9. K I A M A T K E C I L

7 4 0
                                    

.
.
.
.
.
.
🎭

Apa yang Semesta lihat sekarang membuatnya mengerjap beberapa kali. Ingin rasanya ia keluar dari rumah dan masuk kembali hanya untuk memastikan jika dihadapanya ini bukan ilusi. Wanita berpakaian ketat nan minim bahan itu sedang duduk santai menonton tv. Seolah menunggu Mesta pulang.

"Mesta udah pulang ya. Mom tungguin dari tadi," sapanya. Mesta menulikan telinga, kembali mengayun langkah, menjauh dari wanita yang tidak pernah ingin ia temui. Menaiki satu-satu tangga dengan langkah tenang. Membuat suara mom teredam.

Dari tangga ia bisa melihat jelas ke arah dapur. Samping meja pantry, duduk tenang lelaki yang telah merusak kebahagian di rumahnya sendiri. Apa lagi yang ingin dia lakukan dirumah ini? Memperburuk keadaan yang sudah hancur? Dengan membawa wanita itu kesini?

Papa nampak menyeruput kopi hitamnya. Lalu kembali fokus pada layar leptop di hadapan. Memperhatikannya bukanlah hal yang menarik, dan justru buang-buang waktu dan energi. Jadi Mesta putuskan untuk segera menuju kamarnya sendiri. Berdiri di balkon yang terbuka. Menghadap langsung langit dan pemandangan kota di malam hari. Mesta memandangi menara Limboto yang diselimuti warna-warni indah yang menyala di malam hari. Entah mengapa, tapi menara Limboto jadi lebih enak dipandang sekarang dari pada rumahnya sendiri.

Pertemuan antar calon pengurus dan para pengurus lama tidak memakan waktu banyak. Hanya beberapa wajengan dari guru-guru pendamping, dan arahan singkat. Membuat ia masih ingin berlama-lama di sekolah seperti biasanya. Tapi senyuman Narinci melarangnya.
"Kamu akan jadi pengurus, contohkan yang baik kepada anggota. Ya, walau belum dilantik. Setidaknya kamu sudah latihan jadi pengurus yang baik. Dan, lagi pula jika sudah menjadi pengurus, kamu bisa berlama-lama disekolah dengan alasan masih mengurus sesuatu. Emm ... walau itu nggak baik sih. Karna manfaatin jabatan." Ucapan Narinci yang bisa Mesta ingat detail perkata.

Seorang mengetuk pintu, lalu masuk tanpa dipersilahkan. Mesta berbalik, dan mendapati sang mama sedang membawa nampan dengan segelas coklat yang mengepul dalam genggaman. Mesta tidak jadi merutuk. Kamarnya leluasa di masuki sang mama. Tapi tidak untuk papa, apalagi wanita yang mengaku sebagai mom itu.

Mama berjalan mendekati meja belajar Mesta. Meletakan gelas coklat panas disana. Lalu tersenyum. Senyum yang tulus, namun terlihat hambar dimata Mesta.

Mesta maju beberapa langkah. "Mama yakin baik-baik saja?" tanyanya. Wanita paruh baya itu kembali tersenyum. Alih-alih menjawab, ia justru menyodorkan segelas coklat yang sudah kehilangan uap, namun masih terasa hangat dalam genggaman.

Mesta tidak memperdulikan segelas coklat itu. Ia lebih khawatir pada mama. Pada hati mama yang terluka. Mesta pun tak mengerti. Akhir-akhir ini dia sering merasakan sesuatu di dadanya. Entah itu perasaan senang, marah, kecewa, dan sebagainya. Padahal dirinya yakin, dia sudah mati rasa sejak Rinai—sang adik, meninggal.

"Mama mau ke Lombok, Mes. Mama mau liburan. Capek di rumah terus. Suntuk." Mama meletakan kembali coklat di meja Mesta.

Mesta menggeleng. Bukan, ini bukan jawaban yang dirinya inginkan.

"Kamu mau ikut nak? Kita bisa izin sebulan buat kamu. Ya walaupun itu kelamaan. Sih." Mama terkekeh sendiri. Menoleh pada Mesta yang punya warna rambut seperti dirinya—hitam kecoklatcoklatan

Mama mengusap puncak kepala mesta lembut. Anakanya sudah besar sekarang. Sudah cukup me ngerti akan segalanya. Mengerti jika keluarganya tidak sedang baik-baik saja. Membuat Mesta sudah tidak bisa dibohongi. Tapi ia memilih bungkam. Karna walau sudah mengerti, ia lebih senang menyimpanya sendiri. Karna satu yang ia tahu, walau Mesta sudah cukup besar untuk tahu, perpisahan bukanlah jalan terbaik. Jadi dia sudah putuskan untuk berlibur. Tidak, lebih tepatnya untuk kabur sejenak. Lari dari masalah memang bukan jalan terbaik, tapi ia hanya ingin memperbaki hatinya yang porak poranda.

Gadis JinggaWhere stories live. Discover now