Gavin untuk Givea (Tahap revi...

By Loudstarr

261K 16.6K 2.5K

"Pilihan lo cuman dua pergi atau mundur?" "Sampai kapanpun pilihan aku cuman satu kak, tetep mencintai kamu s... More

Part 1 : Bekal (Sudah revisi)
Part 2 : Tak menyerah (Sudah revisi)
Part 3 : Nebeng (Sudah revisi)
Part 4 : Keluarga kepo (Sudah revisi)
Part 5 : Rizal Chandra Mahardika (Sudah revisi)
Part 6 : Merasa bersalah (Sudah revisi)
Part 7 : Sorry (Sudah revisi)
Part 8 : Chatting (Sudah revisi)
Part 9 : Sebuah pilihan (Sudah revisi)
Part 10 : Salahkah mencintai? (Sudah revisi)
Part 11 : Gosip netizen (Sudah revisi)
Part 12 : Givea marah? (Sudah revisi)
Part 13 : Berhenti? (Sudah revisi)
Part 14 : Rasa sakit (Sudah revisi)
Part 15 : Serpihan masalalu (Sudah revisi)
Part 16 : Tentang rasa (Sudah revisi)
Part 17 : Siska Audreylia (Sudah revisi)
Part 18 : Cemburu (Sudah revisi)
Part 19 : Pasar malam (Sudah revisi)
Part 20 : Titik terendah (Sudah revisi)
Part 21 : Ada apa dengan hati? (Sudah revisi)
Part 22 : Jatuh (Sudah revisi)
Part 23 : Menjauh (Sudah revisi)
Part 24 : Jangan pergi! (Sudah revisi)
Part 25 : Kehadiran Lina (Sudah revisi)
Part 26 : Tawaran
Part 27 : Gombalan Givea
Part 28 : Sebuah keputusan
Part 29 : Rumah sakit
Part 30 : Rumah sakit (2)
Cast🖤
Part 31 : Mulai membaik
Part 32 : Kejadian di kantin
Part 33 : Ungkapan Rizal
Part 34 : Gavin pergi jauh
Part 35 : Pelukan
Part 36 : Siska berulah lagi
Part 37 : Gagal move on
Part 38 : Kebohongan
Part 39 : Gavin emosi
Part 40 : Menghilang
Part 41 : Disekap?
Part 42 : Kembali bertemu
Part 43 : Ancaman
Part 44 : Kobaran dendam
Part 45 : Pamit
Part 46 : Ujian sekolah
Part 47 : Rahasia Dinda
Part 48 : Teror
Pengumuman

Part 49 : Teror kedua

4.4K 113 14
By Loudstarr

Happy Reading😊

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Sudah seminggu pasca operasi pengangkatan tumor, namun kondisi Dinda belum juga sadar. Mereka semua bernapas lega karena operasi Dinda seminggu lalu yang mereka khawatirkan akhirnya berjalan dengan lancar. Operasi dilakukan bertujuan untuk mengangkat sebagian atau seluruh tumor ganas yang merusak sel-sel sehat dalam otak.

Sayangnya Betra- ayah Dinda, sama sekali tak peduli akan keadaan anaknya. Bahkan kabarnya pria itu pergi ke luar negeri, meninggalkan Dinda yang masih terbaring lemah di rumah sakit. Katanya Betra pergi karena urusan pekerjaan kantor, tapi aslinya hanya sibuk bermain-main dengan wanita.

Padahal hari ini niatnya Givea ingin menemui Betra dan berbicara empat mata. Tetapi pria itu malah sudah terbang ke negara lain pada akhir pekan kemarin. Alhasil niatnya ia urungkan saja untuk menemui pria berhati hewan itu. Ralat, hewan saja masih punya hati, namun Betra sepertinya tidak.

"Orangtua macam apa itu, yang tega membiarkan anaknya kesakitan, sedangkan dia malah asyik bersenang-senang diluar sana," dumel Givea, merasa marah dengan kelakuan Betra yang sama sekali tak mencontohkan dirinya sebagai seorang orangtua.

"Dasar Betra gila! Manusia berakhlak biadap!" umpatnya emosi.

"Lo kenapa?"

Suara itu berhasil mengagetkan Givea yang semula mencak-mencak dan mengomel sendirian di depan ruang rawat Dinda.

"Anjir ngagetin lo!" Givea mendengus kesal saat melihat Farah yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. Entah sejak kapan dia berada disana.

"Ngapain lo ngomel-ngomel sendiri kayak gitu? Udah gila?" tanya Farah menaikkan sebelah alisnya.

"Gila mbahmu! Gue tuh lagi gedeg sama Ayahnya Dinda. Bisa-bisanya tuh orang sama sekali nggak peduli sama kondisi anaknya dan malah pergi ke luar negeri, udah tau anaknya sakit juga!" Givea kembali mengomel membuat Farah terdiam.

Farah mendudukkan dirinya di kursi tunggu. Menyandarkan tubuhnya di kepala kursi, lalu memejamkan matanya rapat-rapat. Givea ikut duduk disamping Farah, kemudian menatap sahabatnya itu lumayan lama.

"Kenapa?" tanya Givea memandang Farah aneh.

Farah menggeleng, membuka kembali matanya, lalu menyorot Givea sendu. "Gue kasihan sama Dinda, semenjak Mamanya meninggal beberapa tahun lalu, ternyata Ayahnya sama sekali nggak peduli sama dia. Cuman uang yang Betra berikan untuk membiayai sekolahnya, cuman kekerasan yang Betra lakukan untuk memarahi Dinda, bukan kasih sayang. Lo tau? Selama ini Dinda bahkan nyembunyiin semua lukanya dari kita. Dia selalu terlihat kuat dan baik-baik saja di depan kita, padahal dia rapuh, dia hancur. Rumah yang harusnya jadi tempat ternyaman untuk ia pulang, justru bagai neraka."

Givea terkejut mendengarnya. Ia sungguh baru tau tentang problem keluarga Dinda.

"Bahkan gue yang sahabatnya aja, nggak pernah tau tentang kehidupan sahabat gue sendiri. Gue ngerasa nggak ada gunanya sebagai seorang sahabat Giv. Harusnya gue selalu ada buat dia, nguatin dia, tapi nyatanya gue hanya sebatas sahabat yang ketara asing," lanjut Farah tersenyum getir, gadis itu mengutuk kebodohannya sendiri.

Givea terdiam. Entah mengapa ungkapan Farah barusan, terasa menohok hatinya. Bahkan Givea sadar, ia juga tak pantas di sebut seorang sahabat. Tapi sungguh, Givea benar-benar tidak tau tentang soal itu. Selama ini Dinda selalu tutup mulut, bahkan tak pernah mau bercerita tentang masalahnya.

Givea menepuk-nepuk pundak Farah pelan. "Berhenti nyalahin diri lo sendiri Far, bukan cuman lo yang ngerasa asing, tapi gue juga."

Farah menatap Givea dalam, kemudian memeluknya. Givea pun membalas pelukannya. "Sekarang gue tau Giv, alasan Dinda selama ini nggak pernah ngebolehin kita buat main ke rumahnya," gumam Farah membuat Givea mengangguk paham.

"Dinda nggak mau kita tau beban beratnya. Tapi Dinda itu kuat, buktinya dia bisa ngelewatin semua masalahnya sendirian," sambung Givea melanjutkan.

Givea tak menyangka, jika ternyata masih ada orang yang punya beban berat melebihi dirinya. Ia bahkan tak bisa membayangkan jika bertukar posisi dengan Dinda, mungkin Givea akan merasa hidupnya sudah hancur dipatahkan.

Setidaknya Givea masih bersyukur, karena keluarganya utuh dan sangat menyayangi dirinya. Meskipun kadang Maminya sering mengomel, namun Givea menganggap itu sebagai hal wajar. Setidaknya orangtuanya tidak pernah sekalipun main tangan kepadanya. Karena sebaik-baiknya keluarga, akan lebih baik ketika ada keharmonisan dan kasih sayang di dalamnya.

*****

"Gimana? Sudah ketemu?" tanya pria itu, duduk bersantai di atas kursi kebesarannya, sambil memainkan cutter-nya di dalam ruangan besar dengan nuansa serba dark.

"Maaf bos, sebenarnya kami sudah menemukan tempat persembunyiannya, tapi kami dimanipulasi lalu kehilangan jejak," ungkap pria bertubuh besar itu menunduk takut.

"APAA?! BAGAIMANA KALIAN INI, HAH?! HANYA TUGAS MENANGKAP BOCAH SAJA KALIAN TIDAK PECUS?? SAYA ITU BAYAR KALIAN MAHAL, BUKAN NGUTANG!!"

"Ma-maaf bos, tapi meski bocah, dia itu sangat pintar memanipulasi."

"DASAR BODOH! KELUAR KALIAN DARI RUANGAN SAYA! ATAU MAU SAYA BUNUH SEKARANG JUGA?!!"

Dengan kompak kelima pria berpawakan tinggi itu menggeleng kuat, lalu saling bertubrukan keluar dari ruangan bosnya dengan langkah lebar. Takut akan amarah bosnya yang meledak dan ancaman mengerikannya.

"ARRRGGHHH SIAL! SIAL! SIAL! DASAR BOCAH TIDAK TAU DIUNTUNG!!" teriaknya kembali murka.

PRANG.

BRAKK.

PRANGGG.

Seluruh barang-barang yang ada di ruangan itu kini pecah tak tersisa, bahkan gucci mahalnya juga ia pecahkan habis, saking emosinya.

"HAHAHA, KAMU PIKIR, MESKI TANPA KAMU SAYA AKAN DIAM SAJA?? HAHA KAMU SALAH BESAR BOCAH! RENCANA AKAN TETAP BERJALAN DENGAN LANCAR, DAN KAMU.... HANYA TINGGAL MENUNGGU BERITA HANGATNYA SAJA, ANAK MUDA..."

Dengan suara yang menggelegar, pria tua itu tertawa jahat memenuhi seisi ruangannya. Tidak ada yang dapat menentangnya, tidak ada yang dapat menghentikan aksinya, sebelum dendamnya terbalaskan.

*****

Gavin keluar dari kelasnya, setelah selesai bergelut dengan soal-soal sulitnya. Ini adalah ujian terakhir, dan ia sudah memanfaatkan otaknya semaksimal mungkin untuk mengerjakan soal ujian. Besar harapan Gavin agar bisa lulus SMA, dengan nilai memuaskan.

Tujuan utama Gavin adalah ia harus bisa meraih apa yang ia impikan, meraih prestasi sebaik mungkin dan membanggakan kedua orangtua tercintanya. Entah apapun hasilnya nanti, Gavin akan tetap menerimanya, meski buruk setidaknya ia sudah berusaha.

"Woy, liat jalan Vin! Jangan ngelamun mulu!" sindiran Romli berhasil menyentak lamunan Gavin. Cowok itu hanya melirik malas sahabatnya, lalu fokus berjalan lagi menatap lantai.

"Lagi mikirin Givea ya lo? JIAKHHH ketahuan kan," ledek Romli memancing-mancing.

Gavin mendengus. Padahal ia sedang tidak memikirkan soal cewek itu, tapi saat Romli berujar barusan, ia malah jadi kepikiran. Nah kan Gavin jujur gaiss wkwk.

Tak lama mereka bertiga sampai kantin. Sesampainya disana mereka langsung memesan makanan. Tanpa menghiraukan tatapan memuja, dari para kaum hawa seangkatan, yang selalu saja menyorot mereka tanpa bosan.

"Vin, lo nggak ada niatan mau nembak Givea gitu?" tanya Deni berhasil menghentikan aktivitas Gavin yang sedang bermain ponsel.

Gavin hanya mengedik acuh.

Romli mengusap-usap dahinya bingung. "Katanya lo suka sama Givea?" tanyanya membuat Gavin mengernyit.

"Tau darimana lo?!"

Romli tertawa lebar saat melihat ekspresi kaget Gavin. "Haha, Romli kok dilawan," ucapnya menepuk dada bangga.

Gavin melengos panjang.

"Terus mau lo gantungin kayak jemuran gitu? Cewek juga punya perasaan kali broo," sahut Deni santai, namun mampu menbuat Gavin terdiam.

"Gue nggak mau pacaran."

"Lahh... " Deni dan Romli saling pandang, kemudian menganga lebar.

"Terus mau lo gimana?"

"Ya--"

"Oh maunya langsung nikah aja, yaudah so lanjutken, malah bagus gitu tuh," sela Romli cepat, sedangkan Gavin mendelikkan matanya.

Setelahnya Romli pun cengengesan sendiri, lalu menepuk-nepuk pundak sahabatnya dengan pelan. "Gue mah nggak mau ikut campur urusan pribadi lo ya Vin, Apalagi tentang percintaan. Tapi sebagai seorang sahabat, gue cuman berpesan, hargai selagi ada, karena penyesalan itu sering datang di akhir." Romli berucap panjang lebar.

"Maksud lo apa?" tanya Gavin masih tak mengerti.

"Jaga Givea dengan baik. Jangan lo sia-siain lagi kayak dulu. Dia itu cantik, baik, penyayang dan tulus cinta sama lo! Kalo lo lepasin sekali lagi, gue nggak yakin bakal ada kesempatan kedua buat lo! Karena yang suka sama Givea itu banyak!" lanjut Romli mengingatkan dengan bijak.

Gavin mendengus sebal. "Tanpa lo ingetin, gue juga udah tau!"

Romli tertawa pelan. Sedangkan Deni hanya menyimak obrolan mereka, sambil mengaduk-aduk makanannya tanpa selera. Secara tidak langsung, ia pun juga mendapat tamparan dari Romli, lewat kata-kata bijaknya barusan.

"Yaudah lah broo jangan pada sepaneng gitu lah, mending kita joget rame-rame bareng akang Romli," ucapnya, lalu tiba-tiba naik ke atas kursi kantin, sambil memencet sesuatu di ponselnya.

"MARI JOGET YOK SEMUANYAA!"

"MUSIIIK GOYAANGG!!"

"KALA KU PANDANG KERLIP LINTANG NUN JAUH DISANA..."

"SAYUP KUDENGAR MELODI CINTA YANG MENGGEMAAA..."

"TERASA KEMBALI GELORA JIWA MUDAKU..."

"KARENA TERSENTUH ALUNAN LAGU--"

"--SEMERDU KOPI DANGDUT!!" sorak seluruh penghuni kantin bersamaan, membuat Romli semakin semangat untuk bergoyang di atas sana.

Gavin dan Deni yang menyaksikan itu pun melongo. Mereka berdua masih tak menyangka dengan yang Romli lakukan barusan. Pertanyaan Gavin cuman satu, berapa persen kewarasan otak Romli sebenarnya??

"Nah kan gilanya kumat," gumam Deni geleng-geleng kepala, tak habis pikir oleh tingkah sahabatnya yang satu itu.

*****

Givea melangkahkan kakinya keluar, setelah pintu lift terbuka. Sepertinya main ke apartemen Zevan sebentar tidak cukup buruk, mengingat ia yang bosan terus-terusan berada di rumah, berkutat dengan materi-materi pelajaran untuk persiapan PAS benar-benar membuat kepalanya terasa cenat-cenut.

Tok.Tok.Tok.

"Bentar," sahut suara dari dalam. Givea langsung tersenyum tipis mendengar itu.

Ceklek.

"Hai kak ganteng," sapa Givea menampakkan senyuman lebar semanis mungkin.

Zevan membelalak kaget saat melihat adik sepupunya itu datang ke apartemennya. "Ve-Vea?" beonya.

"Iya ini Vea, boleh masuk?" tanya Givea yang jengah berdiri di depan pintu. Ia ingin langsung rebahan ria, mengistirahatkan tubuhnya di ranjang empuk Zevan.

"Masuk aja sana!" Zevan menyingkir dari pintu, memberi jalan agar Givea masuk ke dalam apartemen minimalisnya.

Givea langsung berlari masuk sambil melompat-lompat kesenangan. Lama tak main kesini membuat dirinya sudah kangen. Entah mengapa ia lebih nyaman berada di apartemen kakaknya.

"Tumben mau kesini nggak bilang-bilang?" Zevan berjalan mengekor di belakang dan berhenti di ranjang, membiarkan Givea rebahan, sedangkan ia hanya duduk di tepi.

"Sengaja mau ngaish surprise." Zevan mendengus, sudah ia duga.

"Kapan kamu Penilaian Akhir Tahunnya?"

"Besok senin paling, soalnya hari ini kelas XII baru selesai ujian," jelas Givea membuat Zevan mengangguk-angguk mengerti.

"Jangan lupa belajar, biar nilai kamu bagus. Biar kakak sama orangtua kamu bangga Vea." Givea hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Zevan. Semua orang menyuruhnya untuk giat belajar, agar nilainya baik, tanpa memikirkan dirinya yang hampir stress dengan semua itu. Huftt dunia memang keras untuk gadis bodoh sepertinya.

"Pasti kak, Vea bakal berusaha maksimal."

Zevan mengacungkan dua jempol tangannya. "Nice, yang penting mau usaha dan yakin jika usaha tak akan menghianati hasil."

"Iya lah, soalnya kan aku mau dikasih hadiah banyak kalo dapet nilai bagus, pasti aku bakal semangat."

Cowok blasteran Indo-London itu menautkan kedua alisnya heran. "Hadiah apa?"

"Katanya kalo aku dapet nilai bagus, Mami mau beliin skaterboard, Gilang mau beliin boneka, Papi mau beliin ponsel baru dan kak Zevan mau ngizinin aku nginep di apartemen kakak. Iya kan?" Gadis cantik itu menjelaskan panjang lebar semuanya membuat Zevan jadi melongo.

"Masih inget kan kak, sama janji kakak?"

Zevan mengerjap kemudian mengangguk samar. "Inget dong. Begitu raport kamu keluar nanti, kakak pasti akan langsung jemput kamu ke rumah!"

"YEAYY MAACIW KAK." Tanpa aba-aba Givea langsung bangkit dan memeluk kakaknya dengan sangat erat, sampai dada Zevan sesak.

"I-iya tapi lepasin dulu, kakak nggak bisa napas."

Givea terkekeh lalu melepas pelukannya. Gadis itu kembali merebahkan tubuhnya, menarik ujung selimut sampai ke bagian dada. "Aku mau tidur dulu kak, nanti kalo udah sore anterin pulang ya sambil jalan-jalan!"

"Iya princess."

*****

"Wih anak jagoan udah pulang ternyata," sindir Kiya saat melihat Gavin baru saja masuk dari pintu utama rumahnya, tanpa mengucap salam. Sudah dipastikan bahwa Gavin lupa.

Gavin menatap wajah Kiya yang duduk bersantai di sofa tanpa minat, lalu berjalan ke arah dapur. Tenggorokannya hampir tercekat karena kehausan sejak dari sekolah tadi. Ia ingin cepat-cepat mengambil minuman dingin di kulkas.

"Eh udah pulang?" kaget Sandra saat melihat putranya tiba-tiba berada di dapur dan membuka kulkas.

Gavin menenggak air mineral di botol tanpa sisa, lalu melemparnya ke arah tempat sampah. "Iya Ma. Mama mau masak apa tuh?" dengan langkah lebar Gavin menghampiri Sandra. Bau masakkan tercium harum di indera penciumannya, membuat Gavin yang tadinya biasa saja kini mendadak jadi lapar.

"Tumis kangkung sama ayam goreng," jawab Sandra sambil mengaduk-aduk masakannya.

"Wih enak tuh, Gavin laper Ma," adunya merengek-rengek. Sandra hanya menggeleng melihat tingkah anaknya.

"Ganti baju dulu sana ke kamar, mandi yang seger, terus makan sama-sama!" suruh Sandra membuat Gavin mengangguk.

"Papa belum pulang?"

"Papa kamu lembur kalo kamu lupa, paling nanti malem jam sembilan pulangnya." Gavin hanya mengangguk-angguk saja. Paham akan kesibukan Papanya yang selalu bekerja keras sampai lembur di kantor. Terkadang ia juga kasihan melihat wajah tegas Levan yang berubah letih, pasti Papanya itu sangat lelah.

"Yasudah sana! Katanya tadi mau ganti, kok malah bengong?" Mendengar ucapan Mamanya, Gavin jadi tersentak, menampilkan cengirannya sebentar, lalu berlari ngacir meninggalkan dapur.

*****

Sebuah mobil hitam berhenti melaju, tepat di depan pagar rumah seseorang. Sang pemilik langsung turun, tak lupa mengunci mobilnya terlebih dahulu sebelum ia tinggalkan.

Setelah beranjak membuka pagar yang nampak tak terkunci, ia bergegas mengetuk pintu rumah mewah itu. Sudah lama dirinya tak bertemu dengan gadis itu sejak hari libur, ia hanya ingin memastikan keadaannya.

Tak lama setelah mengetuk pintu, wanita paruh baya keluar dari dalam rumah.

"Sore tante, Giveanya ada?"

Mira masih diam, mengamati penampilan cowok itu dari ujung kaki sampai atas kepala. Sangat familiar.

"Kamu ini siapa?" tanya Mira memastikan terlebih dahulu. Takut orang jahat akan menculik anaknya.

Rizal menyalimi tangan Mira dengan sopan, lalu menjawab. "Saya Rizal tan, temennya Givea yang pernah main kesini dulu, tante udah lupa ya?"

Mendengar itu Mira jadi tersenyum malu, mengutuk dirinya sendiri yang mendadak pikun. Masih muda kok pikun, kan nggak lucu.

"Oh nak Rizal. Maaf tante lupa, habisnya kamu tambah ganteng jadinya kan tante pangling," puji Mira jujur membuat Rizal jadi terkekeh.

"Ah tante bisa aja."

Mira menahan senyum. Wanita itu memang pecinta cogan, tak heran jika terkadang Rio cemburu pada istrinya itu. "Iya beneran kamu tambah ganteng. Ayo masuk dulu nak Rizal, biar tante bikinin minum."

"Eh iya makasih tan, tapi lain kali aja. Saya kesini cuman mau ketemu Givea sebentar aja, boleh kan tan?" tanya Rizal hati-hati, takut jika ia tidak diizinkan.

"Tentu saja boleh. Tapi Givea belum pulang dari pagi tadi, katanya dia mau jenguk temennya sebentar di rumah sakit, tapi nggak tau kok sampe siang begini dia belum pulang," jelas Mira membuat Rizal terdiam. Pikiran cowok itu langsung berkelana ke banyak hal, salah satunya mengarah pada Gavin. Mungkin Givea diajak jalan dulu sama Gavin. Ah mungkin saja begitu.

"Oh gitu ya tan. Yaudah lain kali aja deh tan, saya pasti datang kesini lagi kalo Givea udah ada di rumah. Kalo kata lagu, mungkin saya ini datang di waktu yang salah," ujar Rizal melawak.

Candaan itu mengundang gelak tawa renyah dari ibu beranak dua itu. Kagum akan ketampanan, sikap, dan juga mental anak remaja di depannya. "Kamu ini ada-ada saja. Yasudah kalo itu mau kamu, nanti jangan lupa main kesini lagi ya. Ngomong-ngomong mau titip salam apa sama anak tante?"

"Eh iya, bilangin ke Givea ya tan, kalo tadi ada pangeran tampan datang ke rumah nyariin dia."

Lagi-lagi Mira tertawa mendengar candaan Rizal. "Haha iya pasti, nanti tante sampein."

"Yaudah tante cantik, kalo gitu saya pamit pulang dulu," pamitnya sambil membungkuk menyalimi tangan Mira.

Mira mengangguk, setelah kepergian Rizal wanita itu kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Sampai dalam wanita muda itu berjingkrak kesenangan karena dipuji cantik oleh cogan.

"Mas Rio i hate you! Maafkan aku karena telah selingkuh dengan cogan dibelakangmu," ucap Mira sambil memegang dadanya mendramastis

Aduh dasar emak-emak zaman now, tingkahnya bikin ngelus dada sambil ngucap astagfirrullah bin naudzubillah. Emak kalian nggak gitu kan guys?

*****

Selesai makan petang, Gavin kembali nongkrong di balkon kamarnya, ditemani oleh segelas susu cokelat buatan Kiya. Jika kalian bertanya mengapa Kiya mendadak baik pada Gavin? Jawabannya karena jelas ada maunya. Cewek menyebalkan tujuh turunan itu meminta Gavin untuk mengantarkannya ke rumah Rio nanti malam. Ketimbang urusannya panjang, Gavin hanya menanggapinya dengan iya-iya saja, padahal ia mager.

Ting.

Satu notifikasi masuk dari ponsel berlogo apel miliknya. Tanpa ingin menunda, tangan panjangnya berusaha menggapai ponselnya yang berada di ujung meja, lalu membukanya.

From : Bidadariku🌝
Hai kak Gavin, lagi apa?

Baru saja Gavin membuka chat itu, deretan kalimat lain sudah muncul di bawahnya. Sembari mengernyit Gavin memandang bawah nama, ada tulisan online disana. Hufftt pantas saja nyepam.

Yeayy udah dibuka nih😂
Btw kak Gavin udah makan belum?
Udah mandi belum?
Udah tidur belum?
Udah kangen aku belum?
Hehe yang terakhir canda.

Cowok itu menggeleng saat membaca isi chat dari Givea, tanpa sadar senyum manis terukir jelas di bibir tipisnya. Tak ingin membuat Givea menunggu lama, Gavin langsung membalas chat itu.

To : Bidadariku🌝
Udah semuanya😙

Setelah menekan tombol kirim, Gavin terkekeh. Ia tak dapat membayangkan bagaimana reaksi Givea ketika membacanya, pasti salting.

From : Bidadariku🌝
Ihh berarti udah kangen aku juga dong??🤭

To : Bidadariku🌝
Maybe iya, maybe enggak.

From : Bidadariku🌝
Dihh nggak mau ngaku😒

To : Bidadariku🌝
Iya deh iya gue ngaku. Gue emang kangen sama lo🥰

From : Bidadariku🌝
Aaaa aku salting. Please help me.

Gavin tertawa renyah. Yang melihatnya pasti akan mengira bahwa ia gila karena ketawa sendiri, padahal iya, Gavin memang sudah gila gara-gara Givea. Wkwk canda.

Ctak.

Baru saja Gavin ingin mengetik balasan, sebuah benda sudah terlebih dahulu menghantam dahinya, rasanya sakit sekali. Gavin langsung berpaling arah, menunduk ke arah lantai, sampai mengintip kolong kursi, memastikan apa yang barusan menimpuknya?

Kernyitan penuh kebingungan tercipta jelas di dahinya, saat netranya melihat sebuah gulungan kertas yang digulung menggunakan pita merah dan diimbangi dengan kerikil.

Sebelum berjongkok, Gavin menyakukan ponselnya di saku celana, lalu beranjak mengambilnya. "Apa ini?" gumamnya penuh tanya.

Tanpa ingin berlama-lama, Gavin langsung melepas ikatan tali pita itu, kemudian membuka gulungan kertasnya.

Kematianmu sudah dekat. Ucapkan selamat tinggal terlebih dahulu kepada gadis tercintamu!

Atau mau gadismu saja yang mati ditanganku?

Lagi dan lagi Gavin dihantui oleh tulisan bertinta darah itu. Entah apa maksudnya orang itu menerornya, cowok itu sendiri bahkan tidak tau.

Gavin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bibirnya nampak menipis. Urat-urat di lehernya juga nampak menonjol. Tanda jika Gavin tengah dikuasai amarah. "WOY ANJING! SIAPA LO?! TUNJUKIN DIRI LO SEKARANG JUGA KALO BERANI! JANGAN CUMAN NGANCEM GUE PAKEK TULISAN! PENGECUT BANGSAT!" teriaknya meluapkan emosi.

Bukannya takut, Gavin malah sangat marah. Sudah cukup kemarin dirinya menahan sabar, tapi kali ini tidak akan. Semakin hari dibiarkan, peneror malah semakin ngelunjak.

Ceklek.

Pintu kamar terdengar terbuka. Muncullah dua perempuan kesayangan Gavin dari dalam sana.

"Ada apa Vin? Kenapa kamu teriak-teriak?" tanya Sandra dengan wajah cemas. Tak jauh berbeda, Kita kini mengelus bahu Gavin agar lebih tenang, cewek itu peka jika adiknya tengah menahan emosi.

"Lo kenapa anjir? Kenapa teriak-teriak? Suara lo udah kayak toa pasar tau nggak!"

Gavin tak menghiraukan ucapan Kiya, netra tajamnya masih menyorot ke halaman depan rumah dari atas balkon, mencari-cari rupa sang pelaku. Gavin yakin jika peneror itu masih ada di sekitar rumahnya. Tapi nihil, sejauh mata memandang Gavin tetap tidak menemukan tanda-tanda kehadiran sosok itu.

"Sial," gumam Gavin menipiskan bibir sambil memejamkan matanya.

"Vin, ada apa? Apa ada sesuatu? Ayo bilang sama Mama!"

Melihat adiknya hanya diam saja, pandangan Kiya jatuh pada gulungan kertas yang Gavin sembunyikan di belakang punggung.

Sreet.

Sahutan secepat kilat dari Kiya membuat Gavin membuka mata dan melotot. Ia ingin merampasnya kembali, namun telat karena Sandra dan Kiya sudah terlihat fokus membaca tulisannya. Gavin hanya mampu menghela napas pasrah melihat itu.

"Ini apa maksudnya?" Sandra mengangkat tinggi-tinggi kertas itu, memperlihatkan isi tulisannya kepada Gavin.

"Nanti Gavin ceritain semuanya kalo Papa udah pulang."

*****
Yuhuu i'am coming.

Maaf ya kalo aku update-nya lama terus, nulis cerita ini tuh bener-bener ngebuat jari aku lelah dan tremor.

Harapannya sih bisa cepet end gitu, tapi gatau nanti kalo aku nggak mager hihihi.

Udah dibilang kalo aku bukan penulis, aku hanya manusia yang suka menulis karena gabutz. Jadi maaf kalo ceritanya jelek.

Tapi aku harap kalian mau ngasih semangat dan apresiasi buat aku. Hargai karya ini lewat👇

Jangan lupa Voment💛

#Rahayu

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 156K 61
[FOLLOW SEBELUM BACA] **** Otoriter. Kaku. Kasar. Kejam. Ketus. Pemarah. Arogan. Angkuh. Bisa di bilang semua sifat buruk laki-laki melekat p...
103K 8.5K 59
Tentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya ju...
1.8M 194K 52
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
2.1M 131K 50
"Afka sampai kapan aku harus nunggu?" "Afka sampai kapan aku jatuh cinta sepihak?" "Afka apa aku salah karena udah suka kamu?" "Maaf aku udah cint...