PENDAMPING PILIHAN (SELESAI)

By VenyAgustina0

20.4K 1.9K 213

Naura tidak tau jika kedekatannya dengan Azam mampu menumbuhkan benih cinta dihati pria itu. Selama mengenal... More

1. Yang tak diinginkan
2. Bimbang
3. Makan Malam
4. Makan Malam 2
5. Harus bagaimana?
6.
7.
8. Double Date
9. Double Date 2
10. Menyebalkan!
11. Merasa bodoh
12. Kalah
13. Azam
14. Pilihan
15. Kabar
17. Yang Tak Terduga
18. Pendamping Pilihan
19. Ketahuan
20. Pengakuan
21. I love you
22.
23. Berdebar
24. Perpisahan
25. Khawatir
26.
27. Pulang
28. Kangen
29. Penentuan
30. Penentuan 2 (akhirnya)
e-book (Pendamping Pilihan)

16. Jangan Pergi

605 69 5
By VenyAgustina0

Naura menutup pintu lalu menguncinya. Memejamkan mata, Naura lalu menghela nafas. Dengan langkah lemah Naura menghampiri tempat tidur lalu duduk di atasnya. Naura menoleh ke arah nakas, memandang foto berbingkai di sana yang menampakkan tiga orang anak tersenyum lebar seolah tak memiliki beban.

Pandangan Naura terfokus pada sosok gemuk di samping kanannya, sosok yang jauh berbeda dari sosoknya yang sekarang.

"Aku rindu," bisik Naura, lirih.

Naura menghela nafas. Perlahan bibirnya tertarik membentuk senyum getir. Segala perdebatan yang terjadi antara Naura dan kedua orang tuanya, bukankah Azam penyebabnya? Namun demikian, Naura tidak bisa untuk membencinya. Naura tidak bisa untuk tidak merindukannya. Bahkan Perasaan bersalah atas sikap kasar pada orang tuanya membuat air mata Naura mengalir.

"Apa yang sudah kulakukan," ucap Naura menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Tapi kamu nggak ada niat untuk menahannya."

Naura menyingkirkan kedua tangannya saat perkataan Hanum terngiang di telinganya. Dalam hati ia ingin, tapi akalnya menentang keinginan itu. Menahannya untuk membiarkan Azam melakukan apa yang ingin pria itu lakukan.

"Hah,"

Naura mendesah. Gelisah, rindu, kecewa, seakan menyatu membuat perasaan Naura tidak nyaman. Naura tidak lagi sanggup berpikir. Ia raih tasnya lalu mengeluarkan ponsel dari dalamnya. Menatap nomor Azam lalu menghubunginya.

"Halo,"

"Jangan pergi."

_______________

Azam memainkan ponsel ditangannya naik turun layaknya seorang yang tidak memiliki kegiatan dan malas melakukan apa-apa.

Naura.

Mata Azam membulat saat ponselnya berdering dan memperlihatkan nama Naura tertera di layarnya. Azam berdebar. Menerka-nerka apa yang Naura inginkan dengan menghubunginya.

Azam meletakkan ponsel itu di sampingnya dan membiarkan ponsel itu terus berbunyi. Merasa penasaran, Azam lalu mengambil ponsel itu kembali dan menjawab panggilan Naura.

"Halo,"

"Jangan pergi."

Azam terdiam, mematung ditempatnya. Panggilan baru saja berlangsung dan Naura sudah membuat jantung Azam berdebar. Azam bahkan merasa tak percaya jika Naura menahannya untuk pergi.

Azam mulai ingin memastikan, bisa saja kata 'jangan pergi' itu bukan ditujukan padanya.

"Ra."

"Jangan pergi ... Mas Azam," lirih Naura.

Azam lagi-lagi terdiam. Namun sesaat kemudian bibirnya mengembang membentuk senyum lebar. Mengedip-edipkan mata, sebab matanya mulai berlinang saking bahagianya. Dugaan Azam ternyata salah. Permintaan itu memang Naura tujukan padanya.

"Mas..."

"Bisa ulang lagi?" tanya Azam. "Ah, jangan ... aku mau mendengarnya langsung. Tunggu, aku kesana."

"Mas..."

"Sebentar ... aku berangkat sekarang."

Azam mengakhiri panggilan. Meraih kunci motornya dari atas nakas lalu berlari keluar kamar.

"Azam keluar sebentar," pamit Azam melintasi kedua orang tuanya yang tengah bersantai di ruang tamu.

"Mau kemana!" teriak Safna sebab Azam sama sekali tak menghentikan langkah. "Mau apa lagi dia sekarang." Safna berkerut kening, merasa khawatir.

"Nggak perlu dipikirin ... kamu nggak lihat senyumnya lebar begitu tadi ... pasti ada sesuatu yang membuat dia bahagia," kata Danu lalu menyeruput kopinya.

Safna menghela nafas menatap pintu keluar. Meski pun demikian, perasaannya tetap saja tidak nyaman.

Azam menepikan motor yang dikendarainya begitu tiba di rumah Naura. Fatih dan Hanum yang tampak berbincang di teras rumah lalu menghentikan percakapan begitu melihat kehadiran Azam.

Azam tersenyum lalu menyapa kedua orang tua Naura.

"Naura ada, Bunda?" tanya Azam pada Hanum.

"Ada, lagi di kamar," jawab Hanum.

"Boleh Azam masuk?" tanya Azam lagi.

"Tentu boleh ... kenapa harus bertanya."

Azam tersenyum, melangkahkan kaki memasuki rumah, hingga langkah berikutnya ia berlari ke arah kamar Naura.

Azam menghela nafas berkali-kali sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar Naura.

Senyum Azam masih mengukir lebar di wajahnya. Bahkan saat pintu kamar terbuka sekali pun. Senyum Azam masih saja melebar, bahkan kali ini menampilkan deretan giginya.

Naura tampak bingung melihat kehadiran Azam. Layaknya orang terhipnotis, Naura tidak mampu mengalihkan pandangan dari Azam.

"Mas," bisik Naura lirih, menatap Azam.

"Ulangi lagi," pinta Azam pada Naura.

"Apa?" tanya Naura, bingung.

"Yang kamu bilang waktu ditelpon."

Mulut Naura terbuka sedikit mendengar pernyataan Azam. Tidak menyangka jika pria itu benar-benar datang hanya untuk mendengar Naura mengulang kembali permintaannya.

Sesaat kemudian Naura tersenyum. Menundukkan kepala menyembunyikan wajahnya.

"Jangan pergi, Mas," ucapnya mengulang kembali permintaannya.

"Lagi," pinta Azam.

"Jangan pergi," Naura menuruti permintaan Azam.

"Lagi!"

Naura mengangkat wajahnya. Merengut ia menatap Azam.

"Kamu mau ngerjain aku, Mas?" tanya Naura, kesal.

Azam terkekeh. "Kamu mau aku nggak pergi?" tanyanya.

Naura diam sesaat, lalu mengangguk kemudian.

"Aku nggak jadi pergi kalau begitu," balas Azam melebarkan senyumnya.

Naura menghela nafas. "Jadi benar, Mas Azam, mau pergi karna aku?"

Pertanyaan Naura membuat senyum Azam luntur, tampak berpikir. Namun sesaat kemudian ia tersenyum kembali.

"Bukan," Azam menggeleng, "aku cuma ingin hatiku tetap aman," lanjutnya.

"Apa di dekatku membuat hatimu dalam bahaya?"

"Umh," Azam mengangguk. "Berbahaya sebab jantungku bekerja lebih cepat dari biasanya."

Naura terdiam. Mengalihkan wajah, mengulum senyum.

"Kamu nggak percaya?" tanya Azam membuat Naura kembali menatapnya. "Mau pegang?" tanya Azam lagi mengulurkan tangannya.

Naura menatap tangan Azam, lalu menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh.

"Nggak perlu," ucap Naura, malu-malu.

Azam tersenyum. "Kamu kelihatan manis dengan wajah malu-malu seperti itu," godanya.

"Sejak kapan kamu belajar gombal?" tanya Naura menatap tajam.

Azam menggeleng. "Aku nggak belajar," ucapnya, "kata-kata itu datang begitu saja."

"Ck ... dasar!" ucap Naura. Bukannya kesal, Azam malah tersenyum.

Sesaat kemudian keadaan senyap. Hanya Azam dan Naura yang saling pandang satu sama lain. Hingga ponsel yang sejak tadi di tangan Naura berdering.

Sejak Azam mengakhiri panggilan, Naura tidak melepas ponselnya dari tangannya. Berulang kali ingin menghubungi Azam kembali namun hatinya terus menahan, membiarkan Azam datang menemuinya.

Naura menatap layar ponselnya. Jarak yang begitu dekat membuat Azam dapat melihat siapa orang yang tengah menghubungi Naura.

Naura menatap Azam, tampak panik, lalu mematikan panggilan itu tanpa berniat menjawabnya.

Jantung Naura berdebar -- merasa bersalah. Terlebih lagi melihat wajah Azam yang tampak muram tak lagi menampilkan senyum, seolah pria itu tidak pernah tersenyum Sebelumnya.

"Kamu pacaran sama Fathan?" tanya Azam.

Naura terdiam.

"Hah," Azam mendesah. "Perasaan ini yang aku takutkan ... aku takut kalau aku..."

"Aku nggak pacaran sama Mas Fathan," potong Naura cepat.

Azam terdiam. Memandang Naura penuh selidik.

"Kamu yakin?" tanya Azam memastikan.

Naura mengangguk. Azam mengangguk saja, lalu kemudian ia berkata.

"Aku suka kamu, Ra ... sejak lama ... dan aku berharap hubungan kita bisa lebih dari sebelumnya."

Kening Naura berkerut mendengar setiap kata yang Azam ucapkan. Merasa tidak asing dengan kata-kata tersebut. Naura tampak berpikir. Sesaat kemudian matanya membulat setelah menyadari ternyata kata-kata yang Azam gunakan adalah kata-kata yang Fathan katakan padanya.

"Itu..."

"Apa jawaban kamu?" tanya Azam saat melihat Naura tampak ragu untuk melanjutkan kata. "Yes ... or, no?"

"Ya," jawab Naura setelah terdiam beberapa saat. Azam mendesah, tersenyum miris.

"Kalau kamu yang bertanya begitu," lanjut Naura.

Azam memandang Naura dengan kening berkerut. "Maksud kamu?" tanyanya bingung.

"Ayo, pacaran," ajak Naura tanpa basa-basi. "Ah, bukan ... tunangan?" tanyanya pada Azam. "Atau menikah?" tanyanya lagi. "Kamu pilih yang mana?"

Azam tercengang lalu menghela nafas kemudian. "Jangan main-main, Ra," kesalnya.

"Tapi tunggu aku selesai kuliah dulu," ucap Naura tidak menghiraukan apapun yang Azam katakan. "Setelah itu baru menikah."

"Ra."

"Iya, sayang," jawab Naura tersenyum. Azam lantas terdiam karenanya.

Azam memejamkan mata seraya menghela nafas. Tingkah Naura membuat Azam tidak mampu berpikir. Bahkan Azam seakan hampir kehilangan kesadaran.

"Aku tanya serius, Ra," ucap Azam frustasi.

"Aku dua rius," balas Naura tak mau kalah.

"Aku nggak mau nanti ada kesalahpahaman yang mungkin akan..."

"Bentar," tahan Naura. "Mama manggil. Ayo, nanti kita lanjutin."

Naura menarik tangan Azam hingga membuat pria itu mengikuti langkahnya.

___________

Jangan lupa coment, vote, dan follow aku disini yaaa🤗

Continue Reading

You'll Also Like

16.9M 750K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
703K 45.2K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
258 50 10
Bisakah kita memilih orang yang kita cintai? Bisakah kita memilih menikah dengan orang yang kita cintai? atau bisakah cinta hadir setelah dipaksa me...
3.1M 31.5K 29
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...