#2 Lapangan Basket

18.5K 1.1K 15
                                    

Keesokan harinya tidak ada rambu-rambu bahaya selama di kampus. Vanta merasa sedikit lega, tapi juga masih merasa tidak tenang. Setelah semalam kepalanya dipenuhi oleh prasangka buruk yang akan terjadi.

Membayangkan kalau tiba-tiba salah seorang staf admisi memanggilnya, lalu mengumumkan pencabutan beasiswa hanya karena telah mengganggu anak rektor, atau bahkan di Drop Out? Apa yang bisa ia katakan pada Mama sepulangnya dari kampus? Mama pasti akan kecewa berat.

Dijauhkannya pikiran-pikiran buruk dari benaknya. Gadis berambut panjang lurus yang dikuncir ala ponytail itu keluar kelas menyusuri koridor. Sambil berjalan, ia merogoh kantong depan ransel yang ia sandangkan di sebelah bahu, mengeluarkan ponselnya dari sana. Ia menekan layar sentuh itu beberapa kali. Kemudian menempelkan ponselnya ke telinga. Setelah terdengar nada sambung telepon dua kali, seseorang di ujung telepon menjawab dengan suara pelan.

"Gue belum keluar, Ta. Lo ke lapangan aja duluan. Tunggu gue di sana ya," bisik Jessi.

"Oh, oke." Vanta memutus sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke saku celana.

Seraya memasuki lift, ia menekan angka enam pada deretan tombol di samping pintu lift. Setelah denting lift terdengar, gadis itu melangkah keluar menuju lapangan basket.

Ada beberapa orang yang sedang bertanding di lapangan. Hari ini bukan hari pertandingan basket antar kampus, hanya anak-anak *UKM basket di kampus yang sedang berlatih. Dia dan Jessi lumayan suka menonton kegiatan anak-anak tim basket. Makanya kemarin mereka berdua janjian untuk bertemu di lapangan. Lumayan kan, indoor, jadi nggak harus nonton sambil panas-panasan.

(*UKM = Unit Kegiatan Mahasiswa)

Vanta duduk di salah satu bangku di pinggir lapangan. Sambil menunggu Jessi, ia memerhatikan pertandingan yang sedang berjalan.

Jessi memang beda kelas dengannya, dia jurusan Ilmu Komunikasi semester tiga. Tapi semenjak masa orientasi, Vanta menjadi akrab dengan gadis cantik itu. Saat itu Vanta lupa membawa pulpen untuk menulis jadwal kegiatan orientasi di hari berikutnya. Jessi yang kebetulan sedang lewat mendatangi Vanta yang kebingungan dan bertanya, "Cari apa? Ada yang ilang?"

Vanta menjawab, "Nggak, kak, kayaknya saya lupa bawa tempat pensil."

"Oh, pake punya gue aja dulu."

"Terima kasih, kak."

Saat itu Vanta masih berbicara sangat sopan, tapi kemudian Jessi meminta supaya mereka bicara santai saja ke depannya.

Vanta sering tersenyum menyapa ketika ia berpapasan dengan Jessi. Sampai suatu siang setelah masa orientasi selesai, Jessi menghampiri Vanta yang duduk sendiri di kantin. Lagi nggak ada temen makan siang, katanya, jadi ketika kebetulan melihat Vanta yang sedang duduk sendiri, dia langsung mengambil salah satu tempat duduk berhadapan dengan Vanta.

Sejak itu mereka sering makan siang bersama. Vanta juga sepertinya tidak punya teman cewek yang akrab dengannya. Dia jadi suka mengekor Jessi. Sebaliknya, Jessi senang juga melakukan aktivitas dengan Vanta. Karena Vanta orang yang cuek, nggak banyak tanya, dan nggak banyak argumen juga.

Menurutnya, Vanta pendengar yang baik buat Jessi. Kadang ia juga mengajak Vanta jalan-jalan ke mal. Jadi walaupun mereka beda semester, beda jurusan, mereka sering menghabiskan waktu bersama.

"Kemana si Jessi? Kok belum nongol juga?" gumam Vanta celingukkan.

Setelah beberapa menit perhatiannya terpusat pada pertandingan, ia lalu menengok ke arah pintu masuk.

Gadis itu tidak tahu kalau sejak tadi ada seseorang yang memerhatikannya dari seberang lapangan.

"Dia semester satu jurusan desain, Vin," ujar seorang cowok sambil menepuk bahu Alvin.

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Where stories live. Discover now