Forbidden Color

By althearaa

30.7K 4.8K 790

Dalam surat wasiat Carla. Wanita tengah baya itu menginginkan putranya Eren untuk menikahi Mikasa, gadis yang... More

Prolog
Tokoh
BLACK 1
BLACK 2
GREEN 1
GREEN 2
BLUE 1
BLUE 2
MAGENTA 1
MAGENTA 2
GREY 1
GREY 2
NAVY 1
NAVY 2
TOSCA 1
TOSCA 2
FELDGRAU 1
FELDGRAU 2
YELLOW 1
YELLOW 2
WHITE 1
WHITE 2
RED 1
RED 2
MAROON 1
MAROON 2
BROWN 2
GOLD 1
GOLD 2

BROWN 1

431 88 19
By althearaa


🌿

BGM / Rosyln; St. Vincent & Bon iver



TENGAH hari tak tersaput awan, matahari terpancar begitu terik. Namun anehnya suasana di kediaman Historia terasa dingin serta sunyi. Angin berhembus menggerakan tumbuhan yang mengitari pekarangan rumah Historia. Dia tengah duduk menghadap jendela besar, sembari memandangi satu dua pohon eucalyptus. Sesaat dia meraih ponselnya mengarahkannya ke telinga.

Wajah Historia mengeras seperti habis berpikir. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum bicara, sementara satu lengannya lagi bersedekap dibawah dada. Denyut nadi perempuan itu bergemuruh, ketika menunggu telepon itu diangkat.

"Halo?" sahut seseorang nampak kaget. Lantaran sudah cukup lama mereka tidak saling bicara. Jantung Historia nyaris berhenti sejenak.

"Eren," bibir Hisroia bergetar, sekaligus semringah sebab mendengar suara yang dia sadari, begitu istimewa.

"Ada apa menghubungiku tiba-tiba?"

"Aku ingin bicara," tukasnya serius enggan mengulur waktu.

"Sejujurnya aku sedang sibuk, bisa lain waktu kita bicarakan?"

"Tidak! Tidak Eren, sebentar saja tolong dengar kan aku. Aku tidak meminta banyak waktumu. Aku hanya ingin memberimu kabar penting, bahwa ..."

Suara Historia terjeda, membuat Eren berkerut. "Apa?" Historia sebenarnya ragu, namun keberanian yang sudah dia kumpulkan sendari tadi, tidak ingin menjadi sia-sia. Historia mendesah, kemudian berkedip lambat.

"Ayahmu jatuh sakit, sebaiknya kamu segera pulang."

Eren menohok. "Apa maksudmu? Kamu mau berlagak seperti mereka? Sudah lah, mau berbicara apa pun kamu tidak akan bisa membawaku kembali ke tempat itu."

"Eren! aku serius!"

"Aku tidak akan pulang Historia, jangan membahas itu lagi."

Demi Tuhan, Historia berubah jengah. Benteng pertahanan dalam hati Eren mustahil untuk Historia porakporandakan. Mengikis secara perlahan saja tidak bisa, apa lagi harus menembusnya dengan satu kali perlawanan. Tapi Historia tidak mau menyerah, dia harus tetap mencoba meyakinkan orang itu.

"Baik lah, anggap saja ini yang terakhir kalinya aku membujukmu. Eren ..."

Sejenak Eren terdiam kendati sebenarnya dia tidak ingin.

"Sampai kapan kau melarikan diri? Mengulur-ngulur waktu? Sampai kapan kamu akan menjadi pecundang?"

Eren tak memberikan jawaban. Dia hanya menelan saliva kasar.

"Jangan libatkan orang-orang yang tidak bersalah atas rasa bencimu sekarang. Kamu boleh membenci siapa pun termasuk aku, tapi tidak ayahmu. Beliau jatuh sakit karena dirimu. Sudah besar masih saja membuat ulah dan membuat orang tua menjadi cemas. Jangan memberi mereka beban. Masalahmu tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.

"Maaf jika aku terkesan menghardik, tapi sungguh aku tidak tahu harus berkata apa. Setidaknya turuti keinginan beliau sekali aja. Eren. Apa salahnya pulang?"

"... Meski aku kembali tidak akan merubah apa pun, Historia."

"Ayo lah, kita semua sudah dewasa. Lupakan semuanya, sudah waktunya kamu bangun. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Sudah banyak waktu kamu buang hanya untuk merenung. Berhenti lah menjadi pecundang Eren. Sekarang saatnya untuk berdamai dengan diri sendiri dan maju ke depan. Ego tidak ada artinya ... Apa kamu tidak malu kepada Mikasa? Pulang dan katakan padanya bahwa kamu juga mencintainnya. Dia akan menyesal jika pria yang dia cintai ternyata seorang pecundang seperti ini. Sungguh Eren---Aku mohon, jangan membuat perkara lebih banyak atau kamu juga akan menyesalinya. Banyak keajaiban tidak terduga di dunia ini, jadi tentukan pilihanmu. Kesempatan tidak akan pernah datang berkali-kali."

Suara Historia mencuat, segera mematikan teleponnya sebelum dia menangis. Historia merasa bodoh, kenapa dia harus bertindak sejauh ini agar Eren pulang, padahal itu bukan urusannya. Dia bisa saja menolak perminaan Mikasa tempo hari, bisa-bisanya Historia menyebut nama perempuan itu. Tapi mau disangkal bagai manapun kenyataan akan tetap sama---Mikasa adalah satu-satunya alasan kenapa Eren pergi dan pulang. Bukan dirinya. Historia kehabisan kata-kata, tidak tahu lagi. Dia ingin sekali berteriak.

Sementara Eren, tetap tidak bergeming.

Dia mengamati hamparan padang gersang. Dia tengah berdiri dibawah sebuah pohon yang nyaris mati. Sekilas dia melihat layar halaman utama ponselnya, yang menunjukan sesosok perempuan muda tengah tersenyum menatapi sesuatu, sambil menopang dagu di dalam kelas.

Tanpa disadari seseorang datang memanggil Eren dari arah belakang, dia segera menoleh. Teriknya matahari membuat pandangannya menyipit, melihat orang tersebut Eren kemudian tersenyum. Seorang bocah laki-laki berkulit hitam, dengan kepala yang tidak ditumbuhi rambut. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh membuat siapa pun yang melihatnya akan iba.

"Kakak Eren, kenapa? Setiap melihat foto itu pasti terlihat sedih." Padahal Eren sedang tersenyum. Eren menepuk-nepukan pundak bocah itu, akrab.

"Kamu ini ya, sok tahu!" katanya sembari tertawa kecil. "Ayo kita lanjutkan kegiatan kita," Eren berusaha untuk tidak membahas lebih banyak. Namun bocah itu sepertinya sadar jika Eren mengalihkan pembicaraan.

Eren berjalan menuju bangunan yang kondisinya meminta banyak perhatian. Tidak juga bagus, tapi lumayan besar. Terdapat gedung asrama yang memiliki kamar-kamar kecil berfungsi untuk menampung anak-anak. Juga auditorium, dapur, tempat sanitasi, dan ruang lobby yang cukup layak. Salah satu panti asuhan yang berada di Ethiophia. Sudah sebulan ini Eren mengikuti kegiatan sosialnya di sana, yang sebelumnya masih di sekitar asia tenggara.

"Maaf aku merepotkanmu," tukas Eren merasa tidak enak kepada seorang pria yang nampak seusianya. Sebab dia telah mengerjakan pekerjaan Eren selagi mengangkat telepon barusan. Armin, teman sekaligus kolega terdekat Eren semenjak dia bekerja di perusahaan NGO. Dia tersenyum teduh.

"Tidak masalah," jawabnya sambil menepis udara. Wajahnya lembut dengan postur tubuh yang sedikit lebih pendek dari Eren.

"Keluargamu mencarimu lagi?" tanya Armin seraya sibuk mengatur buku-buku dari hasil donasi. Dikeluarkannya dari dus untuk di susun di perpustakaan. "Aku sudah sering mendapati kau dicari-cari seperti itu. Santai saja denganku."

Eren menyeringai penuh arti, Eren tahu Armin memintanya untuk bercerita. Tapi enggan, dia tetap tutup mulut lalu ikut mengatur buku-buku. "Sudah dua tahun kau mengenalku, kau sudah pasti tahu jawabannya. Tanpa ku ceritakan lagi."

"Aku tahu. Tapi lebih jelasnya tidak, makanya aku masih penasaran. Terlebih dengan foto seorang perempuan di layar ponselmu. Kamu sering sekali memandanginya."

Eren menghela napas, dia menepuk wajahnya malu. "Sepertinya aku harus merubah wallpaper ponselku"

Armin berkelakar. "Aku tidak tahu apa masalahmu dengan kekasihmu itu. Tapi jika aku jadi kau, aku akan berhenti dari pekerjaan ini dan kembali kepadanya. Sebab aku kasihan kepada pacarku. Aku tidak mau sering meninggalkannya keluar negri seperti ini. Kudengar dulu kau seorang dosen, bukan?"

Eren mengangguk.

"Pekerjaanmu sudah sangat baik. Kau mapan, tampan, sayang sekali jika menghabiskan waktu untuk bekerja seperti ini."

"Yang terpenting kita menikmatinya, esensi sebuah profesi kan seperti itu."

"Aku paham. Prinsip setiap orang berbeda, ya ... Apa pun alasanmu aku tetap menghormatinya. Tetapi jika aku jadi kau aku tidak akan sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Ah ... menahan hasrat saat melajang saja susah, apa lagi memiliki pacar." Armin menggeleng, tak lama mereka tersenyum jenaka.

Aku mengerti maksudmu, benak Eren.

"Sebenarnya aku juga ingin mencari suasana baru, bosan terlalu lama kesana-kemari tanpa tujuan hidup. Dulu tujuanku memilih pekerjaan ini karena aku menyukai travelling, guruku bilang sesekali keluar negri bagus untuk pengalaman hidup, namun kurasa, pengalamanku sekarang sudah lebih dari cukup. Semenjak lulus kuliah aku menjalani pekerjaan ini, kalau boleh sombong aku sudah mengelilingi dunia ini. Negara mana yang belum ku kunjungi? Hampir semua sudah ku singgahi.---Ada kalanya aku berpikir, apa sudah saatnya aku memikirkan masa depan?" Armin mengangkat kedua bahu.

"Aku sudah menjalaninya, dan itu rumit. Tidak mudah. Maka dari itu aku melarikan diri seperti ini, hidup tanpa tekanan dari siapa pun."

"Jangan begitu, setidaknya kau masih memiliki keluarga yang menunggumu pulang. Kau harus bersyukur. Eren, kau tahu alasanku kenapa berada di bidang ini selama bertahun-tahun?" Armin menghentikan sejenak kegiatannya, dia menghela napas seraya tersenyum getir.

"Aku juga berasal dari panti asuhan seperti mereka, aku tidak punya keluarga.

"Tidak ada yang menanyakan kabarku, atau mencariku. Aku bahkan tidak tahu rasanya ditunggu seseorang untuk pulang.

"Terkadang ada hal yang tidak bisa kita pelajari di sekolah. Contohnya seperti pekerjaan kita ini, secara tidak sadar kita diajarkan untuk senan tiasa bersyukur---masih memiliki tempat berlindung, makanan untuk esok, air yang bersih, tempat tinggal yang damai. Dan juga keluarga. Banyak anak-anak yang kerap kita jumpai adalah anak-anak terbuang, terlantar, korban perang, dan lain-lain. Apa kau tidak menyadari itu, betapa beruntungnya dirimu? Memiliki seseorang yang dicintai juga adalah sebuah bentuk keberuntungan. Kau tahu relawan di sini rata-rata melajang? Kau ini mau mengeluhkan apa lagi?"

SELEPAS bekerja.

Malam itu Eren masuk kesebuah tenda di depan gedung asrama. Para relawan beristirahat di sana, lantaran tidak ada lagi ruangan yang tersisa untuk mereka. Eren harus segera tertidur, besok pagi harus membantu menyiapkan sarapan. Tubuh Eren remuk redam. Hari ini dunia seolah menamparnya keras-keras. Eren jadi berpikir banyak hal. Tidak ucapan Historia atau bahkan Armin yang tidak biasanya, hari ini banyak bicara. Semua kata-kata mereka seakan mendengung di kepala. Berputar, membuat Eren gila dan tidak bisa tidur malam itu.

Menjelang dini hari, Eren masih terjaga, tidak sengaja ponselnya bergetar tanda pesan masuk. Eren melongoknya yang ternyata dari Historia. Dia bercerita bahwa dia sedang di rumah sakit untuk menjenguk Grisha, Historia juga mengirimkan sebuah foto pria tengah baya itu terbaring di rumah sakit. Eren pikir Historia mengada-ada, ternyata memang benar. Eren meremas sebagian surainya. Dia bangkit keluar dari tenda untuk mencari udara segar. Tak lama Historia mengirimkan sebuah foto kembali, dengan kutipan; dia yang menyuruhku untuk mengajakmu pulang.

Eren melihat rupa jelita, berambut hitam panjang. Kulitnya seputih salju, bermata hazel. Masih sama seperti dulu, cantik. Membuat hati dan logika Eren tidak lagi bersinergi.







Halo! Welcomeback ... Long time no see. Semenjak kehidupan housewife barunya author, jadi sibuk banget buat ngurusin banyak hal, author juga jarang buka Wp / sosmed huhu ... Mudah²an kedepannya bisa lanjut lagi ya. Mohon maaf gaje banget chapter ini karena udh lama hiatus 🙏🏻 jangan lupa taburin bintang dan komentar ya. Terima kasih yg selalu support author, ikutin info author di IG ya
@ altheara_a luv ❤

Continue Reading

You'll Also Like

663K 50.8K 62
Abigaeil, namanya manis dan imut anaknya si buntalan daging mengemaskan yang selalu menjadi primadona para tetangganya. si bucin Pai coklat dari nene...
1M 84.3K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
454K 8.4K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
35.8K 7.3K 10
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...