Update lagi nih, hihi...
Sayang kalian aku mah, makanya begini. Hahaha... #plakk (langsung eror)
Happy Reading....
_____________
"Kenapa nggak ngasih kabar kalau mau pulang?"
Azam meringis mendengar pertanyaan tajam sang Mama. Bukannya menjawab. Azam hanya terdiam dengan kepala tertunduk.
"Kamu bukan anak kecil, Azam," keluh Safna kemudian.
"Lah, itu Mama tau kalau Azam bukan anak kecil lagi," balas Azam, kini bersikap santai membalas tatapan sang Mama seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Azam berdeham meredakan tenggorokannya yang terasa tercekat. Seketika suasana terasa panas. Bukan karena perubahan cuaca, melainkan karena tatapan tajam tak suka Naura atas perkataan Azam sebelumnya.
"Ma-maaf, Mah," kepala Azam tertunduk dengan wajah kusut saat mengucapkannya. "Azam salah. Azam minta maaf."
Azam mencuri pandang melihat sang Mama dan Naura. Sang Mama tampak menghela nafas berat. Sedangkan Naura geleng-geleng kepala. Azam lantas mencuri pandang melihat Danu dan Fatih. Keduanya menyunggingkan senyum sembari mengacungkan jari jempolnya pada Azam. Azam balas tersenyum. Setidaknya di rumah itu masih ada yang mendukung apa yang ia lakukan.
Azam memasang wajah kusut saat melihat sang Mama kembali ingin mengomelinya. Sesaat menanti ceramah itu tak juga kunjung terdengar, yang terdengar hanya suara Bunda Hanum.
"Udah, Na ... biarkan Azam istirahat dulu."
Azam mengulum senyum. Ternyata alasan Mama Safna tak jadi mengomelinya karena Bunda Hanum menahan wanita itu.
Azam lantas mengangkat kepalanya, tersenyum lebar pada bunda Hanum sembari menyandarkan badannya ke badan kursi. Dengan santainya ia berkata.
"Bunda memang yang paling pengertian."
Hanum menatap tajam Azam. "Jangan ke-GR-an ... Bunda nggak lagi belain kamu," ucapnya, "atau kamu mau dengar Bunda yang berceramah?" tanyanya memberi saran.
Azam meringis sembari menarik badannya dari badan kursi. Sepertinya saran yang Bunda Hanum berikan bukanlah saran yang baik.
"Bagaimana?" tanya Bunda Hanum lagi.
Azam nyengir sembari menggeleng kepala. Pandangannya kemudian beralih menatap ketiga pria di depannya. Ketiga pria itu tengah cekikikan. Sepertinya mereka sangat senang dengan musibah yang Azam alami. Dan sepertinya terlalu berlebihan jika Azam mengatakan yang terjadi saat ini adalah musibah.
"Jadi kamu mau bertahan di sini atau istirahat di kamar?" tanya Bunda Hanum lagi.
"Istirahat, Bunda."
Azam dengan cepat bangkit dari duduknya. Memandang Naura sejenak, lalu tersenyum padanya. Memandang gadis itu lembut yang menyiratkan akan kerinduan. Memalingkan wajah, kemudian ia melangkah menjauh meninggalkan sekumpulan orang yang tengah duduk di ruang tamu itu.
Azam sudah selesai membersihkan diri saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Tak beranjak dari tempatnya, Azam hanya berseru.
"Buka aja ... pintunya nggak dikunci."
Sesaat setelah izin itu, gagang pintu bergerak turun. Azam memperhatikan pintu yang terbuka. Berpikir jika yang akan menemuinya adalah sang Mama. Namun yang terlihat saat ini bukanlah yang Azam pikirkan. Melainkan kekasih yang sudah selalu ia rindukan. Memperhatikan Naura yang terus berjalan mendekatinya.
"Ra," Azam berbisik lirih saat Naura berdiri tepat di depannya.
"Kenapa nggak bilang kalau mau pulang?" Naura terlihat kesal saat menanyakannya. "Kenapa nggak pernah ngasih kabar saat di sana?" tanyanya lagi.
"Ra."
"Apa sesibuk itu kamu sampai sulit mengirim satu pesan setiap harinya?"
"Naura."
"Kamu tau nggak aku di sini itu..."
"Kamu nggak kangen aku?"
Naura terdiam mendengar pertanyaan Azam.
"Enggak," jawabnya.
"Yakin nggak kangen?" tanya Azam memastikan.
"Yakin."
"Serius nggak kangen?" tanya Azam lagi lebih memastikan. Lebih seperti memaksa.
"Serius."
"Ra."
"Apa?"
Azam tersenyum. "Dari tadi kamu nggak balas tatapanku saat menjawab pertanyaan itu."
"Jadi?"
"Lihat aku."
Kedua tangan Azam terangkat menyentuh wajah Naura. Memaksa agar Naura menatapnya.
Naura terlihat lebih tenang saat tatapan keduanya bertemu. Tatapan lembut Azam padanya membuat rindu dihati Naura semakin membuncah.
"Kamu yakin nggak kangen aku? Serius nggak kangen?" Sepasang alis Azam terangkat saat mengulang kembali pertanyaannya.
Naura tak mampu berkata. Hanya membalas tatapan Azam, meluapkan rasa rindu itu dengan memandang lekat wajah kekasihnya.
"Naura," lirih Azam menyebut namanya.
"Kangen ... SANGAT!" ucap Naura menekankan kalimatnya.
Azam tersenyum lebar menampakkan deretan giginya, merengkuh Naura hingga berada dalam pelukannya.
Naura balas memeluk Azam. Tersenyum lebar pula.
"Ehem ... ehem..."
Azam dan Naura refleks melepas pelukan. Menoleh ke arah pintu, mendapati Fathan tengah berdiri di sana dengan melipat lengan di dada.
"Kalau mau mesra-mesraan tutup dulu pintunya."
Setelah mengatakan itu, Fathan berjalan menjauh meninggalkan kamar Azam.
Azam menatap kepergian Fathan. Menarik diri menjauh dari Naura.
"Bentar, ya." ucap Azam pada Naura, berlari kecil meninggalkan kamarnya.
Naura berdiri mematung sembari melihat Azam yang kini berjalan menjauhinya dan hilang di balik dinding.
"Fathan!" seru Azam.
Fathan berhenti. Berbalik ke belakang. Cukup heran melihat Azam berlari kecil mengejarnya.
Azam berhenti tepat di hadapan Fathan. Menghela nafas, ia lantas tersenyum.
"Makasih, ya."
"Untuk?" Fathan berkerut kening.
"Makasih aja," jawab Azam.
Fathan semakin bingung saja. Namun mengangguk-angguk juga kemudian.
"Iya, deh ... sama-sama," balasnya.
Azam ikut mengangguk sembari tersenyum.
"Ya udah."
"Ha?" Fathan bingung, "ya udah, apa?" tanyanya.
"Ya udah ... kamu mau pulangkan?"
"Ha?" Fathan masih saja bingung.
"Sepertinya malam ini bakalan jadi malam yang paling romantis."
Fathan berkerut. Kata-kata yang Azam ucapkan seakan tak sampai pada isi kepalanya.
Mengetahui kebingungan Fathan, Azam melangkah semakin dekat. Merangkul pundak Azam lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Fathan.
"Begini," bisik Azam mulai menjelaskan. Fathan mendengarkan dengan seksama. "Kenapa aku bilang malam ini bakalan jadi malam romantis ... soalnya kita semua berpasangan. Cuma..."
"Cuma apa?" tanya Fathan.
"Cuma kamu yang..."
"Apa? Jomblo?" tanya Fathan lebih memastikan ucapannya.
Azam melepas rangkulannya -- menarik diri, tersenyum pada Fathan.
"Aku nggak bilang begitu," elaknya.
"Tapi aku paham maksudmu," geram Fathan.
Azam tertawa. Kembali mendekat sembari merangkul Fathan.
"Aku tau kamu bakalan merasa nggak enak nantinya," bisik Azam lagi. "jadi begini ... aku punya temen cewek. Kamu bisa..."
"Nggak, nggak, nggak," potong Fathan langsung setelah paham maksud dari perkataan Azam.
"Lah, belum juga selesai ngomong."
"Hallah ... paling ujung-ujungnya jadi makcomblang."
Azam tertawa. "Laki gue ... bukan Mak, tapi Pak."
"Bodoh amat."
Azam lagi-lagi tertawa. "Jadi gimana?"
"Apanya?"
"Yang tadi."
"Enggak."
"Lah, kenapa?" tanya Azam. "Masih doyan sama tunangan gue?" ketusnya.
"Sorry ... gue nggak doyan cewek sekarang," ucap Fathan asal. "Gue doyannya yang..." Fathan menggantung kalimatnya, menatap Azam dari atas sampai ke bawah.
Azam mengikuti arah pandang Fathan. Menyeringai geli, pelan-pelan menarik diri dari pria itu.
"Njirr ... geli gue." Azam berlari menjauh meninggalkan Fathan, kembali masuk ke dalam kamarnya.
Fathan tertawa melihat wajah jijik Azam. Geleng-geleng kepala, ia kemudian kembali melanjutkan langkah.
Tawa Fathan perlahan mereda. Bahkan senyum pun tak lagi terukir dibibirnya. Ia menyadari tak ada lagi kesempatan atau bahkan sedikit celah untuk memasuki hati Naura, lagi.
Tuhan sudah menentukan segalanya, begitu pun dengan jodoh yang sudah tuhan takdirkan. Dan Naura bukanlah jodohnya sebab gadis itu tak pernah ditakdirkan untuknya.
___________
Vote, dan komen yaa ( ˘ ³˘)♥
Yang belum follow, boleh di follow kok, hihi ... follow gratis kok nggak bayar. Yakinlah sumpahʘ‿ʘ