( ٩ ) Tanpa Bahasa

21 10 5
                                    

"Tapi, kalian berdua ingat 'kan? Senin depan hari terakhir bicara bahasa indonesia diluar asrama?"

Zaid dan Hunain yang tadinya tengah asyik bercerita pada Syam dan Haidar terdiam. Wajah mereka sama-sama pucatnya. Saling melempar pandang satu sama lain.

"Lah, bukannya tadi lagi heboh banget cerita? Ada apa kok tiba-tiba diam?" Tanya Mehmed, atensinya tertarik. Padahal tadinya sedang seru menambah hafalan.

"Diledek Syam kali." Sulh mengangkat bahu. Perhatiannya masih terpaku pada lembaran tugasnya yang menumpuk. Keasyikan hafalan beberapa hari terakhir, membuatnya tak sengaja melalaikan tugasnya.

"Enak saja! Haidar tuh." Elak Syam rusuh. Tidak terima dirinya selalu dituduh menjadi pelaku kapan pun, dimana pun, dan pada kondisi apa pun.

"Haidar apa Haidar?" Goda Salman. Manusia rendah hati satu itu telah memihak pada kelompok 'kontra Syam'. Ah, tentu itu hanya dalam gurauan.

"Iya memang aku sih. Uqta sama Hairi panik saat aku ingatkan senin depan adalah hari terakhir bicara bahasa diluar asrama." Ucap Haidar, dengan wajah polosnya.

Anak teladan macam Haidar tidak menyadarinya. Padahal permasalahan yang dijuluki 'adaptasi bahasa asing' adalah isu jenaka besar seantero pesantren. Salah satu adaptasi terberat bagi seluruh santri tahun pertama.

Jadilah seisi kamar dipenuhi gelak tawa. Sesekali menakut-nakuti tentang sulitnya berbahasa asing. Menceritakan betapa menderitanya minggu-minggu pertama.

"Habislah kau." Ujar Syam dengan nada merendahkan.

"Bahkan ke kantin pun harus pakai bahasa asing lho." Tambah Mehmed.

"Jangankan ke kantin, sekedar mengobrol saja bahasa dilarang ketat." Salman ikut berkomentar.

"Belum lagi.. kami harus berada dibawah pengawasan mudabbir ya.." Desah Hunain berat.

"Yah, terutama pada sebulan pertama. Asal kalian tahu, mudabbir akan memperketat pengawasan." Jelas Haidar selaku mudabbir itu sendiri. Masih dengan ekspresi tak berdosa.

Tidak sepenuhnya untuk menakuti, mereka menjelaskan itu memang begitulah faktanya. Suka tak suka harus ditelan bulat-bulat.

"Aku ada ide!" Cicit Zaid. Ucapnya pada Hunain, kawan seangkatannya.

"Saat waktunya tiba, ketika kita keluar asrama kita minta ditemani mereka saja." Usul Zaid. Brilian juga idenya kali ini.

"Zaid jenius!" Hunain benar-benar menganggap Zaid pahlawan kali ini. Dia benar-benar trauma setelah berpapasan dengan mudabbir dan dikira mau bolos waktu itu.

"Hey, bisik-bisik apa itu?" Sulh memasang tampang curiga. Seisi kamar pun penasaran.

"Strategi menghadapi minggu-minggu pertama dengan bahasa asing." Zaid terlihat percaya diri sekali kali ini.

"Huh?" Gumam Faris. Tadinya sibuk dengan kitab kuningnya.

"Tapi kami butuh bantuan kalian." Tambah Hunain.

"Tolong bantu kami, kakak kelas yang baik hati!" Ucap Zaid dan Hunain kompak.

Seisi kamar dibuat bingung. "Hahhh?"

🕌 🕌 🕌

"Med, itu 'kan Ustadz Annas!" Zaid mengumpat dibalik tubuh Mehmed, tak peduli kenyataannya dirinya lebih tinggi daripada Mehmed.

"Iya iya, terus kenapa?" Mehmed masih memiliki stok kesabaran untungnya.

Ini sudah terhitung hari ketiga mulainya 'adaptasi bahasa asing' bagi santri tahun pertama. Selama itu pula, seisi kamar bergantian menemani Zaid dan Hunain diluar asrama.

Şaghirul MujahidunWhere stories live. Discover now