"Bukannya tidak cinta, tapi hanya menahan rasa."
-HAPPY READING-
Laki-laki dengan perut buncit itu menatap tajam para murid yang ada dikelas itu, termasuk Nafika. Cewek itu menundukkan kepalanya ketakutan. Pasalnya, guru yang ada di hadapannya ini terkenal killer bahkan double killer.
Dia adalah Adi Ismanto. Matematika yang sudah terkenal mematikan di mata para murid, kini tambah mematikan karena diajar oleh Pak Adi. Pria yang berumur setengah abad ini sering sekali memberikan hukuman yang mengerikan, apalagi mengenai ujian, beliau sangat suka mengadakan ujian dadakan.
"Besok dua jam pelajaran Matematika akan Bapak adakan ulangan harian. Bapak harap kalian belajar di rumah agar tidak mendapatkan nilai merah." Para murid menelan silva susah payah. Beruntung, ujian kali ini masih diberi kesempatan untuk belajar. Di bulan sebelumnya, Pak Adi mengadakan ujian tanpa pemberitahuan. Masuk-masuk beliau langsung memberikan soal ujian untuk mereka.
Pak Adi berjalan mengitari barisan meja murid-murid yang ada di kelas, lengkap dengan rotan ditangannya. "Jika kalian masih mendapatkan nilai merah padahal saya sudah memberikan waktu belajar, maka kalian akan mendapatkan hukuman."
Pak Adi menghentikan langkahnya tepat dimeja Nafika. "Terutama kamu, Nafika. Nilai kamu selalu merah jika pelajaran saya, jika kali ini merah lagi, kamu akan saya hukum!"
Nafika menundukkan kepalanya ketakutan. Dia memang sering bahkan selalu mendapatkan nilai merah jika pelajaran pak Adi. Bukan karena dia bodoh, tapi karena dia tidak sempat mengisi lembar ujian karena terlalu fokus mengamati Saga.
"Iya, Pak ... lain kali Fika bakalan usahain buat ga dapet nilai merah lagi," cicitnya pelan dengan kepala yang masih tertunduk.
Saga melihat itu. Dia menarik napasnya kemudian membuangnya kasar. Memanggil Pak Adi. "Pak!"
Tentunya perhatian Pak Adi teralihkan pada laki-laki itu. "Ada apa, Saga?" Pria tua itu berjalan menuju meja Saga.
"Ujiannya hanya mengambil bab 3 saja?" tanya Saga ketika pak Adi disebelahnya. Laki-laki itu sengaja bertanya agar pak Adi tidak mengomeli Nafika lagi.
Pak Adi mengangguk. "Hanya bab 3, jadi saya harap kalian belajar dengan baik."
"Baik, Pak."
Nafika menatap dramatis Saga yang menyelamatkan dirinya, berkali-kali mendoakan laki-laki itu. Saga selalu menjadi penyebab dan selamatnya Nafika dari omelan Pak Adi.
Anna menoyor kepala Nafika pelan. "Bisa ga sih, lo tu sehari aja ga natap Saga?"
Nafika menoleh. "Lo mau nyuruh gue mati?"
"Gue cuma nyuruh lo ga natap Saga, bukan nyuruh lo mati!" Anna mendengus kesal.
"Ya itu masalahnya, Anna. Sehari gue ga natap Saga, gue serasa bakalan mati," ujar Nafika dramatis.
"Tuhanku! Tolong bersihkan otak sahabat hamba, Tuhan."
-dear nafika-
Malamnya Nafika mengeluarkan alat tulisnya bersiap belajar untuk ujian besok. Ujian matematika ataupun ujian lainnya akan Nafika manfaatkan untuk meminta Saga menemaninya belajar.
Nafika berjalan mengendap-endap menuju kamar Saga yang ada di lantai satu. Gadis itu menoleh ke kiri dan ke ke kanan memastikan bahwa kedua orangtuanya tidak mengetahui aksi dirinya yang menyelinap masuk ke kamar sang kakak.
Nafika memang dilarang pergi ke kamar Saga, khawatir jika Nafika akan membuat kekacauan yang akan disesali dikemudian hari. Oleh karena itu dia harus diam-diam pergi ke kamar sang pujaan hati.
Setelah dirasa aman, Nafika mengetuk pelan pintu kamar Saga. "Sagaa!" Nafika memanggil Saga dengan volume suara yang sengaja ia kecilkan.
Di dalam sana, Saga juga tengah sibuk belajar untuk ujian besok. Laki-laki itu menoleh kearah pintu. "Masuk aja, ga di kunci," sahut Saga. Mengira yang mengetuk pintu adalah orang tua angkatnya.
Dari balik pintu Nafika bersorak kegirangan dalam hati. Membuka pintu kamar Saga perlahan, kepalanya ia miringkan untuk mengintip isi kamar tersebut.
Pandangannya bertemu dengan Saga yang kini terlihat terkejut akan kehadiran Nafika. Buru-buru Saga menghampiri gadis itu, menariknya masuk lalu menutup pintu kamar.
"Ngapain kesini?"
Nafika menyengir, menunjukkan deretan giginya dan mengangkat buku tulis yang dia bawa. "Mau belajar bareng."
Saga melirik buku yang dipegang oleh Nafika kemudian melirik jam yang menunjukkan pukul sembilan malam lewat. "Yaudah, sampai jam sepuluh aja, setelah itu balik ke kamar. Bisa jadi masalah kalau ketahuan."
Nafika mengangguk kepalanya semangat. Bersorak girang. "Yeay!"
"Jangan berisik, Fika. Nanti Papa sama Mama denger." Saga menegur pelan sambil melangkah duluan kearah meja belajarnya, membawa buku-buku ke atas kasur.
"Sini duduk," lanjutnya. Nafika mengikuti Saga ikut duduk di atas kasur.
"Kita belajar apa?" tanya Nafika sambil membuka buku.
"Matematika. Besok ujian, jangan sampai merah lagi," balas Saga memperingatkan. Ini bukan pertama kalinya Nafika meminta untuk belajar bersama. Meski sudah belajar bersama, Nafika tetap mendapatkan nilai merah, karena selama belajar Nafika hanya fokus memperhatikan wajah Saga yang sedang mengajarinya.
Nafika manggut-manggut saja, tangannya bergerak mengambil pena.
"Bagian mana yang belum paham?" tanya Saga memulai pembelajaran mereka.
Nafika melirik buku Matematika. Berpikir sejenak lalu kembali menatap Saga. "Ga paham semuanya."
Mulut Saga sedikit terbuka karena jawaban Nafika. Padahal bab 3 termasuk bab yang paling sedikit materi, dan paling mudah diantara bab lain. "Ya sudah, kita mulai dari sini aja."
Sesuai dengan permintaan Nafika, Saga menjelaskan semua materi yang ada di bab itu dengan baik. Sayangnya, sepanjang Saga menjelaskan, Nafika hanya fokus pada wajah yang sedang mengajarinya, bukan pada materi.
Satu jam berlalu, Saga sudah memberikan pertanyaan pada Nafika beberapa kali, dan jawabannya salah semua. "Bagian ini, dikali dulu."
"Kok dikali dulu? Di soalnya, yang ditulis tambah dulu." Nafika menggaruk kepalanya bingung.
"Makanya, kalau lagi dijelasin itu dengerin, bukan malah fokus ke yang lain," cibir Saga yang sadar ditatap oleh Nafika sejak dia masuk ke dalam kamarnya. "Kenapa harus dikali dulu, karena dalam Matematika, meskipun di soal yang pertama adalah penjumlahan, yang harus didahulukan itu adalah perkalian," sambungnya.
Nafika hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bingung mau menjawab apa.
"Belajarnya sampe disini aja, kita lanjut lain kali." Saga menutup buku tulisnya merapikan semuanya.
Nafika hanya sibuk memperhatikan Saga sambil rebahan di atas kasur laki-laki itu. Aroma khas Saga sangat memabukkan bagi Nafika, seolah-olah itu adalah candu.
Saga melirik jam dinding di kamarnya. Sudah jam sepuluh lewat. "Ga mau balik ke kamar?" tanya Saga pada Nafika yang justru menarik selimut menutupi dirinya.
Dari balik selimut Nafika menggeleng. "Gamau, mau tidur disini aja."
Saga berdecak, menyibakkan selimut yang menutupi Nafika. Dilihatnya Nafika yang meringkuk seolah tak ingin turun dari kasur. "Ayo turun, Fika. Kalo Papa tau bisa jadi masalah."
"Ga mauuuu!" tolak Nafika mencoba menarik kembali selimut Saga.
"Fika ... ayo balik ke kamar," bujuk Saga mencoba sabar menghadapi adiknya ini.
Nafika menarik paksa selimut yang ditahan oleh Saga. "Gamauu, Sagaaa. Gue mau tidur disiniii."
Tidak ada pilihan lain, Saga menarik kaki Nafika. "Ayo turun!"
Nafika menghentakkan kakinya, memberontak. "GAA! MASIH PENGEN DISINI!"
"Jangan teriak, Fika. Nanti yang lain kebangun," peringat Saga. Tangannya masih sibuk menarik kaki Nafika yang kini memegang kasur sebagai pertolongan agar tidak mudah ditarik.
Nafika menggeleng kuat. "Gaa!!! Mau tidur di—"
"Nafika! Saga! Buka pintu sekarang!" Suara bariton dari Dirga menginterupsi keduanya dari balik pintu.
Saga dan Nafika menelan ludahnya susah payah. Kedua orang tua mereka terbangun karena keributan mereka.
"Sagaaa." Nafika berseru ketakutan. Memegang ujung baju Saga.
Saga mendengus. "Salah sendiri berisik, ayo keluar."
Dengan Saga yang memimpin langkah, Nafika mengekor di belakangnya.
Di luar sudah ada Dirga dan Aira yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menatap mereka berdua penuh kecurigaan. Nafika mengintip dari balik tubuh saudara angkatnya.
"Ikut Papa ke ruang tamu." Dirga berjalan berdampingan bersama istrinya, dengan Saga dan Nafika dibelakang.
Mereka berempat duduk dengan kesunyian. Dirga menatap satu persatu anak-anaknya. "Apa yang kalian lakukan dikamar?"
"Belajar, Pa." Saga yang menjawab.
"Belajar? Siapa yang menyarankan ide itu?" tambah Aira mengintrogasi.
Nafika meremas piyama yang ia kenakan, tidak mungkin dia membiarkan Saga menanggung kesalahannya. "Ak—"
"Saga yang minta, nilai Fika merah lagi, dan besok ada ujian. Saga mau Fika belajar biar nilainya tidak merah lagi." Lagi-lagi Saga menjadi penyebab dan penyelamat untuk Nafika.
Aira melirik putrinya. "Benar itu, Fika?"
Bukannya menjawab, Nafika menoleh ke arah Saga. Laki-laki itu menatapnya datar. "Fika yang minta diajarin, Ma. Bukan Saga yang minta."
Saga memejamkan mata. Menghela napas pelan. Nafika memang tidak bisa berbohong.
"Jadi? Kalian berdua tau kan dimana letak salah kalian 'kan?" tanya Dirga menatap mereka bergantian.
Keduanya mengangguk. "Cuma Fika yang salah, Fika yang minta diajarin padahal udah dilarang buat masuk ke kamar, Saga."
"Bukan cuma Fika. Disini Saga juga salah, Saga sudah janji untuk menolak paksaan dari Fika tapi Saga malah menerimanya," sambung Saga, pandangannya lurus kepada sang ayah.
Mata Nafika sudah memanas karena Saga yang terus melindungi dirinya. Masa depan gue baik banget! Pasti dia cinta sama gue, makanya dibantuin.
Kedua orang tua mereka saling pandang. Jika seperti ini tidak ada yang bisa dikatakan lagi, keduanya sama-sama salah.
Dirga menghela napas. "Untuk kali ini, kalian Papa maaf, 'kan. Ini karena Fika yang ingin belajar untuk ujian, jika ini terulang lagi, kalian akan menerima hukuman. Sepakat?"
"Iya, Pa." Keduanya menjawab pelan dengan kepala tertunduk.
Aira menyandarkan bahunya memandang Nafika. "Kalo kamu ingin belajar buat ujian, kenapa kamu menolak tawaran ikut les dari Mama, Fika?"
Damn!
Bagaimana Nafika menjawab ini? Tidak mungkin dia menjawab karena Saga yang mengajarinya makanya dia mau belajar. Dia harus berbohong pakai alasan apa? Nafika payah dalam hal berbohong.
Aira memicingkan matanya, Nafika diam itu artinya jawabannya adalah seperti apa yang dia pikirkan. Ya! Modus untuk berdekatan dengan Saga.
Dirga mengelus bahu istrinya pelan. "Jangan dipojokkan, beri saja nasehat."
"Tapi, Pa. Fika semakin hari semakin bandel saja, Mama sendiri heran, gen dari mana sampai dia bisa jadi bandel gini," cerca Aira pada putrinya.
Rasanya Nafika ingin menyumpahi ibunya, namun ia urungkan. Takut kualat.
"Ya sudah. Fika, kamu masuk kedalam kamarmu," perintah Dirga dibalas anggukan lesu dari Nafika.
Setelah Nafika pergi, Dirga menatap Saga serius. "Kamu harus lebih fokus pada pendidikanmu, ingat sendiri apa pesan ayahmu, 'kan?"
Saga mengangguk pelan. "Iya, Pa. Saga akan berusaha lebih baik lagi. Ah tidak. Bukan lebih baik, tapi harus sangat baik."
Dirga dan Aira tersenyum bangga. Putra angkat mereka itu memang berpikiran dewasa dan sangat mandiri. "Bagus, kamu memang anak yang berbakti. Bebanmu cukup berat, karena akan menanggung dua hak waris. Satu dari almarhum ayahmu, dan satu lagi dari Papa."
Saga tersenyum samar. "Iya, Pa. Saga akan berusaha maksimal untuk kalian semua."
"Jangan dipaksakan, Nak. Kamu juga harus beristirahat," pesan Aira. Meskipun mereka mengharapkan hasil yang memuaskan dari Saga, mereka juga memperhatikan kesehatan putra mereka.
"Untuk masalah adikmu, jangan dipikirkan. Kami sudah mengetahui perasaanmu yang sebenarnya, jika sudah waktunya kamu bisa memutuskan akan bagaimana. Untuk sekarang, fokus dahulu pada pendidikanmu," tambah Dirga. Pria paruh baya itu tersenyum. Menepuk pelan pundak putranya.
Saga membalas senyuman itu. "Iya, Saga sudah memikirkan tentang perasaan Fika dan Saga untuk kedepannya."
-TO BE CONTINUE-