( ٢ ) Menyapa Rutinitas

50 12 16
                                    

'Awwalul Halaqah sudah dimulai. Terdengar sambutan dari beberapa petinggi pesantren. Kemegahannya, aura agung dari masjid ini, membuat siapa pun yang melihatnya merinding.

Beruntung ternyata keterlambatan kami masih dimaklumi, juga karena kami hanya terlambat beberapa menit saja. Zaid dan Hunain duduk di barisan belakang, mendengarkan tausiah dari Kyai besar pimpinan pesantren. Acara berlangsung begitu hikmat.

"Mungkin tidak mudah menjalani hari-hari di pesantren, jelas sangat kontras dengan kehidupan anak seumuran kalian di luar sana. Disini, kalian diajak untuk berjuang ditemani para senior dan Asatidz  sebagai keluarga untuk berbagi suka dan duka. Dan kami di sini mengemban amanat dari orang tua kalian untuk menjadikan kalian penerus bangsa yang sholeh, dan bersama-sama menjadi Mujahid fisabilillah.

"Jika kalian kagum dengan Khalid bin Walid yang mendapat julukan 'Pedang Allah' yang tidak diragukan lagi kehandalannya di medan perang, dan seringkali mendapat posisi sebagai panglima perang. Atau mungkin kagum dengan Hamzah yang juga sering berada di sisi nabi selama perang.

Di sini kita juga bisa sama-sama menjadi pejuang fisabilillah, di sini kita menjadi mujahid yang mempelajari kalamullah setiap harinya.

إن الله مع الصبرين
Bersabarlah wahai anak-anakku, Allah selalu senantiasa bersama kita. Selamat berjuang, Şaghirul Mujahidun!"

Şaghirul Mujahidun, begitulah Kyai menyebut kami para santrinya. Ada desiran bangga setiap kali Kyai menyebut dua kata itu. Dalam hitungan detik, masjid dipenuhi dengan teriakan takbir yang menggema. Membangkitkan semangat kami yang terpendam.

Malam ini mereka di sadarkan bahwa mereka memiliki satu sama lain untuk saling menguatkan dan saling mengingatkan. Keluarga baru dan lingkungan baru ini akan menemani mereka, menorehkan kisah-kisah baru dalam memori mereka.

🕌 🕌 🕌

"Qumtum! Salahuddin Al-ayubi, Qiyamul Lail. Qumtum!" Pintu kamar diketuk keras.

"Na'am, Ustadz. Nastayqidzu Minan Naum.." Ujar Haidar, masih mengusap matanya. Menguap pelan. Dan ketukan itu baru berhenti setelah Haidar menjawabnya.

Haidar membangunkan kawan-kawannya. Mehmed membantunya membangunkan yang lain, terutama Syams yang butuh lima menit sendiri untuk membangunkannya.

Bergantian, mereka ke kamar mandi untuk membasuh wajah, mengumpulkan senyawa yang masih separuh.

"Emhh!" Syams hanya bertukar posisi ketika kasurnya digoyangkan oleh Mehmed.

"Kalau tidak mau bangun, ya sudah. Biarkan saja kamu dihukum membersihkan pondok dan menghafal 30 hadist." Mehmed geram. Meninggalkan Syams dan beralih memasuki kamar mandi.

"Duh, iya aku bangun. Jangan marah dong, Med." Syams akhirnya duduk. Mengusap matanya. Sementara yang lain yang menggelengkan kepalanya melihat perdebatan Syams dan Mehmed yang lumrah terjadi setiap paginya. Tidak peduli dengan suhu dingin di pagi buta yang sangat menusuk.

Satu per satu dari mereka mulai melangkah keluar kamar, mendatangi masjid yang kini telah diwarnai oleh dzikir dan sholawat.

"Kalian, masih lama kah? Perlu kita tungguin?" Tanya Salman berdiri di ambang pintu, disampingnya ada Faris yang tengah sibuk membetulkan pecinya.

"Eh, duluan saja. Nanti saya berangkat sama Zaid." Jawab Hunain ramah.

"Kalau begitu kita tinggal ya. Yuk Ris!" Lalu Salman dan Faris berjalan beriringan menuju masjid.

"Maaf ya, kamu jadi harus tungguin aku deh." Zaid keluar membawa sarungnya.

"Santai. Tadi aku juga habis membereskan buku dulu." Jawab Hunain.

Şaghirul MujahidunWhere stories live. Discover now