Maaf, karena kamu yang harus merasakan kehilangan itu.
- asya
Kediaman gadis itu sudah sangat ramai dikunjungi orang-orang. Bendera kuning sudah terpasang sempurna di pagar rumah Asya. Semua orang masih ramai berdatangan untuk melihat Asya untuk terakhir kalinya.
Sama seperti Kelvin, ia terus memandangi balutan kain putih itu dengan tatapan kosongnya. Dibalik kain itu terdapat seorang gadis cantik yang selalu membuat Kelvin merasakan kenyamanan.
"Bon bangun Bon"
"Bon ayo kita beli es krim"
"Ayo kita beli es krim Bon," ucap Nathan diiringi derasnya air mata. Bukan hanya ia yang menangis, tapi seluruh anggota Bradiz maupun Katradoz juga sama sepertinya. Mereka sangat terpukul saat ini ketika melihat tubuh Asya yang sudah tidak berdaya lagi.
"Sya, bangun Sya..."
"Ayo kita jalan-jalan lagi, ayo kita beli cemilan lagi, Sya"
"Asya ayo bangun Sya..."
"BANGUN SYA!" jeritan Anya mampu mengalihkan perhatian semua orang. Sejak tadi ia berusaha membangunkan Asya. Bahkan Ivana dan Key terus menghentikan aksi gadis itu dengan perasaan iba.
"Kak Asya bangun!"
"Kak Asya harus liat Moza sampai sukses"
"Kak Asya gak bisa pergi gitu aja"
"Moza sama Rasya akan jadi anak yang sukses, tapi Kak Asya bangun...Ayo Kak, buka matanya, Moza kangen pelukan Kak Asya. Moza janji, Moza gak akan ikut balapan lagi kalau Kak Asya gak suka" ujar Moza dengan air mata yang terus berjatuhan. Gadis itu sama seperti Anya, ia berusaha membangunkan Asya sejak tadi, namun nihil, gadis itu tetap diam dan terpejam.
Kini tubuh Asya tengah dikelilingi oleh sahabat dekatnya. Arga dan Dirga yang terus menangis, Aland dan Alex yang sedang berusaha menahan tangisannya agar tidak pecah. Sedangkan Asih, wanita itu terus menangis sampai-sampai ia tidak sadarkan diri. Bahkan setelah melihat tubuh Asya yang tidak berdaya di gendongan Kelvin malam tadi, raut wajah David seketika berubah. Sampai sekarang pun David masih sama, ia terus saja diam. Dunianya seakan hancur karena ketiga putrinya sudah lebih dulu pergi meninggalkannya.
"Kenapa lu disini Sya? Ayo bangun, ini bukan tempat tidur lu" titah Arga. Pria itu masih tidak percaya jika gadis yang ada di hadapannya sekarang adalah Asya.
"Dirga" panggil Arga.
"Lihat Adik gue,"
"Cantik bukan?"
"Dia pasti kedinginan. Adik gue pasti malu di liatin banyak orang. Ayo Sya bangun, gue gak suka lu diliatin banyak orang Sya" papar Arga. Tangisannya semakin kencang saat dirinya tersadar bahwa tidak ada sahutan sama sekali dari Adik tersayangnya.
"Karena tidak ada lagi keluarga yang harus di tunggu, jenazah bisa langsung di masukkan kedalam keranda" ujar Ustadz Ragil. Mengapa gadis itu tidak dimasukkan kedalam peti saja? Bukan kah itu lebih nyaman? Tapi itu semua bukan kemauan Asya. Iya, sebelum Asya meninggal ia sempat berbincang sedikit dengan Rita.
"Gurita, suapin Asya dong" pinta Asya. Entah mengapa Asya memang sedang ingin disuapi oleh Rita. Mungkin karena Asya merindukan moment itu.
"Iya Non" balas Rita ramah. Ia segera menuruti kemauan anak itu.
"Gurita,"
"Kenapa sayang? Kepala mu sakit?"
"Bukan, Asya hanya mau bilang terimakasih buat Gurita. Makasih ya, Gurita udah mau ngerawat Asya dari bayi sampai sekarang" ucap Gadis itu dengan mata tulusnya. Ia sangat mencintai Rita sebagai mana dengan Bundanya.
"Kamu gak perlu bilang makasih ke Ibu, Itu sudah tugas Ibu. Lagian, Asya sudah Ibu anggap sebagai putri Ibu sendiri"
"Makasih ya, Gurita baik banget"
"Asya juga baik" balas Rita. Ia mengelus rambut Asya lembut, dan meneruskan suapan ke empat nya. Gadis itu terus menerima suapan Rita dengan sangat lahap.
"Gurita"
"Ada apa?"
"Kalau Asya pergi, jangan masukkan tubuh Asya kedalam peti ya?" saat Asya mengatakan itu Rita menghentikan aksinya. Ia membisu, mengapa Asya berkata sedemikian?
"Kamu ngomong apa sih, gak ada yang pergi, Asya tetap disini sama Ibu"
"Ibu, tolong dengarkan Asya. Jika setelah ini Asya pergi, ikutin kemauan Asya ya? Asya hanya mau dimakamkan secara sederhana seperti orang-orang pada umumnya,"
"Ibu dengar Asya kan?" tanya Asya memastikan. Rita hanya menganggukkan kepalanya kecil seraya tersenyum simpul.
Dan kini, kemauan Asya sudah Rita tepati. Tubuh gadis itu sudah di tempatkan disebuah keranda umum, yang dibantu oleh seluruh anggota Katradoz. Pemakaman akan dimulai. Asih sudah keluar dari dalam kamarnya, ia sudah sadar, kini ia menatap keranda itu dengan tubuh yang melemas. Asih kembali menangis, tubuhnya sejak tadi terus Rita tahan agar tidak terjatuh. Sementara David, ia menatap keranda itu tanpa dihiasi sebuah ekspresi. Sudah dari semalam ia tidak berbicara sama sekali. Bahkan ia tidak tidur seharian.
Saat keranda itu ingin diangkat untuk menuju ke tempat peristirahatan Asya yang terakhir, Kelvin mencegahnya. Pria itu berdiri, dan memegang kuat keranda itu agar tidak pergi dari hadapannya, "Jangan bawa Asya gue pergi!"
"Asya gak boleh pergi kemana-mana" ucap Kelvin lantang.
"Kelvin, biarkan Asya pergi, Nak..." tegur Bunga lembut.
"Gak Oma, Asya gak boleh pergi!" Kelvin masih menahan keranda itu hingga merebut perhatian semua orang. Aland dan Alex mencoba mengambil alih, mereka terus menahan Kelvin yang sedang memberontak.
"BRENGSEK! LEPASIN GUE!"
"ALAND, LEPASIN GUE!"
"ALEX, LEPASIN GUE SIALAN!"
"ASYA GAK BOLEH PERGI!"
"Asya bangun, Sya... mereka semua mau bawa kamu pergi dari aku. Kamu harus tetap disini sama aku Sya," Kelvin masih saja memberontak. Air matanya jatuh begitu deras saat melihat keranda itu ingin berjalan.
"ASYA BANGUN SYA!"
"KAMU GAK BOLEH PERGI DARI AKU!"
"Jangan sentuh cewek gue!" sentak Kelvin tidak terima. Dirga dan Arga akhirnya berusaha membantu Aland maupun Alex yang sedang kewalahan. Nathan sediri hanya bisa pasrah. Ia terus menatap Asya dengan tangisan yang tidak bisa dihentikan.
"KENAPA KALIAN PADA DIEM, HAH?! HARUS NYA KALIAN MARAH!"
"KETUA KALIAN MAU DIBAWA PERGI!" bentak Kelvin dihadapan seluruh inti Bradiz. Para gadis hanya diam sembari menunduk. Mereka menangis dalam diam saat mendapati amukan dari Kelvin.
Karena tidak mau menyerah, Kelvin mencoba memohon dihadapan Asih, "Bunda, tolong cegah mereka Bunda. Jangan biarkan mereka membawa Asya Bunda.."
"Kelvin, ikhlaskan Asya ya?" ujar Asih mencoba tegar.
"Gak, Bunda. Asya tetap gak boleh pergi"
"Vin, ikhlasin Asya Vin" pinta Dirga.
"Gak, Bang. Asya gak boleh pergi, gue butuh dia!"
Merasa sudah geram, akhirnya Arga mencengkram kerah baju Kelvin dengan sangat kuat, "SEMUA ORANG JUGA BUTUH ASYA, BUKAN LO DOANG VIN! SEKARANG BIARIN ASYA PERGI DENGAN TENANG!"
"BIARIN ADIK GUE TENANG DISANA VIN!"
Kelvin termenung, perlahan cengkraman Arga mulai merenggang. Kelvin kembali menatap keranda itu dengan perasaan berat hati. Tapi, mau bagaimanapun ia tetap harus mengikhlaskannya dan membiarkan Asya pergi dengan tenang.
"Asya..."
*****
Pemakaman hari ini berjalan dengan lancar. Walaupun diselimuti dengan kesedihan yang amat sangat mendalam. Ketua Bradiz kita sudah pergi untuk selamanya. Meninggalkan beribu kenangan yang tak bisa terlupakan.
Saat ini, hanya tersisa Kelvin dan tumpukan tanah milik Asya saja. Tepat nya disebelah makam Alena. Pria itu sejak tadi enggan untuk pergi, ia masih ingin bersama dengan Asya. Sedangkan yang lainnya, mereka sudah kembali untuk pulang.
"Kamu pasti kedinginan,"
"Kamu juga pasti takut karena sendirian disana. Asya gak perlu takut lagi ya, Kelvin bakal temenin Asya disini."
"Asya, coba lihat, Kelvin bawa martabak keju sama es boba. Asya pasti suka," Kelvin mengeluarkan bawaannya. Ia memakan sepotong martabak keju itu seorang diri. Air matanya kembali jatuh saat mengingat moment kebersamaannya dengan Asya.
Sekarang, tidak ada lagi gadis yang akan mengganggunya. Tidak ada lagi gadis yang selalu membawakan bekal untuknya. Tawa dan senyumannya juga tidak akan lagi terlihat.
"Jika tidak dengan kamu, maka tidak juga dengan yang lain" gumam Kelvin. Tanpa pria itu sadari ternyata sejak tadi Asya dan Alika tengah menatapnya dengan tersenyum manis.
"Kak Asya, ayo kita pergi" ajak Alika.
Asya hanya mengangguk, kedua gadis itu membalikkan tubuhnya ingin melangkah ke sebuah pintu yang amat sangat terang. Tangan mereka saling terpaut dan menggenggam satu sama lain. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti saat Asya menoleh untuk kembali menatap Kelvin.
"Ada apa Kak?" tanya Alika
"Aku mencintai pria itu." ujar Asya lembut seraya tersenyum simpul. Perlahan bayangan Asya dan Alika mulai menghilang.
"Kelvin, terimakasih dan sampai jumpa..."
- S E L E S A I -
"Akhir cerita ini telah selesai, dan setelah ini aku bisa membuat cerita yang kedua. Tapi, kali ini tanpa diriku sendiri."
- Asya
"Bagaimana waktu bisa izinkan kita menua bersama, jika kamu saja sudah lebih dulu pergi untuk selamanya."
- Kelvin
Asya & Kelvin