Gue menggigit bibir, menahan untuk tidak tersenyum. Astaga, cewek siapa sih, dia?

Kepala gue kembali mendongak ke atas, memastikan tidak ada yang mencurigai gerak-gerik gue sekarang. Beruntungnya mereka semua sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Gue mengambil kesempatan itu untuk bertanya pada tikus berwajah cantik yang berada di kolong meja gue.

"Kamu ngapain?"

Dia malah meminta gue untuk mendekat.

Gue berpikir keras bagaimana caranya gue bisa bergabung bersamanya tanpa dicurigai. Hingga akhirnya tatapan gue jatuh pada pulpen yang ada di atas meja. Dengan sengaja, gue menjatuhkan benda itu ke lantai. Gue pun berjongkok setelahnya, berpura-pura untuk mengambil pulpen yang jatuh itu.

Sekarang gue dan Alfy saling berhadapan. Gue langsung mencubit pipinya, gemas melihat kelakuannya yang aneh itu. "Siapa yang ngajarin kamu jadi bandel kayak gini, hm?"

Bibirnya mengerucut ke depan. "Abisnya susah banget buat ketemu sama kamu di sekolah. Kan aku mau ngucapin sesuatu yang penting,"

"Apa?"

Gue terkejut saat tangannya tiba-tiba menarik dasi gue, mengikis jarak di antara wajah kami. Dan ternyata dia membenarkan bentuk dasi gue. "Kamu lupa, ya, sekarang tanggal berapa?" tanyanya kemudian.

Berada di jarak sedekat ini menyulitkan gue untuk berpikir jernih. Tanggal apa? Tanggal dia kedatangan tamu bulanan?

"Kamu pms?"

Dia langsung memelototi gue. "Tuh kan! Kamu lupa!"

Gue sedang berada dalam bahaya sekarang. "Aku inget, kok. Hari ini ... tanggal ulang tahun kamu, kan?"

Cewek itu diam selama beberapa saat. Gue kira jawaban gue benar, tapi ternyata kepala gue malah kena jitak. "Dahlah! Aku males. Minggir, aku mau keluar!"

Misi gue untuk membuatnya kesal ternyata berhasil. Alfy yang ingin keluar dari kolong meja langsung gue tahan. Gue menatapnya sambil tersenyum. "Selamat 4 bulan berpacaran, sayang."

Alfy menekuk wajahnya. "Jahil banget, sih! Aku kira kamu lupa."

Gue mengeluarkan sesuatu dari saku celana lalu memakaikan benda itu padanya. Sebuah kalung berliontin bunga kecil berwarna putih yang sangat pas untuknya. "Mana mungkin aku lupa sama tanggal jadian kita. Bahkan jam, menit dan detiknya pun aku masih inget."

Alfy mengamati kalung yang sudah melilit lehernya itu lalu menatap gue keberatan. "Apa ini nggak berlebihan?" tanyanya.

Tentu saja gue menggeleng. "Waktu 4 bulan yang aku laluin bersama kamu lebih mahal dari kalung itu, Alfy, dan nggak akan bisa dihargai dengan apapun. Jadi, jangan anggap itu berlebihan."

"Tapi-"

"Pak Rafka!"

Duk!

Karena terkejut, kepala gue sampai terpentok meja cukup keras dan menimbulkan bunyi yang nyaring. Alfy yang melihat kejadian itu secara live berusaha keras untuk menahan tawanya. Dengan perasaan sedikit kesal, gue kembali berdiri sambil mengusap kepala gue.

"Maaf, saya habis ambil pulpen saya yang jatuh. Tadi siapa yang manggil saya?"

Syifa mengangkat tangannya. "Saya mau tanya, Kak."

Gue melirik sekilas pada Alfy yang sedang merangkak di lantai dan masuk ke kolong meja yang bersebelahan dengan tempat duduk Alvin. Kemunculan cewek itu membuat Alvin terkejut, tapi sepertinya dia dapat menebak dengan mudah kenapa Alfy bisa tiba-tiba muncul di sana. Karena laki-laki itu langsung menatap gue dengan mata memicing.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang