15. R A I S

14 4 1
                                    

.
.
.
.
.
.
🎭

Mungkin mereka kira perkelahian itu sudah berakhir. Karna pemukulan itu sepihak, Rais seperti tidak mau menanggapinya. Terlihat laki-laki itu hanya ingin membuat Mesta kesal saja.

Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Karna Rais tidak akan menyerang Mesta balik. Setidaknya tidak jika di badapan teman-teman pengurus. Karna sekarang, Mesta dan Rais terlibat perkelahian sengit dengan jenis kekuatan hampir sama.

Tanpa ada yang melerai. Karna samping gedung bahasa nampak gelap dan lenggang. Rais ternyata cukup pandai mencari tempat perkelahian.

Rais meludah, membuat rumput terkena bercak darah. Sesuai dugaan, pertahanan Mesta cukup kuat, bahkan dengan mata satu yang sudah bengkak dan Rais rasa melihatpun ia buram – Mesta masih berdiri dengan kokohnya. Nampak tak terganggu penglihatanya. Sepertinya serangan fisik tidak mengganggu.

"Kenapa kamu begitu membela gadis itu?"

Mesta diam tak menjawab. Karna memang Rais tidak butuh jawabanya.

"Oh iya kamu kan temannya pencuri." Lalu Rais tertawa sumbang, sesekali meringis karna mulutnya robek.

"Kamu mau mencoba melindungi seorang gadis? Iya begitu? Hahah anj*ing!! Buat apa melindungi Narinci kalau melindungi adikmu saja kamu tidak becus!"

Mesta mengepalkan tangan, ia mengerti jika Rais memancingnya. Dan jika ia tersulut emosi, itu hanya membuat Rais semakin senang. Laki-laki di hadapanya tersenyum miring. Menyiapkan beberapa kata lagi untuk memancing kelemahan Mesta.

"Siapa cowok yang membiarkan adiknya mengapung di kolam? Siapa kalau bukan Semesta Daha?"

Dari mana Rais tahu tentang cerita itu adalah hal yang tidak lagi Mesta hiraukan. Karna rasanya dadanya nyeri sekaligus panas. Ia masih bisa menahan diri. Mengikuti nafsunya hanya akan membuat ia semakin celaka.

Rais meringis.

"Kamu masih mau membela Narinci Mesta? Oh ayolah, bahkan mama tercintamu itu tidak juga pulang dari Lombok bukan? Karna ia sudah membuangmu. Membuang Mesta yang tidak berguna. Menyerahkanmu pada .... "

Bugh. Mesta kehilangan kendali. Dia sudah tidak bisa menahan diri kala Rais membawa serta mamanya. Seberapa pun ia tidak peduli pada dunia, dia selalu menomer satukan mama.

Rais tertawa menyebalkan. Mengusap pipinya yang kebas. "Oh dan asal kau tahu, papamu lebih mencintai kakak dari pada perempuan tidak berguna yang kau panggil mama itu."

Satu pukulan melayang, Rais mundur untuk menghindar. Mesta semakin brutal menyerang. Rais mundur selangkah, Mesta maju dua langkah. Kobaran nampak jelas di matanya. Sedikit tidak mengerti dengan apa yang Rais ucapkan. Kakak? Siapa kakak? Tapi hanya untuk menyimpulkan kebenaran yang sederhana itu Mesta belum sanggup. Ia terus maju, ingin menghajar habis-habisan dan merobek mulut lancang Rais.

"Kau pasti bertanya-tanya bukan? Aku tidak mendukung sepenuhnya apa yang di perbuat kakak. Tapi setelah melihat sendiri siapa anak yang menjadi suami sirinya sekarang aku jadi puas. Pintar rupanya kakak memilih menghancurkan hidupmu yang tidak berguna itu. Semesta."

Kali ini kerah Rais berhasil ia gapai. Tanpa berfikir lagi Mesta memukul Rais tanpa henti. "Kamu tidak tahu apa-apa! Kamu tidak pernanah bisa menyimpulkan semuanya dengan sebelah mata!" teriak Mesta sambil menindih Rais yang kini sudah terkapar lemas, tapi puas. Ia sudah menemukan titik terlemah Mesta. Yaitu, keluarganya sendiri.

Terdengar suara berat menghardik mereka. Oh ya, Rais berhasil membuat Mesta kalap hingga tidak sadar jika sudah berkelahi lima meter dari pos satpam yang menjaga dua puluh empat jam. Pak satpam yang berusia di atas tiga puluhan itu mencoba menahan Mesta yang tidak berhenti walau wajah lawanya sudah tidak berbentuk lagi.

Akhirnya, dengan seluruh tenaga yang sang satpam keluarkan, Mesta dapat di hentikan. Dengan nafas yang sama-sama memburu, pak satpam memandang kedua pemuda di hadapanya. "Kalian saya laporkan ke kepala sekolah!"

•••🎭•••

Suara kepala sekolah itu terlalu besar. Bahkan dari jarak tiga kelas di sampingnya. Mesta yang sudah berganti kaus oblong dan bercelana abu-abu itu duduk bersebrangan dengan Rais. Dengan Yiro dan Narinci yang sibuk mengobati lukanya.

Semalam mereka akhiri masalah di puskesmas. Walau pak satpam mengatakan ingin melapor kepada kepala sekolah, tetap saja wajah Mesta dan Rais yang sudah berdarah dan bengkak di mana-mana itu harus di obati.

Mereka bermalam di sana. Dengan papa bersama ibu tiri Mesta yang juga kakak kandung Rais menyusul setelahnya. Tidak ada pendar panik atau khawatir dari papa. Dan itu sudah ia duga. Hanya mom yang bolak-balik memeriksa keduanya. Menyuapi Rais makan malam, dan juga ingin melakukan hal yang sama pada Mesta namun di tangkis dengan tidak sopanya. Perasaan Mesta tidak akan mebaik seperti luka di tubuhnya atau di tubuh Rais yang lebih oarah. Marah, kaget, cemas, bercampir jadi satu.

Papa keluar dengan memegang surat di tangan kananya. Surat peringatan. Dan walau tanpa membukanya Mesta sudah hafal konsekuensi yang harus ia hadapi. Jika ini terulang ke tiga kalinya, Mesta akan keluar dari sekolah.

Papa berjalan ke arahnya. Narinci dan Yiro sedikit menyingkir, takut menganggu pembicaraan ayah dan anak itu.

"Ini mungkin sedikit menganggu. Tapi ini harus papa katakan sama kamu, Mes. Rais itu bisa di bilang om kamu. Kamu harus menghormati dia."

Tidak ada jawaban. Rahang Mesta mengeras. Papa bahkan lebih mengutamakan iparnya dari pada anaknya sendiri. Oh jelas, mesta hampir lupa bagaimana Rais membawanya kesini. Bagaimana pemuda menyebalkan itu berhasil menyiram api yang hampir padam sengan bensin.

Dan dengan luka yang sudah diobati, dan emosi yang bisa Mesta sedikit tolerir, ia paham. Rais sengaja membuatnya tersulut emosi, hingga mereka berkelahi mendekati pos satpam. Membuat satpam melihat bagaimana ia menghajar rupa jumawa Rais. Sehingga dilihat dari sudut mata yang lebih banyak penuh luka, Mesta yang salah. Walau kepala sekolah tetap memberikan Rais surat peringatan.

Mom memicingkan mata. Seolah berkata, Mesta adakah anak yang berbahaya. Ia merangkul Rais. Dan dengan keadaan yang belum terlalu pulih, Rais tersenyum saat di ajak pulang. Papa juga ikut mengantarnya. Mesta tetap di sini. Bukan untuk belajar, tapi untuk menerima sanksi yang harus ia kerjakan.

Narinci meraih tengan Mesta. Menggenggamnya. Semesta menoleh, memperhatikan kepalan tangan halus itu, lalu beralih memandang Narinci yang sudah mengeluarkan air mata.

"Maaf, ini gara-gara saya." Ia sedikit terisak dengan bahu bergetar.

"Kalau aja kamu nggak harus bela saya, kamu nggak akan begini." Narinci kian menunduk. Sangat merasa bersalah.

Mesta menggeleng. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan."

"Tapi bukan begini caranya." Narinci menumpukan dahinya di lengan Mesta. Pemuda itupun terenyuh, ingin merengkuh bahu gadis itu. Tapi tak juga sampai. Dia tidak pandai menenangkan gadis yang menangis.

Yiro mendekat. Duduk di sebelah kanan Mesta. "Sudah Nar, nggak usah dipikirin lagi. Toh uangnya juga ketemu kan. Itu cuman keteledoran Gina saja yang lupa menaruh dompetnya di mana."

Tanpa sadar Mesta menghembuskan nafas lega. Jika sudah begini, Narinci sudah tidak di curigai lagi.

Narinci menggeleng dengan dahi yang masih menempel di bahu Mesta. "Aku masih merasa bersalah."

Mesta meraih bahunya, memandang Narinci lamat-lamat. Mengusap air mata Narinci lalu tersenyum menenangkan. Narinci dan Yiro sama-sama terperangah. Tidak terkutik ketika melihat senyum Mesta yang bukan senyum miring seperti biasanya.

Itu senyum tertulus yang pernah Mesta keluarkan.

•••🎭•••

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 22, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Gadis JinggaWhere stories live. Discover now