Ayana √

By queenqurrotaayun

5.8K 409 6

{ End } Baca sampe ending. Jangan di loncat bacanya. Karena yang greget asa di tengah-tengah. Jangan lupa vot... More

Telephone dari seberang Provinsi
Cirebon, Ayana On the Way!
Bertemu
Salah Paham
Penjelasan
Pendekatan
Makam Sunan Gunung Jati
Outbound Siwalk
Keraton Kanoman
Wanawisata Ciwaringin
Bukit Gronggong
Calon Menantu
Meneduh
Kost Sementara
Couple Batik
Berkunjung ke Rumah Mama'
Buah Tangan
Kota Santri, Ayana Kembali!
Keputusan
Khitbah
Harun
Wedding Ayana Putra
Ending
Epilog

Boy dan Putra

135 12 0
By queenqurrotaayun

“Bunda duduk sini!” teriak Boy saat melihat Ayana berjalan di sampingnya. Entah keberuntungan dari mana, Ayana mendapat nomor urut kursi setelah Putra.

“Kok baru pulang sekarang Mas, ada acara lain ya di Cirebon?” tanya Ayana basa-basi kepada Putra saat melihat Boy sudah terlelap di atas paha milik Putra.

“Enggak sebenarnya, cuma Boy aja yang ngebet ingin jalan-jalan dulu katanya. Ya udah, si bapak muda ini ngikutin apa maunya anak kan?” jawab Putra sembari terkekeh, sedangkan Ayana juga ikut terkekeh geli mendengar curhatan dari Putra.

“Kamu ngantuk?” tanya Harun saat melihat Ayana mulai menguap pelan dan menutup mulutnya yang terbuka menggunakan punggung tangannya.

“Iya Mas, kemarin tidur udah tengah malam, tadi pagi bangunnya waktu habis adzan subuh. Efeknya baru kerasa sekarang.”

“Ya udah kamu tidur aja duluan, nanti kalau udah sampai kamu aku bangunin. Kalau nggak gitu biar di bangunin sama Boy kayak waktu itu.”

“Iya Mas, maaf ya nanti kalau aku tidurnya berisik, hehehe.”

“Iya nggak papa. Sekarang kamu istirahat aja.”

Dengan perlahan netra yang tadinya terbuka mulai tertutup secara perlahan. Wajah cantik masih saja tercipta jelas milik Ayana. Tanpa Ayana sadari, kepalanya mulai merosot ke bahu kanan milik Putra. Tidak ingin membangunkan Ayana dari tidur lelapnya, putra justru membantu Ayana mencari letak ternyamannya agar nanti ketika terbangun Ayana tidak merasakan pegal di lehernya.

Senyum tanpa di minta terpancar dari wajah Putra.  Putra memegang kepala Ayana yang bertutup kerudung secara perlahan dan di arahkan tepat di depan dadanya. Jantung Putra terasa berdegub secara cepat, seperti saat dia dulu tengah bersama dengan mendiang istrinya.

Perjalanan yang cukup melelahkan. Usai meletakkan kepala Ayana di depan dadanya, Putra juga mulai memejamkan kedua netranya. Berharap semoga Ayana kelak mau menjadi istrinya, menjadi ibu dari Boy dan juga anak-anak mereka kelak. Jika dikatakan Putra egois, biarkan saja, karena hati tak pilih-pilih ingin berlabuh kepada siapa.

Dengan senyum yang masih tercipta walau dengan kedua netra yang terpejam, Putra mengelus kepala milik Boy dan bergumam dalam hatinya, “semoga Ayana kelak bisa menggantikan Bunda kamu yang sebenarnya Nak.”

Jika di lihat, mungkin saja orang-orang di dalam kereta mengira bahwa mereka adalah sebuah keluarga yang harmonis. Namun jika Harun yang melihat kejadian tersebut, sudah di pastikan akan tercipta sebuah konflik salah paham untuk yang ke sekian kalinya.

Suara kruyuk dari dalam perut mulai membangunkan Ayana dari tidur lelapnya. Sinar mentari mulai beranjak menuju ke ufuk barat. Sinar jingga mulai terlihat indah walau terlihat samar dari balik jendela kereta. Dengan perlahan, Ayana mengerjapkan kedua netranya. Tatapan pertama yang di lihatnya adalah kursi kereta berwarna cream yang tampak lumayan mewah. Ayana merasakan bahwa saat ini dia tengah nyaman tidur di dada seseorang.

Dengan segera, Ayana menjauhkan kepala serta tubuhnya dari dada bidang milik orang yang sedari tadi menahan berat tubuh serta kepalanya. Ucapan istighfar mengalir begitu saja dari bibir milik Ayana. Putra yang merasa terusik karena mendapat gerakan secara tiba-tiba dari Ayana membuatnya mau tidak mau terbangun dengan kepala yang sedikit pusing.

Dengan mengerjapkan beberapa kali kedua kelopak netranya, Putra melihat Ayana yang tengah mengumamkan sesuatu yang tidak terlalu jelas dari penglihatan netranya. Setelah merasa kesadarannya terkumpul, Putra menepuk perlahan bahu Ayana. Walau secara perlahan, tindakan tiba-tiba yang di hasilkan oleh putra mampu membuat Ayana terlonjak kaget hingga menegakkan tubuhnya secara cepat.

Tanpa berucap, Ayana langsung berdiri dari tempat duduknya menuju ke arah toilet. Ucapan istighfar tak henti-hentinya di lontarkan oleh Ayana. Setelah mengambil wudhu, Ayana kembali lagi ke arah tempat duduknya tadi berada.

Saat melihat wajah serta beberapa bagian baju yang melekat di tubuh Ayana basah, Putra sudah mengira bahwa Ayana baru saja mengambil air wudhu untuk sholat. Sesuai dugaan di awal, Ayana mulai mengerakkan tangannya untuk melaksanakan sholat secara duduk.

“Mas udah sholat?” tanya Ayana saat telah menjalankan sholat serta do’anya dalam hati.

“Belum.”

“Nggak mau sholat dulu Mas?” Putra tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Boy yang kini tengah tertidur lelap di dalam pangkuannya. Ayana yang mengerti maksud dari tatapan Putra langsung berdiri memberikan jalan untuk Putra agar Putra segera berdiri dari tempat duduknya.

Perlahan, Putra mengangkat kepala Boy dan meletakkannya di atas kursi yang tadi di tempati olehnya. Dengan langkah gontai karena merasa pegal di beberapa anggota tubuhnya, Putra meninggalkan kursi menuju ke arah toilet untuk mengambil air wudhu untuknya.

Ayana yang melihat Boy sedang tertidur dengan posisi yang tidak enak, akhirnya memutuskan untuk mengangkat kepala Boy dan meletakkannya di pangkuannya secara perlahan. Tak selang beberapa lama, Putra kembali dan menempati tempat duduk yang tadi sempat di gunakan oleh Ayana. Tetesan air wudhu tercetak jelas di wajah  tampan milik Putra.

“Maaf Mas, aku nggak tau kalau tadi aku tidur di depan dada Mas Putra,” ujar Ayana secara gugup saat mengetahui Putra telah selesai melaksanakan kewajiban umat islam di seluruh dunia.

“Iya nggak papa, harusnya aku yang minta maaf soalnya tanpa izin dari kamu aku naruh kepala kamu di depan dadaku tadi.” Ayana sontak memandang wajah Putra secara cepat. Pantas, jika saja Ayana tertidur, paling tidak Ayana akan bersender di bahu milik Putra, bukannya di depan dadanya.

“I … iya nggak papa.”

“Bunda,” rengek Boy secara manja kala terbangun dari tidur lelapnya.

“Iya sayang, kenapa Boy?”

“Laper!” Boy mendudukkan tubuhnya sembari memeluk tubuhnya ke tubuh Ayana dari samping.

“Mas, tolong bisa ambilin tasku?”

“Iya.” Setelah mengambil tas dari tangan Putra, Ayana mengambil salah satu kue yang berada di dalam tasnya dan memberikannya kepada Boy. Dengan lahap, Boy memakan kue yang yang telah di berikan oleh Ayana.

“Makasih,” ujar Putra secara tiba-tiba. Ayana menolehkan kepalanya, padangan mereka bertemu secara beberapa detik hingga Ayana menundukkan pandangannya.

“Buat apa Mas?”

“Karena kamu, Boy bisa merasakan kasih sayang seorang Bunda.”

“Mas kenapa nggak nikah aja lagi, biar Boy bisa dapat kasih sayang seorang bunda?”

“Sebenarnya aku juga ingin begitu. Tapi Boy yang nggak mau. Tapi entah kenapa, waktu dia pertama kali lihat kamu, dia menganggap kamu sebagai bundanya walau hanya sementara.”

“Iya Mas, sama-sama. Dia juga imut banget kok.”

Hening kemudian melanda mereka berdua, begitu pula dengan Boy yang masih fokus dengan roti yang berada di dalam genggamannya. Putra sangat menginginkan hal seperti ini di hidupnya. Berkumpul bersama dengan orang yang di sayanginya kala rasa lelah menyerang tubuhnya.

“Ayah juga laper?” tanya Boy saat melihat ayahnya sedang melihatnya memakan rotinya.

“Mas laper? Aku masih ada roti kalau Mas juga laper,” tanya Ayana polos.

“Enggak. Boy makan aja, Ayah nggak laper kok.”

“Bunda nggak laper juga?” tanya Boy.

“Iya. Bunda udah kenyang kok, tadi juga udah makan sebelum naik kereta.”

“Ya udah, Boy habisin nggak papa kan?”

“Iya nggak papa kok. Kalau Boy masih laper, Bunda masih punya kue-nya.”

“Ini udah cukup kok Bunda.” Ayana mengusap kepala Boy secara pelan. Dan akhirnya mereka kembali diam merasakan perjalanan yang kurang beberapa jam lagi.

Pukul 22.07 WIB Ayana dan juga beberapa orang lainnya sampai di stasiun yang berada di Jombang. Sesuai dengan perkataan Putra, Ayana di bangunkan olehnya lantaran Boy juga masih tertidur di dalam dekapan Ayana.

Saat turun dari gerbong kereta, Ayana sudah menemukan Bapak, Ibu serta adiknya yang tengah berdiri sembari melambaikan tangan mereka. Dengan segera juga, Ayana melangkahkan kakinya menuju ke arah keluarganya. Tanpa dia sadari, ternyata Putra juga mengikutinya dari belakang dengan tangan kanan menggendong Boy dan tangan kirinya membawa tas yang di bawanya ke Cirebon beberapa hari yang lalu.

“Assalamualaikum,” ujar Ayana sembari menyalami tangan Bapak serta Ibunya, sedangkan Citra, adik Ayana mencium punggung tangan milik Ayana.

“Wa’alaikumussalam, capek?” tanya Rifa, Ibu Ayana.

Enggeh Buk, mantuk sakniki?” pinta Ayana.

“Iya. Ayo pak mantuk. Dek, ewangi nggowo tas e Kakak iku,” titah Rifa kepada Citra.

Enggeh Buk. Tak ewangi nggowo tas pean Kak,” ujar Citra.

Suwun Dek,” ujar Ayana sedangkan Citra hanya menganggukkan kepalanya untuk menjawab pernyataan terima kasih dari Ayana. Baru beberapa langkah menjauhi tempatnya berdiri, langkah kaki Ayana dan Citra harus terhenti.

“Kenapa Mas?” tanya Ayana setelah membalikkan badannya.

“Bisa kita bicara sebentar?”

“Iya,” jawab Ayana.

Pean enteni diluk Dek,” beo Ayana kepada Citra selanjutnya.

Enggeh Kak.”

Ayana mulai melangkahkan kakinya menjauhi tempat di mana Citra berdiri. Saat melihat tempat duduk kosong, akhirnya dia mendudukkan tubuhnya di sana di ikuti oleh Putra yang juga tengah menggendong Boy dari depan.

“Ada apa Mas?” tanya Ayana saat mereka berdua sama-sama telah mendudukkan tubuhnya.

“Gini Tar, maaf sebelumnya. Aku cuma pingin langsung ungkapin perasaanku aja.”

Firasat hati Ayana mulai tak enak. “Kamu mau jadi istri sekaligus Ibu dari Boy dan juga anak-anak kita kelak?” tanya Putra langsung pada intinya.

Bagai terserang petir di malam hari tanpa adanya hujan. Firasatnya memang benar terbukti. Putra melamarnya. Entah apa yang terjadi saat ini. Tubuh Ayana terasa begitu kaku saat mendengar penuturan dari Putra.

“Maksudnya Mas, Mas sekarang ngelamar aku?” tanya Ayana secara gugup.

“Iya, apa kamu mau?” Ayana menghembuskan nafasnya secara perlahan.

“Aku sebelumnya udah di lamar seseorang Mas, maaf sebelumnya. Namun lamaran itu hanya berlaku selama satu bulan. Jika dalam satu bulan nanti dia belum ada kepastian, maka secara otomatis lamaran itu di batalkan.” Lagi-lagi Ayana menundukkan wajahnya menahan rasa sesak yang tiba-tiba saja menyeruak di dalam jantungnya.

“Jika dalam waktu satu bulan ke depan dia belum kasih kepastian, apa boleh aku melamarmu lagi?” tanya Putra meminta kepastian.

“Aku nggak tau Mas, yang aku tau untuk sekarang hati aku masih berlabuh sama dia. Aku nggak mau ngejadiin kamu hanya sebagai pelampiasan perasaanku aja.”

“Aku nggak keberatan untuk itu, aku akan mencoba membuat kamu untuk menjalin kisah baru bersamaku,” kekeh Putra amat yakin.

“Tapi ada satu hal yang harus kamu tau. Saat menikah denganku, maka otomatis kamu juga harus siap tinggal di daerahku. Kamu mau?” tanya Ayana memastikan.

“Aku mau dan aku siap untuk itu Tar. Tempat tinggal nggak jadi masalah buat aku, yang terpenting adalah kamu mau menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku kelak. Dan kamu juga bisa menerima Boy sebagai anak kamu.”

Ayana tersenyum mendengar penuturan dari Putra. Seandainya Harun yang mengucapkan hal tersebut, pastilah saat ini hati Ayana sangat senang. Namun itu semua hanya bisa sebatas andai tanpa ada yang terkabulkan.

“Nanti aku kasih kabar ke kamu ya Mas. Kalau emang Kak Harun nggak kasih kepastian ke aku, aku akan hubungi nomornya Mas. Boleh aku minta?” pinta Ayana sembari mengeluarkan ponsel genggam miliknya.

“Nanti aku kabari ya Mas. Tapi aku nggak tau pastinya kapan,” ujar Ayana setelah mendapatkan nomor ponsel milik Putra.

“Iya nggak papa. Aku tunggu kabar baiknya ya.”

“Ya udah Mas, aku pamit dulu. Udah di tunggu soalnya sama yang lain. Assalamualaikum,” pamit Ayana.

“Iya, wa’alaikumussalam.”

Putra hanya mampu menghembuskan nafasnya secara perlahan. Sepelan Ayana mulai menjauhkan tubuhnya dari dirinya dan putra kesayangannya. “Semoga ini yang terbaik buat kita semua,” gumam Putra sendirian di tengah banyaknya orang yang berlalu lalang di hadapannya. Setelah itu, Putra berdiri dan meninggalkan tempat duduk yang tadi usai di gunakan olehnya bersama Ayana.

Pun Kak?” tanya Rifa saat Ayana memasuki mobil keluarganya.

Pun Buk,” jawab Ayana sembari menggerakkan tubuhnya mencari tempat duduk yang nyaman.

Emang e iku sopo?”

Kenalan ten kereta Buk, namine Putra. Garwone sedo pas ngelahiraken anak e. dadose anak e piatu awit lahir. Pas kenalan anak e nyuwun nimbali kulo Bunda, berhubung sakaken, dadose kulo nggeh mboten nopo-nopo,” jelas Ayana.

Saknone Kak,” ujar Citra menimpali obrolan antara Ayana dengan Rifa. Sedangkan Nono—ayahnya Ayana, hanya mendengarkan sesekali mengangguk saat mendengar penjelasan dari Ayana.

“Iya Dek, mangkane pas arek e pingin nyelok Kakak Bunda tak olehi. Jarene Bapak e, arek e yo gak biasa idek ambek wong wedok. Tapi e embuh pas eruh aku kok moro-moro isok idek,” papar Ayana kepada Citra.

“Berarti ada sesuatu Mbak. Ada ikatan batin mungkin, hehehe.”

Ngaco pean!” jawab Ayana sembari terkekeh pelan.

Setelah itu hanya keheningan yang melanda mobil tersebut. Tak ada yang bersuara selain mesin mobil yang membelah jalanan. Ayana dan Citra yang tertidur, dan Rifa yang menemani Nono berjaga di malam yang sudah mulai sepi.

-----o0o-----

Hidup tentang masalah cinta itu rumit. Ada kalanya, apa yang tidak kita inginkan akan terjadi. Ada kalanya juga apa yang kita inginkan ‘tak berjalan sesuai harapan. Pilihan kita ada satu, terus lanjutkan keinginan kita atau mengambil pilihan lain yang tak sesuai harapan.

-----o0o-----

Continue Reading

You'll Also Like

677K 19.8K 40
Ivander Argantara Alaska, lelaki yang terkenal dingin tak tersentuh, memiliki wajah begitu rupawan namun tanpa ekspresi, berbicara seperlunya saja, k...
332K 9.5K 40
Alskara Sky Elgailel. Orang-orang tahunya lelaki itu sama sekali tak berminat berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Nyatanya, bahkan...
492K 37K 44
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
864K 61K 62
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...