☘️☘️☘️
"Mas Ashar kenapa? Mana yang sakit Mas?"
Sehabis memasang tenda di depan rumah, Azhar mengeluh kesakitan. Ginjalnya yang bermasalah mendadak menimbulkan rasa yang teramat sangat sakitnya. Pria itu sampai mengerang beberapa kali.
"Ginjal Mas, Han. Sakitnya kambuh," ujar Azhar berusaha keluarkan suara.
Azhar menyandarkan kepala di sisi ranjang. Sementara Haniyya menyibukkan diri mencari obat untuk suaminya. "Obatnya ditaruh di mana, Mas?"
"Ada di dalam tas."
Secara otomatis, Haniyya langsung membuka tas suaminya lalu menemukan ada obat di sana. Segera ia ambil obat itu lalu diberikan kepada suaminya.
"Hani, tolong berikan Mas air ya," bisik Azhar.
"Ya sudah, Mas. Tunggu sebentar, Hani ambilkan dulu."
Napas Haniyya naik turun. Dia terlalu panik mendapati suaminya terlihat sangat tersiksa sambil memegangi bagian tubuhnya yang sakit. Wanita itu sudah akan pergi waktu tangan Azhar menahan tangan kanannya.
"Sayang... jangan cemas."
"Hani tidak bisa santai, Mas. Kamu sedang kesakitan. Bagaimana aku tidak cemas? Pokoknya Mas Azhar jangan kemana-mana dulu. Aku akan segera ke dapur."
Azhar mencoba tampilkan sebuah senyuman. "Jangan buru-buru. Atas izin Allah. Mas akan baik-baik saja." Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa tenang, Azhar? Baiklah. Mungkin Haniyya memang perlu optimis seperti yang dilakukan suaminya.
Dengan langkah cepat, Haniyya bergegas menuju dapur. Dia sudah menuangkan air mineral ke dalam cangkir waktu Imran menarik-narik kakinya.
"Ada apa, Imran?"
Di saat genting begini, mengapa harus ada keponakannya yang bikin repot? Semoga Mas Azhar bisa menahan sakitnya sebentar. Tampaknya ada hal penting yang mau dikatakan keponakannya itu.
Imran tidak menjawab, dia malah menyeret tangan tantenya menuju kamar anak itu. "Eh, tante mau dibawa kemana? Tante harus beri Om Azhar minum." Jangan sampai terlambat. Bahaya-lah kalau suaminya dibiarkan menunggu.
"Imran mau main raket. Ambilkan raket yang ada di atas lemari itu," ujar Imran sembari menunjuk raket di atas lemari tiga pintu kamarnya.
Haniyya menghela napas panjang. Hanya gara-gara raket ternyata. Ada banyak orang di rumah itu, mengapa Haniyya yang ditunjuk membantunya? Padahal Haniyya sangat sibuk. Dia harus berikan air minum kepada suaminya. Karena sudah terlanjur berada di kamar Imran maka ia tak punya pilihan selain membantu anak itu.
"Kamu tunggu di sini. Tante ambilkan sekarang raketnya."
Cepat-cepat Haniyya mengambilkan raket itu, lalu diberikan kepada keponakannya. Jantung wanita itu tak berhenti berdenyut. Rasa khawatir akan keadaan sang suami begitu besar. Dia telah membuat suaminya menunggu. Bagaimana kau ini, Hani! Mengapa di saat suamimu sakit, kamu masih sempat melakukan hal lain? Haniyya mengutuk dirinya sendiri di dalam hati.
Merasa bersalah, Haniyya kembali ke dapur. Air yang tadi ia tuangkan sudah tidak ada. Sepertinya sudah diambil orang. Akhirnya wanita itu menuangkan minuman lain.
"Semoga Mas Azhar tidak kenapa-napa."
Langkah Haniyya semakin dipercepat menuju kamar. Sepasang matanya diuji kembali mana kala ia menyaksikan kakaknya Zoya menyodorkan minuman ke Azhar. Hanya lima menit ia meninggalkan suaminya. Dalam waktu singkat itu segalanya berubah. Dia yang semestinya jadi penolong justru menjadi penonton.
"Ya ampun, Mas. Kenapa sampai lupa minum obat? Hani juga kemana sih? Seharusnya dia bantu Mas Azhar di sini."
Mendengar namanya disebut, Haniyya bersembunyi dibalik pintu. Bukan mengintip, dia hanya ingin tenangkan hatinya.
Bak sebuah manekin dalam toko pakaian, Haniyya bergeming. Mengapa hatinya selalu disakiti. Apakah hatinya sudah ditakdirkan untuk hancur? Menjadi kepingan untuk seseorang?
Jangan berburuk sangka, itulah yang ditanamkan Haniyya dalam hatinya. Islam melarang umatnya bersikap buruk sangka sebagaimana dalam Al-Qur'an surat Al-Hujurat ayat ke-12:
يَأَيُّهَا اَّلذِيْنَ ءَامَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk sangka (kecurigaan), karena sebagian dari berburuk sangka itu dosa.”
Ayat itu kini menjadi pegangan Haniyya dalam menjalani kehidupannya. Kecurigaan, prasangka buruk hanya akan membuat hatinya resah.
"Tadi Hani sudah ke dapur. Mungkin terhambat sesuatu. Kamu tahu 'kan kalau di rumah ini sedang ada kegiatan. Jangan keras pada adikmu. Selama ini, Hani sudah lakukan yang terbaik untukku. Dia adalah istri yang luar biasa."
Baguslah kalau Azhar memaklumi. Bila Azhar sudah membela, rasanya hati Haniyya jadi sejuk. Oke, jangan sembunyi lagi. Haniyya menampakkan dirinya ketika matanya menyaksikan tangan Azhar menyentuh tangan milik Zoya dengan lembut.
"Makasih ya, Dek. Kamu selalu ada buatku. Bertahun-tahun kamu selalu melakukan itu. Entah bagaimana caranya aku bisa berterima kasih."
Tubuh Haniyya menegang. Apa yang harus ia cemburui di sini? Azhar hanya bicara kenyataan. Persahabatan Zoya dan Azhar sudah terjalin lama. Mereka sangat dekat, saling memahami. Tak ada yang perlu Haniyya ia permasalahkan dalam hal itu.
"Jangan sungkan begitu, Mas. Kamu adalah keluarga. Sudah tugas kami untuk membantu Mas Azhar melewati ini."
Kedua orang itu saling bertatapan. Haniyya berdeham, memecahkan ketegangan di antara dua orang itu. Kalau terus dibiarkan maka perasaan cemburu yang ada dalam hatinya tak akan terkendalikan. Bagaimanapun juga Azhar masih punya rasa dengan Zoya sementara Zoya pun pernah menyukai Azhar.
Kalau mereka terus bersama, maka mereka bisa... Berhenti, Hani! Jangan berpikiran buruk dulu. Teruslah berpikir positif seperti yang Allah perintahkan.
"Hani... Kamu dari mana saja, Dek? Sudah dari tadi Mas Azhar tunggu kamu."
Haniyya memperhatikan tangan Azhar yang memegang tangan Zoya. Kakak perempuan dan suaminya memang sahabat. Tapi tetap saja, ketika tangan laki-laki menyentuh tangan seorang wanita maka ada sesuatu di sana. Zoya menyadari pandangan adiknya fokus ke tangannya. Saat itu juga, ia menjauhkan tangan itu dari Azhar.
"Imran suruh aku bantu dia dulu, Kak." Haniyya mengakui.
Anggap saja, ia tak bisa bohong. Karena itulah ia bicara apa adanya mengenai apa yang terjadi hari ini.
"Ya ampun, Hani. Kemauan anak kecil kamu turuti. Seharusnya kamu jadikan Azhar prioritas. Meskipun kalian hanya dijodohkan bukan berarti kamu bebas mengabaikan suamimu. Azhar butuh pertolonganmu, Dek." Zoya menasihati.
Mau bagaimana lagi, Haniyya pun tak tega buat anak kecil kecewa. Lagipula permintaan Imran tidak sulit dan terlanjur ada di kamar anak itu
"Iya, Kak. Maafkan, Hani."
Ah, mengapa Haniyya selalu serba salah? Dia sudah usaha berjalan cepat ke kamar suaminya. Hanya saja, memang ada kendala sedikit. Dia tak mungkin mengempaskan tangan keponakannya yang butuh pertolongan kecil. Haniyya paham kalau keponakannya masih kecil sehingga hal itu bukanlah masa serius baginya. Dia sama sekali tidak marah perihal itu.
Baiklah, di masa depan ia tak akan melewatkan lima menit sedikit pun. Ia akan jadikan Azhar prioritas dalam hidupnya, cinta pertama dan terakhir dalam kehidupannya.
Zoya bangkit dari duduknya. Dia membiarkan adiknya duduk di samping Azhar. Sebagai seorang istri, Haniyya-lah yang pantas duduk di sana sejak tadi.
"Jangan cemberut."
Tangan kanan Azhar mengusap ujung kepala istrinya yang terbungkus jilbab warna coklat muda. Kalau terus diperhatikan, Haniyya punya kemiripan dengan Dinda Hauw. Cantik, dan tak membuat mata bosan melihatnya.
"Maafkan Hani, Mas. Seharusnya Hani yang ada di samping Mas Azhar saat Mas Azhar butuh seseorang," gumam Haniyya murung.
Azhar tersenyum. "Tak apa. Sekarang Mas sudah baik-baik saja. Tak perlu pikirkan perkataan kakakmu ya."
"Iya. Terima kasih atas pengertiannya ya, Mas."
"Iya."
Perkembangan hubungan yang baik. Perlahan-lahan tapi pasti. Cinta mereka akan segera tumbuh. Kepingan hati Haniyya akan menyatu dengan kepingan hati Azhar. Bukankah dua hati yang terluka bisa saling mengobati?
Instagram: Sastrabisu