Vitha and Allen

EkaKamajaya

48 28 12

Vitha, seorang esper andal, yang bekerja di bawah Kantor Keaman Publik Rama. Mendapat panggilan dari atasanny... Еще

Prolog:
Bab 1: New Member
Bab 2: Allen
Bab 3: Protected
Bab 4: Eyes That
Bab 5: Scary (1)
Bab 6: Scary (2)
Bab 7: Angry
Bab 8: Aplogize
Bab 9: Alex
Bab 10: The Memory (1)
Bab 11: Bobby and Andreana (1)
Bab 12: Bobby and andreana (2)
Bab 13: Bobby and Andreana (3)
Bab 15: The Memory (2)
Bab 16: Don't you Fear
Bab 17: Next Coporation (1)
Bab 18: Next Coparation (2)
Bab 19: Made Esper
Bab 20: Vitha is Esper Made?! (1)
Bab 21: Vitha is Made Esper?! (2)
Bab 22: Attack
Bab 23: Stoped
Bab 24: I love You (End)

Bab 14: Other Esper (1)

1 0 0
EkaKamajaya

Besoknya, Vitha sudah melalui masa penyembuhannya. Sebelum berangkat ke kantor Keamanan Publik Rama, ia izin sebentar pergi ke rumah sakit-di mana kapan hari itu dirinya rawat inap. Bersama Allen dan Cakra, yang bersedia mengantarnya. Sejam kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Cakra berbelok masuk menuju area parkir, dan berhenti tepat di dekat pagar berjaring. Pintu bergeser otomatis, mereka turun. Vitha sudah lengkap dengan seragam dinasnya menggamit tangan anaknya masuk duluan. Cakra berjalan santai di belakang mereka.

"Kenapa kita ke sini lagi?" tanya Allen,"Mama sakit lagi?"

"Mama enggak sakit, cuma mau cek in," jawab Vitha.

Pintu bergeser, mereka bertiga masuk. Mereka berbelok menuju meja resepsionis. Vitha menanyakan kepada resepsionis, dokter yang pernah menanganinya waktu itu. Resepsionis membuka jadwal praktek dokter yang dimaksud di buku khusus jadwal, mencari.

"Hmm, sebentar ya, Nona." Membolak-balikkan kertas, tangan lentiknya mencari nama dokter beserta jamnya."Nah," katanya, menemukan sang nama dokter. Memberitahukan pukul sembilan sang dokter datang, dan mulai melakukan pemeriksaan, menyuruhnya untuk menunggu di ruang tunggu.

"Baik, terima kasih," ucap Vitha.

Mereka bertiga beranjak dari meja resepsionis, bergantian dengan pengunjung yang lain untuk mengantri. Mereka menuju ruang tunggu, melewati lobby rumah sakit itu. Suara sirine ambulans bertalu-talu, memasuki area rumah sakit. Para petugas turun, membuka pintu belakang ambulans, mengeluarkan dua korban yang tampaknya masih hidup, dengan dipasangkan alat bantu pernapasan di hidung masing-masing. Allen melihat para perawat berlari terburu-buru menghampiri Dua petugas itu mendorong ranjangnya menuju ruang UGD.

"Ayo! Ayo!"

"Cepat bawa mereka!"

Dia melihat dua korban itu dengan luka disekujur tubuh parah dan darah mengalir segar. Salah satu korban itu adalah seorang gadis remaja kira-kira seumuran lima belas tahun.

"Ada apa dengan kedua korban itu, Pak?" tanya seorang pengunjung, yang juga menuju ruang tunggu. Pengunjung itu bersama seorang bocah kecil, seumuran dengan Allen.

"Enggak tahu, ya, Bu," jawab Cakra."Mungkin korban kecelakaan."

Allen masih menatap dua korban itu sudah menjauh dari pandangan. Terutama gadis itu-mengingatkan akan kakaknya yang sudah meninggal. Tangan mungilnya mengeratkan genggaman di tangan Vitha. Matanya cokelatnya nanar saat melihat koban itu. Vitha merasakan tangannya digenggam erat, menundukkan kepala, menatap anaknya.

"Allen?"

Allen bergeming.

Sampai di samping ruang tunggu, mereka duduk di salah satu bangku besi panjang kosong di situ.

"Allen?" panggil Vitha.

Allen menoleh.

"Kamu kenapa?"

Cakra di samping bocah itu, nimbrung, tangannya merogoh saku celana, mengambil handpone."Ada sesuatu?"

Allen menggeleng.

"Kalau begitu, beli minum dulu. Mama lupa tadi enggak bawa air minum. Mau beli apa?" tanyanya."Mumpung ada yang jualan. Tuh, lihat," tunjuk Vitha ke arah lemari pendingin di samping pintu kaca yang bertuliskan "Ruang Tunggu". Berwarna putih mengkilat.

Allen melihat ke arah pendingin. Di dalam pendingin itu banyak sekali berbagai macam minuman.

"Kamu pilih aja." Vitha merogoh saku seragamnya, mengambil selembar uang."Kamu mau beli yang mana."

Allen mengangguk, beranjak dari kursi. Menghampiri pendingin. Membuka pintu pendingin, seketika hawa dingin menerpa wajahnya, melihat banyaknya minuman. Memilih di antaranya yang menurutnya dia sukai-memilih susu kotak rasa cokelat. Kembali menutup pintunya. Di balik kaca pendingin, dia melihat Cakra sedang memainkan handpone. Seperti mengenal akan sesuatu.

"Maaf, permisi," ucap bocah mungil manis seumuran dengannya.

Allen diam saja.

"Maaf, permisi," ucapnya lagi.

Allen tersadar.

"Eh?"

"Maaf, aku mau mengambil itu," tunjuknya ke arah susu kotak cokelat di dalam lemari pendingin.

Allen menoleh, menatap bocah kecil itu lekat. Bocah mungil itu tingginya hanya sebahu dengannya. Rambutnya diurai panjang, rambutnya dikuncir sebelah kanan, berpita merah muda, bermuka oval, memakai baju sederhana mirip lolita.

"Aku mau mengambil yang ada di belakangmu," katanya.

Allen menggeserkan badan, agar bocah mungil itu dapat membuka pintu. Meraih sekotak susu yang sama dengannya. Menutup pintu kembali. Bocah itu menatap gantian.

"Kamu ngelihatin apa, sih?" Dia ikut menatap apa yang ditatap. Seperti sudah mengetahuinya, berceletuk,"Kamu ngelihatin Oom itu?"

Allen tersentak. Cakra berhenti memainkan handpone, mendongak. Vitha terpaku pada anaknya.

"Iya, kan?"

Allen terdiam. Dia menatap Cakra. Cakra menatapnya.

"Oh, O-Oom itu..."

"Oom itu papa kamu?"

Allen bingung harus menjawab apa.

Cakra terkejut, apalagi Vitha. Keduanya masih menatapnya, tersenyum. Cakra mengerti maksudnya mengangguk pelan kepada bocah mungil itu.

"I-iya, itu papaku, kok."

Bocah mungil tersenyum, langsung beranjak dari lemari pendingin, menuju ke arah kasir. Membayar susu yang diambilnya. Pergi meninggalkannya seraya melambaikan tangan. Allen merasa penasaran siapa gadis kecil itu. Dia juga beranjak, membayar susunya ke kasir. Memberikan uangnya kepada penjaga kasir. Sang penjaga memberikan uang kembalian, diserahkannya.

"Terima kasih," ucap Allen, berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Menusuk susuknya dengan sedotan.

"Siapa anak kecil tadi?" Cakra mematikan handpone, memasukkan kembali ke saku.

"Enggak tahu," kata Allen, menyeruput susunya.

"Dia manis lho, Len," Cakra mengomentari.

"Sepertinya dia baik," Vitha menimpali.

Allen tak menjawab, masih menyeruput susunya.

Satu menit kemudian, dokter yang ditunggu Vitha datang, ia mulai prakteknya. Satu perawat memanggil satu per satu-Vitha akhirnya dipanggil, berdiri dari kursi, berjalan masuk ke sebuah ruangan. Pintu pun ditutup oleh perawat. Di tangannya ada berkas daftar pasien.

"Mama enggak bakalan lama, kan?"

"Mungkin. Tapi tungguin saja," kata Cakra.

Allen berhenti menyeruput susunya. Dia menatap Cakra. Cakra bersidekap, menunggu Vitha selesai periksa. Merasa ditatap, berganti menatap bocah itu.

"Apa?"

Allen menggeleng.

"Ada sesuatu di wajahku?"

Allen menggeleng.

"Kalau ada apa-apa itu ngomong. Jangan diam saja," Cakra memberitahu."Kamu enggak kasihan sama Mama Vitha?"

Allen tak menjawab. Mulutnya bungkam.

"Dengar, Len, Oom tahu, setiap orang itu punya masalah. Apalagi bocil kayak kamu pasti punya masalah."

"Aku enggak punya masalah kok, Oom. Tapi..."

"Ya, tapi?"

Kedua tangannya meremat kotak susunya. Cakra ikut diam. Tangannya mengelus rambutnya sayang.

"Ya, sudah. Nanti makan malam dibuatin apa?"

"Eem, apa saja, deh," kata Allen.

Cakra tersenyum.

"Anak penurut."

Mereka menunggu hingga sejam pintu terbuka. Vitha keluar dari ruangan. Di kepalanya tak ada perban sama sekali. Menghampiri keduanya.

"Bagaiman kata dokter?"

"Aku sudah baik-baik saja. Kalau ada keluhan, aku akan cek in lagi. Kita langsung berangkat ke kantor. Oh, tunggu, data yang dibuat..."

"Sudah kubawa. Kuletakkan di mobil, sudah kukerjakan semuanya. Kita berangkat sekarang." Cakra berdiri, mengeratkan jaket hoodie-nya. Dari apartemen dan sampai ke rumah sakit, dingin masih menyerbu. Mungkin waktunya memasuki musim dingin. Dia berjalan duluan melewati lobby diikuti Vitha dan Allen yang menghabiskan susunya,membuangnya ke tempat sampah. Pintu bergeser otomatis. Mereka menghampiri area parkir. Cakra memencet tombol di kontak ke arah salah satu mobil melayang-bunyi "tin" dua kali menandakan di antara mobil melayang itu milik Vitha. Pintu bergeser otomatis. Seperti biasa, Allen duduk di belakang. Tak lupa di mobilnya dia membawa boneka beruangnya.

"Maaf, lama, ya, Boboboi," Katanya boneka beruangnya.

Vitha tersenyum.

"Kenapa enggak kamu ajak sekalian tadi?"

"Enggak, Ma."

"Kamu takut jika membawanya diejek bocah manis tadi?" tebak Cakra memakai sabuk pengaman.

"Enggak. Ngapain diejek? Aku enggak takut diejek," kata Allen, memeluk bonekanya."Bocah tadi siapa, ya?"

"Kenapa kamu enggak tanya namanya? Makanya, kenalan, dong! Biar punya cewek!"

"Biarin. Aku emang enggak punya cewek," balas Allen cuek."Memang, Oom punya cewek?"

Cakra diam. Dia melirik di kaca spion di depan ke arah bangku kanannya.

"Punya," ungkap Cakra.

"Siapa?"

Cakra tampak berpikir, berusaha agar tidak memikirkan gadis di sampingnya-pikirannya terbayang wajah penyanyi salah satu dari girls band korea terkenal.

"Lissa."

"Siapa Lissa?"

"Ya, Lissa."

"Lissa itu cantik?"

"Cantik banget."

"Lissa orangnya seperti apa?"

"Pokoknya cantik, multitalenta."

"Rambutnya panjang?"

"Iya, panjang."

"Berarti kayak Mama?"

"Kayak Mama, Len," cicit Cakra pelan.

Vitha diam saja. Melirik sebentar ke arah pemuda itu, mengalihkan pandangan ke jendela. Tangannya memencet tombol di bawah gerendel pintu, angin pagi sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang panjang. Tanpa sepengetahuan Cakra, kedua pipinya merona.

Cantik? Batinnya.

Allen melanjutkan,"Berarti kalau Oom suka sama Lissa itu, berarti Oom juga suka sama Mama?"

Deg.

Jantung Cakra berdebar. Dua pipinya ikut merona.

"Suka, ya?" katanya."Kalau suka, mungkin enggak... Soalnya, mamamu itu cerewet..."

Vitha berganti mengalihkan pandangan, mengedik,"Cerewet katamu?"

"Iya, emang kamu cewek cerewet. Masih mending Wima sama Kak Anita."

Vitha mengerucutkan bibir.

"Aku enggak suka dibeda-bedain," katanya tak suka.

"Kenyataannya emang gitu," kata Cakra."Coba jadi cewek itu yang kalem, lemah lembut... Enggak cerewet, apalagi babar sama enggak nendang manusia serigala seperti waktu itu," jelas Cakra.

Vitha hanya ber-oh saja, tampak cuek.

"Yah, bisa dibilang sih."

Vitha terdiam lagi, mulutnya masih mengerucut. Mereka tiba menuju jalan kantor. Cakra membelokkan mobil melayang masuk ke area parkir. Banyak mobil melayang maupun mobil patroli melayang yang terpakir. Mobil melayang berhenti di dekat mobil melayang berwarna hitam mengkilat. Pintu terbuka otomatis. Mereka turun. Allen turun memeluk bonekanya. Mereka masuk ke Aula kantor. Pintu terbuka, mereka berjalan mengarah ke tangga ke lantai dua. Beberapa tim pembasmi menyapa mereka dan ada yang menyambut kedatangan Vitha lagi, menanyakan kesembuhannya.

"Gimana lukamu, Vit?"

"Katanya kena kepala?"

"Aku dengar dari Ketua Bobby."

"Kamu sudah baikan?"

"Untung kamu enggak kenapa-kenapa. Kasihan sama si Allen..."

Vitha menjawab serobotan pertanyaan dari teman-temannya sesama tim pembasmi. Ia senang bisa kembali bertugas.

"Terus gimana si Cakra? Apa dia menjagamu dengan baik sewaktu kamu perawatan di rumah sakit?"

"Lho, emang Cakra di sana?"

"Iya, katanya Ketua Bobby."

"Kalian beneran pacaran?"

"Sejak kapan? Kami enggak tahu, tuh!"

"APA?" Cakra terkejut sekaligus tak terima."Ngaco, kalian!"

"Kata Ketua Bobby," jawab temannya.

Mereka beranjak melewati mereka. Cakra tak percaya bahwa ketua mereka-Bobby mengatakan yang tidak-tidak selama Mereka tak bertugas. Aku enggak ada hubungan apa-apa dengannya, tapi... Pelukan waktu itu? Pikir Vitha. Wajahnya berubah memanas mengingat kejadian yang pernah dilakukan Cakra terhadapnya... Pelukan tak sengaja...

Mereka menaiki tangga. Di lantai dua, mereka disapa oleh dua robot kebersihan. Melangkahkan kaki ke salah satu ruangan berplatkan "Tim Gisela". Mereka berbelok masuk. Di dalam ruangan itu, teman-temannya sedang menyeruput segelas cokelat. Menyapa mereka,"Selamat pagi semua."

Mereka melengok.

"Vivi!"

"Kamu sudah sembuh?"

Mereka menghampiri meja kerja."Iya," jawab Vitha, duduk di kursi, memangku Allen.

"Bagaimana kata dokter?"

"Kata dokter, aku sudah baikan. Tapi kalau ada keluhan lagi, aku diminta cek in lagi." Ia menoleh di meja kerja Anita. Tampak wanita itu berkutat pada pekerjaannya-melanjutkan membuat data di balik kaca."Anita," panggilnya.

Anita berhenti mengetik, melengok sebentar sembari membalas,"Hai, sudah baikan?"

"Sudah."

"Baguslah." Anita melanjutkan mengetik lagi.

Ia merasa ada perubahan pada diri seniornya. Yang biasanya riang dan tampak dewasa seperti biasanya.

Ada apa dengannya? Batinnya.

Cakra bersebelahan dengan meja kerja Vitha, menyuruh gadis itu untuk mengirimkan tugasnya. Memberikan flash disk berwarna putih, berbandul tulisan "Harry Potter" besar."Nih, cepat kirim datanya ke e-mail-nya Ketua."

Vitha menerimanya di balik kaca. Di balik kepala Allen, menyalakan layar hologram berwarna biru, menunggu loading menancapkan flash disk, memasukkan data miliknya maupun milik Cakra. Mengirimkannya ke e-mail sang ketua.

Kedua data langsung terkirim.

Ting!

Ada sebuah pesan masuk dari Whatssap-nya. Meraih tasnyadi meja. Merogohnya, membuka dan membaca isi pesan tersebut.

Data kalian sudah terkirim di e-mail saya. Saya terima datanya. Tolong, kamu ke kantor saya sebentar. Saya di ruang sebelah, Ruang Khusus Pendataan.

Vitha menutup handpone-nya, memasukkan kembali ke dalam tas.

"Allen, turun dulu, ya. Mama mau keluar sebentar," katanya.

Allen turun dari pangkuannya.

"Mama mau ke mana?"

"Mau ke Ruang Khusus Pendataan. Kamu di sebentar, ya."

Vitha beranjak dari mejanya, beranjak menuju pintu. Menuju ke ruangan yang dimaksud Bobby. Ia mencari di antara beberapa ruangan, dan sampai di ruangan itu. Pintu terbuka otomatis, ia masuk. Ruangan itu lebih mirip seperti perpustakaan besar-di mana-mana banyaknya data yang tersimpan rapi di banyaknya rak-rak. Ruang Di antara banyaknya rak, salah satu meja dan kursi di atasnya-ada sebuah komputer dan buku Tampak pria itu terpaku pada layar. Sibuk mengunduh data yang telah dikirimkan melalui e-mail.

"Ketua," katanya, berhasil menemukan sang pemimpin tim.

Bobby melengok di balik komputer.

"Ada apa memanggil saya? Bukannya data yang dikirimkan sudah diterima?" kata Vitha lagi.

"Memang sudah," jawab Bobby."Ini bukan soal data, melainkan soal hubungan kalian-kamu dan adik saya, Cakra."

"Hubungan?" Vitha mengernyitkan alis."Hubungan apa?"

"Yah, saya cuma tanya, bagaimana hubungan kalian?"

"Kami enggak punya hubungan apa-apa," kata Vitha datar.

"Kalau enggak punya hubungan apa-apa sama dia, bagaimana hubungan kerja sama dengannya?"

"Yang ada bertengkar terus sama dia. Enggak enak! Lebih baik bekerja secara individu. Itu lebih baik menurut saya. Pasti dia berpikiran sama halnya saya."

"Begitu?" selama menjadi ketua di Tim Gisela lama, Bobby sudah mengetahui sifat dari anak buah dihapannya ini. Gadis tersebut lebih suka bekerja sendiri, ketimbang secara berkelompok. Yang hebatnya, kekuatan esper-nya sama hebatnya dengan Anita.

"Tapi enggak ada sesuatu, kan di antara kalian?"

"Enggak. Enggak ada sekalipun," ungkap Vitha mantap."Kami hanya sebatas teman."

Bobby meng-copy, memindahkan data-data itu ke dalam folder, memberi nama, dikirimkannya folder itu ke e-mail lagi-ke e-mail pihak atasan.

"Itu saja yang Anda tanyakan? Kalau enggak ada, saya undur diri dulu." Vitha dengan sopan berbalik, beranjak menuju pintu. Saat melangkah beberapa senti dari meja ketuanya, sang ketua berceletuk,"Siapa tahu dia menyukaimu," sahutnya.

Ia berhenti melangkah, menoleh sebentar.

"Enggak bakalan terjadi."

Melanjutkan langkahnya. Tak tersesat di antara banyaknya rak-rak karena sudah hafal. Pintu bergeser otomatis, ia pun keluar. Kembali menuju ruangan.

"Kenapa Ketua mencarimu?" tanya Cakra, melengok dari mejanya.

"Bukan apa-apa, kok."

Vitha kembali duduk di bangkunya. Menatap anaknya duduk di kursi, bersandar sembari menonton kartun "Adventure Time" kesukaannya.

"Bukan hal penting, kan?"

"Bukan," kata Vitha."Yang penting data yang kita dibuat sudah terkirim. Memangnya, kalo bukan hal penting, kenapa?"

"Enggak biasanya dia memanggilmu."

"Kamu kan, yang dekat dan serumah dengannya."

"Tapi aku enggak tahu sedalam apa dirinya. Kalo soal sifat, dia nyeselin banget."

Anita yang sudah selesai dengan datanya, dan akan mengirimkannya ke e-mail, berhenti menggerakan mouse.

Sedalam apa dirinya...

Dia bergeming, pikiran langsung terpikir oleh kejadian waktu itu, terpikir Bobby dan andreana...

Ting!

Ada sebuah pesan masuk di Whatsapp -nya. Ia membukanya, membacanya. Ternyata pesan itu dari Bobby.

Mana laporanmu? Kenapa kamu belum mengirimkannya?

Ia tidak membalasnya. Menutup handpone-nya, meletakkannya di meja. Mouse diarahkan ke folder yang berisi laporannya, dikirimkannya ke e-mail Bobby.

**

Menjelang siang, setiap tim pembasmi pergi menuju kantin untuk makan siang. Vitha dan lainnya menuruni tangga berbelok menuju kantin. Kantin memang masih dalam perbaikan. Namun, sementara kantin di pindah di samping kantor. Mereka membuka buku menu, lalu memesan masing-masing makanan dan minuman seperti biasa. Allen memesan nasi goreng dan teh hangat. Bobby keluar dari perpustakaan, menuju ke kantin. Biasanya, dia lebih suka makan di ruangan daripada di kantor. Sebelum berangkat kerja, dirinya memesan makanan. Tapi kali ini dirinya tidak sempat, bergabung dengan mereka. Matanya menatap sekeliling-di antara anggotanya,

"Mana Anita?" tanya Bobby.

"Enggak tahu, Ketua."

"Mungkin masih di ruangan," kata Aksara.

"Tumben dia enggak ikut makan bareng?"

"Dia masih mengerjakan laporannya."

"Enggak biasanya dia."

Vitha terdiam. Teringat Anita tadi. Wanita itu tidak seperti biasanya.

"Memang dia kenapa?" Bobby meraih buku menu di hadapan Wima. Membukanya, memilih makanan maupun minuman yang akan dipesannya.

"Apa dia lagi diet?"

"Mana mungkin Kak Anita diet! Jangan sok tahu!"

"Aku hanya menebak," kata Aksara."Daripada kamu, sepulang dari restoran korea, di rumah langsung memesan banyak makanan! Pesan delivery oder lagi! Dan, sisanya aku yang membayar."

"Biarin!"

"Awas ya, jangan mengeluh soal berat badanmu," Aksara memperingatkan.

Wima tak peduli.

"Tapi kamu juga ikut makan, kan? Terus sisanya dibikin sarapan tadi pagi."

Aksara menyengir.

Selang beberapa menit, pelayan menghampiri meja panjang mereka, membawa pesanan mereka. Meletakkan pesanan mereka satu per satu di meja. Allen tampak senang melihat pesanannya datang, dia pun langsung menyantapnya.

"Kamu lapar, ya?"

"Uum," jawabnya dengan mulut penuh. Saking laparnya, dirinya teringat nasi goreng pete buatan Cakra waktu itu. Rasa dan bau harumnya sama persis.

"Enggak ada petenya," katanya, menyiduk nasi keempat.

Vitha menatap nasi goreng itu. Memang tidak ada pete berwarna hijau muda itu. Tetapi di nasi gorengnya diberi isian telur dadar gulung, udang, kacang polong serta cumi-cumi di pinggirnya.

"Iya, enggak ada petenya."

"Tapi enak kok, Ma, mirip nasi goreng buatan Oom Cakra," lanjutnya.

Cakra menghentikan santapannya.

"Apa? Mirip masakanku?"

"Pasti masakanmu enggak enak," ejek Aksara, menyantap nasi uduknya.

Cakra mendengus.

"Enak masakanmu," timpal Bobby, menyantap soto ayamnya.

"Saya masih enggak percaya, tuh."

"Lama aku enggak makan masakan buatanmu." Bobby menatap Cakra.

"Huh? Emang kenapa?"

"Karena kamu betah tinggal dengan Vitha dan Allen."

"Ketua kan bisa masak sendiri atau beli makanan. Ngapain repot," ketus Cakra, menyiduk makanannya. Menyuapkannya ke mulut.

"Kalian serumah, maksudku, seapartermen?"

"Iya."

Aksara terdiam sebentar. Matanya menyipit curiga.

"Kalian enggak aneh-aneh kan?"

"Aneh-aneh?"

"Maksudmu apa, Ak?"

"Maksudku," pikiran pemuda penyuka game itu langsung berubah pada hal aneh yang jadi intinya."Maksudku, berbuat yah, terhadap Vivi," bisiknya.

Sontak kedua pipi mereka merona hebat. Bobby yang mengerti arah perkataan anak buahnya tersedak ayam di sotonya. Wima menyeruput teh manisnya berhenti.

"Jangan ngawur kamu!" semprot Cakra tak terima,"Aku enggak akan melakukan hal aneh-aneh, apalagi sama Vivi!"

Semua orang di kantin menoleh ke arah mereka. Bahkan ada yang berbisik terhadap Cakra.

"Jangan pikir aku kayak begitu!" tunjuknya menggunakan sendok ke hadapan wajah Aksara.

Aksara merasa bersalah.

"Eeh..."

Cakra menghabiskan makannya dengan cepat lalu beranjak pergi meninggalkan mereka. Dia pun membayar makanan ke kasir. Keluar dari kantin. Sepeninggal Cakra, mereka masih terdiam menatap kepergiannya. Wima berganti menatap pemuda di sampingnya, menegur,"Tuh, kan! Gara-gara omonganmu dia marah!"

"Eeh..."

"Apa?" Wima tak suka."Nanti, selesai makan, kamu harus minta maaf ke dia! Terus," menatap ke Vitha."Ke Vivi juga!" perintahnya.

Aksara mengangguk pelan. Dia meminta maaf kepada Vitha.

"Enggak apa-apa. Aku maafin. Tadi itu kamu cuma bercanda, kan?"

"Oh eh ya..."

"Bercandanya yang keterlaluan."

Aksara hanya meringis.

Selesai makan siang dan membayar pesanan masing-masing, mereka keluar, namun tiba-tiba terjadi ledakan dari tembok belakang hingga jebol mengenai para pembasmi lainnya yang menyantap makanan. Kursi dan meja terpelanting menjauh, patah. Para pembasmi ikut terjatuh di lantai.

"Apa yang terjadi?"

"Siapa yang melakukannya?"

Asap menyeruak, membuat para pembasmi lainnya terbatuk-batuk. Dari asap itu, muncullah sosok berjalan ke arah mereka. Sesosok pemuda tampan, berkulit pucat, berambut acak-acakan dan mengenakan baju serba hitam. Mereka memastikan. Terutama Bobby, yang memastikan itu Andreana.

"Siapa...?"

"Esper lain?"

"Hallo," sapanya ramah, menghampiri mereka, melewati para pembasmi yang terkapar pingsan. Dia menunduk ke bawah."Upd, maaf, saya enggak tahu." Matanya memandangi mereka-tepatnya ke arah Allen yang bersembunyi di balik punggung mamanya.

"Siapa kamu?"

"Aku?"

"Iya, siapa kamu?" ulang Bobby.

"Oh, perkenalkan, saya Jonathan," jawabnya tersenyum.

"Jonathan?"

"Ya, Jonthan Flying." Matanya masih menatap ke arah Allen."Bocah yang di belakang gadis itu manusia?"

"Mau apa kamu sama Allen?" kata Vitha waspada.

"Oh, namanya Allen?"

Tangan pemuda yang mengaku bernama Jonathan Flying itu, direntangkan ke depan-seketika tubuh Allen terangkat perlahan-dengan cepat Vitha meraihnya dengan menggunakan kekuatannya. Tangannya yang lain mengarahkan di antara meja yang patah di sekitarnya, melemparkannya ke Jonathan dengan sekali melayang.

Bruaak!

"Vivi?!"

"Enggak akan kubiarkan kamu mengambil anakku!" Ia langsung maju.

"Tunggu Vivi!" cegah Bobby.

Vitha tak peduli, merentangkan tangannya kembali. Di sekitarnya barang-barang yang ada melayang, meluncur secara brutal ke arah Jonathan.

Wuuus!

Wuuus!

Bruaak!

"Aksa, cepat pergi menemui para pembasmi lain dan atasan, beritahu semua ada penyerangan mendadak!" perintah Bobby."Dan, Wima, tetap di sini, tunggu sampai aku maupun Vivi selesai dengan orang itu! Sembuhkan luka mereka dan jaga Allen!"

"Siap!"

"Baik!"

Buum!

Asap kembali menyeruak. Serangan yang ditimpakan Vitha seketika meledak serta hancur total. Jonathan terlindung di balik bongkahan-bongkahan yang diciptakan.

"Wah, wah..." katanya, keluar dari perlindungannya, melepaskan bongkahan-bongkahan itu menjadi seperti semula."Hebat juga ya kamu."

Продолжить чтение

Вам также понравится

3.7M 360K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
2.1M 88K 49
kecelakaan saat balapan yang ternyata sudah di rencana kan sejak awal oleh seseorang, membuat jiwa Elnara terlempar ke dalam tubuh Kinara yang ternya...
340K 19.5K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...
Mommy? yuzii

Фэнтези

873K 76.1K 33
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...