4. Y I R O

34 6 1
                                    

.
.
.
.
.
.
🎭

Dua jam duduk dikelas membuat pegal. Apalagi harus mendengar guru sejarah bersuara lembut yang seperti menina bobo kan Yiro di tempatnya. Kadang Yiro berfikir. Mengapa sejarah indonesia ada di MIA? padahal alasan ia berjuang masuk ilmu alam adalah menghindari dongeng pengantar tidur itu.

Matanya bergulir ke kanan. Sudah lah, Yiro bosan juga melihat wajah tembok yang tidak mengantuk, tidak marah, tapi juga tidak suka pada pelajaran sejarah. Ralat, lebih tepatnya pada seluruh pelajaran. Atau pada sekolah?
Bahkan Yiro yakin, jika ia melemparkan granat padanya, Mesta tetap tidak bergeming.

Dia berpaling melirik Narinci yang sekarang sudah sibuk membuat origami. Tidak memperdulikan ibu Unda yang mulutnya sudah berbusa. Ia sibuk melipat dengan berbagai bentuk. Dari bentuk bunny yang paling mudah hingga bentuk naga yang paling rumit.

"Jago ya kamu buatnya," puji Yiro sambil memperlihatkan dua jempol pada Narinci. Gadis berkucir kuda itu tersenyum.

"Lagi bosen." Narinci terkikik. Lalu kembali melanjutkan sayap kupu-kupu yang harus ia lengkungkan agar nampak sempurna.

"Banyak banget kertasnya. Beli?"

"Enggak kok. Dapet dari Bu Eni. Sisa prakarya kelas sepuluh kemarin."

"Emang nggk dimarah kamu ambil semua?"

"Saya disuruh buang sampah dari dewan guru tadi. Sampahnya penuh sama kertas origami. Kan sayang kalo di buang."

Yiro mengangguk. Lalu kembali memandang ibu Unda yang sekarang sudah diam menatap laptop. Tidak terganggu atau marah melihat sebagian besar muridnya tidur.

"Mes, makan yuk," ajak Yiro. Mesta meliriknya sekilas.

"Masih jam pelajaran." Mesta menjawab sambil memandangi buku yang terbuka di hadapanya.

Yiro mendesah, "kalau gitu aku mau ke kantin. Nggk mau nitip?" melihat Mesta tetap bergeming, Yiro pergi meminta izin atas dasar kebelet. Namun, langkahnya menuju kantin. Yiro tidak sepenuhnya bohong kok. Dia sedang kebelet sekarang, kebelet makan.

Sepuluh menit, dan Yiro sudah masuk kembali ke kelas dengan saku yang membumbung. Narinci tersenyum lebar. Menatap ibu Unda dan Yiro bergantian.

"Cepetan." Narinci melambai-lambai sambil berbicara tanpa suara, saat ibu Unda sibuk mengerjakan sesuatu di laptop.

Yiro selamat tanpa ketahuan.

"Thanks Narin."

"Iya."

"Mau wafer?"

"Boleh." Narinci sigap menangkap sebungkus wafer yang dilempar Yiro. Lalu pemuda sipit itu kembali duduk dan menyerahkan sebungkus roti pada Mesta. Narinci memperhatikan kedua cowok di depanya, dengan mulut mengunyah wafer rasa vanilla. Ia sedikit tidak paham. Mengapa Yiro sanggup bergaul dengan Mesta yang irit bicara. Mesta juga tidak seperti teman-teman lainya yang peduli dan asik di jadikan sahabat.

Bel istirahat berbunyi. Ibu Unda mengucap salam dan pergi keluar kelas. Narinci rasa ini waktu yang tepat untuk bertanya pada Yiro. Tapi ia tidak mungkin membicarakan ini di depan Mesta. Walau Mesta sepertinya acuh tak acuh.

Gadis JinggaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon