-HAPPY READING-
Nafika turun dari mobil, hanya beberapa detik setelah Saga yang juga baru sampai di rumah. Setelah kejadian canggung di kantin siang tadi, suasana antara mereka benar-benar kaku. Saga berusaha mengalihkan pandangan, seolah tidak melihat Nafika yang baru turun dari mobil.
Melihat Saga menghindar, Nafika menundukkan kepala. Sesekali, ia memperbaiki posisi jepit rambutnya sebelum melangkah menyusul Saga yang sudah masuk ke dalam rumah.
Saat Nafika melangkah masuk, Aira berteriak panik melihat wajah Saga yang lebam. Wanita itu, yang tadinya fokus menonton televisi, langsung mengalihkan perhatian saat Saga memasuki rumah dalam keadaan babak belur.
Langkah Nafika terhenti. Ia hanya berjarak tujuh meter dari Saga yang sedang mencoba menenangkan kepanikan Aira.
"Ma, Saga baik-baik saja. Jangan khawatir," kata Saga berusaha menenangkan ibunya.
Aira menggeleng tegas. Wajahnya menunjukkan kemarahan dan kecemasan. "Baik-baik saja dari mana, Saga? Wajahmu biru seperti ini, tidak ada yang baik!"
Saga menggaruk kepalanya. Aira, jika melihat Saga atau Nafika terluka, benar-benar berubah menjadi ibu yang cerewet.
"Kamu berantem? Ya ampun, sudah Mama bilang jangan berantem. Lihat, kamu jadi luka seperti ini. Bagaimana jika kamu mengalami patah rahang atau hal lain yang membahayakan?" Aira terus mengomel tanpa henti sampai akhirnya menyadari kehadiran Nafika yang menatap mereka.
"Eh, Fika. Kamu sudah pulang juga?" Aira segera bertanya, mengangkat tangan menyuruh Nafika mendekat.
Nafika menyengir, lalu menggeleng. "Fika mau ke kamar dulu, Ma. Badan Fika lengket banget, mau mandi."
"Eh? Tumben sekali," Aira mengepalkan tangan, tampak terkejut. "Kamu tahu Saga berantem dengan siapa, Fika? Biar Mama yang menghukum anak nakal itu!" Aira mengepalkan tangannya, bertekad menghukum siapa pun yang berani memukul putranya.
Saga menghela napas. "Ma, Saga baik-baik saja. Saga cuma tidak sengaja terkena tinju murid yang bertengkar ketika menengahi mereka," jelas Saga dengan bohong, tentu saja dia tidak akan menceritakan semuanya.
"Apa itu benar?" tanya Aira dengan nada yang mulai lembut. Saga mengangguk cepat sebelum Aira bertanya pada Nafika yang pasti tidak akan bisa berbohong dengan baik.
Aira menghela napas. "Kalau begitu, mau bagaimana lagi. Lain kali kamu harus berhati-hati, Saga. Mama tidak mau kamu terluka lagi. Ingat itu?"
"Siap, Mama!" Saga menjawab mantap diakhiri dengan kekehan kecil.
"Fika, kamu obati Abang," perintah Aira saat Nafika hendak melangkah pergi.
Nafika menghentikan langkah, menautkan alis. "Kok Fika? Bibi Dera mana?" Dalam kondisi hubungan Saga dan Nafika yang sedang renggang, bagaimana bisa Nafika akan mengobati cowok itu?
"Bi Dera sedang Mama suruh pergi ke pasar, jadi kamu saja yang mengobati Abang. Lagipula, kenapa kamu terlihat keberatan? Tumben sekali?" Aira bertanya menyelidik. Nafika tidak suka berdekatan dengan Saga? Mungkin itu adalah salah satu keajaiban dunia.
Nafika mendadak kikuk, bingung mencari alasan. Dia benar-benar payah dalam berbohong dan akhirnya mengangguk setuju. "Iya, Ma. Fika ambil kotak P3K dulu," katanya lalu melenggang pergi.
Saga hanya bisa diam. Dia tahu alasan Nafika menolak mengobatinya. Namun, tidak mungkin mereka memberitahu Aira tentang perselisihan mereka.
"Kamu dan Fika baik-baik saja, kan?" Aira tiba-tiba bertanya. Mereka kini duduk di sofa.
"Iya," jawab Saga pendek, enggan membahas lebih jauh.
Aira mengulurkan tangan mengelus kepala Saga. "Jaga adikmu dengan baik, jangan sampai kalian bertengkar." Saga hanya membalas dengan anggukan kecil.
Sentuhan Aira benar-benar hangat. Aira tidak pernah membeda-bedakan antara Saga dan Nafika. Kasih sayang Aira terbagi rata meski Saga bukan putra kandungnya.
"Mama mau kembali ke kamar dulu, badan Mama juga lelah." Aira berdiri dan pergi meninggalkan Saga sendiri, memberi ruang bagi Nafika dan Saga untuk berbicara, karena instingnya sebagai seorang ibu merasa kedua anaknya sedang bertengkar.
Tak lama setelah Aira pergi, Nafika datang dengan kotak P3K. Wajahnya datar, menghindari kontak mata dengan Saga yang baru saja menatapnya.
Nafika duduk di sebelah Saga, membuka kotak P3K dan mengeluarkan obat serta kapas.
Saga melirik Nafika yang sibuk mengeluarkan obat. Cewek itu tampak bingung, seolah tidak pernah mengobati seseorang sebelumnya.
Nafika mengambil kapas dan memberi tetesan betadine. "Ini bakal sedikit sakit, jadi tahan," ucapnya sebagai peringatan. Ini juga salah satu cara untuk menghilangkan kegugupannya. Tangan Nafika terangkat, siap mengoleskan kapas dengan betadine pada luka Saga.
"Tunggu sebentar, Fika." Saga menahan tangan Nafika.
"Eh? Kenapa?" Nafika bertanya, menyerutkan dahi.
"Lo pernah mengobati orang lain?" tanya Saga.
"Y-ya ... gue pernah mengobati Anna saat dia luka," jawab Nafika gugup, memberikan alibi yang tidak sepenuhnya bohong.
Saga menghela napas, mengarahkan tangan Nafika ke bawah. "Lo jelas belum paham cara mengobati orang lain, Fika." Saga berdiri dan menuju dapur. Ia kembali dengan seember air hangat dan kain pengompres. Nafika tetap menatap Saga dengan seksama.
Saga duduk kembali, mencelupkan kain ke dalam air hangat. Setelah beberapa detik, ia mengeluarkan kain itu dan membiarkan sisa air turun. Saga kemudian menggapai tangan Nafika, meletakkan kain pengompres di telapak tangannya, dan membantu Nafika mengarahkan kain itu pada memar di wajahnya.
Jika kalian bertanya bagaimana kondisi Nafika, maka dia tidak baik-baik saja. Ada dua alasan, pertama, Nafika ketahuan berbohong pada Saga, seseorang yang sangat mengenalnya. Kedua, dalam situasi ini, Saga memegang tangan Nafika lembut, mengarahkan tangan Nafika dengan baik, seolah sedang mengajarinya. Jika situasinya berbeda, Nafika mungkin akan berteriak histeris karena senang.
Setelah merasa Nafika bisa menangani sendiri, Saga menurunkan tangannya. Sesekali, dia meringis saat Nafika dengan sengaja menekan bekas memar di kulitnya.
Dalam hati Nafika cekikikan, merasa puas melihat Saga kesakitan, dan rasa kesalnya sedikit terobati.
Lima menit berlalu. Nafika berhenti mengompres dan mengambil kapas yang telah diberi betadine untuk membersihkan sisa luka pada bibir Saga.
Nafika berusaha menahan napas dan menelan ludah dengan susah payah. Dia hampir pingsan karena menyentuh bibir Saga yang terlihat sangat seksi. Nafika khawatir dia akan kehilangan kendali dan mencium bibir itu.
Lama kelamaan, Nafika mulai menikmati tugasnya. Selain bibir Saga yang mempesona, rahang kokoh, garis wajah menawan, mata tajam, dan hidung mancungnya membuat Nafika terpikat. Dia ingin sekali menangkup wajah tampan itu dengan kedua tangannya.
"Fika." Panggilan Saga membuyarkan lamunannya.
Nafika cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya yang kagum menjadi datar. "Apa?" Suaranya terdengar ketus.
"Maaf," kata Saga dengan pelan, hampir tak terdengar.
"Apa? Lo bilang apa?" Nafika meminta Saga mengulangi kata-katanya. Sepertinya dia salah dengar.
Saga menelan ludah, mengangkat tangan Nafika dan menggenggamnya. "Maaf, Fika. Maaf atas kejadian tadi." Kali ini suaranya jelas.
Nafika merasakan kehangatan menyebar di hatinya. Dia jelas mendengar Saga meminta maaf. Saat ini, Nafika ingin berteriak saking senangnya, tapi dia menahan diri demi gengsi.
"Iya, gue maafin," jawab Nafika singkat, meski hatinya berkata, 'Hei, Saga. Kamu tidak perlu meminta maaf. Apapun yang kamu lakukan, kamu selalu sempurna di mataku.' Kata-kata itu tetap terpendam dalam hati Nafika.
Saga menunduk, menatap tangan mereka yang bertautan. "Maaf juga atas kejadian kemarin waktu lo nangis. Lagi-lagi gua bikin lo nangis," ujar Saga lembut dengan nada yang manis.
Pertahanan Nafika hampir goyang, tetapi gengsi dan egonya masih kuat. "Lupain, Saga. Gak perlu diingat."
"Tetap aja, Fika. Gak ada cowok keren yang bikin cewek nangis," kata Saga dengan rasa bersalah, menundukkan kepala.
Nafika tertegun. Saga masih mengingat kenangan masa kecil mereka, saat dia selalu ingin terlihat keren di mata Nafika. Sebuah senyum muncul di wajah Nafika—senyum pertamanya setelah percakapan panjang. "Tenang aja, Saga. Lo selalu keren di mata gue. Selalu sempurna seperti biasa," kata Nafika sambil mengibaskan tangannya, meyakinkan Saga bahwa dia tetap keren meski pernah membuat Nafika menangis.
"Sebenarnya gua udah janji—" Belum selesai kalimat Saga, ponsel di saku celananya berdering, menghentikan percakapan mereka. Saga menunduk, merogoh saku, dan melihat siapa yang menelepon.
Nafika, yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari Saga, melihat nama Veya di layar ponsel Saga. Saga menoleh sebentar ke Nafika, meminta izin untuk mengangkat telepon. Sebelum Nafika sempat keberatan, Saga sudah berdiri dan menjauh untuk menjawab telepon.
Nafika mendengarkan percakapan mereka dengan cermat, meski samar-samar.
"Maaf, sepertinya gak bisa hari ini. Kondisi gua belum cukup baik untuk pergi," ujar Saga, sedikit menoleh ke arah Nafika.
"Ah? Begitu ya, Kak? Bagaimana kalau besok? Besok libur, kan?" suara Veya terdengar samar dari telepon.
"Oke, besok aja," jawab Saga sebelum menutup telepon dan kembali duduk.
Nafika bertanya-tanya dalam hati, apa yang dijadwalkan besok?
"Makasih, Fika," kata Saga dengan tulus sambil merapikan peralatan P3K. Dia berdiri dan meninggalkan Nafika yang masih memikirkan percakapan antara Saga dan Veya.
-dear nafika-
Veya menghela napas berat. Lagi-lagi dia gagal mengungkapkan perasaannya pada Saga.
"Kenapa lo nggak terus terang aja, Vey?" tanya Elva, sahabat Veya.
Veya menggeleng pelan. Dia belum siap untuk mengungkapkan itu. "Dia terus menghindar saat diajak bicara, El."
"Itu karena dia belum tahu siapa lo, Vey. Kalau lo berani menceritakan masa lalu kalian, Saga pasti akan memprioritaskan lo dibanding Nafika," jawab Elva dengan penuh keyakinan.
Veya menatap langit-langit kamar sambil tersenyum getir. "Aku nggak tahu, El. Jika Saga tahu siapa aku, apakah dia akan tetap memprioritaskan aku dibanding Nafika?"
"Itu jelas, Vey. Saga pasti akan memilih lo," kata Elva tegas. Selama bertahun-tahun menjadi sahabat Veya, Elva tahu semua cerita lama Veya, termasuk tentang Saga.
"Tapi dia kayaknya gak nyariin aku, bahkan mungkin dia sudah melupakan gadis kecil yang pernah bersamanya dulu." Suara Veya terdengar lirih, penuh kesedihan saat mengingat masa lalu mereka—masa di mana takdir memaksa mereka berpisah.
-TO BE CONTINUE-