piring kotor lainnya lalu menyuruh Amora mencuci tangannya dan menyusulnya duduk di ruang tengah.

"Sini cerita sama Bunda. Kamu kenapa? Ada sesuatu yang pengen kamu sampaikan ke Bunda? Hmm?"

Amora duduk di samping Asti dengan wajah sedih yang begitu kentara. "Apa Amora se-enggak pantes itu buat Kak Gala? Bahkan untuk berteman aja, Kak Gala gak mau."

"Amora tau, Amora cuma anak panti asuhan. Anak yatim piatu yang gak jelas asal usulnya. Tapi, Amora juga pengen ngerasain punya temen lain selain anak panti, Bun."

Asti mengusap surai Amora penuh kasih sayang. Dibanding anak panti yang lain, bisa dibilang Amora ini anak kesayangan Asti, karena Amora sudah ia rawat sejak berumur satu minggu.

Namun bukan berarti Asti pilih kasih. Semua anak di panti asuhan ini, Asti sayangi dan Asti cintai dengan tulus. Untuk urusan apapun Asti tidak pernah membeda-bedakan mereka. Semuanya sama. Namun mungkin porsi kasih sayangnya berbeda-beda sesuai kebutuhan masing-masing.

"Kan kamu udah punya temen sekolah, sayang."

"Temen sekolah Amora jahat semua, Bunda. Mereka gak mau temenan sama Amora karena Amora cuma anak panti asuhan yang miskin."

Amora mengingat pertemuan-pertemuan singkatnya dengan Gala. "Cuma Kak Gala, satu-satunya cowok dari luar panti yang baik dan gak mandang Amora rendah."

"Kan ada Raf--"

"Amora kenal sama Kak Rafa karena dia sering ke panti Bunda. Jadi Kak Rafa beda. Gak termasuk," selanya.

Asti menghela napas pelan. "Terus gimana? Kita kan gak bisa maksa Gala buat mau temenan atau dekat sama kamu, Amora."

Amora mulai menangis. "Emang Amora gak pantes temenan sama orang-orang kayak mereka ya, Bun?"

"Bukannya gak pantes. Tapi kamu sama Gala mungkin emang gak cocok aja buat berteman. Buktinya Kak Dio juga punya banyak temen dari luar panti, kan? Itu artinya, gak semua orang akan mandang kita serendah itu, sayang."

Amora merasa kesal. Entah ini hanya perasaannya saja atau bagaimana, yang jelas akhir-akhir ini Amora merasa Asti tidak seperti dulu yang selalu mendukungnya untuk dekat dengan Gala. Bahkan sekarang Asti lebih sering menasehati Amora agar tidak menganggu Gala lagi. Tentu saja Amora kecewa karena merasa kehilangan support dari bundanya.

"Tapi Amora pengen deket sama Kak Gala, Bun. Bunda harus bantuin Amora," rengek Amora dengan air mata bercucuran di wajahnya. "Bun..."

Asti memejamkan matanya sejenak lalu menggeleng pelan. "Gak bisa, sayang. Bunda gak mau maksa Gala. Kamu juga sudah beranjak dewasa. Sudah waktunya belajar untuk menerima kalau gak semua hal bisa kamu dapetin."

"Termasuk Gala," lanjutnya.

Amora berdiri sambil menghentakkan kakinya beberapa kali. "Bunda berubah!"

Mendengus, Asti menyandarkan punggungnya ke sofa sambil menatap kepergian Amora. Andai dulu ia tidak terlalu memanjakan Amora, mungkin Amora tidak akan tumbuh menjadi gadis yang terlalu manja dan egois seperti sekarang.

"Bukannya Bunda gak sayang sama kamu, Amora. Justru Bunda sayang banget sama kamu. Bunda cuma gak mau kamu merasakan sakit yang lebih besar kalau tau fakta soal Gala yang punya gangguan mental sampai membuat dia terobsesi sama Riri."

"Sampai kapanpun Bunda yakin, Gala gak bakal bisa kamu dapatkan. Jadi semua percuma. Apapun keadaannya yang terlihat di mata Gala hanya Riri. Tidak akan ada ruang untuk mencintai perempuan lain di hidupnya."

Asti tersenyum miris. "Bahkan mungkin ibu kandungnya sendiri."

*****

"Gimana?"

Nenda bertanya pada Riri yang tengah berusaha menghubungi Gala. Sore ini hingga malam nanti mereka akan kerja kelompok di rumah salah satu teman sekelas mereka. Namun Riri belum berani memberikan keputusan untuk ikut jika belum mendapatkan izin dari Gala. Masalahnya sampai detik ini Gala belum menjawab pesan Riri.

Rafa yang berdiri di ujung pintu dengan tangan terlipat di depan dada bersuara. "Parah sih kalau Gala gak kasih izin. Inikan tugas kuliah. Seharusnya lebih penting dari ego Gala."

Melihat wajah Riri yang berubah sedih, Rafa buru-buru meralat ucapannya. "Gue gak nyalahin lo, Ri. Cuma agak kesel aja sama sikap Gala yang terlalu egois. Maaf kalau gue jujur."

"Diem deh Raf," peringat Nenda menatap Rafa tidak suka. Yang diperingati justru tampak santai sambil mengedikkan bahu.

"Gue tunggu di depan sama yang lainnya. Kalau kalian butuh tebengan, kabarin aja," ucap Rafa. Cowok yang sudah melangkah beberapa langkah itu kembali mundur. "Btw sebagian anak kelas udah pada berangkat. Jangan kelamaan mikir, Ri. Ntar lo digibahin sama anak kelas. Dikira lo gak mau ikut berpartisipasi dalam tugas ini. Takut ngaruh ke nilai lo karena ini kerja kelompok satu kelas."

"Kita berangkat sekarang," final Riri selepas kepergian Rafa.

"Yakin?"

Riri mengangguk. Riri sudah memutuskan untuk tetap ikut kerja kelompok di rumah temannya tanpa harus menunggu balasan pesan dari Gala. Apapun resikonya, Riri sudah siap menanggung. Lagipula benar juga apa yang Rafa kan tadi, tugas ini adalah kewajibannya, Gala benar-benar egois jika tidak memperbolehkannya ikut berpartisipasi.

Sore berganti menjadi malam. Riri masih berada di rumah temannya karena tugas mereka belum terselesaikan. Sementara itu hingga kini Riri juga belum mendapatkan pesan balasan dari Gala.

Tentu saja hal tersebut membuat Riri merasa gelisah dan was-was. Di satu sisi Riri takut Gala akan memarahinya. Sementara di sisi lain Riri takut Gala kenapa-kenapa karena tidak biasanya Gala slow respon begini. Sesibuk dan sebanyak apapun pekerjaan Gala, jika menyangkut soal Riri Gala pasti akan fast respon.

"Buat lo."

Rafa menyodorkan satu botol minuman dingin ke hadapan Riri. Minuman yang Rafa beli di minimarket depan beberapa menit yang lalu.

"Modus mulu lo, Raf. Bukannya Riri udah ada cowok ya?" celetuk salah satu cowok yang tadi Rafa ajak ke minimarket.

"Cowoknya Riri anak manajemen bisnis itukan?" sahut lainnya.

"Iya kayanya. Tapi Rafa pantang menyerah njir. Salut gue haha."

"Diem lo!" balas Rafa kesal. "Minum, Ri. Gak usah dengerin kata mereka. Gak penting."

"Tapi kedengeran," balas Riri membuat Rafa menggaruk tengkuknya. "Makasih ya, Rafa. Riri jadi inget Gala. Ini minuman kesukaan Gala."

Rafa tersenyum miris mendengar pengakuan Riri barusan. Selalu Gala. "Hmm. Sama-sama."

"Ntar kalian pulangnya bareng gue lagi juga gak papa."

Nenda yang sejak tadi anteng di sebelah Riri ikut menjawab. "Kita naik taksi. Iya kan, Ri?"

"Iya," angguk Riri sambil berusaha membuka tutup botol minuman yang susah.

Rafa tersenyum tipis lalu mengambil alih minuman itu dari tangan Riri. "Gue bukain."

"Modus terossssss!" seru anak-anak cowok sambil tertawa.

"Bacot lo semua."

Setelah mengucapkan itu Rafa pamit ke kamar mandi.

"Jangan ladenin Rafa terus, Ri. Ntar dia makin gencar buat deketin lo. Inget, cowok lo segarang apa," nasihat Nenda. "Harusnya tadi lo tolak aja minuman pemberian Rafa."

"Tapi Rafa beliin kita semua. Bukan cuma Riri aja."

Nenda menghembuskan napas. Benar juga. Rafa memang membelikan minuman untuk teman satu kelasnya. Bedanya cuma Riri yang Rafa beri langsung. Untuk yang lainnya Rafa suruh mengambil sendiri di kantong kresek yang Rafa letakkan di atas meja.

Ting!

Dengan semangat empat lima Riri membuka ponselnya. Ia yakin itu adalah pesan balasan dari Gala.

"Gala? Apa katanya? Dia gak marahin lo, kan?" tanya Nenda penasaran. Namun bukan jawaban melainkan hanya ekspresi panik yang Riri tampakkan.

"Kenapa?" Nenda ikut panik.

"Riri harus balik sekarang."

"Gala marahin lo?"

Riri menggeleng. "Gala kecelakaan."

*****

Bruk!

"Auh!" Riri berusaha bangun dan tidak memedulikan lututnya yang sedikit membiru karena terbentur lantai.

Ya, gadis itu kini sedang berlari di koridor rumah sakit. Saking khawatirnya dengan keadaan Gala, Riri sampai tidak menyadari jika tali sepatunya lepas dan membuatnya jatuh seperti barusan.

Setelah mendapat kabar dari Agam jika Gala kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit, Riri buru-buru pergi ke rumah sakit menggunakan taksi online yang dipesankan oleh Nenda.

Nenda sendiri tidak bisa ikut menemani Riri ke rumah sakit karena tugas mereka memang belum selesai. Sementara Rafa, cowok itu sempat menawarkan diri untuk mengantar Riri ke rumah sakit. Namun kali ini Riri bisa bersikap tegas. Riri menolak mentah-mentah tawaran dari Rafa karena tidak mau menimbulkan masalah baru.

"Ri, lo habis jatuh?" Agam yang baru saja keluar dari ruangan tempat Gala dirawat menatap Riri heran. Pasalnya penampilan gadis itu terlihat sangat acak-acakan.

Riri mengangguk. "Tadi kepleset. Tapi gak papa kok. Gala di mana Bang Agam?"

"Ada di dalem. Dia baik-baik aja. Luka-lukanya gak terlalu serius. Mobilnya aja yang rusak parah."

Riri menghela napas lega. Pasalnya tadi Riri hanya melihat foto mobil Gala yang Agam kirimkan. Riri tidak sempat membaca pesan Agam yang lainnya yang mengatakan jika Gala tidak mengalami luka yang serius.

"Kok lo tau Gala ada di rumah sakit ini? Perasaan tadi lo belum nanya ke gue?"

"Riri tau dari Alan."

Agam hanya ber-oh-ria. Pantas saja Riri langsung ke sini. Ternyata Alan yang memberitahu Riri. Alan memang tahu karena selain Agam, tadi Gala juga langsung meminta bantuan pada Alan waktu kecelakaan terjadi.

"Bagus deh. Jadi gue gak perlu jemput lo. Soalnya tadi Gala nyuruh gue jemput lo," ujar Agam. "Sana masuk. Gue mau pulang."

"Emm, Ri." Agam menghentikan pergerakan Riri yang hendak membuka pintu. "Tolong jagain Gala."

Riri mengangguk sambil tersenyum. Tanpa diminta pun, Riri pasti akan menjaga Gala.

"Ck! Kayak gembel!"

Itu adalah suara pertama yang Riri dengar begitu masuk ke dalam ruangan Gala.

Riri menghela napas sambil menggembungkan kedua pipinya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Gala. Cowoknya itu memang hobi sekali menghina dirinya.

Riri mendekat ke ranjang tempat Gala terduduk dengan keadaan shirtless. Gala memang tidak diperbolehkan memakai baju terlebih dahulu karena ada beberapa luka di bagian punggung dan perutnya yang masih basah.

"Sama siapa lo ke sini? Perasaan Bang Agam baru keluar?"

"Sendiri," jawab Riri. "Gala jangan ngatain Riri kayak gembel. Riri buru-buru ke sini jadi mana sempet ganti baju. Riri belum pulang ke rumah dari pagi."

"Pantes bau got," ledek Gala. Sementara Riri tidak mau menanggapi karena tahu jika Gala hanya bercanda.

"Gala kenapa bisa kecelakaan?"

"Ngantuk."

"Lain kali kalo ngantuk jangan nyetir mobil!"

"Terus nyetir apa? Becak? Bus? Truk gandeng? Atau pesawat?"

Riri memukul punggung Gala yang membuat cowok itu langsung meringis pelan karena pukulan Riri mengenai lukanya. "Eh, maaf, maaf, Riri gak tau," cicit Riri merasa bersalah.

"Hmm gak papa."

"Maksud Riri kalau ngantuk jangan nyetir mobil sendiri. Kan bisa pakai sopir."

"Ya mana gue tau kalo di tengah perjalanan gue bakal ngantuk."

"Mana yang sakit?"

"Semua," jawab Gala lalu menggeser duduknya agar Riri bisa duduk di sebelahnya. "Naik."

"Naik ke mana?"

"Ke puncak gunung!" kesal Gala. Ceweknya ini memang benar-benar lemot. "Ya ke sini lah bego!" Gala menepuk tempat di sebelahnya dan tersenyum senang saat Riri sudah duduk di sebelahnya.

"Untung Gala gak mati," celetuk Riri tiba-tiba.

"Heh! Ngomong apa lo barusan? Lo pengen gue mati?!"

"Ish! Bukan gituuuu. Tadi waktu lihat foto mobil Gala yang rusak parah, Riri langsung mikir yang enggak-enggak. Makanya Riri buru-buru ke sini."

"Bangsat, jadi lo dikirimin foto itu sama Agam?"

"Iyaa."

"Ck, kalo tadi lo sampe kenapa-kenapa karena buru-buru, Agam yang gue bunuh."

"Ish! Gak boleh gituuuu. Gak sopan."

"Gak sopan apaan anjing?! Kalo sampe cewek gue kenapa-kenapa ya salah Agam lah."

"Iya-iya, jangan ngoceh mulu. Gala lagi sakit loh. Yang penting sekarang Riri gak kenapa-kenapa, kan?"

Gala meneliti seluruh tubuh Riri dari atas hingga bawah untuk memastikan jika gadis itu benar-benar baik-baik saja.

Lalu Gala menyingkap rok selutut Riri yang membuat gadis itu melotot kaget. "Jang--"

"Ini yang lo bilang gak kenapa-kenapa, hmm?" tanya Gala menatap Riri tajam.

Riri meringis pelan karena luka di lututnya Gala cengkram kuat-kuat. "Riri kepleset doang kok," cicit Riri takut karena dirinya ketahuan berbohong.

Menghela napas, Gala membenarkan rok Riri seperti semula lalu merentangkan kedua tangannya begitu menyadari rasa takut yang terpancar dari wajah Riri.

"Sini, peluk."

Riri segera menghambur ke pelukan Gala. Entah kenapa tiba-tiba Riri ingin menangis. Bukan. Riri menangis bukan karena lukanya sakit, namun karena terharu.

Dalam keadaan apapun, Gala selalu saja mengkhawatirkan dirinya. Padahal saat ini harusnya Gala khawatir dengan dirinya sendiri. Karena lukanya lebih parah dari luka kecil Riri yang tidak ada apa-apanya.

"Gue gak marah. Gue cuma gak mau lo kenapa-kenapa. Lebih baik gue ngerasain sakit yang lebih dari ini daripada ngelihat lo yang kesakitan."

"Jangan cengeng. Lo nginep sini, ya? Temenin gue."

Mata Riri mengerjap beberapa kali. Air matanya tadi sudah Gala usap hingga bersih. "Terus Riri bobo di mana?"

"Di sini sama gue."

"Emang boleh?"

"Siapa yang ngelarang?"

"Tapi sempit gini."

Gala melepaskan pelukan mereka lalu mendengus kasar. "Ya udah ntar gue tidur di sofa, lo tidur di sini."

Riri tertawa bercampur kesal mendengarnya. "Kan Gala yang sakit, bukan Riri. Masa Riri yang bobo di atas ranjang sih?"

"Ya lo banyak nanya, Sri. Pokoknya lo harus nginep sini malem ini. Temenin gue. Nanti gue yang izin sama bokap lo."

Riri hanya mengangguk pasrah. Tak berselang lama setelah Riri membersihkan diri di kamar mandi yang ada di dalam ruangan Gala, mereka terlelap dengan posisi saling berpelukan di atas ranjang sempit itu. Sebenarnya Gala merasa kesakitan saat dengan tidak sengaja pergerakan tidur Riri mengenai luka-luka di badannya. Namun Gala tetap menahannya hingga pagi tiba karena tidak mau mengganggu tidur Riri.

Pagi-pagi sekali sebelum dokter datang untuk mengecek keadaan Gala, Riri sudah bangun terlebih dahulu. Gadis itu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Begitupun dengan Gala yang dibantu Riri ke kamar mandi untuk buang air kecil sekaligus membersihkan badannya yang sekiranya masih bisa dibersihkan.

Tak berselang lama setelah dokter pergi dari ruangan, orang suruhan Agam datang membawa banyak makanan dan minuman untuk Gala dan Riri.

"Ambilin gue minum."

Riri menyodorkan botol minuman ke Gala. Sejak tadi Riri terlihat seperti ibu-ibu yang sibuk mengurus anaknya. Membantu Gala ke kamar mandi, merapikan rambut Gala, menyuapi Gala, mengelap bibir Gala yang belepotan dan juga memberinya minuman seperti barusan.

"Nih minum, lo belum minum." Gala memberikan air minumnya yang masih tersisa setengah ke Riri.

"Enggak usah. Itu minuman punya Riri ada sendiri," tolaknya membuat Gala mengernyit tak suka.

"Lo gak mau minum satu botol sama gue?!"

"Bukan git--"

"Minum cepet!" paksa Gala menyodorkan botol minumnya langsung ke bibir Riri. Mau tak mau Riri harus menuruti permintaan Gala. Namun sebelum meminumnya gadis itu menyempatkan untuk mengelap bekas bibir Gala yang ada di botol minum itu.

"Kok diusap?!" marah Gala. Gala merebut minumannya dari tangan Riri lalu menjilati seluruhnya agar Riri tidak ada celah untuk menghindari bekas bibirnya.

"Minum!"

Riri menggeleng ribut. "Jorok! Gak mau!"

Gala meletakkan botol minuman itu di nakas sebelah ranjangnya dengan gerakan kasar. Kemudian membaringkan badannya memunggungi Riri.

Marah. Gala tidak suka melihat Riri seolah jijik dengan bekas bibirnya. Padahal biasanya Riri tidak pernah bersikap seperti itu.

Sementara Riri, gadis yang menjadi tersangka itu hanya tertawa geli melihat kelakuan Gala. Sebenarnya Riri hanya berniat menjahili Gala saja. Salah sendiri cowok galak itu sering mengatainya bau got. Jadinya Riri ingin balas dendam juga.

"Ish! Ngambekan!"

Riri berhasil mengubah posisi tidur Gala menjadi terlentang, namun kini kedua mata Gala sudah terpejam. Sepertinya cowok itu sedang pura-pura tidur.

"Riri cuma bercanda. Nih Riri mau minum bekas Gala. Gak Riri usap."

Riri benar-benar menghabiskan minuman bekas Gala hingga tidak tersisa sedikitpun. Riri menahan senyumnya saat menyadari jika tadi Gala sempat mengintip kegiatannya.

Riri menarik lengan Gala lalu membaringkan tubuhnya di samping Gala dengan bantalan lengan kekar cowok itu.

Melihat itu, diam-diam Gala tersenyum.

Cup

"I love you bocil kesayangan gue," bisik Gala setelah memberi kecupan ringan pundak Riri. "Sebagai hukuman, lo harus dapet permen kiss dari gue. Mau sekarang apa nanti malem aja, hmm?"

Gala menyeringai. "Kalo malem biasanya gue lebih brutal sih."

Belum sempat Riri menjawab, tiba-tiba pintu terbuka dari luar.

Ceklek

"Kak Gala..."

*****

Sebenernya ini masih panjang tapi nanti kepanjangan, ini aja udah 4900+ kata, jadii lanjut chapter selanjutnya aja yaaa💖

Pesan buat Gala?

Pesan buat Riri? 

Pesan buat Amora?

Pesan buat author :

Pesan buat siapa aja :

Spam disini!!! Semakin banyak yg komen dan vote semakin cpt juga up nya.

Spam komen pake emoji ❤ :

See yoouu 🤎🤎

Sambil nunggu aku up, kalian bisa ikutan kebucinan Gala Riri di akun Tiktok mereka yaaw💖 @galaarsenio_

Gala Arsenio Abraham

Alan Aileen

Ilham Gumilar

Serina Kalila

Nenda Makaila

Choline Angelica

Continue Reading

You'll Also Like

4.4K 2.4K 72
Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita🔪 Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang kelakuannya lumayan buruk, terpaksa harus...
1.3M 152K 35
"𝐑𝐢𝐫𝐢 𝐢𝐭𝐮 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐬𝐞𝐤𝐞𝐝𝐚𝐫 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠, 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐝𝐢𝐚 𝐬𝐞𝐠𝐚𝐥𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐠𝐮𝐞." Urutan baca k...
1.1M 80.7K 61
Seorang CEO muda, Oh Sehun harus menerima nasib ketika dirinya dijodohkan dengan seorang gadis bar-bar bernama Kim Rachel. Start 19 Desember 2017 END...
1.2M 58.7K 68
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...