(٢٦) Menembus Jarak Imajiner

17 7 0
                                    

Zaid membuka kenop pintu itu perlahan. Hari ini terasa panjang baginya, ingin rasanya segera berlabuh ke tempat tidur dan melepas segala penat. Tapi sayangnya hari ini masih belum selesai.

"Assalamu'alaikum."

Dan sosok berambut hitam itu segera menghampirinya. Dengan tatapan campur aduk antara khawatir dan penasaran. "Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Zaid tersenyum tipis. Justru mengundang semakin banyak pertanyaan di benak Sulh. Membuat Sulh semakin gemas ingin bertanya.

"Hey, jadi.. apa yang terjadi?" Sulh meraih pundak Zaid, menepuknya perlahan.

"Ayo kembali" ucap Zaid halus. Menarik lengan Sulh pelan, mengisyaratkan ajakan pergi.

"Apa.. apa maksudmu?" Sulh mengerti, hanya saja dia terlalu tidak percaya. Benar kah?

"Alhamdulillah. Aku berhasil membatalkan hukumanmu diskors. Kau sudah bisa masuk madrasah lagi besok. Kau bisa-"

"Zaid. Terima kasih.." Sulh mengapit tangan kanan Zaid dengan kedua tangannya. Sungguh-sungguh berterima kasih.

Zaid tertawa pelan. Jauh di dalam lubuk hatinya dia juga tidak memperkirakan ini, bahwa dia akan membebaskan Sulh dari hukumannya. Dia memang berharap hukumannya bisa dibatalkan, tidak menyangka kalau angan-angannya terwujud.

"Sudah-sudah. Kita hanya beruntung. Ayo keluar, atau kau masih betah di sini?" Tanya Zaid yang berdiri di ambang pintu.

Sulh cepat-cepat menyusulnya. Ikut keluar dari pondok itu dan menyadari indahnya langit yang bertabur bintang, bersih dari awan. Benar-benar indah.

"Masya Allah." Ucap Zaid dan Sulh kompak. Lalu mereka saling melempar tatap, tertawa bersama.

Berjalan berbaur dengan santri lain menuju masjid, Adzan isya telah berkumandang dengan syahdunya. Perjalanan ke masjid di bawah bintang-bintang, dengan suara adzan yang merdu, membuat perjalanan menuju masjid terasa sakral. Ramai-ramai mencari ridhoNya mengincar dua puluh tujuh derajat lebih tinggi seperti yang dijanjikan atas ibadah salat berjamaah.

Sulh rasa, ini malam yang baik untuk memulai versi baru dirinya. Dan Sulh rasa, Zaid sudah menggenapkan rangkaian alasan yang cukup untuk mendobrak pintu hatinya.

🕌 🕌 🕌

Perkiraan Sulh bahwa mungkin dia akan lebih dekat dengan Zaid ke depannya belum terbukti. Nyatanya sekarang mereka malah berjauhan. Zaid mengacuhkannya terang-terangan.

Obrolan yang terjadi diantara keduanya hanya sepatah dua kata, sama sekali tidak ada basa-basi di dalam obrolan mereka. Itu pun Zaid berbicara tanpa sedikit pun menatap matanya, atau memanggil namanya.

Zaid terus menghindar dari kontak matanya, senyum tipis yang dilemparkan kepadanya pun ditolak mentah-mentah. Mereka tidak pernah berdiri dalam radius tiga meter yang sama, kecuali di dalam kamar karena luas kamar yang terbatas.

Padahal rasanya tidak ada yang salah ketika Zaid bicara dengan orang lain. Masih tertawa seperti biasanya dan ramah selalu. Tapi Zaid terhadap Sulh itu dingin dan acuh, menganggap Sulh tidak ada. Zaid bahkan mengabaikannya ketika dirinya susah-susah memberanikan diri untuk mengajak Zaid untuk ke kantin bersama.

Inikah perasaan Khair ketika aku mengacuhkannya.. pikir Sulh.

"Rasanya itu dibuang, diacuhkan oleh teman yang sudah dianggap saudara sendiri.." Sulh tidak sadar kalau matanya sudah berkaca-kaca.

Zaid adalah satu-satunya orang selain Khair yang mampu membuat dirinya sesedih ini. Jika Zaid dan Khair seumuran mungkin mereka akan terlihat seperti anak kembar. Banyak kemiripan baik fisik maupun sifat diantara dua orang yang sama-sama penting bagi Sulh.

Şaghirul MujahidunWhere stories live. Discover now