Merah Matahari

By fmahardini

5.5K 396 100

Ya, aku akan siap melepaskan kapan saja karena aku tak bisa mengatur siapa jodohmu. Yang aku bisa hanya memin... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam

Sembilan Belas

101 8 0
By fmahardini

Aku menghelakan napas lega begitu sambungan telpon diputuskan. Satu lagi pelanggan yang puas dengan informasi yang kuberikan. Syukurlah. Hari ini panggilan masuk cukup banyak, sebagian besar menanyakan tentang produk baru yang akan diluncurkan, sisanya berisi komplain yang masih bisa kujawab dengan cukup baik kurasa.

"Udah. Pulang." Adri terdengar sibuk dari meja sebelah. Sepertinya sedang bersiap-siap pulang.

"Iya, Dri," jawabku sambil mematikan laptop.

"Eh, Kaia. Udah mau pulang?" tanya Adri.

Suara ketukan sepatu Kaia terdengar semakin dekat, lalu berhenti di sisiku.

"Belum, Dri. Habis ini nggak pulang, kok. Mau kencan sama Senja dulu. Iya kan, Ja?" katanya.

Aku hanya menganggukkan kepala.

"Kencan? Tunggu.. tunggu.." Adri, seperti biasa, menanggapi dengan penuh keseriusan. "Sejak kapan kalian jadian? Bukanya kamu punya pacar, Ja? Emang beneran ya kamu udah putus?" tanyanya polos.

"Emang kalau dia punya pacar, nggak boleh gitu kencan sama aku? Lagian ya, kalau pun dia masih punya pacar, pacarnya kan di Jogja, jauh." Kaia menumpukan tubuh di pembatas bilik kerjaku, membuat dinding pembatas tipis itu sedikit bersuara.

Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya.

"Udah? Selesai?" tanyaku sambil berdiri kemudian menggendong ransel ke punggung dan meraih lipatan tongkat dari atas meja.

Kaia tertawa, mengabaikan Adri yang masih saja sibuk menuntut penjelasan. Dia bahkan mengikutiku dan Kaia, sampai-sampai menanyakan ke beberapa orang yang kebetulan keluar dari ruangan bersamaan dengan kami.

"Nggak, Dri. Aku sama Kaia cuma mau ke acara reuni kampus barengan. Nggak kaya yang kamu pikir," jawabku akhirnya, tak tahan lagi dengan rasa penasaran manusia itu.

"Tuh, Dri. Nggak mungkin. Lagian kalau emang mereka kencan ya kenapaaaa? Kayak kamu berani deketin Kaia aja," kata Mas David yang langsung disambut tawa anggota tim lainnya.

Adri menghelakan napas lega. Tunggu. Adri menghelakan napas lega? Jangan-jangan dia benar-benar naksir Kaia seperti yang selama ini dia katakan? Jangan-jangan selama ini dia tidak bercanda? Beberapa kali memang kudengar Adri memuji gadis itu, menanyakan beberapa hal tentang Kaia yang dia pikir aku tahu. Kupikir selama ini hanya sekedar penasaran saja, ingin sekedar mengenal saja.

"On your left," kata Kaia, diikuti suara alarm mobil saat kuncinya dibuka.

Aku segera membuka pintu penumpang begitu menemukan hendelnya, melipat tongkatku, lalu masuk. Kaia sudah ada di belakang kemudi, di sisiku. Aku menurut saat dia memintaku untuk memasang sabuk pengaman.

"Sudah ada yang di TKP," katanya begitu mobil kami melaju dengan stabil.

"Oh." Aku mengangguk-anggukkan kepala.

"Kenapa sih, Ja? Kayanya nggak semangat gitu? Semangat doong... Mau reunian ini loh." Kaia menepuk bahu kananku pelan. "Akhirnya setelah... berapa tahun? Tiga ya? Bisa ngumpul lagi sama mereka."

Aku mengangguk-anggukkan kepala lagi. Dia bersemangat sekali. Aku tahu, semenjak dulu Kaia memang selalu menjadi manusia yang bersemangat seperti ini. Sejak pertama kali mengenalnya, belum pernah sekali saja aku mendengarnya berbicara dengan nada rendah. Bukan dalam arti yang buruk. Maksudku, nadanya selalu riang, selalu menyenangkan untuk didengar. Dia selalu berhasil membuat ruang kemahasiswaan ramai, selalu bisa mencairkan suasana. Bahkan pada orang-orang yang baru saja dikenalnya.

"Siapa saja yang positif dateng?" tanyaku. Seharian aku tak sempat membuka obrolan grup. Membuka sih, tapi tak membaca setiap isi pesannya secara lengkap. Hanya kubuka, lalu kututup lagi.

"Aku, kamu, Didit, Amie, Surya."

"Udah?" Aku menaikkan kedua alis, agak terkejut dengan jumlah manusia yang baru saja disebutnya. Kupikir, dengan semangat sebesar itu, akan ada banyak orang yang datang.

"Udah. Lumayan loh ada lima orang. Ini kan baru permulaan."

"Oke."

Obrolan selanjutnya adalah tentang kabar terbaru teman-teman di grup yang dia dengar dari berbagai sumber, tentang film yang sedang di bioskop, yang sedang ingin sekali dia tonton tapi belum kesampaian, sampai pada berita politik yang juga sedang ramai menjadi bahan perbincangan sekarang. Sebagian besar adalah cerita tentangnya. Ya, tentangnya. Karena memang Kaia menjadi pihak yang lebih banyak berbagi cerita sedangkan aku adalah pihak yang mendengarkan dan menimpali.

"Tapi nggak bisa gitu sih sebenernya, Ja. Harusnya nggak cuma sekedar nyediain fasilitas fisik aja, tapi juga harus lihat dong itu fasilitas bisa dipake apa nggak. Ya kaya pemasangan guiding block misalnya. Jangan asal pasang. Perhatikan juga dong tuh guiding block kepake apa nggak, nabrak pohon apa nggak, udah bener belum masangnya," tuturnya panjang setelah untuk kesekian kalinya dia mengubah topik pembicaraan.

Dia sedikit banyak mirip denganmu, suka sekali mengganti-ganti topik tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Kecuali kalau kata-kata 'eh eh' dianggap sebagai pembuka topik baru. Kalau kamu, benar-benar tak ada 'eh eh', hanya jeda saja, tapi seringnya tak ada apa-apa. Langsung masuk ke topik berikutnya. Lalu aku akan tersenyum geli saat sadar obrolan sudah berganti topik yang kemudian membuatmu langsung ikut sadar telah mengganti topik dan ikut menertawakannya bersamaku.

"Eh, kok senyum-senyum sendiri?" Kaia bertanya bingung.

Aku langsung menghapus senyuman di wajahku dan obrolan tak lagi dilanjutkan. Kaia tak bercerita apa-apa lagi. Tak masalah bagiku. Ini bukan kamu. Kalau ini kamu, aku pasti sudah kebingungan. Aku akan mencoba segala cara untuk membuatmu bercerita tentang apa saja.

"Yak, sampai." Kaia menghentikan mobil. Aku bisa mendengarnya menarik handrem.

Aku melepaskan sabuk pengaman, sesaat bertanya apakah aku sudah bisa turun dari mobil, segera turun setelah mendapatkan jawaban dari Kaia.

"Kamu mau aku tuntun, Ja?" tanya Kaia tepat saat ujung tongkatku menyentuh tanah.

Aku tak merasa perlu berpikir panjang, langsung mengiyakannya, kembali melipat kembali tongkatku. Karena sama sekali tak mengenal tempat ini, belum tahu bagaimana kondisinya, akan jauh lebih aman untukku ketika ada yang menuntun.

Kaia memberikan lengannya tanpa merasa perlu menjawabku. Aku menggenggamnya.

"Waaaa.. Senja. Lama banget nggak ketemu!" Suara perempuan. Pastinya Amie. Dia satu-satunya perempuan dari tiga nama yang disebut Kaia tadi.

"Hai, Mi. Sehat?" tanyaku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

"Baek, Ja." Amie menyambut uluran tanganku. "Kamu kok bisa sih nggak berubah? Tetep kurus gitu. Aku nih kerja setahun udah naik sepuluh kilo."

"Geser satu kursi lagi, Ja," kata Kaia.

Aku bergeser satu kursi lagi lantas duduk.

"Rahasianya apa, Ja?" tanya Amie lagi.

"Sering lupa makan aja, Mie," jawabku garing.

"Huuu.. garing. Eh tapi, ngomong-ngomong, kalian nih pacaran sekarang? Mesra amat!" Pertanyaan Amie terdengar antusias.

Mesra?

"Menurutmu?" tanya Kaia, bukannya memberikan penjelasan.

"Waaaa.. selamat!! Akhirnya dapet juga," sambut Amie sambil tertawa. "Dulu tiap kali ke basecamp, yang dicariin kamu terus tuh, Ja. Senja mana? Senja nggak dateng ya? Senja jadwal ngajar lesnya kapan? Sampe pas udah nggak jadi pengurus, masih sering da.."

"Heh! Jangan buka aib orang, dong!" potong Kaia sebelum Amie menyelesaikan kalimatnya.

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi.

"Enough about us. Kamu mau pesan apa, Ja?" tanya Kaia yang lantas membacakan daftar menu sambil sesekali menambahkan keterangan apakah menunya enak atau tidak seperti sudah sering datang ke sini.

Aku tak terlalu memperhatikan penjelasannya. Otakku masih terpaku pada satu kata yang baru saja dia ucapkan untuk mengubah topik. 'Us'. Aku tahu, kata itu bisa saja hanya dia gunakan untuk menunjuk kami berdua sebagai artian obyek pembicaraan. Hanya saja, caranya mengucapkan kata itu membuatku merasa ada hal berbeda dalam makna kata itu. Apalagi mengingat reaksinya yang sama setiap kali ada yang menanyakan apakah kami berpacaran: tak mau memberi penjelasan yang benar, membiarkan saja orang-orang yang bertanya tenggelam dalam asumsi mereka sendiri.

"Teh hangat tawar bening," jawabku.

"Laah, jauh-jauh ke sini cuma minum teh hangat, Ja? Es kuwut-nya enak, loh. Manis asemnya seger," komentar Amie.

"Lagi pengen yang anget, Mie."

Gadis itu tak berkomentar lagi. Dia kemudian lebih banyak mengobrol dengan Kaia, berbagi cerita-cerita masa lalu saat kami sama-sama aktif di organisasi mahasiswa, saat menjadi panitia lomba debat bahasa inggris, piknik bersama, entah apa lagi. Aku lebih banyak menjadi pendengar saja, bahkan sampai Didit dan Surya datang.

"Oiya, kalian sekantor ya sekarang?" tanya Didit.

"Iya, Dit," jawab Kaia cepat.

"Jodoh mah gitu," kata Amie.

"He? Jodoh? Udah jadian kalian?" tanya Surya. "Jangan senyum-senyum gitu, Kai. Jawab."

"Jadian apa? Kita tuh cuma temen sekantor," jawabku, tak sabar menunggu jawaban Kaia, tak juga rela membiarkan tiga orang itu dibiarkan dengan asumsi mereka yang butuh diluruskan.

"Sial kamu, Kai. Ta kira udah jadian beneran," protes Amie.

Kaia langsung tertawa, sama sekali tak terdengar merasa bersalah pun kikuk dengan apa yang terjadi. Setenang itu.

Sudah. Tak ada lagi obrolan tentang aku dan Kaia. Obrolan kami beralih pada hal-hal ringan seperti aktivitas sehari-hari, pekerjaan masing-masing dari kami, sesekali diselipi cerita tentang masa lalu, kekonyolan-kekonyolan sewaktu kuliah dulu.

"Pernah tuh si Surya kurang ajar banget. Masa ya, kan aku baru selesai sholat, sebelumnya habis ngajar les dua sesi, ga sempet minum, terus pas keluar dari tempat sholat, ni anak lagi pegang botol air mineral, isinya masih mayan banyak, kuminta dong," cerita Amie.

"Dikasih sama dia?" tanya Kaia.

"Dikasih."

"Wah, tumben dia baek," komentar Didit.

"Baek? Sejak kapan dia baek? Orang selesai aku minum, dia senyum-senyum. Mencurigakan banget. Jadi kutanya lah dia udah kasih apa di botol air mineralnya. Tau nggak dia jawab apa?"

Didit dan Kaia serempak bertanya, "Apa?"

"Nggak ta kasih apa-apa. Tapi botol itu tadi aku temuin di kursi taman deket auditorium sana, nggak tau sisanya siapa."

Tawa kami langsung pecah: aku, Kaia, dan Didit. Amie masih terdengar kesal dan melanjutkan protesnya pada Surya. Sedangkan Surya tenang-tenang saja.

"Jahat kamu, Sur!!" kata Kaia di sela tawa gelinya.

"Kok jahat? Aku bawa botol itu niatnya buat nyiramin tanaman hias basecamp. Kan sayang kalau airnya dibuang. Nah dia, keluar-keluar dari musala langsung ambil alih aja tuh botol terus langsung minum isinya. Mana bisa kucegah. Lagian kayanya dia lagi haus banget. Yaudah lah."

Amie kembali melancarkan protes pada Surya. Aku bisa mendengar ketika dia memukul Surya dengan keras.

"Eh, iya. Denger-denger kamu mau merit, Dit?" tanya Kaia setelah tawa kami mereda.

"Mau dooong.. Tapi nggak tau nih kapan," jawab Didit sebelum mengangkat cangkir kopinya.

"Kok gitu? Nggak jelas banget!" tanya Amie dengan heran.

"Nah itu, Mie. Bener!" kata Didit.

"Bener? Apanya yang bener? Amie bertanya dengan gemas.

"Nggak jelas. Jodohku tuh nggak jelas ada di mana sekarang? Nggak sampe-sampe gitu. Kalau Senja kan udah jelas ya, Ja? Masih kan kamu sama calon perawat itu?"

Aku hanya mengangkat alis dan tersenyum, tak memberikan jawaban. Tak ingin berbohong, tapi tak juga ingin mengatakan yang sebenarnya.

"Tapi LDR-an dia," kata Kaia. Dia tak membahas tentang kita yang sudah putus, hal yang dia sudah tahu.

"Ah cuma Jogja ini. Eh, bener kan di Jogja pacarmu?" tanya Didit.

"Mau cuma Jogja, namanya jarak ya sama aja, Dit. Ja-rak." Kaia memberikan penekanan pada setiap suku katanya. "Bisa kan laporan udah mau tidur, eh ternyata lagi ngobrol sama yang lain?" Nada Kaia itu, aku tak menyukainya.

"Lagi apa, sayang? Lagi makan. Eh, ternyata makan sama yang lain. Hahahaha.." timpal Amie.

"Ya namanya juga LDR, Mie. Kan nggak bisa selalu mantau langsung, nggak bisa lihat. Jauh." Kaia tersenyum di akhir kalimatnya.

"Nggak LDR juga nggak bisa liat kalau buat aku, Kai." Aku menyunggingkan senyuman datar, sekenanya.

Lalu tiba-tiba tak ada sahutan lagi.

"Eh, sori. Aku nggak bisa lama-lama, nih. Ada acara tahlil di tetangga habis magrib. Nggak enak kalau nggak dateng," kata Didit, disusul dengan suara cangkir yang diletakkan ke atas meja.

"Yaudah, aku ikut pamit sekalian. Udah mau magrib juga. Nggak boleh pulang malem-malem." Surya ikut pamit.

"Yaelah, Sur. Adzan magrib aja belum, masa udah pulang?" tanya Kaia. Nadanya masih saja seceria tadi, seolah kebekuan mendadak di dalam obrolan kami barusan tidak pernah terjadi.

"Sebenernya, aku harus pulang soalnya mau ke tukang pijet. Sakit badanku, Kai. Disiksa sama Amie barusan."

Kaia tertawa. Entah apa yang lucu. Mungkin raut muka atau cara Surya mengatakan apa yang baru saja dia katakan.

"Yaaah. Yaudahlah. Kita pulang aja sekalian." Amie ikut berdiri.

"Ya udah. Kita pulang juga, Ja?" tanya Kaia.

Aku menganggukkan kepala.

"Kalian kalau mau lanjut juga nggak papa, looh." Amie sengaja menggoda, aku tahu. "Nggak ketemu lama, tiba-tiba sekantor. Jodohlah ya namanya."

Aku menanggapi Amie dengan senyuman sekenanya. Aneh juga rasanya mengapa aku tak menyukai apa yang dia katakan semenjak tadi tentang aku dan Kaia. Padahal berulang kali kukatakan padamu bahwa jodoh itu bukan kita yang mengatur. Mungkin, mulut dan hatiku memang tak bekerja sama dengan baik tentang hal ini. Pun tentang bagaimana selalu kukatakan bahwa aku siap melepasmu kapan saja jika itu yang terbaik buatmu. Mungkin.

Aku tanpa sadar menghelakan napas.

"Aku aja yang bayar. Itung-itung bayar utang sama Amie. Eh, permohonan maaf sama Amie atas tragedi air mineral, maksudnya." Surya segera berlalu tanpa menunggu persetujuan kami semua.

Tak lama kemudian dia sudah kembali, mengulang prosesi pamitan dengan lebih benar, lalu mereka bertiga mendahului keluar dari tempat makan.

"Bentar ya, Ja. Aku balesin wa mbak Adel dulu," kata Kaia setelah mereka bertiga pulang.

Aku menurut. Tapi aku tak sedang menunggunya untuk bisa pulang bersama, berdua saja semobil dengannya. Rasanya salah.

"Aku pulang sendiri aja, Kai. Kamu hati-hati pulangnya," kataku sambil memesan ojek online.

"Kamu mau pulang naik apa, Ja?" Ada sedikit rasa tak rela yang bisa kudengar jelas dari pertanyaannya. Nada yang sama dengan pertanyaanmu setiap kali aku berpamitan.

"Ojek."

"Kuantar pulang aja lah sekalian. Orang akunya lewat rumahmu juga." Dia meletakkan tangan di lengan kananku. "Ja, ayolah. Please?" tanya Kaia.

Tidak. Aku tak seharusnya menghabiskan lebih banyak waktu dengan gadis ini berdua saja. Aku tak mau dia berharap apa-apa. Bilang aku besar kepala, terserah.

"Makasih, Kai. Tapi, sori. Aku pulang sendiri aja." Aku meletakkan ponsel setelah menekan tombol pesan.

Kaia melepaskan tangannya dari lenganku. Sesaat dia menarik napas dalam.

"Boleh aku ngomong sesuatu?" tanya Kaia.

Aku mengangguk.

"Tentang yang dibilang Amie tadi...." Kaia menggantung ucapannya sesaat. "Aku tahu pasti itu ganggu kamu banget, ya? Cuma, aku ngarep hal yang sama."

"Maksudnya?"

"Sebenernya aku nggak mau ngomong hal ini di sini, nggak sekarang. Tapi, yaudah lah." Kaia menarik napas. "Aku suka kamu, Ja. Dari dulu," katanya. "Tapi dulu kamu punya pacar. Ya walaupun kamu selalu bilang kalau jodoh itu bukan kita yang tentuin. Cuma waktu itu kupikir nggak etis juga. Nggak mau lah aku jadi pengganggu hubungan orang lain."

Aku tertampar kata-kataku sendiri. Untuk pertama kalinya aku merasakan sakitnya tamparan dari kata-kataku sendiri. Ya Tuhan, jadi ini yang kamu rasakan dulu, sewaktu aku mengatakan hal sama padamu dulu?

"Ja..."

"Kai, sori," potongku cepat, merasa tahu apa yang akan dia katakan, merasa harus menghentikannya sebelum kalimat itu terselesaikan. "Rencana kita lusa itu, sebaiknya kita batalin. Aku nggak mau pergi berdua aja sama kamu lagi. Aku nggak mau orang-orang berasumsi macam-macam tentang kita. Dan, please, berhenti bikin orang mikir kalau ada apa-apa di antara kita."

Kaia tak menjawab. Ada hening sesaat di antara kami sebelum aku mendengar dengusan tawanya.

"Apa sih bagusnya dia, Ja? Apa kurangnya aku dari dia sampai-sampai setelah kalian putus kaya gini, kamu masih nggak bisa kasih kesempatan buat aku?" Nadanya tenang, tapi isi kata-katanya mengejutkanku. "Cewek gampangan gitu," katanya pelan, sangat pelan. Tapi aku masih bisa mendengarnya. Ini kedua kalinya dia menyebutmu begitu.

"Kai!" Aku tak terima. Nadaku tinggi, tapi sekuat tenaga kujaga volume suara tetap rendah.

"Ya apa coba namanya kalau bukan gampangan? Dia punya cowok, udah pacaran dua tahun, terus pas ketemu kamu, eh dia lepasin aja gitu, langsung nemplok sama kamu. Terus udah pacaran sama kamu berapa tahun? Enam tahun? Dan sekarang gampang aja kan dia lepasin kamu? Dia udah jalan tuh sama cowok lain, jauh sebelum kalian putus. Bahkan kudengar malah udah lamaran segala. Ortunya si cowok udah ke rumah dia."

"Tolong jangan bicara sembarangan soal hal-hal yang kamu nggak tahu kebenarannya, Kai," sanggahku cepat. "Kamu nggak kenal Rekta, nggak tahu yang sebenarnya."

"Aku atau kamu yang nggak tahu?" balasnya.

"Jemputanku udah dateng. Kamu hati-hati pulangnya." Aku berdiri, meluruskan tongkat, lalu meninggalkan meja yang kami tempati, tak berniat memperpanjang obrolan tak menyenangkan ini.

Untung aku tak mengalami kesulitan untuk keluar dari tempat ini dan pengemudi yang menjemputku bersedia turun dari motor untuk membantu. Aku langsung naik ke boncengan motor begitu memasang helm dan meminta laki-laki itu untuk bergegas mengantarku keluar dari tempat ini.

Tapi sekarang, di tengah perjalanan, aku mulai menyesali sesuatu. Seharusnya aku bertahan lebih lama di sana. Aku perlu tahu dari mana Kaia tahu cerita kita dulu, tentang kamu dan mantan pacarmu. Aku perlu tahu dari mana dia tahu aku telah melepaskanmu. Dia tahu semua cerita kita, bahkan hingga sedetail itu.

Ah, tapi untuk apa juga aku perlu tahu semua itu? Apa akan ada gunanya? Sedangkan aku benar telah melepasmu? Sedangkan benar ada laki-laki lain yang sudah mengajak orang tuanya untuk bertemu dengan orang taumu, melamarmu?

"Makasih, Kak. Jangan lupa bintang lima, ya?" Laki-laki itu menerima helm yang baru saja kulepas dari kepalaku. Aku mengiyakan permintaannya lalu dia segera meninggalkan jalan depan rumahku.

Pintu pagar rumah kudorong terbuka, kembali kututup setelah aku melewatinya. Adzan magrib belum lama berkumandang. Pastinya bapak dan umi masih di masjid sekarang. Aku segera mengucapkan salam setelah meletakkan sepatu di rak yang ada di teras, mendorong pintu depan hingga terbuka, lalu dengan cepat masuk ke ruang keluarga.

"Waalaykumsalam. Oh, iya. Kamu tenang aja. Aku yang urus," suara Arik yang baru saja keluar dari kamar terdengar amat sangat jelas.

Aku langsung masuk ke kamar, meletakkan semua benda yang menggantung di tubuhku ke atas meja. Rasanya sedikit lebih ringan setelah tas ransel kulepaskan dari punggung.

"Langit Senja!"

Dengan malas aku menoleh ke pintu.

"Kamu tuh ya emang manusia paling bego!" Cercaan itu kuterima tanpa tahu apa yang terjadi.

"Ada apa lagi, Rik?" tanyaku tanpa semangat sama sekali. Aku benar-benar sedang malas menanggapi ini.

"Kamu putusin Rekta?"

Ah, iya. Aku belum bercerita apa-apa padanya tentang ini. Aku mengangguk sambil melepas kemeja kerja dengan santai, menyisakan kaos oblong yang memang kupakai sebagai pelapis dalam.

"Kenapa lagi sih, Jaaaa? Kalian kenapa lagi? Dia minta waktu sendiri lagi? Kamu kasih lagi gitu?"

Aku menggeleng.

"Terus?"

"Aku yang putusin dia, Rik."

"Apa? Ja, kamu beneran minta kubunuh? Udah kubilang kan kalau sampai kamu putus sama dia, kamu nggak bakal selamat. Aku maunya dia, Ja. Aku mau dia yang jadi sodara aku, bukan yang lain!"

"Tapi aku yang jalanin hubungan ini, Rik. Bukan kamu." Nadaku tak tinggi, justru rendah, malas.

Aku sedang tak ingin berdebat apa-apa dengannya, jadi aku melewatinya begitu saja, segera mengguyur tubuhku dengan air dingin di kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, Arik sudah kembali ke kamarnya. Baguslah. Aku bisa langsung salat magrib.

Arik tak juga kembali ke kamarku setelah aku menyelesaikan salat. Semoga dia sadar bahwa hubunganku denganmu bukanlah urusannya. Dia tak berhak mencampuri. Lagipula, aku melakukan ini untuk kebaikanmu.

Ah, kata-kata mulai melompat-lompat di dalam kepalaku. Aku merutuki diriku sendiri. Bertumpuk-tumpuk tanya dan umpatan ada di sana, saling tumpang tindih. Tanya dan umpatanku sendiri, pada diriku sendiri. Tertimpa lagi oleh kata-kata Dewi akhir minggu kemarin dan dari Kaia tadi. Kata-kata Arik juga sama. Semuanya bercampur, teraduk-aduk menjadi satu.

Ponselku bergetar. Aku bergegas mendatangi meja, hampir meraih benda itu, tapi urung saat pembaca layar menyerukan nama yang tertampil di sana. Namamu.

Aku tak siap. Aku tak siap mendengar suaramu lagi setelah beberapa waktu ini. Ya, aku pernah tak mendengar kabarmu selama sebulan penuh, sama sekali tak mendengar suaramu. Tapi, waktu itu keadaannya tak seperti ini. Kali ini berbeda. Kali ini, aku yang melepasmu. Aku melepaskanmu tanpa ada peringatan terlebih dahulu, tanpa penjelasan apa-apa.

Aku tak siap. Tapi, di waktu yang bersamaan, aku seolah kehilangan kontrol terhadap tubuhku. Tanpa sadar, aku membuat ketukan dan apusan di layar, menerima panggilan telponmu.

"Hai, Ja," ucapmu begitu panggilan kuterima. Suaramu. Kamu. Benar-benar kamu.

Lalu aku menyadari sesuatu. Ternyata aku memang tak pernah benar-benar siap melepaskanmu.

Continue Reading

You'll Also Like

16.1K 2.1K 31
Kenapa Dunia kejam? kata seorang Gadis. Kenapa Dunia tak adil? Kata seorang Gadis. Kenapa dan kenapa yang hanya mampu dia tanyakan, tanpa ada jawaban...
6.1M 318K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
2.8M 141K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
124K 7K 30
Fiana tidak menyangkah jika dia akan di pertemukan kembali dengan orang yang sangat ia cintai di masa lalu. Orang yang dulu selalu mengores luka diha...