( ٤ ) Kecelakaan Kecil

37 10 2
                                    

"Syukron." Ucap Zaid, menukarkan beberapa lembar uang dengan sebuah kamus genggam Indonesia-Arab yang rasanya sudah seperti separuh nyawanya.

Zaid berhenti dan menyandarkan punggungnya ke tiang lampu jalan terdekat. Sibuk membolak-balik kamus barunya.

"Kamu habis beli kamus ya?" Pertanyaan sederhana itu berhasil membuyarkan konsentrasi Zaid.

Dapat dilihat bahwa Salman yang baru saja menyapannya, dengan Sulh di sampingnya yang menatap Zaid dengan rasa penasaran.

"I-iya." Zaid cepat-cepat menyembunyikan kamusnya.

"Kenapa disembunyikan begitu?" Tanya Salman.

"B-bukan apa-apa.." Zaid memalingkan wajahnya.

"Hey, Salman!" Seorang santri lain lewat dan menyapa Salman, berbincang-bincang cukup panjang. Sementara Zaid dan Sulh hanya terdiam.

"Baik, aku akan segera ke sana." Ucap Salman, sebelum santri itu pergi.

Salman tersenyum. "Nah, kebetulan sekali ada Zaid. Kau duluan saja ya kembali ke kamar sama Zaid. Aku baru saja dapat kabar aku dikirimi paket, aku mau ambil itu dulu."

"Tapi.." Sulh mau memprotes.

"Lagipula kau sama Zaid belum sempat berbincang-bincang 'kan? Nah, cobalah kalian ngobrol sedikit. Kalian 'kan teman sekamar, masa gak akrab?"

"Salman.." Dan kembali tidak didengarkan lagi.

Salman menjentikkan jarinya. "Jangan judes-judes sama Zaid. Aku duluan ya, dadah!" Salman berlari, tanpa sempat mendengarkan argumen dari Sulh.

Zaid melambaikan tangan, sementara Sulh melepas kepergiannya dengan tatapan tajam ke arah salman. Lalu tatapan dilempar kepada Zaid, dan dia hanya mengalihkan tatapannya.

"Aku tidak akan menemanimu, jika kamu memang tidak ingin." Zaid mengangkat bahu, menghindari kontak mata dengannya.

Bukan itu maksudku, batin Sulh mengelak. "Karena sudah ada kau di sini, jadi apa boleh buat. Ayo."

Zaid berjalan mengikutinya tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Terlalu takut untuk mengajak Sulh bicara duluan, mengingat dia memang terkenal dengan kata-katanya yang terlalu menusuk.

"Sebenarnya, pesantren ini bernama lengkap Khoirul Hijr. Namun memang lebih dikenal dengan Al-hijr karena lebih pendek." Ucap Sulh saat Zaid fokus memerhatikan masjid pesantren yang dilewati.

Kuharap aku tidak salah bicara barusan, pikir Sulh.

"O-oh.. begitu ya? Tadinya aku kira karena nama masjid ini Al-hijr." Zaid menjawab obrolan Sulh dengan senyuman.

"Bukan. Nama masjid ini Kubatul Jawhar. Lihat, kubahnya nampak seperti permata bukan?" Sulh menyamai tinggi Zaid yang sedikit lebih pendek darinya. Menunjuk kubah masjid yang tampak berkilau terutama di siang hari.

"Ah.. benar." Zaid baru menyadari hal itu. "Kubatul.. apa tadi?"

"Kubatul Jawhar. Artinya kubah permata."

"Kubatul Jawhar, akan kuingat itu." Jawab Zaid, disambut senyum tipis dari Sulh.

"Oh ya, kenapa kamu ingin cepat kembali ke asrama? Di sore yang cerah ini bukankah lebih enak dihabiskan di luar?" Tanya Zaid.

"Seniorku dari tim hadroh membutuhkan catatanku untuk rapat dengan ustadz. Jadi aku akan meminjamkanya."

Zaid mengangguk. Anak seperti dia masuk tim hadroh rupanya, pikir Zaid.

"Tim hadroh bagian apa?" Zaid memiliki rasa ingin tahu yang mengalahkan ketakutan nya untuk bicara lebih pada orang satu ini.

"Vokalis." Jawab Sulh pendek.

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang