"Omong-omong, bonyok lo mana?" tanya Vanta sambil celingukan. Dia merasa tidak enak bertamu ke rumah orang tanpa menyapa orang tuanya. Apa lagi hari sudah malam. Ditambah dia berada di rumah cowok. Kan aneh kesannya kalau diam-diam aja.

"Nggak ada."

"Tapi nanti pulang nggak? Gue nggak enak diem-diem aja di rumah orang."

"Nggak. Lo nggak perlu temuin siapa-siapa. Cuma ada gue sama asisten rumah doang."

"Ohh..." Ia mengangguk mengerti, tidak mau bertanya lebih lanjut.

Selesai makan mereka kembali naik ke kamar Alvin. Entah kenapa Vanta mengikutinya dengan patuh. Sampai cowok itu lalu menyerahkan tas karton padanya.

"Nih, lo bersih-bersih, ganti baju."

Vanta melirik kantong yang dipegang Alvin dengan waspada. "Apa ini?"

"Baju ganti dari temen lo," sahut cowok itu datar.

Akhirnya ia meraih tas karton itu. Betapa kagetnya Vanta ketika mengeluarkan isinya. Buru-buru dia memasukkan kembali ke dalam tas dengan wajah memerah. Gimana nggak malu coba, isinya satu set baju ganti beserta dalaman. Pasti Jessi yang mengirimkannya. Karena baju itu bukan miliknya.

Dia mendongak sambil menggigit bibir bawahnya. Rupanya Alvin juga tengah buang muka. Mungkin sama salah tingkahnya dengan dia. Ah, kacau. Benar-benar memalukan.

"Gue mau pulang," ujar Vanta mengabaikan perintah Alvin tadi.

"Lo liat di luar, hujannya deras gitu. Emang ada orang yang mau keluar di tengah hujan angin? Lo nyari taksi online juga nggak bakal dapet."

"Terus gue pulangnya gimana?"

"Besok."

"HAH?!" Ia kontan memekik kaget. Masa iya dia harus semalaman di rumah Alvin? Bersama laki-laki yang selama ini jadi musuh terbesarnya?

"Berisik lo. Besok aja pulangnya, udah malem. Temen lo juga udah hubungin nyokab lo. Mending sekarang ganti baju."

"Tapi..."

Dia melirik Alvin ragu. Kalau dipikir, baru kali ini ada interaksi selain pertikaian di antara mereka. Baru kali ini mereka berada dalam jarak dekat, namun tidak saling memandang dengan tatapan tajam, tidak saling mengeluarkan taring. Cowok ini kerasukan apa?

Laki-laki itu mengangkat wajahnya dengan aura otoritas. "Kenapa? Lo mau gue yang gantiin baju lo?"

Vanta refleks membelalak mundur sambil memeluk erat tas kartonnya. "Ng-nggak. Kamar mandi di mana?"

"Di sana." Tunjuk Alvin pada sebuah pintu di dekat lemarinya.

Tanpa berkata apa-apa lagi Vanta berlari kabur ke dalam kamar mandi. Lelaki itu mengikuti kepergiannya dengan sudut mata. Seketika Alvin menyeringai geli.

***

Tepat lima belas menit Vanta keluar dari kamar mandi. Melihat Alvin berdiri di depan pintu kaca yang menuju ke balkon, memandang deras air hujan yang suaranya samar-samar terdengar hingga ke dalam kamar.

Dia lalu melangkah mendekati cowok berkaus terracotta. Ketika sudah berada di sebelah Alvin, ia melihat sebuah bingkai foto di meja kerja yang terletak di sisi kirinya. Foto seorang wanita merangkul anak laki-laki berseragam putih merah yang memegang piala.

"Itu foto lo?" Tanpa sadar Vanta bertanya.

Cowok itu lalu menoleh menghadapnya. "Sekarang ceritanya lo jadi penasaran sama gue?"

Sebal mendengar jawaban lelaki itu, Vanta langsung berdecih. "Kepedean banget sih! Kalo nggak mau jawab ya udah, nggak usah dijawab."

Kesunyian di antara mereka membuatnya bingung harus melakukan apa. Mau ngomong, nanti dikira cari perhatian. Mau ngomel, disangka nyari ribut. Dia mengedarkkan pandangan ke sekeliling. Sekali lagi mengamati kamar bernuansa keabu-abuan itu.

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα