ANGKASA [END]

By ell_shiii

1.6M 138K 6.9K

Namanya Angkasa. Sifat dingin seolah tak ingin tersentuh oleh siapapun selalu mendominasi dirinya hingga memb... More

PROLOG
ANGKASA 01
ANGKASA 02
ANGKASA 03
ANGKASA 04
ANGKASA 05
ANGKASA 06
ANGKASA 08
ANGKASA 09
ANGKASA 10
ANGKASA 11
ANGKASA 12
ANGKASA 13
ANGKASA 14
ANGKASA 15
ANGKASA 16
ANGKASA 17
ANGKASA 18
ANGKASA 19
ANGKASA 20
ANGKASA 21
ANGKASA 22
ANGKASA 23
ANGKASA 24
ANGKASA 25
ANGKASA 26
EPILOG
Recomend wp
Terbittt??
VOTE COVER!!
PO DIMULAI!!!!

ANGKASA 07

53.2K 5.7K 529
By ell_shiii

"Gue sih yakin, Mir."

"Kenapa?"

"Sebenarnya, lo punya hubungan tertentu kan, sama Angkasa?"

Amira gelagapan, namun sebisa mungkin dia berusaha untuk terlihat biasa saja. Sebenarnya Amira ingin mengatakan yang sebenarnya pada Arani. Bukannya Amira tak percaya, hanya saja, ia masih takut. Padahal tanpa Amira ketahui, para sahabat Angkasa pun telah mengetahui fakta yang sebenarnya.

"Gak ada kok. Apaan coba!"

Arani menatap Amira ragu, "Bener?"

"Iya Anii! Udah deh, aku mau nyatet dulu ini!"

"Iya, iya, selo aja kali."

Amira kembali fokus pada catatannya. Jadi sekretaris emang harus terima nasib. Rela nulis dipapan tulis, dan mengabaikan catatan sendiri tertinggal. Namun walau begitu, Amira tetap menyukai tugasnya sebagai sekretaris.

"Kok banyak banget, Ni?"

"Iyalah! Kan lo yang nulis dipapan! Yakali lupa. Jujur nih ya, Mir. Gue enek kalo liat lo nulis di depan. Kenapa gak ada jeda berhentinya gitu loh. Setidaknya, lo sabar dikit kek. Kan satu kelas ini murid itu beraneka ragam, ada yang nulisnya cepet, ada yang lemot. Jangan asal hapus aja, bisa?"

Amira menyengir. Emang sih, Amira kalo lagi nulis di dipapan tulis, selalu ngebut. Tak jarang jika banyak yang protes karena Amira nulis terlalu cepat.

"Maaf deh, nanti kalem."

"Nah, gitu."

Arani menatap keluar jendela. Namun betapa terkejutnya saat ia melihat Angkasa tengah ditempeli oleh Mina, sicewek manja tukang cari perhatian. Dia memang cantik, bahkan terkesan imut. Namun kesan imutnya hilang, jika telah mengetahui sifat aslinya.

"Mir, Mir!"

"Apaan sih?"

"Liat-liat. Angkasa lagi ditempelin dedemit, Mir!"

"Hah?"

Refleks Amira menengok kearah tunjuk Arani. Memang, di sana Angkasa tengah berhadapan dengan Mina. Beberapa kali Amira melihat Mina berusaha menyentuh tangan Angkasa, namun beberapa kali juga, Angkasa terus menepis agar tangan itu tidak menyentuh lengannya. Entah kenapa setelah kejadian peluk-pelukan kemarin, Amira kadang salting sendiri kalo liat Angkasa. Namun sekuat tenaga ia menahan diri agar tidak jatuh hati pada sosok manusia es yang menjabat sebagai suaminya.

"Mir!"

"Eh, iya?"

"Kenapa bengong?"

"Gak papa kok." Amira tersenyum singkat. Ada rasa lega saat Angkasa tidak merespon cewek lain yang tertarik padanya. Amira pernah terpikir, kenapa Angkasa tidak memarahinya saat ia tertidur dikamar cowok itu? Atau memang Angkasa sengaja membiarkan Amira tertidur itung-itung ucapan terima kasih? Aish! Mana mungkin Angkasa jadi tiba-tiba care seperti itu.

"Mir!"

"Eh, iya?"

"Kan begong lagi. Kenapa sih? Sini cerita sama Bunda. Kenapa sayang?"

"Nggak papa, Ani. Udah ya, aku mau lanjut nulis."

Amira melirik sekilas keluar jendela. Ternyata mereka sudah tak ada. Amira tersadar, ia tak boleh terlalu kepo soal Angkasa. Tak boleh!

***



"Lo kenapa sih?"

Agharna menatap Angkasa heran. Pasalnya raut wajah Angkasa tampak beda. Walaupun ekspresi nya selalu datar, namun Agharna dapat membedakan itu.

"Gak papa."

Agharna mengangguk sekilas. Mencoba percaya, walau sedikit curiga, "Nanti malem, dia ngajak lo tanding. Mau terima atau skip aja?"

"Terima."

Tanpa ragu Angkasa menjawab. Jika ada seseorang yang menantangnya tak mungkin ia tolak. Apalagi seseorang yang melawan dirinya balapan adalah orang yang paling Angkasa tidak sukai. Pasalnya orang ini selalu songong jika berhadapan dengan Angkasa. Kadang dia selalu tidak terima saat Angkasa menang melawannya. Padahal, itu tidak terlalu penting menurut Angkasa. Toh, dirinya ikut balapan pun, hanya untuk bersenang-senang.

"Oke. Lo langsung datang aja kesana."

Angkasa mengangguk. Bel sekolah telah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Tiba-tiba saja ia bangkit dari duduknya dan berlari keluar dari rooftop. Agharna sangat terkejut sekaligus heran melihat sahabatnya yang seperti itu. Angkasa tipikal orang yang sangat santai dalam situasi apapun. Namun tadi, dirinya seakan melihat Angkasa panik akan kehilangan sesuatu.

"Dia kesurupan kah?"

Angkasa berjalan tergesa dengan tas disampirkan di bahu kananya. Setelah sampai di depan kelas XI MIPA2 Angkasa memelankan langkahnya. Dan ternyata, kosong. Kelas itu telah kosong. Seketika dia sadar akan apa yang telah ia lakukan. Untuk apa? Kenapa dirinya tiba-tiba seperti ini? Kenapa dia ingin pulang bersama Amira? Bahkan ia sampai rela datang ke kelasnya. Angkasa tersenyum miris. Bodoh! Angkasa memaki dirinya sendiri.

"Gue kenapa sih?!"

Angkasa menghela nafas berat, dan kembali melanjutkan langkahnya untuk berjalan. Namun baru saja ia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja suara seseorang menghentikan langkahnya. Dan dia, seseorang yang sempat Angkasa cari.

"Angkasa. Kamu cari siapa?"

Amira berjalan menghampiri Angkasa dengan kain pel ditangannya. Jilbabnya ia sampirkan keujung bahu, menatap Angkasa heran.

"Ngapain? Cari siapa?"

"Gak ada."

Angkasa mlengos. Niat mau ngajak pulang bareng, tapi gengsi masih segede gunung. Kenapa ia berpikiran untuk mengajak Amira pulang bersama? Entah kenapa Angkasa jadi bimbang sendiri dengan apa yang dia rasakan.

"Lo ngapain?"

"Berdiri."

"Lebih spesifik?"

"Aku mau naruh kain pel. Tadi baru piket. Kamu belum pulang?"

Bukannya menjawab, Angkasa hanya mengangguk. Dia berbalik, berjalan menuju parkiran tanpa melanjutkan niat pertamanya datang kesini untuk apa.

"ANGKASA!"

Angkasa berhenti berjalan, namun tak berbalik. Menunggu kelanjutan Amira berbicara, "A---aku ikut pulang, boleh? Tadi pagi aku lupa bawa uang, Angkasa."

Angkasa mengernyit heran. Dia berbalik,menghampiri Amira yang tengah menunduk, "Kenapa?"

"Ha--hah?"

"Kenapa gak minta ke gue?"

Amira hanya menggeleng, cukup takut melihat wajah Angkasa yang sangat datar, apalagi dalam jarak sedekat ini. Dirinya tidak seberani itu untuk minta uang pada Angkasa yang berstatus sebagai suaminya sendiri, malu juga.

"Ayo,"

"Kemana?"

Angkasa berdecak malas. Menatap Amira datar, "Pulang."

"Bentar, aku taruh kain pel dulu." Amira tersenyum dan berlari ke dalam kelas untuk menaruh kain pel. Mengambil tas terburu-buru dan berlari menghampiri Angkasa yang tengah bersandar disamping pintu.

"Ayo!"

Amira berjalan di depan Angkasa. Sesekali bersenandung pelan sambil melirik Angkasa yang berjalan di belakangnya.

"Angkasa, kamu pernah suka sama orang gak?"

Sadar karena ucapannya mungkin terlalu privasi, cepat-cepat Amira menutup mulut dan menggeleng, "Maaf Angkasa. Gak usah dijawab. Gak usah."

Angkasa hanya diam. Tatapannya terus terkunci pada seseorang di depannya. Mungkin semakin lama ia mengenal Amira, sifat aneh dalam dirinya semakin banyak yang keluar.

"Gak pernah."

"Eh, Angkasa jawab!" Amira tersenyum lebar. Merasa puas karena pertanyaan pertama yang ia ajukan telah dijawab oleh Angkasa.

Angkasa berdecak. Langkahnya semakin lebar untuk mendahului Amira. Saat di parkiran, Amira melihat Angkasa berbicara sebentar pada Azhar, sahabatnya. Ia sempat melihat Azhar menggoda Angkasa sambil melirik dirinya. Kenapa?

"Lo nunggu Angkasa?"

Azhar berhenti di depan Amira. Tentu saja, Amira heran saat melihat seseorang di depannya ini. Amira hanya tau namanya saja, namun ia tak pernah sekalipun berbicara dengannya.

"Kamu tanya aku?"

"Tanya rumput yang lagi dangdutan!" Niat awal mau goda istri orang, yang ditanya ternyata lola.

"Hati-hati, Angkasa suka angresif kalo lagi sakit."

"Eh?"

Brum

Amira menatap Azhar heran. Dia tau dari mana kalo Angkasa pernah sakit? Ingin menanyakan kembali, namun Azhar keburu pergi.

"Naik."

Amira menatap Angkasa sekilas. Tersenyum tipis, ia menaiki motor Angkasa yang tinginya berasa mau meninggal.

"Jangan ngebut ya."

"Gak janji."

***

"Angkasa,"

"Apa?"

"Bantuin, boleh?"

"Apa?"

"Angkatin galon."

Amira tersenyum polos. Galon dieumahnya telah habis, jadilah ia isi ulang pada tukang galon keliling. Mau langsung dibawa masuk, tapi Amira gak kuat, terlalu berat untuk perempuan lemah lembut seperti Amira.

"Bentar,"

Angkasa masih asik dengan game diponselnya. Jelas saja Amira jengah melihat itu. Apa susahnya sih kalo di pause dulu!

"Lo isi ulang?"

"Iya."

Angkasa berjalan ke luar rumah. Mengangkat galon pelan, dan menaruhnya di dapur, "Lain kali jangan isi ulang."

"Kenapa?"

"Gak bersih. Harusnya sekali pake aja."

"Kan gak tau."

Amira memotong sayuran, dia mau masak buat makan malam nanti. Sudah beberapa minggu tinggal bersama Angkasa, Amira sedikit demi sedikit mulai mengenal Angkasa. Walaupun Angkasa masih sangat datar, cuek, dan kadang membuat jantungnya senam aerobik. Namun Amira memahami itu. Entahlah, mungkin lama kelamaan, dirinya bisa jatuh hati pada Angkasa. Tapi, entahlah.

"Angkasa."

Angkasa berdehem.

"Perbanyak ngomong ya. Ngomong gratis kok, gak dipungut biaya apapun."

"Iya."

"Angkasa,"

Angkasa berdehem.

"Masih pusing gak? Demam kamu beneran udah sembuh kan? Aku lupa mau tanyain. Sini aku deketan, aku mau pegang dulu."

Angkasa mematung ditempat. Ingatan saat dirinya sakit dan berakhir dipelukan Amira, tiba-tiba saja terlintas diingatannya. Menghela nafas pelan untuk menormalkan detakan jantungnya. Angkasa menatap perempuan di depannya yang tengah menatap polos. Wajah itu, wajah yang sempat membuatnya terpana saat pertama kali membuka mata. Melihat Amira yang tengah tertidur dalam dekapannya, sungguh membuat Angkasa gila! Apalagi jika setiap hari, wajah itu selalu hadir di depan mata saat pertama kali ia bangun dari alam mimpi. Tidak! Jangan sampai Angkasa jatuh hati pada istrinya ini!

"Angkasa,"

Angkasa tersadar. Melirik Amira sekilas dan berjalan mendekati perempuan itu, "Mau pegang apa, hmm?"

"A--aku--" Sekarang Amira yang dibuat ketar-ketir karena Angkasa. Padahal niatnya tadi hanya ingin memastikan jika Angkasa benar-benar sudah sembuh. Namun saat Angkasa mendekat, kenapa rasanya gugup sekali! Sungguh Amira tak suka situasi seperti ini.

"Gak jadi deh. Kayaknya kamu beneran udah sembuh. Buktinya, tadi kamu udah sekolah. Iya kan?" Amira kembali menyibukan diri dengan bahan masakan di depannya. Mencoba mengalihkan pembicaraan agar Angkasa cepat pergi dari sampingnya.

"Kalo belum?"

"Hah?"

"Kalo gue belum sembuh?"

"Masa sih? Udah sehat kok kayaknya." Amira mengelap tangannya sekilas. Lalu menempelkannya di kening Angkasa. Amira tersenyum, ternyata Angkasa benar-benar sudah sembuh, suhu tubuhnya sudah kembali normal. Mungkin ia telat memastikan ini, namun tak ada salahnya jika ia ingin bertanya, bukan?

"Udah sehat kok. Suhu kamu normal."

Bukannya pergi, Angkasa malah semakin mendekat pada Amira. Menyentuh tangan kanan Amira yang masih memegang pisau, dan melepaskannya. Angkasa membungkuk pelan, mencoba menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan Amira. Jelas saja perlakuan Angkasa sungguh membuat Amira bingung, dan terkejut secara bersamaan. Apa-apaan ini! Kenapa Angkasa terus mengikis jarak antara mereka?! Amira kan, jadi deg-degan gak karuan!

"Mir,"

"Kalo gue belum sembuh---"

"Boleh gak, minta peluk lagi?"
























































TBC.

Maap kalo ada typo.

PELOKK TEROSS!


Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.3M 74.5K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.4M 132K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
8.9M 950K 65
[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yang rela membakar jari-jari tanga...
1.1M 107K 57
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...