(٢٧) Malam yang Abu-Abu

16 7 0
                                    

"Kami harus segera pulang sayangnya, apa kau sanggup menjaganya?" Ustadz Anas melihat jam menunjukkan bahwa malam semakin larut.

"Seluruh orang pondok sekarang semakin sibuk. Bahkan wali asrama sekarang ditambah pekerjaan baru jadi tidak bisa menemani Zaid disini. Seharusnya ketua kamar yang menemani, tapi Haidar juga sedang ada persiapan menjadi perwakilan santri untuk pidato di acara rapat dengan pendiri yayasan."

Sulh hanya mengangguk. Menjaga Zaid sampai sembuh bisa dilakukan sebagai permintaan maaf, sama sekali bukan masalah besar.

"Tidak masalah, Ustadz." Sulh mengangguk.

Setelah mengantar Ustadz Anas pulang, Sulh langsung kembali ke kamar perawatan Zaid. Sulh membuka pintunya perlahan, berharap menemukan Zaid tersadar. Tapi dia masih terlelap dan belum juga sadar sejak tadi.

Sulh menarik kursi, duduk di sisi kasur dimana Zaid berada. Sedikit menyalahkan diri sendiri. Hanya ditemani detak jarum jam yang menggema. Sampai tidak terasa setengah jam sudah dia duduk disini tanpa melakukan sesuatu selain dzikir yang begitu pelan.

"Baiklah, malam ini akan kuberikan sesuatu untukmu." Sulh tersenyum tipis.

Melantunkan shalawat kesukaan Zaid, dan Sulh percaya Zaid dapat mendengarnya. Setelah lafadz tahmid ikut dihaturkan sebagai penutup, Sulh mengeratkan selimut Zaid. Mengusap pucuk rambut Zaid perlahan.

Sulh mematikan salah satu lampu, sehingga hanya tersisa satu lampu. Penerangan yang redup. Sulh kemudian merebahkan diri di sofa, dan tertidur setelah mengucapkan sepaket do'a sebelum tidur.

🕌 🕌 🕌

Infus, itulah yang pertama kali dilihat Zaid. Benda yang sudah tidak asing baginya kini kembali tertancap di salah satu tangannya. Saat tersadar dimana dia sekarang, saat itu Zaid tahu telah merepotkan pihak pondok. Selain itu dia juga telah merepotkan.. sosok rambut hitam yang tengah bersimpuh dihadapan Rabbnya.

Ah, jam berapa ini? Pikir Zaid. Melirik jam yang berada di tengah ruang. Menunjukkan pukul jam tiga pagi, waktu yang paling baik untuk shalat malam. Kisah cinta paling romantis antara seorang hamba dan Rabbnya ada di sepertiga malam. Keheningan malam itu menjadi pendukung suasana khusyu' yang membuat seorang hamba semakin jatuh cinta dengan Rabbnya.

"Aamiin" Ucap Sulh setelah selesai berdo'a, mencurahkan segala isi hatinya dan juga permintaannya. Ada ketenangan yang menyambut seluruh curhatannya.

Sulh merasakan ada yang menatapnya. Menemukan kawannya yang berbaju pasien tersenyum dengan bibir pucatnya, dengan sedikit rona kehidupan menghiasinya. Jelas Sulh segera menghampirinya.

"Zaid-"

Zaid menutup mulut Sulh dengan tangannya, tersenyum dengan senyuman khasnya. Ekspresi terkejut campur bahagia Sulh benar-benar terlihat lucu.

"Aku mau tahajud dulu. Tunggu ya."

Zaid melakukan tayamum. Dia tahu dia hanya akan menyusahkan Sulh jika bersikeras ingin wudhu, tubuhnya masih kelewat lemas untuk sekedar turun dari kasur.

Do'a tak lupa dipanjatkan. Begitu khusyu' meski tadi shalat dengan posisi duduk. Sementara Sulh hanya tersenyum tulus. Sesekali memberhentikan tilawahnya untuk mengecek kondisi Zaid.

"Sulh" Panggil Zaid dengan suara serak. Tersenyum lirih, berusaha menyembunyikan nafasnya yang kembali memburu.

"Ah apa ada yang sakit?" Sulh mendekat. Meski kelihatannya tidak terlalu parah, namun pasti itu sangat menyulitkan untuk tubuh Zaid yang masih lemas.

"Tidak apa-apa" Ucap Zaid menggeleng pelan. Namun di mata Sulh, Zaid hanyalah pembohong amatir. Sulh bisa mendobrak kebenaran yang tersirat dari mata coklat itu. Sulh tidak suka dengan kebiasaan Zaid yang suka memaksakan dirinya terlihat baik-baik saja, justru kebalikannya yang terlihat di mata Sulh.

"Aku ambilkan obat dulu ya." Ucap Sulh tanggap, mengingat-ingat dimana obat Zaid diletakkan.

"Disini saja." Zaid menarik lengan baju Sulh, mencegahnya pergi.

"Baik, tapi kamu tiduran saja ya." Sulh membantu Zaid kembali ke posisi tidurnya.

Zaid meraih tangan Sulh, memegangnya erat dengan senyuman tipisnya. Sulh tidak keberatan jika itu bisa membuat Zaid merasa lebih baik. Sulh membalas genggaman tangan Zaid yang berkeringat dingin.

"Zaid mau shalawat apa?" Tanya Sulh tersenyum. Mendapatkan shalawat khusus dari vokalis hadroh yang terkenal, siapa yang tidak mau.

Salman dan Syam sering diminta sembarang santri untuk membawakan shalawat khusus, privat. Tapi, mereka hanya menawarkan shalawat khusus itu bagi kawan terdekat saja. Dan bagi Sulh, penawaran pertama itu telah diberikan kepada orang yang paling berhak baginya. Yaitu kepada kawan yang sudah dianggap saudara sendiri.

"Ya Habibal Qolbi. Boleh?" Pinta Zaid tersenyum.

"Dengan senang hati." Jawab Sulh, begitu tulus. Betapa beruntungnya Zaid sebagai orang yang pertama kali merasakan ketulusan dari pangeran es itu.

Zaid benar-benar menikmati lantunan shalawat itu. Membuatnya tenang, nafasnya pun kian stabil. Rasanya Zaid ingin waktu berhenti dan tetap seperti ini.

Zaid tersenyum. Memberikan pujian setelah shalawat itu selesai. Meski tidak diucapkan, kekagumannya terpancar jelas dari bola matanya.

Sulh memang lebih muda dari Zaid. Tapi Sulh sering kali melihat Zaid sebagai adiknya, karena kemiripannya dengan almarhum adiknya.

Sulh mencubit pipi Zaid gemas, tersenyum jahil. "Duh anak ini, membuatku takut setengah mati saja."

"Lepas. Aku memang adik kelasmu tapi aku lebih tua darimu, kuharap kau tidak lupa." Ucap Zaid dengan wajah datarnya.

Sulh terkekeh, melepaskan cubitannya. Sebenarnya Sulh menyukai ekspresi Zaid ketika menikmati lantunan shalawatnya, tapi tidak mungkin Sulh mengungkapkannya bukan?

"Hmm.. aku pingsan ketika sedang sama kau ya?" Ucap Zaid, tampak mengingat-ingat.

"Iya. Lalu sebenarnya kau itu pingsan atau koma sih? Lama sekali sadarnya!" Protes Sulh kesal. Meluapkan segala rasa khawatir yang menguasai hatinya beberapa jam terakhir.

Zaid tertawa puas. Dia menangkap dengan baik maksud tersiratnya.

"Dengar ya. Aku tadi ikut Ustadz Anas bertemu dokter. Aku sudah tahu apa saja yang boleh dan yang tidak boleh untukmu, jadi akan ku awasi agar tidak begini lagi. Habisnya, habisnya kejadian hari ini lebih menakutkan daripada film horor!" Sulh mengacak rambutnya frustasi. Menahan teriakan karena tahu dia masih di rumah sakit, tidak boleh berisik.

"Ohh jadi tadi Ustadz Anas yang mengantar ya?"

"Jangan mengalihkan topik!" Protes Sulh, paling tidak suka dibuat khawatir.

Zaid kembali tertawa. Dan Sulh tersenyum menikmati tawa yang menghiasi ruangan ini. Tertawalah, asal jangan sakit lagi, ucap Sulh dalam hati.

Adzan Subuh berkumandang. Mereka menghentikan obrolan dan menjawab adzan. Sulh langsung berjalan menuju kamar mandi dan berwudhu. Sementara Zaid kembali bertayamum.

Sulh merapihkan rambutnya yang masih basah. Tersenyum, melirik Zaid. "Ayo kita shalat berjamaah."

"Boleh. Kau yang jadi imam ya." Pinta Zaid ikut tersenyum. Nampaknya kondisinya membaik.

Sulh merekahkan senyumnya kian melebar, sepertinya dia tahu keinginan Zaid sebenarnya. "Memangnya Zaid mau dibacakan surat apa sih?"

"Al-Fath dan Al-Mulk, hehe."  Zaid menunjukkan senyum terbaiknya.

"Sip." Sulh menyetujuinya. Mengambil posisi shalat. Iqamah dibacakan dengan lantang.

"Allahu Akbar." Dan shalat subuh berjamaah pun dimulai.

Şaghirul MujahidunWhere stories live. Discover now