( ٣٨ ) "Jangan Kemana-mana ya?"

15 6 2
                                    

"Jadi nanti sore 'kan?" Hunain berteriak, selagi kedua tangannya memasukkan kuas dan peralatan kaligrafi lainnya ke dalam tasnya.

"Iya. Ba'da Asar ya, Hairi." Haidar sendiri masih berkutat dengan tugas mudabbirnya. Setengah jam lagi akan ada pertemuan klub pidato, dia harus cepat.

"Sip. Nanti aku tunggu di bangku taman yang biasanya." Hunain melirik meja, memastikan tidak ada yang tertinggal.

"Iya kamu tunggu disitu saja. Jangan kemana-mana ya, nanti susah carinya. Soalnya, biasanya 'kan disana ramai."

"Okay, aku tidak akan pindah dari sana kok. Aku tinggal ya Dar, Assalamu'alaikum." Dengan menggendong tas, Hunain bergegas meninggalkan kamar. Ini hari sabtu, belajar di madrasah hanya setengah hari. Sedangkan setengah hari sisanya biasanya digunakan untuk perkumpulan klub ekskul, atau kelas tambahan.

"Wa'alaikumussalam." Jawan Haidar.

"Yah, kalau tidak darurat juga aku tidak kemana-mana kok." Hunain mengangkat bahu, bergumam pada dirinya sendiri.

🕌 🕌 🕌

Haidar turun dari mimbarnya tanpa semangat, disambut tepuk tangan yang tidak semeriah biasanya. Ustadz Fikri yang siang itu menyempatkan diri mampir ke Al-Hijr, dia terlihat kurang puas dengan performa Haidar hari ini.

"Assalamu'alaikum, Akhi. Kaifa haluk?" Haidar tersenyum, menyapa Ustadz Fikri. Menuangkan teh ke dalam dua gelas.

"Ah, Wa'alaikummussalam. Bikhair, Alhamdulillah." Ustadz Fikri menerima segelas teh yang disodorkan Haidar.

"Tumben sekali nih Akhi mampir kemari. Lagi rindu Al-Hijr ya?" Haidar tertawa pelan. Meneguk tehnya, berusaha rileks.

"Yah, menyambung silaturrahim tidak ada salahnya bukan? Oh iya, kaifa haluk?" Ustadz Fikri perlahan berusaha menanyai keadaan Haidar yang kelihatannya sedang tidak stabil.

"Sebenarnya sih saya sedang lelah sekali, Akhi." Jawab Haidar menunduk, tersenyum sedih. Membuat Fikri merasa kasihan.

"Ah, Salahhudin alhamdulillah baik Akhi. Apalagi Sulh, sekarang dia sudah jauh lebih stabil." Haidar cepat-cepat memasang wajah bahagia, mengganti topiknya begitu saja.

"Sulh sudah tidak buat masalah?" Ustadz Fikri cukup terkejut mendengarnya. Sulh, sudah lama sekali dia tidak mendengar nama itu. Membuat Ustadz Fikri penasaran bagaimana kabarnya.

Haidar mengangguk. "Yah sempat sih beberapa bulan lalu dia buat masalah lagi, sama santri baru pula. Bahkan hampir diskors, tapi uniknya santri baru itu juga yang menyelamatkan Sulh dari skors. Santri baru itu bernegosiasi langsung dengan Kyai untuk membatalkan skors Sulh."

"Oh ya? Siapa nama santri itu?" Ustadz Fikri tidak habis pikir. Memang, apa yang dilakukan Zaid waktu itu sudah kelewat nekat.

"Zaid, Akhi. Zaid membawa perubahan baik bagi Sulh. Sekarang Sulh sudah tidak se-suntuk dulu lagi, dia juga sekarang lebih peduli pada teman-temannya. Bahkan sekarang dia mulai meminta maaf pada orang lain." Haidar dengan bangganya memberitakan itu pada Ustadz Fikri.

"Alhamdulillah. Kadang kita memang harus bertemu dengan seseorang dulu baru terjadi perubahan. Lain kali aku ingin bertemu dengan Zaid." Ustadz Fikri terkejut sekaligus lega mendengar kabar soal Sulh.

"Kalau kamu sendiri kenapa keliatan seperti orang yang lembur tiga hari tiga malam?" Ustadz Fikri hampir saja lupa jika tadi dia berniat menanyakan kabar Haidar, bukan Sulh.

"Yah.. mudabbir sedang kewalahan karena ada banyak kasus bulan ini, dari senior pula. Tugas juga sedang banyak. Dan klub Pidato juga tidak bisa diabaikan, jadi yah.. beginilah."

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang