PENDAMPING PILIHAN (SELESAI)

By VenyAgustina0

20.4K 1.9K 213

Naura tidak tau jika kedekatannya dengan Azam mampu menumbuhkan benih cinta dihati pria itu. Selama mengenal... More

1. Yang tak diinginkan
3. Makan Malam
4. Makan Malam 2
5. Harus bagaimana?
6.
7.
8. Double Date
9. Double Date 2
10. Menyebalkan!
11. Merasa bodoh
12. Kalah
13. Azam
14. Pilihan
15. Kabar
16. Jangan Pergi
17. Yang Tak Terduga
18. Pendamping Pilihan
19. Ketahuan
20. Pengakuan
21. I love you
22.
23. Berdebar
24. Perpisahan
25. Khawatir
26.
27. Pulang
28. Kangen
29. Penentuan
30. Penentuan 2 (akhirnya)
e-book (Pendamping Pilihan)

2. Bimbang

918 91 12
By VenyAgustina0

Bagai makan buah simalakama. Apakah pepatah itu bisa disemaikan untuk Naura? Perasaannya terluka karena telah menyakiti perasaan Azam. Namun disisi lain, Naura tidak ingin Azam merasa bahagia hanya karena kepura-puraan. Naura tidak menyukai Azam, apalagi sampai mencintainya. Pria itu hanya ia anggap sebagai saudara meski tidak ada ikatan darah diantara keduanya.

Naura menghela nafas berat. Meski sudah sampai di rumah, Azam tak juga buka suara membuat perasaan Naura semakin bimbang saja.

"Mas Azam, nggak masuk ke rumah dulu? Papa sama Mama ada di rumah, kok."

Naura memberanikan diri menatap Azam. Sejak dalam perjalanan ia hanya bisa mencuri pandang, mencari tau bagaimana reaksi pria itu saat mendapat penolakan darinya. Namun melihat Azam yang terlihat tenang, Naura merasa kecewa. Seharusnya Azam mengatakan sesuatu padanya. Merayu, membujuk, atau ... Astaga! Apa yang sudah Naura pikirkan. Seharusnya ia merasa tenang karena Azam tidak membahas masalah pernikahan.

Naura menghela nafas pelan. Apa yang terjadi pada dirinya. Disaat Azam berkata jujur padanya, ia malah menolak. Tapi melihat Azam tidak bereaksi apa-apa, Naura merasa kesal dan kecewa. Apa yang sebenarnya hatinya inginkan?

"Lain kali aja, ya, Ra," tolak Azam lembut. Menyadarkan Naura dari segala pemikirannya. "Aku masih ada kerjaan soalnya."

Naura terdiam. Jawaban Azam terasa mencubit hatinya, menyakiti perasaannya. Aku, sejak kapan pria itu menuturkan dirinya seperti itu? Apakah setelah penolakan Naura? Apa Azam tidak bisa menerima kenyataan kalau perasaan Naura bukanlah miliknya?

Naura mengangguk. Memaksakan senyumnya lalu turun dari mobil. Menatap Azam yang kini berlalu tanpa pamit atau bahkan meliriknya sedikit pun.

Dengan langkah yang seakan tak menapak, Naura memasuki rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi telentang. Setelah hari ini, akankah hubungannya dengan Azam akan berbeda?

___________

"Naura, nanti kalau besar nikahnya sama Mas Azam, ya?" tanya Azam kecil kala itu.

"Nggak mau." Naura menggeleng cepat dan tegas. "Mas Azam gendut. Naura nggak suka sama laki-laki gendut." Naura menjawab dengan polosnya.

Azam menyeringai, merasa prihatin pada dirinya sendiri saat kenangan masalalu menghampirinya bahkan tanpa sebuah undangan.

Dari dulu Azam terus saja meminta Naura menjadi istrinya dan gadis itu terus saja menolak dengan berbagai macam alasan. Dan alasan terakhir yang Naura gunakan adalah dengan mengatakan kalau ia tidak menyukai pria gendut.

Sejak saat itu tak terdengar lagi permintaan Azam untuk menjadikan Naura pendamping hidupnya. Azam menyadari kalau ia tetap gendut, Naura tetap tidak akan mau menikah dengannya.

Sejak saat itu Azam mulai bertekad untuk berubah. Ia mencoba diet, bahkan dengan cara tidak makan dan juga memaksakan dirinya untuk berolahraga. Hingga tak jarang Azam bolak-balik masuk rumah sakit karena aksi diet yang terlalu ketat ia lakukan. Tapi setidaknya Azam mendapatkan hasil yang ia inginkan. Tubuhnya tidak lagi gemuk. Otot-otot perutnya bahkan mulai tampak dan semakin mempesona seiring bertambahnya usia. Azam bahkan mampu menarik perhatian setiap gadis yang menatapnya. Hanya Naura yang sampai saat ini tidak dapat ia taklukan. Mungkin karena sampai saat ini Naura tidak pernah memandangnya sebagai lawan jenis yang bisa dijadikan kekasih.

Tok... tok...

Azam menoleh bersamaan dengan pintu kamarnya yang diketuk. Beranjak dari tempat tidur, menghampiri pintu lalu membukanya.

"Hai, Jagoan," sapa Danu melambaikan tangan. Azam memutar bola mata melihat tingkah sang Ayah.

"Azam bukan anak kecil lagi, Yah. Udah 25 tahun. Jadi, please, jangan panggil seperti itu lagi, " kesal Azam serta berbalik, merangkak naik kembali ke atas tempat tidur. Memainkan ponselnya, menolak untuk menatap Danu.

Danu berjalan memasuki kamar, berdiri di samping ranjang, menanam kedua tangannya ke dalam saku celana, menatap Azam lekat kemudian.

"Menikah kalau begitu," ucap Danu enteng.

"Nggak tertarik," balas Azam tak kalah entengnya. Ia tak akan terpengaruh dengan segala macam provokasi dari sang Ayah.

"Enggak tertarik atau enggak diterima," ucap Danu. Jelas itu bukanlah pertanyaan. Sebab saat Azam menatap Danu, pria itu menyedikkan bahu acuh seraya tersenyum geli -- tampak mengejek.

Azam menghela nafas lalu kembali menatap ponselnya. Percuma ia meladeni sang Ayah. Toh, ujung-ujungnya ia yang akan terjebak sendiri. Danu sangat lihai memainkan kata untuk melawan putranya sendiri. Ya, Danu memang sehebat itu. Tapi Azam juga tidak kalah hebatnya. Ia tidak akan mengalah meski tau yang ia ladeni adalah Ayahnya.

"Ayah sama Mama mau dinner diluar. Kamu ikut nggak?" tanya Danu.

"Enggak, makasih." Azam menolak.

"Tapi sayangnya Mama maksa kamu untuk ikut."

Azam berdecak, menatap Danu malas. Perlahan ia turun dari tempat tidur lalu melangkah menghampiri kamar mandi.

"Setelah ini, Azam akan meminta izin sama Mama untuk kembali ke apartemen." Setelah gerutuan itu, Azam masuk ke kamar mandi. Danu terkikik geli melihat kekesalan Azam. Bagi Danu Azam tidak akan pernah dewasa. Pria itu akan terus menjadi putra kecilnya. Putra jagoan kesayangannya.

Beberapa menit berlalu Azam sudah selesai membersihkan diri. Keluar dari kamar mandi namun tidak melihat Danu berada di kamarnya lagi. Azam lantas bergerak ke arah lemari, mencari pakaian yang nyaman untuk ia kenakan.


Saat merasa sudah siap, Azam bergegas keluar kamar, mencari keberadaan Danu dan Safna. Ternyata kedua orang tuanya sudah menanti kedatangan Azam dengan duduk tenang di ruang keluarga.

"Sudah siap?" tanya Safna. Azam mengangguk saja.

"Ayo." Ajak Danu seraya bangkit dari duduknya. Diikuti Safna dan Azam dibelakangnya.

Dalam perjalanan, Azam terus memainkan ponselnya. Sengaja ia melakukan hal demikian agar Danu tidak punya waktu untuk mengganggunya. Tapi sepertinya Azam salah. Sejak memasuki mobil, ia sudah merasa diganggu meski tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Danu. Seperti saat ini, Danu berulang kali menatapnya dari spion mobil dan semakin lekat menatapnya saat mobil berhenti di lampu merah.

Azam membalas tatapan Danu dengan tajam. Menghela nafas, menyandarkan punggungnya pada punggung kursi dengan melipat kedua lengan di depan dada.

Danu menyeringai. Mengalihkan pandangan menatap jalanan seraya menjalankan kembali mobilnya.

"Kamu nyaman?" tanya Danu. Berkerut kening Azam mendengar pertanyaan sang Ayah. "Bagaimana kalau ada gadis yang melirikmu kearah. Tapi tiba-tiba berpaling karna penampilanmu?"

"Jadi dari tadi lihatin Azam karna ingin mempertahankan hal itu?" tanya Azam balik. "Ayah tenang aja. Azam akan cari gadis yang seperti Mama, paling enggak memiliki sedikit sifat Mama yang nggak terlalu heboh dengan penampilan pasangannya."

"Kamu nggak akan menemukan gadis seperti Mamamu ... istri Ayah ini limited edition." Danu terkekeh saat Safna mencubit perutnya.

"Cari pendamping hidup itu nggak perlu cantik, yang penting baik, pengertian, dan paling penting menerima kamu apa adanya." Safna memberi pengarahan pada Azam.

"Tentu!" balas Azam mantap. Ia sudah menemukan kriteria itu. Tapi untuk mendapatkannya, Azam harus sedikit berusaha -- membuktikan kalau ia layak untuk dijadikan pendamping.

"Ehem," suara deheman yang terdengar dipaksakan itu membuat Safna dan Azam menoleh. Menatap Danu dengan perasaan bingung. "Sebagai seorang anak, bukankah seharusnya kamu yang menyetir dan membiarkan Ayahmu duduk tenang?" tanya Danu sebagai sindiran. Saat Danu bangkit dari duduknya, Safna dan Azam mengikuti dibelakangnya. Namun begitu tiba di luar rumah, Azam melebarkan langkah dan masuk duluan ke dalam mobil -- kursi belakang dan membiarkan sang Ayah menyetir. Meski mendengar Danu menggerutu, Azam tidak peduli. Hanya memainkan ponselnya sebagai pengalih perhatian.

Merasa tak ingin kalah. Azam lantas membalas. "Bukankah seorang Ayah itu tulang punggung keluarga? Tapi kenapa Azam yang harus ngontrol perusahaan, ya?" Azam balik menyindir. Membiarkan sang Ayah merengut bagaikan anak kecil.

_________

Segini dululah yaa. Kalau rajin besok aku update lagi deh😁😁

Continue Reading

You'll Also Like

3.2K 220 29
Cinta yang gegabah membuat Haris dan Aisyah menikah muda. Pernikahan saat mereka masih berstatus mahasiswa. Mereka berfikir semua perasaan akan tunt...
3.4M 26.6K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
3.3M 48.2K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
22.3K 3.3K 33
[Romance-Spiritual] Cinta untuk Hanna A story by akufani ••• Kata orang, jatuh cinta itu sakit. Benar. Aku setuju, dan aku telah mengalaminya sendiri...