TRAP | Jung Jaehyun

Da lunarbooksid

1.8K 184 4

Jeff, seorang pengusaha properti yang memiliki profesi sampingan sebagai otak pembunuh mempekerjakan Taeyong... Altro

New Assistant
Ada yang Mengawasimu
Siapa
Kabar Bagus yang Buruk
New Toy
Follow the Game
Secret
Obey the Rules or You Will Die
Gift
The First Day of Work
Bantu Aku Sembuh
Wait and See
The Show
Make A Deal
Behind the Story
Sign the Contract
Siaga
Movement
Catch Me If You Can
Tricky
Terror
Terima Kasih Untuk Hari Ini
Twins
From the Past
New Hint
About Her
Secret Agent
About Him
Test
Loyalty
Action
Action (2)

The Unknown Number

21 3 0
Da lunarbooksid

"Macau International Airport?" tanya Johnny mengulang pernyataan yang baru saja diberikan oleh Mark. Juniornya itu pun segera mengangguk. Sementara itu, Johnny kembali menopang dagunya. Pikirannya sedang mencoba untuk menyatukan potongan puzzle yang diberikan oleh si pengirim pesan tersebut.

"Makau adalah tempat di mana pesta lelang terbesar se-Asia diselenggarakan dan Jeff hadir dengan membawa Braile yang baru saja bekerja sebagai asisten pribadinya. Sesuatu besar apa yang diketahui oleh pengirim pesan itu sehingga bisa membantuku dalam menyelesaikan misi? Dan juga, kenapa orang itu baru muncul sekarang? Apakah dia secara diam-diam menyelidiki kasus yang sama denganku? Tapi mengapa? Apa dia ada kaitannya dengan ayahku?"

Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh Johnny membuat kepala Mark seakan penuh. Mendadak, kepalanya menjadi pusing hanya dengan mendengarkan apa yang diucapkan oleh Johnny.

"Aku tahu otakmu sudah lama kau istirahatkan. Tapi, sekalinya kau gunakan otakmu untuk berpikir, itu terasa begitu mengerikan, John." Namun, Johnny seakan tuli. Dia tidak menggubris apa yang baru saja dilontarkan oleh Mark. Johnny justru masih sibuk dengan pertanyaan demi pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya.

"Siapa SA? Mengapa dia menawarkan bantuan?"

Mark pun hanya bisa menggeleng pasrah dan melangkahkan tungkainya keluar dari ruangannya. Mencoba untuk mencari udara segar sembari mengisap kopi yang dibelinya dari kafe yang terletak di kafetaria kantor BIN.

Sedangkan di dalam lift kantor Jeff sekarang, Braile mendengar sayup-sayup kalimat-kalimat tidak yang ditujukan kepadanya. Kalimat-kalimat yang sungguh tidak enak didengar oleh telinga. Sama seperti yang pernah ia dengar sebelumnya, namun kalimat yang didengarnya hari ini semakin terdengar sangat frontal.

"Padahal sedari awal Pak Jeff tidak pernah mempekerjakan karyawan yang membawahinya secara langsung. Tapi, mengapa perempuan itu menjadi pengecualian?" bisik salah satu perempuan berambut pendek itu kepada rekannya. Di mana bisikan itu memang sengaja dilontarkan secara keras sehingga Braile yang menjadi sasaran dapat mendengarnya.

"Mana dia berada dalam satu ruangan dengan Pak Jeff dan sampai dibuatkan ruangan sendiri lagi," timpal sang lawan bicara. Sementara Braile tetap berusaha tenang. Berusaha untuk mengabaikan omongan yang harus dia akui membuatnya begitu risi.

Hingga akhirnya pintu lift terbuka, membuat semua yang ada di dalam sana begitu terkejut akan siapa yang saat ini sedang berdiri di depan sana. Semua langsung menunduk, memberikan hormat kepada Jeff yang saat ini memaksakan diri untuk tetap masuk kerja.

"Selamat pagi, Pak Jeff," sapa sang karyawan yang tadi sempat membicarakan Jeff dan Braile. Jeff membalas dengan sebuah senyuman kemudian membalas salam tersebut.

"Selamat pagi." Jeff menjeda kalimatnya. Mencondongkan badannya ke arah Braile yang kini berdiri di samping kanannya. "Selamat pagi juga, Nona Braile," sapanya yang membuat para karyawan perempuan di sana menatapnya dengan pandangan tidak mengenakkan. Sementara Braile hanya menatap nyalang ke arah Jeff. Sebab, saat ini harusnya pria itu masih beristirahat di rumah untuk menyembuhkan lukanya.

"Pak Jeff, saya dengar Anda kemarin sakit. Apakah kondisi Bapak sudah membaik?" tanya karyawan yang sama.

"Ya, kondisi saya sudah membaik. Semua ini berkat Nona Braile," jawab pria itu sembari tersenyum memandang ke arah Braile. Meskipun para karyawan wanita yang berada di dalam lift sekarang tidak suka dengan kehadiran Braile, namun senyum yang diulas pada wajah rupawan Jeff itu membuat mereka terhanyut.

"Kalau begitu, saya dan Nona Braile permisi dulu," pamit Jeff dengan senyum yang masih terukir di wajahnya sembari tangan kanannya merangkul pundak Braile kemudian bertolak dari sana.

Selepas pintu lift kembali tertutup, Braile berjalan menjauh untuk melepas rangkulan tangan Jeff pada pundaknya. Puan itu kembali menatap nyalang ke arah Jeff. Sementara Jeff justru menganggap tatapan itu sebagai daya tarik tersendiri dari Braile.

"Kau mau memarahiku?" tanyanya begitu mereka berdiri di depan pintu ruangan. Namun, yang ditanya hanya membisu. Braile memilih untuk melewati Jeff begitu saja. Reaksi puan itu tidak Jeff duga. Jeff berpikir bahwa Braile akan memarahinya seperti kemarin. Hal itu membuatnya sedikit menyesal.

"Lebih baik kau memarahiku daripada mengacuhkanku," lanjutnya kemudian. Mendengar itu, Braile menghentikan langkahnya kemudian berbalik memandang Jeff yang masih tertinggal tiga langkah di belakangnya.

"Untuk apa aku memarahimu? Itu kan hidupmu. Kau bebas melakukan apa pun," jawab puan itu dengan nada yang masih begitu dingin. Entah karena apa, Braile sendiri tidak tahu mengapa dia terlihat begitu kesal kepada Jeff. Beberapa hari belakangan ini, dia bahkan merasa kesal dengan dirinya sendiri.

Namun, setelah puan itu memikirkan alasan di balik kekesalannya, dia sadar akan sesuatu. Dia seharusnya tidak merasa kasihan kepada Jeff yang saat ini sedang terluka dan memaksakan diri untuk tetap hadir di kantor. Braile juga seharusnya tidak menolong Jeff yang sudah sekarat kemarin. Namun, puan itu justru berlaku sebaliknya. Hal itu membuat dirinya kesal. Belum lagi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa pria di depannya ini menancapkan pisau ke dada anak buah pamannya. Braile kesal karena dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Puan itu memilih untuk menyudahi percakapannya dengan Jeff. Braile masuk ruang kerja terlebih dahulu dan segera menempatkan dirinya untuk duduk di depan komputer. Berusaha menyibukkan diri dengan berkas-berkas yang harus ditinjaunya untuk selanjutnya dia sampaikan kepada Jeff.

Sedangkan di kantor BIN sana, Johnny dan Mark kembali heboh tatkala pengirim pesan kembali mengaktifkan ponselnya. Lokasinya masih sama—berada di Makau. Selang beberapa saat kemudian, ponsel Johnny kembali berbunyi. Menampakkan pesan yang dari orang yang begitu dinantinya sejak kemarin.

Unknown Number

Halo? Bagaimana kabarmu hari ini?

Maaf, kau tidak bisa melacakku, ya, kemarin?

Aku sedang dalam perjalanan ke luar negeri.

Sebentar, tidak apa-apa, kan, menggunakan 'aku' alih-alih 'saya'?

Karena aku adalah salah satu seniormu.

Kau pasti akan segera tahu.

Baik Johnny maupun Mark sukses membulatkan kedua netranya. Bahkan, keduanya hampir berteriak, namun tetap harus mereka tahan. Sebab, rekan-rekan mereka bisa terganggu.

Ternyata apa yang keduanya terka-terka sejak kemarin itu memang benar. Di samping itu, Johnny merasa begitu senang sebab seniornya ini menawarkan bantuan yang memang dibutuhkannya. Belum lagi dengan responsnya yang terbilang cepat untuk memberitahukan identitasnya.

"Mark, kau tahu siapa senior yang sedang ke Makau sekarang?"

"Sebentar," balas Mark lalu kembali terfokus pada komputer kesayangannya. Pemuda itu melakukan pengecekan daftar anggota BIN yang sekarang sedang berada di Makau. Data yang tertampil pada layar monitor tersebut sangatlah lengkap. Mulai dari jam keberangkatan, maskapai penerbangan apa yang digunakan, di mana tujuannya, berapa lama mereka menjalankan misi di sana, dan kapan mereka akan kembali. Semuanya tertampil dengan rinci di sana.

Namun sayangnya, informasi yang begitu detail tersebut tetap tidak dapat membantu mereka untuk mengetahui siapa senior yang mengirimkan pesan penawaran bantuan tersebut.

"Terlalu banyak agen yang berada di Makau. Kau tahu sendiri, kan? Di sana adalah sarangnya para mafia," jelas Mark yang disetujui dengan sebuah anggukan oleh Johnny.

"Benar juga. Coba kau cari siapa yang kembali hari ini. Kau tahu, kan? Ponsel si pengirim dimatikan dan lokasi terakhirnya adalah Macau International Airport. Kemungkinan orang itu kembali lagi ke sini."

Dugaan Johnny itu membuat Mark tersadar. Namun, dia tetap berusaha untuk berhati-hati, sebab petunjuk yang diberikan terasa sangat gamblang. Mark tidak bisa membiarkan jika ini semua adalah sebuah jebakan yang dipasang untuk menggagalkan misi Johnny, rekan kerja yang sudah Mark anggap sebagai kakaknya sendiri itu.

"Kau yakin? Bagaimana jika ini semua adalah jebakan?"

Dengan cepat Johnny menjawab pertanyaan Mark. "Tidak. Aku yakin pengirim itu ada di pihak kita," jawabnya dengan begitu mantap.

Mark menghembuskan napas dengan berat kemudian membenarkan posisi duduknya. "Baiklah, aku akan mencoba mencarinya."

Mark mencari siapa yang bertolak kembali dari Makau hari ini. Kemungkinan si pengirim berada di sana selama satu hari karena kemarin nomornya aktif dan pengirim itu mematikan ponselnya ketika sedang berada di pesawat. Seperti apa yang dilakukan sekarang.

Mark menepuk pundak Johnny begitu monitornya menampilkan hasil pencarian.

"Secret Agent. SA bukanlah inisial, tapi Secret Agent." Mark mengacak surainya dengan penuh frustrasi. Padahal, pengirim itu sudah menunjukkan identitasnya dengan begitu jelas, namun mereka tidak berhasil membacanya. Keduanya justru membuat kepala mereka pusing memikirkan hal-hal yang tidak perlu.

"Coba buka datanya, Mark," perintah Johnny. Yang diperintah langsung menurut. Namun, informasi yang tersedia hanya sebatas itu.

"Hanya diketahui sebagai Secret Agent. Yah, namanya saja rahasia. Fotonya pun tidak tertampil di sini." Mark menunjuk layar komputernya.

Johnny yang tadinya masih berusaha tenang, kini sudah mulai kehilangan kesabaran. Pria bertubuh tinggi itu turut mengacak rambutnya frustrasi.

"Ah, kira-kira siapa, ya?" tanyanya yang mendapatkan gelengan kepala dari Mark.

"I think, we can find his or her identity if we get a permission," ucap Mark secara tiba-tiba yang membuat Johnny terdiam sejenak.

"Can we get the permission?"

"I don't know until we try it."

"Shall we try first?"

Continua a leggere

Ti piacerà anche

1M 85.6K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
50K 6.6K 42
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
315K 23.9K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
50.1K 3.6K 51
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...