Dear Nafika badbaby sist!

By cherluvie_

46.1K 3.6K 1.5K

"Saga, I LOVE YOU!!!" "Lu adek gua, Fika!" "Adek-adek'an gue, mah." *** Bagaimana reaksimu ketika orang yang... More

00. Prolog
01. Morning kiss
02. Keciduk mama papa
03. Ujian matematika
04. Nafika galau
05. Cemburu
06. Ngambek
07. Badutmu
08. Sapu tangan biru
09. Gadis kecil di masa lalu
10. Nasi goreng ala Fika
11. Murid baru
12. Pencuri mangga
13. Tuan Muda Reo
14. Mimpi
15. Old love
16. Hujan with Reo
18. Bukan cinta tapi rasa bersalah
19. Rahasia apa?
20. Hidup dalam kebohongan
21. Butuh kejelasan
22. Berjuta pertanyaan
23. Terlambat untuk berhenti
24. Luka lama
25. Bukan keluarga
26. Serpihan ingatan
27. What do you cry?
28. Masa lalu yang dirindukan
29. Gadis masa lalu, kembali.
30. Pesta petaka
31. Kau seorang ibu? Yang benar saja!
32. Two birds talk
33. Ibu dan anak
34. Anak laki-laki dan lukanya
35. Menunggu untuk sia-sia
36. Keluarga yang hancur, lagi
37. Ini kisahmu, kamu berhak tau
38. Hanya punggung yang rapuh
39. Maaf yang tak seberapa
40. Reo si gentleman?
41. Terimakasih telah kuat
42. Karena kita terlihat sama
43. Ingatan yang segera kembali

17. Fika demam (rindu)

1.2K 91 13
By cherluvie_

-HAPPY READING-

Kamar bernuansa pink pastel itu di dominasi dengan suara bersin dari pemiliknya. Akibat tidak mendengarkan ucapan Reo untuk mandi air hangat sebelum tidur, Nafika terkena flu.

"Atchim!!!" Nafika menggosok-gosok hidungnya yang gatal. Sejak dini hari tadi flu menyerang hidungnya. Tidak hanya itu, badannya juga terasa sangat panas.

Nafika meringkuk seperti orang kedinginan dari balik selimut. Berkali-kali ingusnya mencoba untuk keluar. Karena sedang flu, Nafika kesulitan untuk bernapas atau pun berbicara.

Alarm sudah berbunyi nyaring. Nafika tidak ada niat atau tepatnya tidak bisa bangkit untuk mematikan alarm itu. Hingga Aira mengetuk pintu kamar.

"Fika? Alarm bunyi, dimatikan dulu." Aira berseru dari balik pintu. Setelah merasa tidak ada jawaban dari Nafika, Aira masuk ke dalam. Menemukan Nafika yang masih meringkuk dalam selimut.

Aira berkacak pinggang, menarik selimut putrinya. "Astaga! Ini udah siang, Fika. Nanti kamu telat!"

Nafika hanya diam, tubuhnya bergetar hebat. Panas dan dingin bercampur aduk kala selimut itu tersibak.

"Hei? Kamu demam?" Aira menyentuh dahi Nafika dengan punggung tangannya. "Astaga! Kamu demam tinggi, Fika!"

Setelah menyadari putrinya sedang demam Aira bergegas menyelimuti kembali tubuh Nafika lalu berteriak memanggil Bibi Dera. Kericuhan terjadi di rumah itu, Aira bolak-balik menelpon Dokter pribadi rumah mereka.

"Aduhh, disaat genting seperti ini Fika malah demam," Aira bergumam cemas. Hari ini ada jadwal meeting yang sangat penting. Aira tidak bisa meninggalkan rapat itu, juga tidak bisa meninggalkan Nafika saat demam seperti ini.

Bibi Dera menghampiri Aira. "Nyonya pergi berkerja saja, biar Bibi yang jaga Nona."

Aira menatap ragu Bibi Dera, lalu menatap putrinya yang sedang di cek oleh Dokter. "Fika paling ngga bisa ditinggal kalau demam begini, Bi."

Aira menghela napas, dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama di masa lalu. Dimana dia selalu sibuk dan mementingkan perkejaan lalu Nafika mengalami kejadian buruk yang hampir merenggut nyawanya.

Panggilan telepon dari perusahaan berkali-kali menghubungi Aira. Dengan bimbang Aira menatap ponselnya. Hari sudah semakin siang, rapat sebentar lagi di mulai.

Untuk saat ini, Dirga juga sedang berada di luar kota. Jadi tidak bisa menggantikan Aira di perusahaan.

"Tidak diangkat saja, Bu? Minta sedikit waktu setidaknya sampai Nona lebih baikan." Bibi Dera mencoba menenangkan majikannya. Beliau juga sudah berkerja sejak lama untuk keluarga Nafika, dan jelas tau masa lalu keluarga itu.

Lagi-lagi ponsel Aira berbunyi. Asistennya sudah berkali-kali menghubungi. Kali ini Aira mengangkat panggilan itu.

"Bu? Apa akan lama? Para klien sudah menunggu Ibu untuk rapat, jika rapat ini gagal, maka akan buruk untuk perusahaan kita." Suara dari asisten Aira terdengar cemas. Pasalnya di kantor para klien yang ingin berkerja sama sudah merasa jengkel karena dibuat menunggu.

Aira menggigit bibir, berkali-kali menatap ke arah Nafika. "Saya akan kesana sebentar lagi." Usai mengatakan itu, Aira menutup panggilan telepon, berjalan menghampiri Nafika.

Dokter pribadi dari keluarga mereka menoleh, menunjukkan suhu tubuh Nafika yang menunjukkan angka 38,5°. Sangat tinggi.

"Saya sudah memberikan obat penurun panas, mungkin beberapa jam lagi panas Nafika akan turun." Dokter berumur 40 tahun itu tersenyum menenangkan Aira.

Aira membalas senyuman itu, duduk di pinggir kasur Nafika untuk mengelus kepalanya. "Kamu sudah memberikan 'obat itu' juga 'kan, Sen?"

Dokter bernama Senio itu mengangguk. "Mungkin karena kejadian itu sudah cukup lama, obat itu perlahan tidak berkerja lagi. Saya sudah mencoba menekan kembali ingatan itu."

"Terimakasih. Tak apa, jika seandainya nanti Fika ingat, kita tidak bisa lagi melarikan diri dari kenyataan." Aira tersenyum kecut, melirik jam tangannya. "Mari, saya antar keluar."

Senio mengangguk, membawa peralatan dokter miliknya lalu berjalan keluar dari kamar Nafika. Aira berhenti untuk berbicara pada Bibi Dera. "Bi, saya titip Fika dulu. Saga sebentar lagi pulang, biar dia yang menjaga Fika."

Bibi Dera mengangguk mengerti, mengikuti langkah mereka turun ke lantai satu. Membiarkan Nafika beristirahat hingga panasnya turun.

-dear nafika-

Kemenangan berhasil di bawa pulang oleh Saga dan Karin. Mereka berdua berhasil mengharumkan nama sekolah dengan menjadi juara pertama dengan skor yang mengagumkan. Hal ini tentu di sambut meriah oleh para guru.

Pak Nurman selaku Kepala Sekolah mengadakan acara perayaan kecil di sekolah untuk para guru dan perwakilan yang membawa pulang juara. Beliau menjabat tangan Saga dan Karin. "Saya sangat bangga dengan kalian! Benar-benar memuaskan."

Saga tersenyum. "Sudah kewajiban saya membanggakan sekolah ini."

Karin ikut tersenyum. "Saga benar, kami memiliki kewajiban sebagai murid disini untuk mengharumkan nama sekolah kita dengan prestasi."

"Kalian benar-benar murid terbaik sekolah ini. Seperti biasa, Saga selalu menjadi yang terbaik, tapi kali ini kita punya dua terbaik." Pak Nurman tersenyum lebar, mempersilakan mereka untuk duduk bersama para guru-guru yang lain.

Para guru mengucapkan selamat pada Saga dan Karin. Acara itu berlangsung lancar, saling bersalaman usai acara itu selesai.

Saga meregangkan ototnya yang terasa letih. Dia kurang tidur selama di perjalanan, hal itu juga Karin alami. Kantung matanya menghitam karena berjuang mati-matian.

"Akhirnya kita balik ke sekolah juga!" Karin berseru girang. Setelah ini mereka diberikan libur 3 hari untuk beristirahat.

Saga mengangguk setuju, mengulurkan tangan pada Karin. "Kerja bagus, Rin! Selanjutnya tetap seperti ini."

Karin menerima uluran tangan, tersenyum manis pada Saga. "Kerja bagus juga buat lo, Sagara. Pasti kita akan menjadi juara lagi."

Mereka tiba diambang pintu kelas. Para teman kelas mereka menyambut dengan heboh. Melontarkan berbagai pertanyaan, terutama Rega. Cowok itu sangat antusias saat melihat Saga masuk ke kelas.

"Wuish! Kece, Bro! Juara satu, emang ga kaleng-kaleng lo mah." Rega melakukan high five dengan Saga.

Saga terkekeh menepuk pundak Rega. "Seperti biasa." Ditengah keramaian itu Saga mencari Nafika. Matanya memperhatikan orang-orang di kelas yang ramai mengerumuninya. Tapi dia tidak menemukan adik kecilnya disana.

"Ann, mana Fika?" Saga bertanya pada Anna yang fokus bermain ponsel. Yang dipanggil hanya menoleh sekilas, tidak bersemangat menyambut Saga seperti yang lainnya.

"Kata nyokap lo, dia demam." Anna menjawab singkat, baru saja di beri kabar oleh Aira bahwa Nafika izin karena sakit.

Saga sedikit terkejut mendengar itu. Buru-buru mengecek ponselnya, sejak mengikuti olimpiade Saga tidak sempat membuka ponsel. Begitu menyalakan ponsel, beberapa panggilan tak terjawab dari Aira. Juga sebuah pesan.

Mama:
Adek demam tinggi, Mama ada rapat penting jadi ngga bisa lama di rumah.

Setelah membaca itu Saga bergegas pergi sambil mengeluarkan kunci motor miliknya. Karin yang melihat Saga mendadak pergi dengan wajah cemas menyusul.

"Lo kenapa?" Karin bertanya di sebelah Saga.

Saga menjawab datar, "Gua pulang duluan."

"Eh?" Karin menghentikan langkah, mengecek jam yang ada di ponsel. "Tapi kita belum boleh pulang."

Seakan-akan menuli Saga terus berjalan, mengabaikan panggilan Karin. Kini yang terpenting adalah kesehatan Nafika. Adiknya sedang sakit, dia harus segera menemani Nafika.

Saga menyalakan mesin motor, melesat dengan kecepatan di atas rata-rata menjauhi sekolah menuju rumah. Bayang-bayang saat Nafika marah kepada Saga mengganggu pikirannya, sejak di rooftop Saga tidak lagi berbicara dengan Nafika.

Motor yang Saga kendarai masuk ke dalam perkarangan rumahnya. Memasukkan motor itu ke dalam garasi lalu berlari kecil masuk ke dalam rumah.

Saga melempar asal tas di atas sofa. Matanya mencari Bibi Dera. "Bi! Saga pulang."

Bibi Dera keluar dari dapur dengan semangkuk bubur. Berjalan menghampiri Saga. "Selamat datang, Tuan Saga."

"Mana Fika, Bi?" Saga bertanya dengan nada cemas, menatap bubur yang di bawa Bibi Dera.

"Di kamar lagi tidur, ini Bibi baru buatkan bubur." Bibi Dera tersenyum, mengangkat nampan yang di pegang.

Saga meraih nampan itu. "Biar Saga aja yang bawa." Tak menunggu lagi Saga bergegas membawakan bubur untuk Nafika.

Ketika tiba di depan pintu kamar Nafika, Saga menarik napas dalam. Tangannya bergerak membuka pintu, menatap ke arah kasur Nafika. Cewek itu masih tidur.

Bibir Saga terangkat, tersenyum tipis. Kakinya melangkah masuk, duduk di pinggir kasur. Nampaknya Nafika menyadari ada yang masuk, cewek itu dengan refleks menoleh.

Wajahnya menjadi terkejut saat melihat Saga ada di dekatnya. Nafika mengerjapkan mata berkali-kali, memastikan kalau itu bukan ilusi. "Saga?"

"Ya?"

"Saga beneran 'kan? Bukan mimpi?" tanya Nafika polos, menatap Saga menyelidik.

Karena reaksi Nafika seperti itu, Saga terkekeh. Mengangkat bantal Nafika agar bisa di buat bersandar. "Makan dulu," ujarnya mengabaikan pertanyaan Nafika.

Di luar sana hujan mulai turun, akhir-akhir ini hujan sering turun padahal sudah maret. Suasana semakin dingin, mungkin karena sebentar lagi akan musim panas.

Saga menyendok bubur dengan lembut, matanya menatap penuh perhatian Nafika. "Ayo, buka mulut."

"Ga mau!" Nafika membuang muka. Asal Saga tahu saja, dia masih marah soal kemarin.

Dengan ekspresi wajah dingin dan tatapan menentang Nafika menolak membuka mulut. Membuat Saga menghela napas lalu meletakkan kembali sendok ke dalam mangkuk bubur. Jika sedang ngambek begini, Saga harus membujuk Nafika dulu, baru dia mau makan.

"Masih marah?" Saga bertanya lembut, tangannya menopang dagu menatap Nafika.

"Pikir sendiri!" jawab Nafika ketus, menyilangkan tangan di dada.

Saga menarik tangan Nafika, menggenggam erat tangan yang lebih mungil dari tangannya. "Maaf, ya? Gua lakuin itu karena tau lo bakal marah kalau gua bareng Karin."

"Yayaya, emang peduli apa lo sama gue?" Nada bicara Nafika sama sekali tidak bersahabat. Matanya menatap sinis Saga.

Saga bergumam sengaja di keraskan agar dapat Nafika dengar, "Ohh, jadi ceritanya dia cemburu?"

"Hei! Mana ada gue cemburu!" Nafika menyentak kesal, wajahnya menjadi memerah. Apa-apaan maksud Saga berkata seperti itu.

Saga menyeringai, mendekatkan wajahnya dan Nafika. Mengunci pergerakan cewek itu hingga napasnya tercekat. Mata elang Saga menatap setiap inci wajah cantik Nafika, mengelusnya dengan jari. "Terus kenapa marah?" Saga bertanya tepat di telinga Nafika, meniup daun telinga pelan.

Nafika merasakan sentuhan lembut angin ketika telinganya ditiup oleh Saga. Matanya berkedip singkat, tubuhnya meremang karena geli, dan merasakan denyut cepat di dadanya. Sorot matanya cenderung berubah, dan wajahnya terlihat sedikit gugup dan mengelak, "Siapa bilang gue marah?"

"Oh ya? Jadi ga ngambek, nih?" ujarnya sambil menyelipkan senyuman manis, mencoba merayu Nafika agar melupakan ngambeknya.

Nafika mengangguk cepat, mendorong wajah Saga menjauh darinya. "Iya! Gue ga ngambek!"

"Bagus. Kalau gitu makan!" Saga berkata tegas, mengambil lagi mangkuk bubur.

Saga dengan lembut menyodorkan sendok makan ke arah Fika. "Kenapa bisa sakit gini? Bikin gua khawatir," ucapnya dengan raut sayu.

Nafika pun menerima sendok itu dengan malu-malu, terasa hangatnya perhatian dari Saga lewat bubur itu. "Gue ga makan kemarin."

Wajah Saga berubah datar mendengar ucapan Nafika, tangannya terangkat untuk menjitak kening adiknya. "Baru ditinggal sehari makannya udah ga teratur, demam! Gimana kalau gua tinggal nikah nanti?"

"Makanya lo ga boleh ninggalin gue!" kata Nafika melotot.

"Ya terus gimana? Yakali lo mau bagi ranjang sama bini gua nanti."

Nafika menggertakkan gigi, menatap galak Saga. "Kan yang jadi bini lo gue!"

Senyum Saga merekah, kemudian terkekeh. "Lo itu adek gua, Fika."

"Ga! Gue mau jadi istri lo." Nafika tetap ngotot, bahkan ketika Saga menyuapi kembali bubur itu ke dalam mulutnya dia tetap mengoceh ingin menjadi istri Saga.

Saga mendengus. "Mana boleh maksa begitu."

"Boleh kalau gue. Kalau orang lain baru ga boleh." Nafika berkata percaya diri. Menerima lagi bubur yang di beri Saga. "Haus, ini ga ada minum?"

Saga menatap ke atas nampan, memang tidak ada minumnya. Sepertinya Bibi Dera lupa membuatnya. "Bentar, gua bikinin susu dulu."

"Ikut!!!" Nafika menarik ujung seragam Saga. Menatap dengan tatapan memelas.

"Dingin, Fika. Lagi hujan, mending disini aja." Saga melepaskan tangan Nafika dari ujung seragamnya.

Nafika menggeleng kuat. Menarik selimut lalu membungkus tubuhnya sendiri. "Ga dingin lagi! Mau ikut pokoknya!"

Saga membuka mulutnya lebar, menepuk jidat pelan. "Kelakuan!"

Tidak punya pilihan lain, jika Nafika sudah memaksa seperti itu maka Saga tidak bisa menolaknya. Saga berjongkok di depan kasur Nafika. "Ayo naik, jatoh kalau turun tangga begitu."

Mata Nafika berbinar bahagia. "DIGENDONG NIH?!" Tak perlu di suruh dua kali lagi Nafika langsung naik ke punggung Saga, mengalungkan tangannya. Nafika meletakan kepalanya di ceruk leher Saga, menghirup aroma khas cowok itu.

Saga mulai berjalan menuruni tangga. Nafika tidak terlalu berat baginya, jadi tidak sulit menuruni tangga sambil menggendong Nafika.

Nafika menatap jahil Saga. "Boleh cium ga?"

"Gua jatuhin kalau macem-macem!" kata Saga mengancam.

Nafika mengerucutkan bibirnya, mempererat memeluk Saga dari belakang. "Kalo di leher boleh kan?"

"Makin ga boleh! Nanti ada bekas!" Saga berseru. Melemparkan tatapan galak.

Sebuah senyum tercetak di wajah cantik Nafika, dia dapat bahan untuk menggoda Saga. "Gue cuma kecup, otak lo aja yang mikir gue mau bikin kissmark disana!"

Wajah Saga sontak memerah seperti kepiting rebus. Memalingkan wajah kesamping menghindari kontak mata dengan Nafika. "Ya--Sama aja pokoknya ga boleh!"

"Ah! Pelit!" Nafika menghentak-hentakan kaki di gendongan Saga. Mereka sudah di lantai satu dan menuju dapur.

Saga berjalan menuju kursi dekat meja makan, menyuruh Nafika turun namun cewek itu menolak.

"Turun, Fika. Bahaya kalau kena air panas nanti." Saga kembali mengomel seperti emak-emak. Sedangkan Nafika menjadi anak bandel yang tidak mau menurut.

"Noooo! Pokoknya mau sambil gendong." Nafika mengeratkan tangannya memeluk Saga. Menggigit bahu cowok itu hingga meringis.

"Ahh, sakit Fika!" Saga mendesis. Menundukkan paksa Nafika di kursi, lalu berdecak pinggang menatap cewek itu. "Lo ini masih lapar apa gimana?"

"Pengen gigit aja, soalnya gemes." Nafika menjawab santai. Seolah-olah tidak terjadi hal apa pun.

Saga mengusap wajahnya lelah. Dia benar-benar harus sabar menghadapi sisi Nafika yang manja seperti ini. Saga kembali fokus pada tujuan utama mereka ke dapur. Mulai membuatkan Nafika susu coklat dengan cekatan.

Sejak dulu jika Nafika demam maka Saga akan selalu menjaganya. Nafika selalu menolak makan bubur jika bukan Saga yang menyuapi, Aira dan Dirga pun hanya bisa pasrah menghadapi sikap egois itu.

Saga tersenyum tipis melihat susu coklat yang sudah jadi, membawanya ke meja makan. Lalu menghela napas ketika melihat Nafika yang sudah tertidur dengan selimut yang masih membungkus cewek itu. Saga berjalan mendekat, mengelus pipi Nafika, dan dengan jahil mencubitnya karena gemas.

Tangan Saga bergerak menarik kursi yang ada di sebelah, duduk disana sambil mengamati Nafika yang tertidur lelap. Mata Saga menatap sayu seseorang yang menyandang gelar sebagai adiknya. Saga mengelus lembut rambut Nafika, tidak ada jepit rambut panda disana. "Maaf, maaf kalau bikin lo sendiri lagi. Ngga lagi buat ke depannya."

Setelah puas mengamati, Saga menggendong Nafika ala bridal style. Membawanya kembali ke dalam kamar agar bisa beristirahat maksimal.

-TO BE CONTINUE-

Next ga nih?

Tim manaaa?

Continue Reading

You'll Also Like

721 487 12
mereka pun duduk dengan tenang , tidak ada yang membuka suara kecuali anggi yang sedang berbicara dengan seseorang "ada yang mau balap-" "Gue!"jawab...
317 205 5
bagaimana bisa aku kembali ke perasaan yang sudah lama aku kubur dalam dalam ini? dia kembali?iya dia kembali membawaku kembali kepada perasaan yang...
2K 686 26
Tentang Gavin dan Rebecca. Antara pembunuh dan agen rahasia. Suatu kejadian membuat keduanya harus bekerja sama untuk menghancurkan suatu organisasi...
1.3M 95.7K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...