Dear Nafika badbaby sist!

By cherluvie_

47.1K 3.7K 1.5K

"Saga, I LOVE YOU!!!" "Lu adek gua, Fika!" "Adek-adek'an gue, mah." *** Bagaimana reaksimu ketika orang yang... More

00. Prolog
01. Morning kiss
02. Keciduk mama papa
03. Ujian matematika
04. Nafika galau
05. Cemburu
06. Ngambek
07. Badutmu
08. Sapu tangan biru
09. Gadis kecil di masa lalu
10. Nasi goreng ala Fika
11. Murid baru
12. Pencuri mangga
13. Tuan Muda Reo
14. Mimpi
15. Old love
17. Fika demam (rindu)
18. Bukan cinta tapi rasa bersalah
19. Rahasia apa?
20. Hidup dalam kebohongan
21. Butuh kejelasan
22. Berjuta pertanyaan
23. Terlambat untuk berhenti
24. Luka lama
25. Bukan keluarga
26. Serpihan ingatan
27. What do you cry?
28. Masa lalu yang dirindukan
29. Gadis masa lalu, kembali.
30. Pesta petaka
31. Kau seorang ibu? Yang benar saja!
32. Two birds talk
33. Ibu dan anak
34. Anak laki-laki dan lukanya
35. Menunggu untuk sia-sia
36. Keluarga yang hancur, lagi
37. Ini kisahmu, kamu berhak tau
38. Hanya punggung yang rapuh
39. Maaf yang tak seberapa
40. Reo si gentleman?
41. Terimakasih telah kuat
42. Karena kita terlihat sama
43. Ingatan yang segera kembali
44. Habiskan cintamu, di aku
45. Aku tak mau lupa lagi

16. Hujan with Reo

1.1K 103 23
By cherluvie_

-HAPPY READING-

Langit sudah mulai gelap, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Nafika dan Saga sepanjang hari bercakap-cakap bersama di rooftop. Sangat menyenangkan bagi Nafika bisa berbincang dengan Saga seperti itu. Meski Saga sangat kaku, hal itu menjadi daya tariknya.

"Ngomong-ngomong tumben banget lo ngajak gue bolos. Lo ga takut kena marah Mama Papa?" Nafika bertanya.

Meski bukan anak kandung Aira dan Dirga, Saga dituntut cukup keras oleh mereka, karena Saga adalah ahli waris mereka dan mendiang ayah Saga. Setidaknya Saga akan mengurus semua perusahaan Dirga hingga Nafika mampu mengurusnya sendiri.

Saga menarik napas dalam, menatap lamat Nafika. "Gua ada alasan lakuin ini, dan udah minta izin juga."

"Sama mereka?"

"Iya. Mama dan Papa tau kita bolos," jawab Saga seadanya.

Nafika membulatkan mata tak percaya. "Serius?"

"Ngga ada untungnya gua bohong."

Nafika mengatupkan mulutnya. Merasa ada sesuatu yang tidak enak. Untuk apa Saga mengajaknya bolos dan meminta izin kepada orangtuanya?

"Gua ikut olimpiade besok." Saga berkata samar, memalingkan pandangan dari Nafika.

"Olimpiade?" Nafika mengulangi, bertanya.

"Iya. Bareng Karin."

Sontak, semua wajah antusias Nafika hilang. Senyum manis yang tadi menghiasi wajah cantiknya berganti dengan wajah datar. Bibirnya seakan-akan terkunci, tidak bisa mengatakan apa pun.

"Fika?" Saga menatap ragu Nafika yang terlihat kecewa.

Nafika merapikan seragamnya, berdiri dengan wajah dingin. "Jadi cuma buat izin aja semua tingkah manis lo ini? Cuma biar gue ga ganggu kalian?"

"Bukan gitu—"

"Udahlah, gue males. Tenang aja, ga usah izin, gue juga ga peduli mau lo sama Karin ada hubungan spesial. Dia kan emang yang paling dekat sama lo, paling bisa bikin lo senyum dan nyaman." Nafika tersenyum kecut, berbalik. "Gue kira semua tingkah manis lo itu karena lo udah mau buka hati buat gue. Tapi ternyata gue terlalu berharap lebih."

Suasana di rooftop menjadi lengang. Menyisakan bunyi sepatu Nafika yang bergerak turun dan pulang.

-dear nafika-

Hari berangkat Saga untuk mengikuti olimpiade Fisika tingkat nasional telah tiba. Para guru mengucapkan selamat jalan dan berjuang kepada dua perwakilan yang akan mereka kirim.

Banyak kata-kata kagum yang tersampaikan kepada Karin yang mengikuti olimpiade Fisika tingkat nasional bersama Saga. Meski murid baru, dia bersedia mengikuti olimpiade Fisika tingkat nasional untuk mengharumkan nama sekolah barunya. Dan para guru memberikan apresiasi yang besar kepada keduanya.

Di lain sisi Nafika menatap sayu Saga yang baru saja masuk mobil untuk pergi ke lokasi. Ada Anna di sebelahnya datang menemani.

"Ayo masuk kelas. Hari ini ada jam Pak Adi, nanti kita kena marah." Anna menarik lengan Nafika untuk kembali ke kelas. Dengan pasrah kaki Nafika berjalan mengikuti Anna.

Di dalam kelas tidak ada hal lain yang bisa Nafika lakukan. Sama seperti saat dia pulang kemarin. Hanya mengurung diri di kamar.

Melihat Nafika yang seperti sangat kecewa karena Saga pergi bersama Karin membuat Anna jengkel, tapi tak tega untuk memarahi sahabatnya itu.

Anna membawa Nafika bersandar pada bahunya, mengelus lembut rambut Nafika. "Mereka hanya mewakili sekolah, Fika. Bukan menikah."

"Gue tau itu." Nafika menjawab singkat.

"Terus kenapa cemberut gini?" Anna menatap Nafika dengan senyum tipis.

Nafika menghela napas, meluruskan pandangan pada papan tulis. Dia tidak ingin menceritakan kejadian kemarin pada Anna. Meski dia sangat ingin. Jika Anna tahu kalau Nafika habis diberi harapan palsu lagi oleh Saga, Anna pasti akan sangat kesal. Maka biarlah dia memendamnya.

Rega juga ikut merespon perubahan sikap Nafika. Dia jelas sangat tahu apa penyebabnya. Tidak ada yang bisa membuat perasaan Nafika kacau seperti itu kecuali Saga.

"Oi Narapidana!" Rega menghampiri meja Nafika setelah Pak Adi keluar. Mencoba menghiburnya dengan kejahilannya.

Nafika mengangkat kepala menatap Rega, hanya sedetik dan kembali menelungkupkan kepalanya di meja.

"Yaelah, masa gitu doang lu galau?" Rega tertawa mengejek.

"Bacot lo!" sembur Nafika kesal, melempar buku tulis ke wajah Rega.

Rega menepis dengan mudah lemparan Nafika, tersenyum bangga seolah-olah dia adalah seorang Superman. "Jangan galau lah, Narapidana. Ga asik lu, katanya mau jadi pacar Saga."

"Gue maunya jadi istri Saga," sahut Nafika cepat.

Anna menjitak kepala Nafika geram. "Ngelunjak amat hidupnya."

"Tau nih. Denger ya, jangan mencintai terlalu dalam. Lo itu pendek, ntar tenggelam," ujar Rega menyengir kuda.

Tubuh Nafika meremang mendengarkan penuturan Rega. "Sok puitis banget lo!"

"Jangan salah, Dek. Gini-gini gua bijaksana," kata Rega bangga. Membusungkan dada dengan ekspresi menjengkelkan.

Nafika menatap Rega jengah, memilih untuk fokus pada ponsel.

-dear nafika-

Nafika merebahkan tubuhnya di atas kasur. Energinya hari ini benar-benar terkuras. Ternyata benar, sehari tanpa melihat Saga akan membuatnya kacau.

Bolak-balik dia melihat akun Instagram Saga, berharap cowok itu memasukkan story selama ada di sana. Meski dia tahu, Saga jelas tidak akan melakukan itu. Saga bukan tipikal orang yang apa-apa di masukan ke dalam story.

Jam demi jam berlalu hari sudah berganti malam. Tidak ada hal lain yang Nafika lakukan kecuali bermain ponsel dan mendengarkan lagu galau.

Pintu kamar Nafika di ketuk oleh seseorang, dengan malas Nafika bersingsut turun dari kasur untuk membuka pintu. Di luar ada Bibi Dera.

"Kenapa, Bi?"

"Non, belum mau makan?" Bibi Dera bertanya dengan wajah yang sedikit cemas. Sejak tadi pagi Nafika melewatkan sarapan, bahkan di sekolah dia tidak pergi ke kantin, dan malam ini dia juga melewatkan makan malam.

Nafika menggeleng. "Fika engga lapar, Bi."

"Aduh, Non. Nanti sakit kalau tidak makan, Bibi buatkan makanan kesukaan kamu ya?" Bibi Dera menyarankan, berusaha agar Nafika mau makan.

Aira ikut datang menghampiri, dia juga khawatir dengan kondisi putrinya. Dia juga tahu betul apa penyebab Nafika menjadi seperti itu, Saga menceritakan semuanya.

"Kamu jangan seperti ini, Fika. Abangmu itu sedang berjuang untuk masa depannya, seharusnya kamu juga melakukan hal yang sama." Aira menatap Nafika, berharap putrinya mengerti.

"Iya, Fika tau. Tapi Fika emang ngga laper." Setelah mengatakan itu Nafika menutup pintu kamarnya. Kembali melanjutkan galau.

Hujan turun dengan lebat di luar. Sangat mendukung perasaan Nafika yang sedang galau karena Saga.

Ting!

Notifikasi dari ponsel membuat Nafika mengalihkannya perhatiannya, meraih dan mengecek siapa yang mengirimi dirinya pesan.
Nomor tidak dikenal.

Nafika menyeritkan dahi, awalnya dia ingin mengabaikan itu tapi melihat pesan yang di kirim oleh nomor itu membuat Nafika membuka chat.

+62 ********:
Save, Reo.

Reo? Hanya ada satu Reo yang dia kenal. Berandal yang beberapa hari ini cukup dekat dengan Nafika. Alis Nafika tertaut, dari mana Reo mendapatkan nomornya?

Nafika membalas chat itu.

Anda:
Dapet dari mana lo kontak gue?

+62 ********:
Nyogok ketua kelas lo.

Nafika mengeram kesal. Mengumpat dan menyumpah serapah Rega yang sangat mudah di sogok oleh uang.

Anda:
Lo kasih berapa?

+62 ********:
Dua digit.

Mata Nafika membulat sempurna. Dua digit hanya untuk nomornya saja? Reo benar-benar gila. Lagipula orang bodoh mana yang mau membeli nomor WhatsApp Nafika dengan harga segitu. Siapa Reo sebenarnya? Kenapa ringan sekali baginya jika soal uang, padahal penampilannya berantakan.

Anda:
Gila!
Lo ngapain bayar segitu?

Reo Berandal:
Dia bilang 'eits, bayar dulu' ya gua minta no rekening dia. Lagian kenapa?

Dia bertanya kenapa? Nafika benar-benar tidak habis pikir. Saat ini Rega pasti sedang jungkir balik kegirangan karena dapat uang dadakan.

Reo kembali mengirim pesan.

Reo Berandal:
Lo belum makan, kan?

Anda:
Kok bisa tau?

Reo Berandal:
Nyogok sahabat lo

Nafika membulatkan mata sempurna, rahangnya mengeras. Ingin sekali dia menghancurkan bumi berserta dua pasangan kampret itu.

"Emang cocok ya lo bedua!" Nafika mengeram kesal. Bersumpah jika nanti dia bertemu dengan dua orang itu, Nafika akan memberikan bogem mentah.

Anda:
Lo mau aja di porotin mereka

Reo Berandal:
Segitu doang ga bikin gua bangkrut.
Keluar sini, gua ada di teras rumah lo

Anda:
Kali ini lo dapet alamat gue dari siapa?

Reo Berandal:
Mereka berdua. Gua takut kalau satunya ga akurat, jadi gua tanya keduanya. Dan bayar keduanya.

Ingin sekali Nafika berteriak, tapi suara ketukan dari jendela kamarnya membuat Nafika menoleh. Seseorang memukul jendela kamar Nafika dengan batu kerikil.

Nafika membuka mulutnya tak percaya melihat Reo ada di bawah sambil hujan-hujanan.

Reo Berandal:
Turun woi! Gua bawain makanan.

Anda:
Kalau lo bawain gue makanan mewah, gue tolak.

Reo Berandal:
Gua bawain bakso

Setelah membaca pesan dari Reo, Nafika bergegas turun. Makan bakso saat hujan adalah hal yang paling sempurna. Di rumah Nafika sangat jarang makan bakso karena Saga melarang. Katanya, ga baik buat kesehatan Nafika dan memilih memasakan Nafika masakan rumah.

Nafika berlari kecil menuruni tangga. Diam-diam supaya tidak ketahuan orang rumah. Nafika membuka pintu, Reo disana berdiri sambil menenteng kantong kresek yang berisi bakso.

Senyum Nafika terkembang, langsung berlari menghampiri Reo. "Lo ini gila banget, Reo! Hujan gini, kenapa ga bawa payung?"

"Biar effort-nya kelihatan." Reo menjawab sambil menyengir. Memberikan bakso itu pada Nafika.

Tangan Nafika terangkat untuk meraihnya, namun tiba-tiba saja Reo menariknya ke lapangan rumah Nafika yang cukup luas. Membiarkan hujan membasahi mereka berdua.

Nafika memekik histeris. Untunglah hujan deras, orang rumah tidak akan mendengar teriakannya. "Dingin banget, Reo!"

Reo justru tertawa melihat Nafika yang terkejut ketika tiba-tiba dibawa mandi hujan. Reo mendekat bibirnya ke telinga Nafika. "Ga adil kalau gua doang yang kedinginan." Reo meletakan kantong kresek yang berisi bakso di teras.

Nafika mengeram kesal tapi juga senang. Memejamkan mata saat bulir-bulir air hujan mengenai wajahnya.

Reo mendekat, menggendong Nafika secara tiba-tiba.

"Hei!" Nafika berseru kaget. Sedangkan Reo hanya menyunggingkan senyum, semakin membawa Nafika ke tengah hujan. Nafika hanya diam, mengalungkan tangannya pada leher Reo.

Nafika kembali memejamkan mata, membiarkan air hujan membasahi dirinya. Suasana di bawah air hujan itu tenang, sejenak dia bisa melupakan Saga. Entah mengapa, Nafika seperti pernah bermain hujan seperti ini dengan Reo. Tapi dia lupa kapan dan apakah itu benar.

Reo mendekatkan wajahnya pada cewek yang ada di gendongannya, menghalau air hujan yang jatuh membasahi wajah cantik Nafika.

Nafika yang merasa air hujan tidak lagi mengenai wajahnya membuka mata. Napasnya tercekat kala melihat wajah Reo yang sangat dekat dengannya. Untuk beberapa detik Nafika terpana dengan tatapan teduh cowok itu, tatapan yang sangat tenang. Pandangan Nafika seolah-olah terkunci oleh mata elang Reo, bahkan jantung ya menjadi berdetak lebih cepat dari biasanya.

Saat menyadari posisi mereka yang terlalu intens, Nafika memalingkan wajahnya. Melepaskan kalungan tangan pada leher Reo, juga mendorong wajahnya menjauh. Entah mengapa, Nafika merasa jantungnya akan copot jika terus-menerus di tatap oleh Reo.

"Turunin! Gue kedinginan tau!" alibi Nafika menghentak-hentakan kakinya. Setidaknya ini bisa menyembunyikan rasa malunya.

Reo terkekeh lalu menurunkan Nafika pelan. Begitu Nafika sudah berdiri tegap sambil menunduk, Reo memeluk erat Nafika.

Tubuh Nafika mendadak mematung di tempat. Kepalanya terasa berputar-putar, bayang-bayang samar berputar di otaknya seperti sebuah vidio. Pelukan itu terasa hangat dan nyaman. Dinginnya hujan bahkan kalah akan pelukan hangat Reo.

"Masih dingin?" tanya Reo memastikan.

Nafika menggeleng dalam dekapan Reo, tanpa sadar membalas pelukan Reo bahkan lebih erat. Senyum manis terukir di wajah Reo, seolah-olah dia baru saja melepas rindu yang sangat lama terpendam.

"Mau pulang atau masih mau gua peluk?" tanya Reo menggoda dengan nada nakal.

Nafika yang tersadar dari zona nyaman langsung melepaskan pelukan Reo dengan wajah tersipu. Cowok itu terkekeh gemas dengan tingkah lucu Nafika.

"Gue tadi meluk cuma karena dingin ya!" sentak Nafika memperjelas agar tidak salah paham.

Reo pura-pura mengangguk mengerti, tidak berniat menggoda Nafika lagi. Tangannya terulur mengelus kepala Nafika. "Masuk sana, mandi air anget terus tidur. Ah, lupa. Baksonya dimakan dulu, jangan tidur dengan perut kosong."

Nafika hanya mengangguk, bingung menyikapi sikap manis Reo yang tiba-tiba. Kembali teringat dengan Saga yang sebelumnya juga sama. "Lo lagi ga mempermainkan gue, kan?"

"Maksud?" Reo bertanya tak mengerti.

Nafika menggeleng, membalikkan badan. "Lupain. Gue masuk dulu, makasih baksonya. Pasti gue makan kok!"

Reo tersenyum, memastikan Nafika masuk ke dalam rumah. Setelah itu dia berlalu pergi dengan senyum yang tak kunjung pudar. Akhirnya dia memiliki kesempatan untuk melepas rindu, dia kesulitan menemui Nafika selama Saga ada di dekat cewek itu.

-dear nafika-

Nafika hanya mengganti pakaiannya, dia terlalu malas untuk mandi. Nafika duduk di sofa yang ada di kamarnya dengan semangkok bakso yang dibelikan oleh Reo.

Mata Nafika berbinar menatap bakso itu. Sangat menggugah selera, tanpa menunggu Nafika langsung menyendok kan bakso ke dalam mulutnya.

"Enak banget!" Nafika berseru heboh. Dengan lahap menikmati bakso itu. Nafsu makannya kembali setelah melihat bakso, apalagi makan bakso hangat di hari yang dingin seperti ini. Reo memang pintar memilih makanan.

Ting!

Layar ponsel Nafika menyala kala sebuah pesan masuk. Nafika meraih ponselnya di atas meja, mengecek pesan yang ternyata dari Reo.

Reo Berandal:
Makan baksonya sambil senyum
Jangan lupa tidur setelah makan bakso, jangan sampai lewat dari jam sepuluh.

Chat ini ga usah di balas, biar last chat di gua. Cewek-cewek pada ga suka 'kan, kalau last chat di mereka.

Good night, Panda Pemarah.

Nafika menatap layar ponselnya sambil tersenyum lebar, geleng-geleng kepala melihat sikap berandalan itu menjadi kalem.

-TO BE CONTINUE-

Mana nih tim Fika Reo, waktunya moment buat kapal kalian.

Next?

Tim mana?

Fika x Reo

Fika x Saga

Continue Reading

You'll Also Like

PEGASUS By aytysz

General Fiction

20.1K 9.3K 22
Hanya sebuah kalimat yang tersusun tidak begitu rapi . . untuk mengajak peminat bertamu di tempat ilusi tanpa adanya pintu keluar. Walau dobrakan ban...
1.1K 830 10
Hadiah termanis ku adalah ketika bertemu dengan mu dan mengenal pribadi mu. Membuat banyak kenangan indah bersama mu juga menghabiskan banyak waktu d...
394 110 6
"Terkadang kita harus terlihat jahat untuk menyelamatkan orang yang kita cintai" -Aluna- "Aku tau aku salah tapi inilah caraku mencintaimu" -Arshak...
3K 1.2K 36
Nathalie Putri Clarissa adalah seorang gadis SMA yang bersekolah di JBS. Tingginya mencapai 170 ke atas. Rambutnya panjang melebihi bahu. Tubuhnya la...