( ٤١ ) Abi dengan Tujuh Santri

18 6 3
                                    

Haidar menemukan Hunain yang sejak tadi dia cari, Hunain duduk sendirian sambil melihat kolam ikan. Ini hari pertama mereka ke Al-Hijr lagi setelah kembali dari rumah sakit. Entah kenapa situasi diantara mereka menjadi canggung. Hunain dan Haidar sama-sama tahu apa yang menjadi penyebabnya, tapi belum ada diantara mereka yang angkat suara. Haidar memutuskan untuk bicara sekarang juga.

"Aku mencarimu, ternyata Hairi ada disini." Haidar tersenyum, duduk di samping kawannya itu.

"Eh, Haidar. Ada apa?" Hunain balas tersenyum. Sejujurnya juga mereka belum banyak bicara sejak kemarin.

Haidar mengeluarkan sekantung plastik berisi tiga botol obat dari balik punggungnya. "Sepertinya.. kamu melupakan sesuatu?"

"Ah.." Begitu Hunain melihat apa yang dibawa Haidar, dia membuang tatapannya. Bertingkah seolah dia tidak mengerti.

"Aku juga bawakan air mineral untukmu minum obat." Haidar mengeluarkan sebotol air mineral dalam tempat minum berwarna biru.

"Terima kasih ya." Hunain dengan senyum terpaksa menerima obat dan air mineralnya.

Hunain mengeluarkan masing-masing satu obat dari setiap botol obat. Setelah membaca basmalah, dia menelan obat itu satu per satu dengan bantuan air mineral. Lalu membaca hamdalah dengan helaan nafas berat.

"Jadi. Kamu sudah tau?" Pandangan Hunain menatap langit biru dengan awan-awan kecil disana. Ditambah dengan sekelompok burung yang terbang, menambah kesan damai bagi yang melihatnya.

Tapi Haidar justru menunduk dengan senyum getir, menatap ujung sepatu sendalnya di atas rumput hijau. "Iya. Leukopenia gejala ringan."

Hunain mengangguk. Saat menoleh, dia menemukan ekspresi sendu dari wajah Haidar. Membuatnya merasa bersalah.

Hunain menyikut Haidar pelan, menorehkan senyum lebar. Menunjukkan bahwa penyakit seperti itu bukanlah masalah baginya. "Kamu satu-satunya yang tahu lho. Jadi ini rahasia kita berdua saja ya! Hehe."

Haidar tertawa pelan. "Okay!"

"Meletus balon hijau.." Suara yang tidak asing bagi Haidar dan Hunain.

"Dor!" Lelaki blasteran itu menepuk punggung Haidar dan Hunain.

"Astagfirullahal adzim!" Ucap Haidar dan Hunain kompak. Memunculkan tawa Syam, orang yang mengejutkan mereka tadi.

"Kalian? Kenapa pada kemari?" Haidar bingung, seluruh anak Salahhudin tanpa terkecuali dating beramai-ramai.

"Cuma mau kasih tahu, tanggal libur sudah diumumkan." Sulh mengangkat bahu, dengan tingkah cueknya seperti biasa. Meniup poninya yang mulai memanjang.

"Oh ya? Kapan?" Tanya Hunain dengan raut wajah antusias.

"Minggu depan. Jadi sisa minggu ini untuk ekskul dan tahfidz saja." Salman menjelaskan.

"Kalian akan dijemput siapa?" Sebagian besar santri disini akan memilih dijemput karena stasiun kereta api yang sangat jauh dari Al-Hijr, ditambah jalan yang sempit dan berkelok membuat tidak ada angkutan umum juga yang dapat mengantar mereka.

"Nah, itu dia masalahnya, Dar." Ucap Syam tak bersemangat, mendengar perkataan Haidar tadi membuat semuanya seketika menjadi lesu.

"Kita tidak ada rencana pulang minggu depan." Ucap semuanya kompak, dengan nada sedih.

"Lho? Kenapa? Tapi, Zaid sama Hunain pasti pulang 'kan? Ini pertama kalinya kalian pulang dari sini lho." Haidar mencoba bertanya pada dua junior barunya itu. Zaid hanya menggeleng.

"Pengumumannya 'kan mendadak sekali. Biasanya kita pulang dua minggu lagi, tapi karena Al-Hijr mau dipakai buat focus ujian anak kelas enam dan mau dipakai gladi bersih muharraman jadi kita pulang duluan." Mehmed turut menjelaskan.

Şaghirul MujahidunWhere stories live. Discover now