[🔛] Semanis Madu dan Sesemer...

vocedeelion tarafından

400K 42.4K 10.5K

"SEMANIS MADU DAN SESEMERBAK BUNGA-BUNGA LIAR" Terjemahan Indonesia dari cerita MarkHyuck terbaik: "Honeymout... Daha Fazla

Disclaimers
Honeymouthed and Full of Wildflowers Playlist
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII
XXXIII
XXXIV
XXXV
XXXVI
XXXVII
XXXVIII
XXXIX
XL
XLI
XLII
XLIII
XLIV
XLV
XLVI
XLVII
XLVIII
🎉 BIRTHDAY GIVE AWAY 🎉
XLIX
XLIX (Deleted Scene)
🎉 3K FOLLOWERS GIVE AWAY 🎉
L
LI
LII
LIV
LV
LVI
LVII
LVIII
LIX

LIII

2.9K 272 125
vocedeelion tarafından

Seneng, nggak? :)

.

.

.

= SI BOCAH TEPI SUNGAI YANG KUAJAK MENGUNJUNGI PANTAI BERBATU DEKAT RUMAHKU =

.

.

.

Playlist: Fear of Water (Piano Solo Ver.) - SYML

.

.

.

Dalam bahasa Kepulauan, kata 'shar' memiliki arti 'rakyat'.

"Shar adalah rakyat," ucap Donghyuck, "sedangkan orang lain hanyalah... nihal, kurasa? Yang artinya lain-lain."

Perbedaan itu tidaklah mengejutkan. Pada kebanyakan bahasa kuno, begitulah perbedaan diciptakan. Kami menyebut diri sebagai 'rakyat' karena hanya kamilah manusia sesungguhnya, sedang yang lain hanyalah makhluk lainnya. Penyebutan yang baik adalah berbeda, sedang penyebutan yang buruk adalah rendahan.

Hal yang sama berlaku pula di Lembah, tepat sebelum rakyat Mark turun dari Utara, dari balik pegunungan, untuk melarikan diri dari peperangan yang membuat mereka mendambakan sebuah tanah sebagai rumah sehingga mendorong mereka merebut tanah milik orang lain. Penduduk asli Lembah menyebut diri mereka 'rakyat', tetapi nenek moyang Mark menyebut mereka 'raksasa'. Bukan karena mereka tinggi sebagaimana yang dikatakan sejarah, tetapi karena mereka hidup di menara-menara tinggi dan kota-kota yang luas, sangat berbeda dengan nenek moyang Mark yang hidup di gubuk kayu dan jerami. Ketika nenek moyang Mark mengambil alih, bahasa yang masyarakat itu gunakan pun lenyap seiring waktu, hingga tak satu pun mampu mengingat panggilan apa yang dulu orang-orang itu gunakan untuk menyebut diri mereka, menyisakan kata 'raksasa', kata yang diberikan oleh para pemenang, yang bertahan. Maka, jadilah Lembah Raksasa.

Kemudian, tentu saja, bahasa asli Lembah pun memudar, sebab nenek moyang Mark terpaksa menggunakan bahasa yang digunakan oleh Kekaisaran, meninggalkan bahasa asli mereka tertanam dalam debu dan gulungan perkamen tua, serta ukiran-ukiran pada batu. Sekarang, nyaris tidak satu pun bisa menggunakan bahasa itu, dan hanya beberapa orang terpilih di kerajaan yang boleh membaca bahasa itu.

"Shar, katamu?"

Kata itu terdengar cukup familier bagi Mark. Senyuman Donghyuck mengembang ketika ia mendengar pemuda itu mengatakannya.

"Apa itu?" tanyanya dengan sudut bibir yang terangkat. "Kata itu terdengar familier... Tapi apabila itu kata yang sama, kau melafalkannya dengan sangat buruk.

Mark mendorong Donghyuck sebagai respons atas candaan lelaki itu, cukup kuat untuk membuat lelaki itu sedikit oleng, tetapi cukup pelan untuk bisa menariknya kembali ke dalam pelukan Mark.

"Lalu, bagaimana aku harus mengatakannya? Maukah pangeran muda Kepulauan mengajariku bahasanya yang eksklusif dan rahasia, yang tidak boleh digunakan oleh orang luar?"

Mark mengucapkannya bagai tantangan, bagai ombak yang naik pada detik-detik sebelum fajar, dan Donghyuck bergerak untuk meraih umpan itu, meraih mulut Mark dan membisikkan kata itu di lidahnya. Sebuah kata yang kecil, tak cukup besar untuk bisa dirasakan sebelum akhirnya tertelan oleh napas terengah mereka.

"Dalam bahasa kuno," ucap Mark, segera setelah ia sanggup menjauhkan diri dari Donghyuck, "kami juga memiliki kata yang mirip seperti yang kau gunakan untuk menyebut rakyat, meskipun artinya sedikit berbeda bagi kami."

Kedua alis Donghyuck terangkat, rasa penasarannya terpikat.

"Oh?" cicitnya. "Beri tahu aku."

Mata Mark menyipit seiring kepala yang berusaha mengingat materi yang ia pelajari dalam kelas bahasa klasik, dulu ketika ia masih kecil. Benar bahwa tidak ada lagi orang yang mempelajari bahasa Gunung yang telah mati tersebut, tetapi seremeh-remehnya bahasa itu, itu adalah bahasa yang harus diketahui oleh pangeran Lembah.

"Shaer," ucapnya kemudian, dengan suara yang kental dan tumpul di lidahnya.

"Apa artinya itu?" tanya Donghyuck, berguling di atas ranjang supaya bisa menatap Mark dengan nyaman. Donghyuck adalah definisi pemandangan yang indah, dengan rambut keemasan yang tersebar di atas bantal, bagai cahaya lembut mentari di awal hari, yang juga terasa halus ketika jemari Mark bergerak menyisirnya. "Kau bilang artinya sedikit berbeda."

Mark mendaratkan kecupan lembut di alis Donghyuck. Tubuh mereka, yang saling menempel di atas sarang, bergerak bersamaan dengan ombak yang terjangannya mendorong Mark menuju kehangatan tubuh telanjang Donghyuck semakin dalam. Mark ingin bersarang di sana, dengan kepala terbenam dalam perpotongan leher dan bahu Donghyuck, serta dada dan jemari mereka yang saling melekat.

Dari suatu tempat di luar, sebuah siulan memecah keheningan. Pelaut di atas pengintai memberi sinyal bahwa ia baru saja melihat titik pertama cahaya matahari di garis cakrawala. Kamar Mark dan Donghyuck tidak berada di titik yang pas untuk melihat matahari terbit, dan jendela bulat kecil di sana sengaja ditutup untuk mencegah merekaㅡmencegah Markㅡmelihat ke luar. Namun, melalui tirai yang tertutup, ia masih bisa menangkap sulur cahaya pertama yang menyeruaki malam dingin itu, melukis air ke dalam warna biru alih-alih hitam, dan melukis awan ke dalam warna merah jambu alih-alih abu-abu. Bintang terakhir bersinar di atas langit keunguan, bagaikan di alam mimpi atau dongeng peri.

Berapa banyak orang di negara Mark yang pernah melihat pemandangan ini? Matahari yang terbit di daerah terlarang Gorgo of Shaer, bentang laut paling berbahaya di dunia. Pemandangan itu memang indah. Sangat indah hingga Mark tidak bisa cukup mengerti bagaimana nenek moyang Donghyuck bisa hidup cukup lama di atas kapal-kapal mereka, jauh sebelum menemukan rumah di kepulauan. Apa lagi yang kau harapkan dalam hidup apabila bisa melihat pemandangan indah ini setiap hari?

Setelah kekaisaran di Lembah Raksasa ditetapkan, rakyat Mark berusaha melewati bentang laut ini berkali-kali. Pulau Selatan di sisi lain lautan tidak kaya akan sumber daya, tetapi mereka adalah juru kunci yang mengendalikan jalur laut ke banyak pulau di sekitarnya, seperti Burnt Lands, di mana permukaan pulau mereka dikatakan bertatahkan emas dan batu mulia. Lembah adalah negara yang besar dan kuat, tetapi selalu miskin. Dan Kepulauan adalah tempat yang kecil, tetapi kaya raya. Siapa yang bisa menahan godaannya?

"Tentu saja, tanah pulau di seberang lautan tidak bertatahkan emas." Donghyuck pernah memberi tahu Mark sambil menghela napas. "Tapi, mereka memiliki bijih yang banyak sekali, sebanyak yang tidak pernah kau lihat sebelumnya." Kemudian, dahinya mengerut. "Tetap saja, kau tidak boleh memikirkan itu. Kau memang telah menjadi suamiku, tapi itu tidak berarti Lembah punya hak terhadap Kepulauan maupun urusan-urusan kami. Jalur perdagangan tetap menjadi milik kami. Kalau kau mau emas, cukup temukan salah satu pedagang kami dan belilah dari mereka. Atau, yang lebih baik, kau bisa meminta dengan sangat sopan dan aku kemungkinan akan mendapatkan beberapa untukmu. Aku sosok yang cukup penting di Kepulauan, tahu."

Mark tidak bermaksud seperti itu. Pertanyaan itu murni perwujudan dari rasa penasarannya, tetapi kecurigaan Donghyuck memang berdasar.

Memang benar bahwa rakyat Lembah selalu ingin mengambil bagian dalam jalur perdagangan. Setiap peperangan yang dulu terjadi antara Lembah dan Kepulauan kebanyakan didasari oleh masalah itu. Para raja Lembah melihat pulau kecil itu tidak lebih dari gundukan batu di tengah lautan dan berhasrat untuk menguasainya, untuk membuka jalur perdagangan dan mengendalikan mereka tanpa harus menjadi pedagang atau perantara.

Dan mengapa pula mereka tidak berani melawan Kepulauan Selatan? Armada kapal yang mampu kerajaan kecil itu kerahkan memang secepat dan semematikan anak panah, tetapi jumlah mereka jauh lebih kecil daripada Lembah Raksasa. Tak peduli seberbakat apa, tidakkah sudah tertebak bahwa suatu hari mereka akan hancur karena kekurangan jumlah? Bagaimana bisa pelaut Lembah tidak sebaik pelaut Kepulauan, ketika Lembah memiliki lebih banyak perahu dan kapal, dan lebih banyak orang yang siap bertarung dalam peperangan? Itu adalah pemikiran para raja Lembah, yang sejarah katakan menjadi penggerak mereka untuk berkali-kali melawan Kepulauan. Namun, tak sekali pun mereka berhasil menang. Mereka bahkan tidak cukup dekat untuk mengepung Coraline. Hingga hari ini, tidak ada orang darat yang bisa menginjakkan kaki ke Kepulauan Selatan tanpa lebih dulu mendapat undangan.

Mark dengan enggan melepaskan diri dari kehangatan tubuh Donghyuck, menahan rasa gemas saat mendengar lenguhan kecil lelaki itu, suara yang muncul dari tenggorokannya bagai suara anak anjing yang kesal. Meski begitu, Mark tidak bisa menahan diri dan tersenyum, melihat tubuh Donghyuck yang meringkuk untuk mempertahankan kehangatan tubuhnya lebih lama.

"Kau mau ke mana?" gumam Donghyuck. Mark sejenak menatapnya, lalu menariknya bangkit. Donghyuck membiarkan tubuhnya tertarik.

"Ayo," ajak Mark. Suaranya yang bersemangat terdengar berat, efek baru bangun tidur. "Kita lihat matahari terbit."

"Kita melihat matahari terbit setiap hari," keluh Donghyuck dalam rengek acuh tak acuh yang berhasil membuat Mark mencubitnya.

"Kau menghabiskan sepanjang musim dingin untuk memuji warna fajar di lautan bagaikan itu hal paling berharga di dunia, dan sekarang kau menyalahkanku karena bersikap tidak sabar? Atau mungkin kau hanya pamer dan itu tidakㅡaw!"

"Berhenti bicara dan segera berpakaian. Kau sangat kekanakan, Yang Mulia."

"Untuk menyamai tingkahmu, Yang Mulia."

Donghyuck mendengus dan melempar celana ke arah Mark untuk membungkamnya. Mark menyembunyikan senyuman sambil mengenakan celana, lalu memasang sepatu bot dan mengenakan jaket untuk menutupi dada telanjangnya tanpa repot-repot dikancingkan. Udara terasa segar dan menusuk di lautan, cukup untuk membuat Donghyuck bersin begitu ia keluar dari kamar, sambil cemberut dan memerah. Namun, Mark adalah bocah gunung yang dulunya memakan salju, dengan es yang bergemeretak di giginya ketika ia tertawa. Angin dingin laut bagaikan udara sejuk baginya. Meski begitu, ia tetap berhenti untuk mengancingkan baju Donghyuck dan melingkarkan jubah wol ke pundaknya.

"Jangan sampai sakit." Ia memperingatkan. Sulit untuk menahan dorongan agar tidak mencium bibir cemberut Donghyuck. "Ayo. Ajak aku berkeliling, Pangeran Laut, sebelum aku disuruh kembali ke kamar."

Donghyuck menuntun Mark ke atas geladak. Tangannya terasa hangat dalam genggaman pemuda itu. Mereka tiba sedikit terlambat, dan fajar telah melebarkan sayap merah pucatnya di atas gulungan ombak. Permukaan air tampak begitu tenang seakan langit jatuh ke atasnya, menciptakan gambaran pemandangan kembar yang elok.

Itu pemandangan yang indah, bagai dunia roh dalam dongeng para dewa, terlingkupi oleh kepermaian yang anggun. Itu juga merupakan jebakan yang paling mengancam. Lagi pula, bukankah dunia roh ditinggali oleh jiwa-jiwa yang telah mati?

Di saat nyala cahaya matahari meninggalkan garis cakrawala, Gorgo of Shaer terbuka di depan kapal mereka bagai mulut yang kelaparan; sebuah lubang kegelapan di tengah lautan, cukup besar untuk menelan kapal mana saja. Cukup besar untuk menelan armada laut Lembah dalam percobaan pertama mereka melawan Kepulauan, berabad-abad silam.

Inilah sumber mimpi buruk dongeng anak-anak Lembah. Sebuah pusaran air yang marah, mulut lautan yang merupakan pintu menuju Antah-berantah, siap menelan anak-anak nakal bagai menelan para pelaut Lembah yang tidak terhitung jumlahnya selama bertahun-tahun. Sejenak, Mark merasakan ketakutan tidak masuk akal dan melumpuhkan, bahwa itulah yang akan terjadi pada kapal mereka saat ini. Di hadapan Gorgo, ia merasa putus asa dan tidak berharga, tak punya kekuatan sebagaimana kehidupannya yang dulu. Bagaimana bisa manusia biasa selamat dari ini? Dengan kekuatan macam apa?

Kapal berderak dan melenguh seiring tarikan menuju pusaran air itu, dan jemari Mark meremas jemari Donghyuck kuat-kuat. Lolong amukan laut adalah satu-satunya suara yang bisa ia dengar. Hal itu tidak berlangsung lama. Donghyuck balas meremas tangannya, menyadarkan Mark akan kesibukan di atas geladak, yang diisi oleh siulan dan teriakan para awak yang bergegas mempertahankan kapal tetap di dalam jalur.

"Yang Mulia," panggil salah satu pelaut. Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi melayangkan tatapan waspada ke arah Mark. Donghyuck pun menganggukkan kepala.

"Baiklah, baiklah. Aku harus membawa suamiku kembali ke dalam kamar."

"Terima kasih, Yang Mulia."

Mark membiarkan Donghyuck membawanya kembali, ke atas permukaan seprai yang masih sedikit hangat dan beraroma seperti mereka. Sungguh harga mahal yang harus dibayar hanya supaya bisa melintasi lautan menuju Kepulauan Selatan.

Gorgo of Shaer hanyalah satu dari sekian tantangan di sepanjang jalan. Pusaran air, daerah-daerah berbahaya di mana angin tidak berembus dan udara terasa tebal dan berat, menjebak kapal dalam mimpi buruk tanpa akhir yang membuat pria kuat mana pun menggila, serta halimun yang begitu tebal dan membutakan, kabut beracun yang membuat setiap suara menguat dan terdistorsi, berubah menjadi nyanyian duyung yang mengarahkan kapal keluar dari jalur. Ilmu angkatan laut tidak berfungsi di sana, bahkan bintang pun mampu membohongi para pelaut.

Tentara atau angkatan laut seperti apa yang Kepulauan Selatan butuhkan? Mereka tidak butuh dinding batu, kuda, pelontar batu, dan pedang baja apabila laut sudah menyelimuti mereka dengan sangat protektif; dingin dan hangat yang memberdayakan serta mematikan di saat bersamaan, yang hanya akan menjinak kepada mereka yang terpilih.

Mark sejenak menduga, apa yang tengah terjadi di atas geladak? Sihir macam apa yang orang-orang itu gunakan untuk menjinakkan kekuatan laut? Kapal berayun kencang dan Mark nyaris menubruk dinding kabin apabila tangan Donghyuck tidak menjaganya tetap seimbang.

"Jangan khawatir," ucap Donghyuck. "Ini tidak akan berlangsung lama."

Rasa penasaran Mark tidak akan terpuaskan. Tidak hari ini, atau mungkin selamanya. Ia tidak diperbolehkan kembali ke atas geladak hingga Kepulauan terlihat. Bukan karena tindakan itu berbahaya, melainkan karena tidak seorang pun boleh melihat cara pelaut Shar mengendalikan kapal keluar dari badai. Itu adalah rahasia mereka yang paling berharga, yang akan Shar mana pun jaga dengan nyawa mereka. Sejak kerajaan Kepulauan Selatan berdiri, tidak ada yang bisa mengepung pulau itu, dan kemungkinan tidak akan ada yang bisa. Hanya Shar yang bisa melewati dunia roh, makam kapal, serta sarang dewa laut dan mencapai Kepulauan tanpa terluka.

"Hantu," pikir Mark, tanpa sadar menjawab pertanyaan Donghyuck sebelumnya di penghujung malam itu.

"Kau bilang apa?"

"Kau menanyaiku apa artinyaㅡnama yang rakyatku berikan untuk rakyatmu, dahulu kala. Shaer, yang berarti hantu. Karena kapal-kapalmu seperti bayangan di balik halimun, dan mereka melintasi jalur yang berarti kematian bagi kapal-kapal mana pun. Para nenek moyangku berpikir bahwa itu adalah kapal hantu."

Donghyuck menertawakan penjelasan itu. Suaranya membangkitkan keceriaan dalam ruangan, membuat dada Mark terasa lebih ringan.

Mata Donghyuck pun berkelip. Senyumnya bagaikan tempat berlindung dari murka lautan.

"Ayo, suamiku. Biarkan hantu ini menggiringmu melewati lautan luas nan menyeramkan ini. Aku akan menemanimu hingga kita mencapai daratan."

*


Mark tidak terbiasa dengan mabuk laut.

Ia pernah berada di tengah lautan, bertahun-tahun sebelumnya. Faktanya, ia pernah ambil bagian dalam kampanye anti perompakㅡbukan rakyat Donghyuck, tetapi perompak yang laindulu ketika ia berusia lebih muda. Namun, perjalanan pertama Mark ke Kepulauan Selatan untuk tanding panah ketika remaja merupakan sebuah mimpi buruk yang, ketika ia kembali dan akhirnya memijakkan kaki ke daratan, membuatnya bersumpah tidak akan mau kembali ke tempat terkutuk itu. Nyatanya, apabila seseorang menanyainya setahun lalu, hal terakhir yang mau Mark lakukan, selain menikahi pangeran menyebalkan dari Kepulauan Selatan, adalah kembali ke Kepulauan Selatan itu sendiri. Tentu saja, itu satu tahun yang lalu. Dalam rentang waktu singkat ini, Mark tidak hanya menikahi sang pangeran, tetapi juga menemukan jalan kembali ke Kepulauan Selatan. Dengan menyesal, ia harus mengungkapkannya setelah tiga hari mengalami siksaan ini.

Lambung kapal melompat dan bergulung di atas ombak yang meningkat. Kepala Mark berputar, memaksanya menahan muntah dan umpatan.

"Tenanglah, Bayi Serigala," gumam Donghyuck, dan Mark sungguh, sungguh ingin menggigitnya.

"Bagaimana bisa kau tidak terpengaruh?" tanyanya sambil melenguh panjang.

Jemari Donghyuck menghentikan elusan halusnya di puncak kepala Mark.

"Aku lebih baik ketimbang dirimu dalam hal apa pun, tentu saja. Tidak mengejutkan kalau aku juga baik dalam hal ini."

Mark merasa terlalu lemah untuk sekadar membuka mata dan mendelik ke arah Donghyuck, takut bahwa usaha kecil itu akan mendorongnya memuntahkan seluruh isi perut, memaksanya berlutut di atas ember di ruang sebelah untuk kali keempat hari ini.

"Aku membencimu," adalah satu-satunya kalimat yang ia katakan, sambil tetap memejamkan mata sebab melihat apa pun menguras energinya. "Kau luar biasa. Kenapa juga aku setuju melakukan ini?"

Sebuah kekehan terdengar, bagai garam yang menaburi luka pada harga diri Mark. Suara Donghyuck terdengar lembut, sedikit merendahkan.

"Bukannya karena kau terlalu takut akan merindukanku?"

Mark tidak ingin menjawabnya. Donghyuck mengatakan itu untuk menggoda, tetapi sebenarnya itu tidaklah jauh dari fakta.

"Sialan kau." Mark lantas berucap. "Untuk apa aku merindukanmu?"

"Aku si sialan paling indah yang pernah kau temui. Dan kau akan merindukanku setiap hari."

"Apa yang terjadi padamu? Ingat pada Donghyuck yang akan marah dan merona ketika kupanggil cantik? Di mana dia sekarang?"

"Oh, jadi kau ingin aku merasa malu-malu? Apa yang kau katakan di malam pernikahan kita? Lemah dan lembㅡ"

Kata ejekan itu tertahan oleh sebuah lemparan bantal. Mark hanya punya satu momen kemenangan sampai rasa mual mendorong tubuhnya kembali membungkuk. Ia hanya bisa berterima kasih pada diri sendiri karena menolak makanan apa pun yang ia makan empat bulan lalu selama dua hari perjalanan ini.

Mark ambruk ke atas kasur, kelelahan. Sisi kasur di sebelahnya mencekung dan kemudian ia sejenak merasakan tekanan hangat jemari Donghyuck di keningnya, menyingkap helai rambut berkeringatnya untuk mendaratkan kain basah di sana.

"Lihatlah dirimu, sangat berantakan. Kau berpikir terlalu keras di saat kau seharusnya istirahat, pasanganku."

Mark mengerang. Bahkan panggilan sayang itu tidak sanggup mengurungkan niatnya untuk terjun dari kapal. Dalam kondisi normal, ia akan senang mendengar Donghyuck, yang cenderung sangat berhati-hati dan pelit untuk menunjukkan cintanya kepada Mark, menggunakan panggilan 'pasanganku' padanya. Namun, dalam kondisi normal, Donghyuck tidak akan menggunakan panggilan itu sama sekali. Betapa tidak adil bahwa lelaki itu menggunakan panggilan itu sekarang ketika Mark tidak bisa bergembira ketika mendengarnya, tidak bisa menggunakannya sebagai obat yang menenangkan. Mark ingin mendengarnya setiap hari. Ia ingin bangun dan membuat Donghyuck berjanji untuk mengatakannya lagi, ketika ia cukup kuat untuk menindihnya di atas ranjang dan menyetubuhinya dengan nikmat untuk mengekspresikan kegembiraan. Ia ingin mencium panggilan itu di bibir Donghyuck, inginㅡ

Mark sekarang sangat ingin berhenti merasa seolah akan mati setiap detik.

"Aku tidak mengerti. Apa memang ini keahlian alamiah? Kurasa tidak. Kau tahu beberapa trik yang tidak kutahu, iya, kan?"

"Hm, mungkin. Tapi, sudah terlambat untukmu mempelajarinya."

"Tidak ada kata terlambat untuk mengajari serigala dewasa beberapa trik," balas Mark dan Donghyuck terkekeh.

"Kau tahu, ketika aku balita, alih-alih meletakkanku di dalam boks bayi, orang tuaku meletakkanku di atas rakit yang diikat pada dermaga di bawah Gerbang Utara Coraline. Setiap malam, sampai aku berusia lima tahun. Mereka akan datang menjemputku ketika matahari terbit. Setelah lima tahun mendapat perlakuan seperti itu, aku tidak pernah mabuk laut."

"Apa? Itu... Itu sangat...." Tidak bertanggung jawab, Mark ingin bilang, tetapi ia tidak berani mengatakannya karena takut para awak akan mendengarnya mengomentari perilaku pemimpin mereka atau bahkan tradisi nenek moyang mereka. Mereka sudah cukup membencinya karena menjadi orang Lembah.

"Tidakkah itu berbahaya?" Mark akhirnya bertanya. "Bagaimana apabila sesuatu terjadi padamu? Kau adalah putra mahkota. Dulunya, terserah...."

"Oh, tidak hanya aku, kok. Setiap anak di Kepulauan melewati proses yang sama," lanjut Donghyuck, terkesan terlalu riang untuk membicarakan sebuah pengalaman yang berkemungkinan besar membunuhnya. Bagaimana apabila ia jatuh sakit di malam itu? Atau kelaparan? Bagaimana kalau ada badai? Bagaimana apabila seseorang menculiknya, dan kemudian Mark tidak akan pernah bertemu dengannya, tidak akan pernah menikahinya, dan tidak akan pernah jatuh cinta kepadanya?

"Lagi pula, kami akan menjadi pelaut yang miskin apabila sedikit-sedikit mabuk laut. Ketika kami berusia lima tahun, mereka melepas ikatan rakit dari dermaga, dan saat kami terbangun, tidak ada yang datang untuk menjemput. Kami harus menemukan cara untuk kembali ke pesisir. Hanya yang paling berbakat yang bisa selamat, sebagaimana yang hukum Kepulauan dan rakyat kami tentukan."

Mulut Mark seketika terbuka, kemudian menutup. Ia melayangkan tatapan ngeri ke arah Donghyuck. Donghyuck balas menatapnya, tersenyum begitu lembut dan terlalu congkak ke arahnya.

"Kau mengarang cerita itu," ucap Mark, dan tawa yang mengancam keluar dari ujung senyuman Donghyuck akhirnya meledak, tepat di depan wajah Mark.

"Demi Dewi, kau harus melihat tampangmu sendiri. Kau konyol, Mark. Kumohon, mabuk laut saja selamanya. Aku tidak akan lelah menghadapimu."

"Kau lelah menghadapiku apabila aku tidak sakit?" tanya Mark, terlalu pemarah untuk ukuran seorang pangeran, tetapi ia sedang sakit dan ia tidak peduli. Ditambah, ia siap mengorbankan seluruh harga dirinya sekarang apabila itu bisa membuat Donghyuck tertawa begitu bebas dan menyentil keningnya, kemudian mengusap bagian itu dengan sentuhan hangat ujung jemarinya.

"Kau manis ketika bertingkah manja. Kau juga manis ketika aku mengerjaimu."

"Kau lebih manis ketika aku mengerjaimu." Mark membalas.

"Aku selalu lebih manis darimu, tetapi biarkan aku menikmati ini. Kurasa aku pantas mendapatkannya, bukan begitu? Lagi pula, lihat, sekarang kau cukup kuat untuk membuka matamu. Meski yang kuceritakan adalah kebohongan, setidaknya itu berhasil."

Mark menolak mengakuinya, tetapi cara itu memang berhasil. Ia merasa lebih baik.

"Cerita itu, dan juga fakta bahwa kita hampir sampai. Kita telah melewati penanda laut pertama. Kita akan tiba di pesisir dalam beberapa jam."

Menurut Mark, itu masih lama, tetapi setidaknya ia bisa menikmati ini untuk beberapa saat: kehangatan Donghyuck serta kehati-hatiannya yang tersembunyi ketika jemarinya menyisir rambut lembap Mark, seolah ia tidak tahu pemuda itu akan mengizinkannya, tetapi tetap ia lakukan. Seolah sentuhannya tidak cukup membuat Mark sanggup menghadapi ribuan jalur terkutuk di lautan.

(Ia akan gagal, sebab kekuatan laut begitu absolut dan jauh di atas kemampuan Mark, dan ia tahu, sangat tahu, bahwa ini bukanlah sesuatu yang bisa ditaklukkan dengan modal keras kepala dan dorongan impulsif. Namun, demi Donghyuck, ia akan mencoba. Semoga laut akan membawa kegagalannya ke hadapan Donghyuck setelah badai berlalu. Semoga laut akan memberi tahu Donghyuck bahwa Mark sempat mencoba, untuknya.)

Donghyuck mulai menggumamkan sebuah lagu. Suaranya mengikuti gerak bergulung lambung kapal, dan ombak membuai gumamannya bagaikan kedua tangan yang menangkup. Mark memejamkan mata, menyandarkan keningnya ke paha Donghyuck. Di luar, burung camar memekik melihat daratan.

*


Tiga hari setelah pelayaran yang menyengsarakan dari Lembah, kapal perang yang mengawal kepulangan putra mahkota Kepulauanㅡdan pasangannyaㅡakhirnya mencapai pesisir pantai Miria.

Mark mendengar panggilan dari bawah geladak. Kelopak matanya pun bergerak membuka. Mabuknya telah mereda dan ia tidak perlu memfokuskan pandang untuk tahu Donghyuck tengah menyingkap tirai, haus dengan pemandangan akan rumahnya. Mata mereka bertemu dan Donghyuck membiarkan tirai kembali menutup, bagai anak kecil yang ketahuan mencuri kue dari stoples. Ia tampak bersalah, meski tidak punya alasan untuk merasa demikian. Tidak ketika Mark selalu sadar bahwa ia merindukan negaranya.

"Kita sampai," ucap Donghyuck sambil menunduk menatap Mark. Kemudian, ia berdecak, kemungkinan karena penampilan Mark yang kusut. Selempang yang pemuda itu lepas dari pinggang untuk meredakan rasa mual membuat tampilannya menjadi setengah telanjang di atas ranjang. Mata Donghyuck menyipit ketika menatap memar keunguan yang mulut dan giginya tinggalkan di leher Mark.

"Lebih baik kau merapikan diri. Aku tahu kau menganggap masyarakat Kepulauan tidak punya malu, tapi tidak baik apabila memutuskan berbicara dengan penampilan seperti itu di depan ayahku."

"Apa dia selalu protektif terhadapmu?" tanya Mark sambil kembali mengikat selempang ke pinggang, memastikan untuk menutup semua tanda yang Donghyuck tinggalkan di tubuhnya.

"Biasanya tidak, tapi dia tidak akan berada dalam suasana hati yang baik ketika kita menemuinya. Ayo, kita harus ke atas, mereka sudah menurunkan jangkar."

Donghyuck bergerak untuk bangkit, tetapi Mark menahan pergelangan tangannya.

"Tunggu," ucapnya. "Tunggu."

Donghyuck melayangkan tatapan bertanya, tetapi Mark tidak tahu bagaimana harus menyusun kegusarannya ke dalam kata-kata.

"Bagaimana aku harus... Maksudku, orang tuamu...."

Ia terbata, tetapi Donghyuck masih bisa menangkap maksudnya.

"Kau takut mereka tidak akan menyukaimu? Tampaknya kau tidak punya masalah akan itu sebelumnya."

Sebelumnya... Aku tidak menyukaimu sebelumnya. Tidak sedalam ini. Tidak hingga aku menyadarinya, pikir Mark, tetapi ia tidak mengatakannya.

"Ayahku akan marah. Kurasa Dongsoon juga. Entahlah. Gadis itu masih menjadi misteri besar bagiku. Tapi, dia selalu menyukaimu, jadi mungkin dia tidak akan marah. Ibuku akan berpihak padamu karena itulah tugasnya dalam keluarga. Kalau dia selalu berada di pihak ayahku, ayahku akan menggiring kita ke dalam peperangan hanya dalam beberapa menit. Dia adalah pengambil keputusan yang buruk, tahu."

"Entahlah. Aku hanya pernah bicara kurang dari tiga kata dengan ayahmu."

"Hal bagus kau datang kemari bersamaku, kalau begitu. Kau bisa memperbaiki kesalahanmu. Kau akan tahu kalau ayahku lebih menyenangkan dari ayahmu, ketika dia tidak berencana mendeklarasikan perang dengan Lembah, tentu saja."

"Kau sungguh bersenang-senang dengan keadaan ini, ya?"

Donghyuck mendesahkan napas, dan Mark mengingat kenangan menyakitkan ketika ia bersikap seperti berengsek kepada Donghyuck beberapa bulan laluㅡbetapa besar kemungkinan lelaki itu akan terabaikan di Lembah. Apabila Donghyuck memutuskan untuk pulang, apabila tiga bulan sebelumnya tidak terjadi... Mark tidak berani membayangkan betapa akan menyedihkan kondisinya saat ini.

Namun, Donghyuck memutuskan untuk tinggalㅡDonghyuck memilihnyaㅡmemilih untuk meninggalkan malam fatal itu, malam pertama musim dingin itu, sebagai kenangan masa lalu. Mereka tidak pernah membicarakannya lagi. Mereka hanya mengusahakan yang terbaik untuk melangkah maju, untuk membangun kembali sesuatu yang baru di atas potongan kerusakan yang kebodohan Mark ciptakan. Donghyuck memaafkan, tetapi tidak melupakan, dan mungkin Mark menuntut terlalu banyak hal kepadanya. Mungkin Donghyuck memang pantas bersikap menyebalkan saat ini, untuk menyaksikan Mark yang sedikit merendahkan diri, menyaksikan pemuda itu berusaha mendapat ampunan dari kedua orang tuanyaㅡsejak Donghyuck memaafkan Mark dengan mudah terlepas dari apa yang telah terjadi di antara mereka. Mungkinㅡ

"Mark, tatap aku."

Suara Donghyuck bagaikan mantra. Mark tidak bisa melihat ke arah lain. Mark tidak ingin melihat orang lain.

"Aku menatapmu," balasnya. Kemudian, sebelum ia mampu menghentikan mulutnya, ia telah berkata. "Kau sangat cantik."

Kali ini, Donghyuck tidak menggodanya. Ia tidak merona, tetapi ia merendahkan pandangan, membuat bulu mata pendeknya sejenak mengepak. Seperti ini, terbingkai cahaya oranye yang mengalir masuk melalui tirai gelap yang menutupi jendela kapal, Donghyuck tampak bagai mozaik kepulauan yang sangat ia sukai; bermahkotakan emas. Donghyuck milik Mark pun memudar, digantikan oleh Donghyuck dari Kepulauan Selatan, Donghyuck dari Pulau Shar, pangeran keemasan yang rakyat kirim paksa ke Lembah untuk menikah, pangeran keemasan yang dengannya rakyat tidak ingin berpisah.

Takdir tidak seperti gaun yang indah. Kau tidak bisa melipat dan meletakkannya kembali ke dalam lemari demi mencoba gaun yang lain. Donghyuck memang mengenakan lambang pasangan Mark, lambang Pangeran Permaisuri, tetapi ia mengenakannya di atas zirah emas Putra Mahkota Kepulauan. Dan kini Mark ketakutan, sangat takut bahwa pakaian yang nantinya Donghyuck tanggalkan, sekarang ketika mereka mencapai Kepulauan, adalah pakaian yang berhiaskan warna Lembah.

Tangan Donghyuck bergerak menyentuh tangan Mark, dan sejenak suaranya terdengar gemetar. "Apa yang kau takutkan, Mark?"

Saat ini, Mark ingin bilang, saat ini aku sedikit takut kepadamu.

Ia ingin meraih tangan Donghyuck untuk ia genggam, memenjarakannya di balik jemari dan meremasnya untuk merasakan detakan kecil jantungnya.

Akankah kau datang kepadaku apabila bukan demi perdamaian? Akankah kau memilih tinggal apabila bukan perang konsekuensinya?

Namun, ancaman akan perang tetap datang, mengetuk pesisir pantai Tanjung Conk dalam rupa kapal yang kini Mark dan Donghyuck tumpangi untuk mencapai Kepulauan, kapal pertama yang Kepulauan kirim ke Lembah begitu badai salju mereda, untuk menuntut penjelasan dan kabar terkait pangeran mereka. Sebuah kapal perang.

Bukan sebuah pesan yang halus, memang.

"Mungkin," Donghyuck berkata, sambil melihat lambung bulat kapal yang memecah kabut untuk mencapai dermaga, "mungkin mengirim seorang caraka tidak cukup."

Mengirim seorang caraka memang tidak akan cukup. Namun, mengirim Donghyuck sendirian adalah sesuatu yang tidak bisa Mark izinkan, meski ia harus kembali bertengkar dengan ayahnya, seiring ancaman peperangan di perbatasan negara mereka.

Mark harus ikut bersama Donghyuck. Bukan karena ia tidak memercayai lelaki ituㅡbukan, tetapi ia tidak memercayai Kepulauan yang akan mengizinkan Donghyuck kembali kepada Mark begitu mereka mendapatkannya. Mark tidak mau itu. Ia tidak akan melepaskan Donghyuck, tetapi ia juga tidak bisa menolak keinginan lelaki itu. Dan ia tidak tahu, sungguh tidak tahu, apakah Donghyuck sebenarnya menginginkan pergi atau tinggal.

Mungkin satu-satunya yang tidak Mark percayai, satu-satunya yang ia takutkan, adalah dirinya sendiri. Ia tidak akan sanggup menunggu Donghyuck, tidak seperti ini, tanpa tahu bahwa jarak di antara mereka bukanlah sesuatu yang bisa ia arungi seorang diri. Mark akan mendaki gunung untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melewati lautan sekejam ini. Yang haus akan kapal dan terlalu posesif akan pangeran kecil mereka untuk membiarkan seseorang seperti Mark kembali kepadanya demi sesuatu seremeh rasa kesepian.

Mark mendongak menatap Donghyuck, menghimpun senyum tipis dan berkata, "Aku takut orang tuamu akan menangkapku, mengikatku di sebuah kapal, dan melayarkanku kembali ke Lembah dalam pengawasan."

Kemungkinan itu tidak jauh dari kenyataan yang bisa saja terjadi, kan?

"Lalu aku tidak akan bisa melihatmu lagi, sebab alih-alih berlayar menuju Kepulauan, aku akan cukup mabuk untuk bisa melewati Gorgo, dan kemudianㅡ"

"Aku yang akan kembali."

Donghyuck meraih dan menggenggam tangan Mark, tindakan yang sebelumnya ingin pemuda itu lakukan. Jemarinya terasa kasarㅡmeski setelah beberapa bulan diolesi minyak wangi oleh para pelayan, mereka tetaplah jemari milik seorang pemanah, jemari milik seorang pendekar pedang, jemari milik seorang pelaut.

"Aku akan mencari sebuah kapal untuk kembali padamu. Aku akan mencuri satu, lalu mengendarainya sendirian melintasi badai. Aku sudah pernah melakukannya, omong-omong. Ketika aku... masih anak-anak. Jangan khawatir, meski kau tidak bisa berlayar untuk menyelamatkan nyawamu, aku sudah cukup untuk kita berdua. Dan aku akan kembali kepadamu. Percaya padaku."

Mark menelan ganjalan di tenggorokannya.

"Dan bagaimana kalau orang tuamu membenciku?"

"Aku akan memberi tahu mereka untuk bersikap santai padamu, oke? Aku akan memberi tahu mereka bahwa suamiku adalah orang baik dan mereka tidak boleh merundungnya. Hanya aku yang boleh merundungnya, sebab dia akan dengan senang hati menerima itu."

Mark memejamkan mata. "Tentu saja aku akan menerimamu," gumamnya. "Kau adalah cinta sejatiku."

Donghyuck tersentak akan kata-kata itu. Matanya mengabur bagaikan madu terbakar. Mark kembali memejamkan mata, lalu mengarahkan keningnya ke leher Donghyuck. Apa pun yang terjadi, ia akan siap menghadapinya.

Kemudian, sebuah ketukan menggoyahkan dunia kecil mereka. Donghyuck menarik diri dan menegakkan tubuh. Tangannya bergesekan dengan tangan Mark ketika ia bergerak untuk membuka pintu.

"Ya, ada apa?"

"Yang Mulia," panggil salah satu pelaut. "Para Penjaga Istana telah menunggu di geladak. Mereka bilang mereka kemari untuk menangkap Pangeran Mark dari Lembah Raksasa."[]

.

.

.

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan vote dan komennya, ya. See you on the next chap! ❤️

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

96.1K 9.8K 30
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
165K 16.7K 65
FREEN G!P/FUTA • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
1.1M 60.8K 65
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...
36.7K 3.4K 22
° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! ° • Brothership • Friendship • Family Life • Warning! Sorry for typo & H...