PENDAMPING PILIHAN (SELESAI)

By VenyAgustina0

20.4K 1.9K 213

Naura tidak tau jika kedekatannya dengan Azam mampu menumbuhkan benih cinta dihati pria itu. Selama mengenal... More

1. Yang tak diinginkan
2. Bimbang
3. Makan Malam
4. Makan Malam 2
5. Harus bagaimana?
6.
7.
8. Double Date
9. Double Date 2
10. Menyebalkan!
11. Merasa bodoh
12. Kalah
13. Azam
15. Kabar
16. Jangan Pergi
17. Yang Tak Terduga
18. Pendamping Pilihan
19. Ketahuan
20. Pengakuan
21. I love you
22.
23. Berdebar
24. Perpisahan
25. Khawatir
26.
27. Pulang
28. Kangen
29. Penentuan
30. Penentuan 2 (akhirnya)
e-book (Pendamping Pilihan)

14. Pilihan

534 65 3
By VenyAgustina0

Azam berjalan pelan menghampiri kedua orang tuanya yang tengah duduk bersantai di ruang keluarga. Tanpa permisi ikut duduk bersama mereka. Menatap orang tuanya lekat hingga membuat kedua menatap bingung.

Ada suatu hal yang ingin Azam bicarakan kepada kedua orang tuanya. Menghela nafas, Azam lantas tersenyum menatap keduanya.

"Minggu depan Azam berangkat ke Belanda," kata Azam langsung tanpa basa-basi.

Azam tidak menyangka, gertakan yang ia katakan untuk membuat Naura berpikir, pada akhirnya akan ia lakukan juga. Keputusan paling berat Azam pilih untuk melupakan Naura.

Safna terkejut dengan mata membulat. "Kamu mau melarikan diri?" tanyanya yang terdengar seperti tuduhan ditelinga Azam.

Melarikan diri. Terdengar pengecut sebenarnya. Tapi berada di satu tempat dimana orang yang dicintai bersama pria lain, Azam tidak mampu untuk melihatnya. Azam bahkan tidak sanggup untuk bahagia diatas kebahagiaannya. Terlebih lagi jika harus mengatakan 'aku bahagia kalau kamu bahagia'. Bohong! Bodoh! Menurutnya orang yang berkata demikian. Bahagia Azam hanya bersama orang yang ia cinta. Bukan melihat orang yang ia cintai bahagia bersama orang lain.

"Sudah kamu pikirkan baik-baik?" tanya Danu. "Coba pikirkan baik-baik, pelan-pelan, jangan terbawa emosi mau pun situasi." Danu memberi nasehat pada putra semata wayangnya.

Azam menghela nafas seraya memejamkan mata. Membukanya kembali lalu menatap sang Ayah.

"Dipikirkan pelan-pelan mau pun baik-baik hasilnya akan tetap sama, Yah," lirih Danu, "keadaan nggak akan berubah sebab Danu yang berharap," lanjutnya dengan tatapan kecewa.

"Kalau begitu biar Mama yang bicara pada Naura," kata Safna mulai meraih ponselnya yang terletak di atas meja.

Azam menahan tangan sang Mama yang sudah berhasil menggapai ponselnya. Menggelengkan kepala tersenyum menatap Safna.

"Jangan, Mah ... jangan dipaksa," pinta Azam. "Biar Azam yang mengurus semuanya. Mama sama Ayah sudah cukup membantu Azam selama ini ... jadi urusan selanjutnya, biar Azam yang selesaikan."

Safna menatap lekat wajah putranya. Azam melepas tangan sang Mama. Safna membuang muka, menutupi rasa sedih hatinya yang terlihat jelas dimatanya. Mengusap sebelah pipinya yang basah akibat tetesan air mata.

"Azam baik-baik saja, Mah," kata Azam berusaha menenangkan hati sang Mama. Namun demikian, sang Mama tidak juga mau menatapnya.

"Tapi kalau Azam tetap bertahan disini ... semuanya nggak akan baik-baik saja," lanjut Azam menatap lembut Safna yang tak juga berniat menatapnya.

"Apa Naura lebih penting dari pada Mama!" ucap Safna menatap tajam Azam. "Kamu tega meninggalkan Mama hanya karna Naura tidak membalas perasaanmu?" tanya Safna dengan suara bergetar. "Apa kamu nggak memikirkan bagaimana perasaan Mama?"

"Bukan begitu, Mah," Azam menghela nafas sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya. "Apa Mama sanggup melihat Azam menderita?" tanyanya lalu kemudian Azam menghela nafas lagi.

Safna hanya diam, menatap Azam saja.

"Bukan hanya memikirkan perasaan Azam. Azam juga memikirkan perasaan Mama," ucap Azam. "Mama nggak akan tenang melihat Azam duduk melamun memikirkan perasaan ... Mama juga akan merasa serba salah jika Azam bersikap baik-baik saja padahal sebenarnya enggak baik-baik saja ... jadi izinkan Azam pergi. Seenggaknya untuk menenangkan diri. Azam akan kembali jika sudah merasa baik."

"Apakah tekadmu sudah bulat?" tanya Danu pada Azam.

Azam menatap sang Ayah. Terdiam sesaat tampak berpikir, lalu mengangguk kemudian.

"Ya."

Danu manggut-manggut, lalu menatap pada Safna. " Bagaimana, dek?" tanya Danu lembut pada sang istri. "Apa kamu mengizinkan Azam pergi?" tanyanya lagi.

Safna membalas tatapan Danu lalu menatap Azam kemudian. "Terserahlah," ucapnya lalu beranjak meninggalkan anak dan Ayah di ruang keluarga.

Azam menghela nafas berat melihat kepergian sang Mama.

"Jadi bagaimana? Kamu masih ingin pergi?" tanya Danu lembut pada putranya.

"Apa Mama akan baik-baik saja, Yah?" Azam balik bertanya.

Danu tersenyum menenangkan. "Kalau kamu ragu ... yakinkan Mamamu terlebih dulu. Langkahmu pasti akan ringan setelah mendapat izin darinya."

"Azam nggak yakin kalau Mama akan mengizinkan Azam pergi, Yah." Azam menghela nafas, bimbang.

Danu menepuk pundak Azam pelan, menyalurkan semangat pada putranya itu. "Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya."

Azam menatap Danu lekat. Tersenyum lalu mengangguk kemudian.

"Makasih, Yah."

Danu tersenyum lembut. "Sama-sama, jagoan!"

Azam tertawa kecil. "Azam bukan anak-anak lagi, Yah."

"Bagi orang tua ... seorang anak nggak akan pernah dewasa," balas Danu tersenyum lembut pada Azam.

Azam balas tersenyum.

________________

"Azam!"

Azam berbalik saat mendengar seseorang menyerukan namanya. Dadanya berdetak kencang saat yang ia dapati adalah Fathan. Tidak ada yang bisa Azam salahkan. Hubungannya dengan Nura belumlah jelas. Oleh karena itu, Azam harus memaksakan bibirnya tersenyum membalas sapaan Fathan.

"Oh, hai!" sambut Azam, lalu berjalan beriringan dengan Fathan memasuki kantornya.

"Pukul berapa kamu sampai rumah?" tanya Fathan, mengulang kembali kenangan pahit yang sangat ingin Azam lupakan.

"Aku nggak tau ... nggak lihat jam," jawab Azam seadanya.

Fathan manggut-manggut. "Bagaimana kalau kita ..."

"Ah ... ada urusan apa kamu ke kantorku?" tanya Azam memotong pembicaraan Fathan. Namun bukannya kesal, pria itu justru memberi penjelasan pada Azam.

"Aku ingin bertemu dengan Ayahmu," jelas Fathan. "Ada hal penting yang ingin ku sampaikan padanya."

"Oh," Danu manggut-manggut. "Beliau ada di ruangannya ... perlu kuantar?"

Fathan menggeleng. "Enggak perlu ... biar aku saja," tolaknya lembut. "Kalau begitu aku pergi dulu." Fathan melangkah meninggalkan Azam lalu berhenti dan berbalik menatap Azam. "Kabari aku jika kamu nggak sibuk ... aku ingin mengajakmu minum."

Azam mengangguk. "Oke!" ucapnya.

Fathan tersenyum, berbalik lalu kembali melanjutkan langkah meninggalkan Danu yang juga sudah beranjak dari tempat.

_________

Fathan mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan Danu. Mendapatkan izin dari pemilik ruangan, ia lantas bergegas masuk.

"Selamat pagi, Om," sapa Fathan tersenyum lebar pada Danu.

"Oh, Fathan," Danu menatap kearah Fathan, "Selamat pagi," balasnya kemudian lalu berdiri.

"Silahkan duduk." Danu mempersilahkan. Keduanya lantas duduk di sofa dalam ruangan Danu. "Ada hal penting apa ini, pagi-pagi kamu kesini?" tanya Danu kemudian.

"Saya cuma mau memberikan ini pada Om ... pesan dari Papa." Fathan mengulurkan map ditangannya pada Danu.

"Kenapa harus repot-repot," ucap Danu berbasa-basi seraya menerima map dari tangan Fathan. "Om, kan, bisa ambil sendiri."

Fathan tersenyum. "Papa beranggapan kalau, Om, lupa."

"Kalau urusan duit mana mungkin lupa," Danu terkekeh sendiri, lalu terdiam melihat wajah melongo Fathan. "Itu ajaran, Tante." Danu tersenyum canggung menatap Fathan.

Fathan mengangguk, tersenyum saja.

"Kalau begitu, saya pamit, Om," ucap Fathan lalu bangkit dari duduknya.

Danu mengangguk. "Ah, ya ... terima kasih."

"Sama-sama, Om." Fathan tersenyum.

Fathan melangkah lalu terhenti setelah mendengar perkataan Danu.

"Seminggu lagi, Azam, akan berangkat ke Belanda," ucap Danu.

Fathan berbalik menghadap Danu kemudian. "Azam mau pergi?" ulangnya.

Danu mengangguk. "Jadi ... biarkan dia bersenang-senang sebelum pergi."

Fathan terdiam, lalu mengangguk meski bingung sebenarnya.

"I-iya, Om."

Danu mengangguk, tersenyum pada Fathan. Mengulurkan tangan membentang telapak tangannya mengarah pintu ruangan.

"Silahkan," ucap Danu sebab Fathan tak beranjak juga dari tempatnya, hanya terdiam bingung seraya memikirkan apa yang Danu katakan.

"Ah, iya, Om ... permisi."

Danu mengangguk. Fathan keluar ruangan.

_____________







Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 24.6K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
5.6K 1K 23
Menikah dengan Bilal yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, tidak pernah sedikit pun terbayangkan oleh Medina. Satu minggu setelah kepergian Isma...
3.1K 483 21
PROSES TERBIT || PART SUDAH TIDAK LENGKAP Berawal dari sebungkus nasi, berakhir dipinang dan diajak berikrar suci. Kurang lebih seperti itulah kisah...
644K 42.1K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...