•
•
•
"Dia penuh misteri." -Daniel
---Last Mission---
________________________________
12.00 PM
Laboratorium terletak di gedung Ipa lantai ke-5. Lab ini sudah lama tidak dipakai, karena ada rumor yang mengatakan kalau lab ini angker. Banyak juga penampakan-penampakan tak wajar di tempat itu.
Sesuai rencana tadi, Nathan, Vena, Daniel dan Fina akan mendatangi lab Ipa dan mencari tahu tentang kebenaran info yang diberikan Agnes.
"Jangan-jangan semua ini cuma jebakan." Fina merapat pada Nathan kala suasana semakin terasa mencekam.
Bukan hanya Fina. Daniel pun ikutan merapat pada Nathan. Apalagi mereka sudah berada di lorong yang dekat dengan lab.
Cahaya yang temaram menambah kesan horor lorong tersebut. "Itu pintunya. Kita masuk?"
"Bentar." Suara Vena mengintrupsi pergerakan Nathan. Yakinlah, saat ini mereka semua sudah ingin menangis ketakutan. Lorong ini begitu menyeramkan. Lebih menyeramkan daripada marahnya do'imu.
"Amis. Gua nyium bau darah." Daniel dan Fina langsung tersentak. Mereka berdua semakin merapat demi mengurangi ketakutan masing-masing.
Nathan ikutan mempertajam indra penciumannya, dan benar saja. Di sini bau amis, seperti bau darah.
"KYAAAA!"
Nathan dan Vena langsung tersentak kaget kala mendengar teriakan Fina. Daniel saja sampai melompat ke jauh karena teriakan melengking itu.
"I-itu!" Bukan sampai situ saja. Keterkejutan mereka kembali berlangsung kala sebuah kepala tanpa tubuh ada di dekat kaki Fina.
Gadis itu menutup matanya, dan juga mulutnya dengan kedua tangan. Sungguh, ia tak sanggup.
Dengan perlahan Nathan mendekat, lalu menendang kepala tanpa tubuh itu hingga menambrak dinding lorong. Suara tubrukannya pun terdengar jelas di pendengaran mereka.
"Na-nath ... di-di belakang lo." Daniel menunjuk takut-takut, sementara Vena sudah melebarkan bola matanya.
Nathan yang melihat reaksi Vena, jadi ketakutan. Namun ia mencoba memberanikan diri. Dengan perlahan ia berbalik dan berteriak kaget. Ia langsung merapat pada Daniel kala melihat sebuah mayat dibaringkan di atas kursi yang ada di lorong itu.
"Se-sejak kapan itu ada di situ?" Tangannya menunjuk mayat tersebut dengan takut-takut. Tubuhnya masih menempel pada Daniel. Begitupun dengan Fina.
Sementara Vena masih terpaku di posisinya. Ia merasa ini ... mengerikan! Bagaimana bisa benda itu ada di situ secara tiba-tiba.
"Ba-balik yuk," ajak Fina dengan suara paraunya. Tampaknya gadis itu sedang menangis. Menangis ketakutan.
"Kita balik." Vena langsung memutuskan langkah selanjutnya. Berlama-lama di sini pun bukan pilihan yang baik. Tempat ini terlalu menyeramkan untuk didatangi berlama-lama.
Saat mereka sudah berbalik, suara Daniel langsung mengudara. "Liat! Di sana ada orang!" Laki-laki itu berseru sambil menunjuk lima orang yang berdiri di ujung lorong.
Daniel mendekat pada Vena. "Kayaknya mereka teman." Vena menggeleng samar. Nyatanya ia ragu. Apa mereka orang yang butuh pertolongan atau malah pembantu mereka menuju maut?
"Kalian! Kemarilah! Kita keluar bersama-sama." Bola mata Nathan dan Fina langsung melebar. Daniel terlalu berani. Bagaimana ... bagaimana kalau mereka berlima jahat? Bagaimana jika mereka mengincar nyawa mereka berempat.
Daniel semakin maju. Ia berniat menghampiri mereka. "Dan, mundur!" titah Vena. Daniel tak menurut. Ia malah berdiri di tengah-tengah jarak Vena dan kelima orang itu.
"Daniel! Mereka bukan manusia!" Teriakan Vena membuat Daniel tersentak kaget. Ia menoleh pada lima orang yang sudah berlari kencang ke arahnya.
Karena panik, Daniel langsung berlari kembali, namun ...
"Arrghh!" Laki-laki berteriak kesakitan kala salah satu dari lima orang itu menancapkan sebuah benda tajam tepat di bahunya.
Daniel menoleh dan tersentak kaget kala melihat dengan jelas wajah kelima orang itu. Mereka ... aneh. Memiliki taring panjang, kuku runcing dan bola mata semerah darah.
"Tolong," lirihnya kala benda tajam itu semakin masuk ke bahunya. Vena yang melihat itu langsung maju. Tak lupa dengan alat-alat yang bisa digunakan untuk perlawanan.
Bukan hanya Vena. Nathan dan Fina ikutan menghajar lima orang itu dengan balok kayu yang mereka bawa tadi.
"Me-mereka semua apa?" Fina bertanya sambil memukul mereka semua. Bahu gadis itu pun tampak berdarah-darah.
Tanpa peduli dengan sekitar, Vena terus melanjutkan perlawanannya. "Vena, AWAS!"
Pekikan Nathan membuat fokus Vena sedikit buyar. Sampai-sampai satu orang berhasil menggigit bahunya hingga mengeluarkan banyak darah.
Vena berusaha menghempaskan makhluk itu, namun tanpa sengaja ia melihat seseorang tengah berdiri di ujung koridor. Postur tubuhnya adalah postur tubuh laki-laki.
Bruk!
Yang tadi menggigit Vena telah tumbang karena pukulan Daniel. "Ayo pergi!" Vena tersentak. Ia mengeluarkan sebuah tabung kecil, lalu memasukkan darah makhluk aneh itu.
Setelah itu Daniel menariknya keluar, sebelum makhluk-makhluk aneh itu kembali sadar dan mengejar mereka.
Vena menolehkan kepalanya, dan menatap seseorang yang berdiri jauh dari tempat penyerangan mereka. Tiba-tiba ... kilat menyambar di langit, sehingga ruangan yang begitu gelap telah berubah menjadi terang.
Bola mata Vena melebar kala melihat postur tubuh orang tersebut. "Di-dia?"
"Ven, cepat!" Fina langsung menarik tangan Vena dan meninggalkan ruangan penuh bahaya tersebut.
Seseorang yang tadi berdiri di ujung lorong mulai tertawa keras. "Bodoh! Mereka sangat ketakutan."
"Ini menyenangkan."
•••••
01.44 AM
Mereka kembali ke markas kala waktu sudah pagi. Tentunya, mereka tidak ada tidur semalam, dan kembali dengan tubuh luka-luka.
"Fin, ambilin P3K di sana." Fina langsung bergerak kala perintah dari Nathan sudah mengudara.
Sementara 3 orang itu sibuk membersihkan luka, Vena malah sibuk dengan laptopnya. Ia mengeluarkan sebuah tabung kecil berisi darah dari kantongnya. Kemudian beralih mengambil sebuah mikroskop dari lemari kaca di dekat Nathan dan yang lainnya.
"Lho, sejak kapan ada mikroskop di sini?" Pertanyaan heran dari Daniel tak ia gubris sedikit pun. Ia malah terus berjalan dan meletakkan benda itu di atas mejanya.
Vena mengambil tabung kecil berisi darah, lalu meletakkannya di atas kaca yang sudah dijepit di meja mikroskop.
Ia mulai meneliti darah tersebut, dan ternyata benar. Ada yang tidak benar dengan kelima orang tersebut.
"Ven, bersihin lukanya dulu!" titah Fina sambil memelototkan matanya. Vena melambaikan tangannya sebagai isyarat tidak perlu.
"Ven, darah lo ngalir terus itu!" Fina kembali bersuara, dan kali ini memekik nyaring, senyaring aluminuim kala terjatuh dan menyentuh lantai.
Bukannya mengangguk, Vena malah menggeleng kembali. Tiba-tiba, tanpa etika, Daniel menarik tangannya agar ia berdiri. "Lo kalau mau mati jangan sekarang! Gua belum nyiksa lo masalahnya."
Laki-laki itu menariknya bak kucing yang baru saja mencuri, kemudian menyerahkannya pada Fina, sang tuannya.
"Lo aja yang obatin, Dan. Luka kalian hampir sama, jadi lo bakal paham ngobatinnya." Wajah Daniel terlihat cengo. Ia menunjuk dirinya sendiri dengan raut bingung. "Iya, Dan. Udah sana! Fina mau ngobatin gua dulu."
Dengan berat hati Daniel mengangguk. Ia duduk di sofa, sementara Vena di lantai agar mudah mengobati bahunya yang terluka.
Daniel meringis kala luka yang ada di bahu Vena cukup parah. "Plis jangan mati dulu, Yen. Gua belum nyiksa lo." Kalimat itu kembali terlontar dari mulut Daniel, namun ia tak mendapat balasan.
"Sakit gak?" tanyanya, dan anehnya malah mendapat gelengan. Alis Daniel menyatu. Serius gak sakit?
Demi memastikan kebenarannya, ia menekan kuat luka tersebut dan tak ada ringisan kecil ataupun pekikan keras yang terlontar dari mulut Vena.
"Gak sakit, Yen? Udah gua tekan padahal." Daniel berseru bingung. Ia sampai menggaruk kepalanya karena tingkah aneh Vena. "Eh, lupa. Kan lo alien."
Laki-laki itu kembali berseru. Sejak tadi ia hanya berbicara sendiri, karena Vena tak menggubris ucapannya sedikit pun.
"Gua ... penderita CIPA."
"HAH?" Untuk Fina yang memang anak Ipa, pasti tahu apa penyakit ini. Oleh sebab itu, dia sampai berteriak kaget. "Ve-ven lo serius?!" Fina kembali memekik kala Vena mengangguk.
"Itu penyakit apa, Fin?" tanya Daniel. Fina mendelik kesal, lalu menunjuk ponsel di samping laki-laki itu.
Fina langsung bergerak, lalu mendekati Vena. Ia memperhatikan wajah gadis itu dengan seksama. "A-apa lo juga ... alexithymia?"
Vena kembali mengangguk, dan hal itu berhasil membuat Fina menatapnya tak percaya. "Ven, kok bisa?"
"Cipa itu apasih? Terus alex-alex itu juga apa?"
Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Tatapannya terfokus pada Vena yang terlihat santai tanpa peduli dengan percakapan mereka. "CIPA atau Congenital insensitifity to pain adalah gangguan pada saraf pengindra nyeri. Penderitanya gak bisa merasakan sakit."
Rahang Nathan dan Daniel sama-sama terjatuh. Pantas saja Vena tak meringis atau merasa kesakitan kala lukanya ditekan oleh Nathan.
"Penderita ini biasanya ... tidak hidup di atas 25 tahun." Penuturan Fina berhasil membuat Nathan dan Daniel memekik kaget.
Nathan langsung memfokuskan tatapannya pada Vena yang tak menyahut ataupun protes tentang semua ini. Ia hanya tak menyangka, ternyata Vena ... punya penyakit serius.
"Sementara alexithymia adalah ketidakmampuan untuk mengenali dan menyampaikan emosi. Penderita ini cenderung antisosial. Ya ... kayak Vena."
Kini tatapan Daniel terfokus pada gadis di depannya. Ia jadi kasihan, tapi ... Vena 'kan alien. Jadi tak perlu dikasihani. Ia langsung tersadar dengan pikirannya yang kelewat aneh, lalu menggeleng.
"Lupain." Vena langsung berdiri dan menghampiri mejanya yang diisi oleh laptop dan sebuah mikroskop. "Ta-tapi, bahu lo."
Ia menolehkan kepalanya, lalu menggeleng. Untuk apa diobati, jika tak bisa merasakan sakitnya sedikitpun. Tak bisa merasakan sensasi obat dan tangan manusia. Sia-sia saja.
"Dia penuh misteri."
-Yen = Alien.
Siapa tahu ada yang bingung.
Vena punya dua penyakit nih, atau lebih?
Ituloh ... vote & komennya💫
🎬Makasih🎬
-26 Juli 2021-