Our Apartment

By TaniaMs

414K 23.8K 787

NICOLE selalu menganggap JUSTIN adalah sahabatnya, karena mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, Ju... More

Our Apartment
Our Apartment [1]
Our Apartment [2]
Our Apartment [3]
Our Apartment [4]
Our Apartment [5]
Our Apartment [6]
Our Apartment [7]
Our Apartment [8]
Our Apartment [9]
Our Apartment [10]
Our Apartment [11]
Our Apartment [12]
Our Apartment [13]
Our Apartment [14]
Our Apartment [15]
Our Apartment [16]
Our Apartment [17]
Our Apartment [18]
Our Apartment [19]
Our Apartment [21]
Our Apartment [22]
Our Apartment [23]
Our Apartment [24]
Our Apartment [25]
Our Apartment [26]
Our Apartment [27]
Our Apartment [28]
Our Apartment [29]
Our Apartment [30]
Our Apartment [31]
OUR APARTMENT AFTER STORY

Our Apartment [20]

10.7K 723 33
By TaniaMs

Selamat sore!

Saya kembali dengan part 20 Our Apartment. Saya berharap part ini tidak terlalu mengecewakan kalian yaa...

Sebelumnya terima kasih karena sudah memberi vote dan komentar di part sebelumnya. saya sangat menghargainya, dan membaca semua komentar komentar kalian...

Maaf karena menunggu sekian lama untuk part ini,

HAPPY READING!

AWAS TYPO!

oOoOoOoOo

"Siapa yang kecelakaan?" tanya Lisa lagi begitu Nicole sudah menyelesaikan panggilannya.

"Justin," ucap Nicole pelan.

Lisa membekap mulutnya. "Bagaimana keadaannya?"

"Skandar bilang Justin sedang di tangani oleh dokter." Nicole meniup tangannya yang bergetar hebat. "Mom, bisakah kau menghubungi Pattie dan Jeremy? Katakan pada mereka kalau Justin kecelakaan, dan mereka harus kesana secepatnya. Aku akan mengirimkan alamatnya pada mereka."

"Baiklah," ujar Lisa. "Apa dia benar-benar di Kanada?"

"Aku tahu tidak tahu, tapi kita harus percaya pada Skandar, kan?"

"Apa yang harus kukatakan pada Patiie?" tanya Lisa sementara dia menghubungi Pattie.

Nicole memejamkan mata. Mengingat apa yang di katakan Skandar. Laki-laki itu sangat panik dan ucapannya berantakan. "Skandar bilang, Justin jatuh dan kepalanya terbentur dan tidak sadarkan diri."

"Kau yakin ini tidak main-main?"

"Aku tidak tahu, Mom," jawab Nicole, nyaris menangis lalu menghempaskan tubuhnya di sofa. Bahkan kakinya juga tidak sanggup menopang tubuhnya.

"Pattie ingin bicara denganmu." Lisa menyerahkan ponselnya pada Nicole yang matanya sudah memerah.

"Halo, Pattie?" Nicole mengusap wajahnya begitu mendengar rentetan kalimat Pattie di ujung sana. "Aku juga tidak tahu apa yang di lakukannya di sana. Kami sudah tidak berkomunikasi selama satu bulan."

"Oke," desah Pattie. "Apa benar alamat yang kau kirimkan?"

"Ya, begitu yang kuterima dari Skandar."

"Baiklah, katakan pada Skandar untuk menjaga Justin. Aku dan Jeremy akan segera berangkat. 20 menit lagi, jetnya akan tiba. Aku ingin bersiap-siap..."

"Pattie, aku ikut," potong Nicole. "Meskipun Skandar bilang Justin hanya jatuh dan tidak sadarkan diri, aku tidak percaya. Tidak mungkin sesederhana itu, kan? Aku tidak bisa... maksudku, aku ingin melihatnya... kau tahu?"

Pattie menghela napas. "Aku mengerti, Sayang," ujar Pattie lembut. "Aku akan menghubungi pihak bandara. Begitu kau tiba disana, masuk lewat pintu utama. Disana ada seseorang yang akan menunggumu."

"Baiklah," ujar Nicole. "Apa aku perlu katakan pada Ariana?"

"Biar aku yang menghubunginya," kata Pattie. "Bersiap-siaplah."

Begitu Pattie memutuskan teleponnya, Nicole kembali menyerahkan ponsel Lisa. Dan dia pun berlari menuju kamarnya. Nicole mengambil pakaiannya sembarangan. Memasukkan beberapa syal, dan dua buah sweater. Ketika Nicole selesai menutup ranselnya, Lisa masuk ke kamarnya.

"Aku sudah menghubungi taksi."

Nicole memeluk Lisa. "Terima kasih, Mom."

Lisa mengusap punggung Nicole selama beberapa saat sebelum akhirnya dia melepaskan pelukannya. "Aku yakin Justin baik-baik saja."

"Aku berharap begitu."

"Ini ponselmu. Tidak henti-hentinya berbunyi dari tadi."

Nicole mengambil ponselnya. Menggeser layarnya untuk membuka kunci. Ketika dia melihat layar ponselnya, Nicole langsung lemas, sehingga dia terduduk di ranjang.

Layar ponselnya menampilkan akun instagramnya, lebih tepatnya foto yang di tandai Justin padanya lima belas menit yang lalu. Di foto itu, Justin memakai jaket, Knit hat—topi rajut cokelat yang senada dengan syalnya. Justin memegang karton yang berukuran satu meter. Di karton tersebut ada kalimat, Happy Birthday My Beloved Nicole. Tapi bukan kalimat itu yang membuat Nicole terkejut. Melainkan latar belakang tempat foto itu di ambil. Puncak bukit!

Itu jelas sekali puncak bukit, dan Justin tidak mungkin punya waktu untuk mengedit foto hanya untuk membuatnya senang. Laki-laki itu pasti lebih suka melakukannya secara langsung. Bukankah Justin bilang dia tidak suka hiking?

"Astaga! Apa yang dipikirkan laki-laki itu?!" ujar Nicole tak habis pikir.

oOoOoOoOo

"Baiklah," ujar Nicole, dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas jinjingnya.

Baru saja Skandar kembali menghubunginya, mengatakan kalau Justin sudah melewati masa kritisnya. Hal itu sempat membuat Nicole meradang karena Skandar tidak menyebutnya dari awal. Dia mulai memikirkan seberapa parahnya keadaan Justin sampai membuat laki-laki itu kritis. Skandar bilang, dia tidak ingin membuat semua orang panik, sehingga tidak begitu menceritakan keadaan Justin.

Nicole menyandarkan kepalanya pada jok mobil yang sedang melaju menuju Banff. Setidaknya sekarang dia sedikit lebih tenang. Justin sudah melewati masa kritisnya meskipun masih belum sadar. Itu hal yang patut di syukuri.

Penerbangannya ke Kanada, tepatnya ke Calgary memakan waktu satu setengah jam.  Jauh lebih cepat di bandingkan menggunakan pesawat biasa. Yeah, Nicole benar-benar terkejut ketika petugas bandara itu mengatakan kalau dia akan terbang menggunakan pesawat pribadi Jeremy. Yeah, dengan hotel, villa dan resort sebanyak itu, dia seharusnya tidak heran kalau Pattie dan Jeremy memliki pesawat pribadi. Lagipula, Pattie dan Jeremy akan berangkat dari Wilmington menggunakan jet.

Pesawat pribadi milik Pattie tersebut berukuran kecil, karena hanya bisa menampung 30 orang penumpang. Tempat duduknya nyaman, dan pramugari nya tak kalah ramah dibanding dengan pramugari pesawat sebuah maskapai.

Begitu mendarat di bandara Calgary International Airport, Nicole segera keluar dan kembali terkejut karena sudah ada yang menunggunya. Jelas orang itu menunggunya, karena laki-laki yang berumur akhir 20-an itu memegang papan nama yang bertuliskan namanya secara lengkap, dan laki-laki itulah yang sedang mengendari mobil yang saat ini di tumpanginya.

"Apakah masih lama?" tanya Nicole.

"Sekitar setengah jam lagi," jawabnya.

Nicole mendesah. Perjalanan menuju Banff lebih lama dari perkiraannya. Setengah jam lagi mereka akan sampai, itu artinya, perjalanan darat dari Calgary menuju Banff memakan waktu hampir dua jam. Astaga! Kenapa pesawat pribadi Pattie tidak mendarat di Banff saja?

"Banff tidak punya bandara, dan memang hanya jalur darat yang bisa mencapainya," ujar laki-laki tersebut, seolah bisa membaca pikiran Nicole.

Nicole mengangguk mengerti. Apa wajahnya terlalu menggambarkan apa yang dipikirkannya?

Kalau dia tidak dalam keadaan cemas seperti sekarang, dia pasti akan menikmati jalanan yang dilaluinya. Jalan yang dia laluli di apit oleh bukit-bukit yang ditutupi oleh pohon-pohon yang daunya berwarna cokelat kemerahan. Warna khas musim gugur.

"Terima kasih sudah menjemputku di bandara..."

"Felipe," ujar laki-laki itu ketika Nicole menggantung ucapannya.

"Ya, Felipe. Terima kasih."

Felipe tersenyum lewat kaca spion tengah, dan mengangguk. "Sama-sama, Nona."

Felipe pun menceritakan kronologis kenapa dia bisa menjemput Nicole di Bandara. Felipe bilang, Pattie menghubungi Manager The Star hotel di Calgary dan Manager hotel itu pun memintanya untuk menjemput seseorang bernama Nicole Chance di bandara.

Nicole benar-benar tidak percaya Pattie begitu perhatian padanya. Dia mengerti Pattie sangat panik, tapi wanita itu masih saja memikirkannya. Dan apa yang sudah di lakukannya? Bukankah Justin kecelakaan karena dia?

"Mereka juga punya hotel di Calgary?" tanya Nicole, berusaha menghilangkan rasa bersalahnya.

Feliper mengangkat bahunya. "Kudengar baru berjalan empat tahun."

"Kau dengar?"

"Yeah. Aku baru bekerja satu tahun," jawabnya. "Seniorku bilang, Tuan Muda sendiri yang meresmikannya."

"Tuan Muda?" Nicole kembali bertanya.

"Justin. Tuan Justin."

Begitu nama Justin di sebut, Nicole kembali terdiam. Dan sepanjang sisa perjalanan, Nicole tidak bersuara sama sekali.

oOoOoOoOo

Nicole bertemu Skandar di depan rumah sakit. Saat itu adalah pertama kalinya dia bertemu Skandar, dan dia tidak berniat bertanya bagaimana Skandar bisa mengenal dirinya. Laki-laki itu berambut gelap, sedikit lebih tinggi dari Justin, tampan, tapi tidak cukup untuk membuatnya sampai tertarik.

Skandar membawanya ke lantai sepuluh—lantai teratas, mengikuti lorong dan sampai di ujung, hingga mereka sampai di depan ruangan VIP. Yah, Justin tidak mungkin di tempatkan di ruangan biasa. Dan Nicole benar-benar terkejut ketika melihat Pattie, Jeremy juga Ariana keluar dari ruangan itu. Kenapa mereka lebih dulu tiba dibanding dirinya?

"Pattie!"

Pattie, Jeremy dan Ariana langsung bergantian memeluk Nicole. Mata Pattie memerah karena sehabis menangis, begitupun Ariana. Jeremy tampak lebih tegar, berusaha menguatkan kedua wanitanya.

"Bagaimana keadaan Justin?"

"Dia belum sadar," jawab Jeremy. "Masuklah, kami akan menemui dokter."

"Bagaimana kalau kau dan Ariana yang menemui dokter itu?" tawar Pattie. "Aku ingin bersama Justin."

Jeremy mencium kening Pattie. "Tentu saja," ujarnya pelan. "Ayo, Ariana."

Begitu memasuki ruang perawatan Justin, Nicole benar-benar terkejut hingga membuat langkahnya berhenti mendadak. Tubuh Justin di penuhi oleh selang-selang yang dia tidak tahu apa fungsinya. Alat pendeteksi jantung yang berada di samping tempat Justin berbaring, tampak menunjukkan garis tidak beraturan, menandakan Justin masih hidup. Kepala Justin di perban, tangan kanannya di bebat, ada memar di sudut mata kiri laki-laki itu, dan masih banyak memar lain yang tersembunyi. Nicole yakin itu.

Patiie duduk di samping ranjang Justin dan menggenggam tangannya erat. "Justin kehilangan banyak darah karena luka di kepalanya. Rusuknya memar, dan tangannya terkilir," ujar Pattie. "Skandar bilang begitu."

Nicole berdiri di samping Pattie dengan ragu.

"Skandar bilang, mereka sedang menuruni bukit. Sudah berada di kaki bukit saat Justin terpeleset hingga berguling-guling ke bawah karena jalanan yang miring." Pattie mengusap air matanya. "Yang kami tahu, dia ingin mengecek hotel di Calgary, karena menurutnya ada sedikit masalah internal. Dia bahkan tidak hoby hiking dan sama sekali belum pernah melakukannya."

Nicole segera berlutut di hadapan Pattie dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Maafkan aku."

"Nic?" Pattie terkejut.

"Justin hiking karena aku," isak Nicole. "Dia hiking karena ingin mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Aku benar-benar minta maaf."

Pattie benar-benar terkejut mendengar perkataan Nicole. Namun dia tidak merasakan gejolak kemarahan sedikitpun. Dan dia bisa mengurangi kadar kemarahannya pada Justin karena kecelakaannya ini. Setidaknya dia sekarang tahu, alasan Justin hiking adalah Nicole. Seorang laki-laki pasti akan berusaha untuk membuat wanitanya bahagia. Sebagai seorang ibu, dia bisa apa selain mendukung semua hal yang dilakukan Justin? "Tidak. Itu bukan salahmu," kata Pattie. "Bangunlah."

Nicole menggeleng. "Kalau saja aku tidak membicarakan adegan hiking di serial drama yang ku tonton, Justin pasti tidak akan melakukannya. Dia tidak akan kecelakaan."

Pattie bangkit dari duduknya dan menarik Nicole ikut bersama hingga mereka berhadapan. "Justin hanya ingin membuatmu bahagia, jadi jangan rusak semua ini dengan rasa bersalahmu." Pattie menghela napas. "Lagipula, ini sudah jalan-Nya. Tidak peduli dimanapun Justin berada, dia pasti akan kecelakaan. Dan hiking hanyalah salah satu dari sekian cara." Pattie tersenyum tulus. Senyum tulus pertamanya dalam beberapa jam. "Selalu ada alasan untuk setiap kejadian."

oOoOoOoOo

Nicole mengirim pesan pada Lisa, mengatakan kalau dia sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu, dan tidak akan pulang malam ini ke Washington D.C. Lisa memakluminya dengan baik dan masih sempatnya menggodanya dengan mengatakan kalimat seperti tidak mungkin dia meninggalkan orang yang di cintainya begitu, atau kira-kira begitulah yang di katakan Lisa.

Sudah hampir jam delapan malam, dan Justin masih belum sadar. Dokter beberapa kali mengecek keadaan Justin, memeriksa kantong darah, infus juga selang oksigen di hidung Justin. Nicole sendirian di ruangan Justin karena Pattie dan Jeremy pulang ke penginapan untuk beristirahat sementara Skandar dan Ariana sedang membeli makanan. Malam ini mereka bertiga akan menjaga Justin, dan baru keesokan harinya digantikan oleh Pattie dan Jeremy.

"Brengsek," maki Nicole pelan. Dia menatap Justin lurus-lurus. Semenjak siang, baru kali ini dia benar-benar bicara pada sosok Justin yang masih belum siuman. Pattie tak henti-hentinya bicara meskipun Justin tidak merespon sama sekali. "Dokter bilang tidak ada masalah serius kecuali kau nyaris kehabisan darah. Jadi kenapa kau belum bangun juga?" Nicole menarik napas panjang. "Seharusnya ini menjadi ulang tahunku yang terbaik karena aksi heroikmu mendaki bukit. Tapi kenapa kau harus merusaknya di saat terakhir? Tidak bisakah kau menunggu sampai benar-benar tiba bawah baru meng-upload foto itu ke instagram? Kenapa kau suka sekali melambungkanku setinggi langit lalu melepaskanku begitu saja ke bumi?" Nicole mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha menghalau air matanya. "Well, aku tidak ingin mengakuinya, tapi aku benar-benar berharap agar kau cepat sadar. Dengar sialan, kalau kau ingin hidup, cepatlah sadar sebelum batas kesebaranku habis. Kau tahu apa yang akan kulakukan ketika kesabaranku sudah mencapai titik akhir? Aku akan mencabut selang-selang ini dari tubuhmu dan mengirimmu ke nereka dalam waktu cepat!" Nicole menghela napas. "Aku tidak mau hidup dalam ketidakpastian. Untuk apa menunggu begitu lama, memberi harapan terlalu banyak lalu pada akhirnya kau akan pergi juga? Jadi putuskan dengan cepat. Kau ingin hidup atau tidak? Kau tahu benar batas kesabaranku sangat tipis."

Nicole menatap wajah Justin selama beberapa detik, sebelum akhirnya mendengus keras. Tidak ada suara apapun di ruangan itu kecuali suara mesin pendeteksi denyut jantung milik Justin. "Aku benar-benar sudah gila karena bicara pada orang tidak sadarkan diri sepertimu."

Dengan satu sentakan kuat, Nicole bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Dia butuh udara segar detik itu juga sebelum dia benar-benar menjadi tidak waras. Dan tepat ketika dia memegang gagang pintu, suara di belakang tubuhnya membuatnya membeku.

"Hei,"

Meskipun serak, Nicole benar-benar yakin itu suara Justin. Dengan perlahan dia membalik tubuhnya dan mendapati Justin tengah menatapnya lekat-lekat.

"Apa butuh waktu selama itu untuk bicara denganku?"

Nicole menatap Justin tidak mengerti, tapi dia masih belum bergerak dari posisinya. Dia masih terlalu terkejut dan membuat otaknya mendadak blank. Seharusnya dia segera memanggil dokter, tapi dia tidak melakukannya sama sekali.

"Aku berusaha memilih secepat yang aku bisa." Justin menarik napas dengan susah payah. "Syukurlah karena kau belum memulai mencabuti selang-selang di tubuhku dan mengirimku ke neraka."

Ini tidak benar, batin Nicole. Buru-buru dia menghampiri ranjang Justin dan menekan tombol yang ada di dinding tepat di atas kepala Justin. "Tutup mulutmu sampai dokter memastikan kau boleh bicara," ujar Nicole tajam. Meskipun begitu dia tetap tidak bisa menahan senyumnya. Demi Tuhan, dia tidak pernah sebahagia ini hanya karena mendengar suara Justin.

Justin kembali menarik napas, dan merasakan rusuknya berdenyut saat melakukannya. Dia menatap Nicole tepat di manik mata. "Senang bisa melihatmu lagi, Nic."

oOoOoOoOo

Pekanbaru, 14 Februari 2015

17:40

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT yaa

Terima kasih,

TaniaMS

Continue Reading

You'll Also Like

243K 36.5K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
1.8M 14.1K 7
✨✨ Cerita pindah ke Dreame ✨✨ Meski sepuluh tahun telah berlalu, tapi kenangan itu akan selalu menjadi mimpi buruk setiap kali Zeefaya Hawkins memeja...
83.7K 8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
286K 23.7K 37
SUDAH KELUAR DALAM VERSI E-BOOK DAN CETAK https://play.google.com/store/books/details?id=_CWKDwAAQBAJ THE ANGELS SERIES book #1 (Beberapa part sudah...