23 | Berantakan

2.9K 604 152
                                    

RAFLI

"Yaudah, kamu pesan taksi aja. Hati-hati."

Saya menatapnya bertanya. "Gimana?"

Ratna mematikan sambungan teleponnya lalu menghela napas. "Bella bilang Rafka nggak bisa dihubungin. Aku suruh dia pulang naik taksi aja."

Rupanya Ratna masih melancarkan niatnya untuk menjauhkan Rafka dari Alfy. Entah sampai kapan dia bertahan melakukan itu. "Rafka punya jalan hidupnya sendiri, Ratna."

Apa yang saya katakan rupanya memancing emosi Ratna. Dia menatap saya tidak suka. "Aku cuma minta Rafka buat jagain Bella, Raf. Apa susahnya buat dia?"

"Aku tahu bukan itu tujuan utama kamu."

Wanita itu diam.

Saya menatapnya tak habis pikir. "Sebenarnya apa yang salah dengan Rafka dan Alfy sampai kamu sebegitu bencinya melihat mereka bersama?"

"Dari awal, semuanya udah salah, Raf."

"Aku nggak pernah ngerti definisi salah di mata kamu itu seperti apa, Ratna. Yang bisa aku lihat cuma ada keegoisan kamu di sini," ucap saya yang akhirnya bisa mengatakan kalau apa yang dia lakukan itu adalah sebuah keegoisan semata.

Tak lama setelah itu terdengar langkah kaki yang masuk ke dalam rumah. Saya dan Ratna yang sedang duduk di ruang tamu menatap kedatangan Rafka dengan penuh tanda tanya. Lain dari biasanya, penampilannya itu sangat berantakan dan dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali.

"Kamu dari mana aja, Rafka? Kenapa Bella nggak bisa hubungin kamu?"

Rafka menjeda langkahnya namun dia tidak berbalik. Saya meyakini bahwa ada hal buruk yang sedang menimpanya. Rafka tidak pernah mengabaikan pertanyaan atau bahkan permintaan Ratna sekali pun. Tapi kali ini, tanpa berkata apa-apa lagi dia kembali melangkah dan meninggalkan tubuh Ratna yang membeku di tempatnya.

"Sekarang kamu tahu dampaknya apa?" tanya saya yang dijawab oleh keterdiaman wanita itu.

• • •

ALFY

"Ada sesuatu yang aneh di sini," celetuk Via di sampingku.

Aku yang sedang mencatat materi Bahasa Indonesia yang ada di papan tulis hanya bergumam menanggapinya. Tidak tertarik.

"Penampilan lo dan Kak Rafka sama berantakannya hari ini. Kok bisa, ya?"

Tanganku yang sedang menulis langsung terhenti. Sejelas itukah perubahan terlihat?

Sehari setelah resmi menjadi 'bukan siapa-siapa' rupanya merupakan hari yang buruk untuk kami berdua. Aku tidak tahu apa yang laki-laki itu lakukan, tapi dari wajah kusut dan lesunya itu terlihat bahwa dia tidak tidur semalaman. Lingkaran hitam menggantung di bawah matanya yang terlihat merah. Rambutnya tidak dalam kondisi rapi, bahkan mungkin lupa dia sisiri. Yang lebih parahnya dia tidak memakai sepatu pantopel ke sekolah, melainkan sandal jepit berwarna hijau yang terlihat kontras dengan atasannya yang formal.

Kalau dia seburuk itu, maka aku tidak jauh bedanya. Memakai sandal mungkin masih bisa ditolerir, tapi salah seragam membuatku malu sampai ke ubun-ubun. Di saat semua murid satu sekolah menggunakan seragam putih abu-abu, aku malah memakai seragam pramuka karena mengira bahwa hari ini adalah hari kamis. Satu lagi, aku lupa mandi hari ini.

Aku kembali menulis, berpura-pura untuk biasa saja. "Gue cuma lupa hari, itu nggak masuk kategori berantakan menurut gue. Namanya orang lupa ya nggak inget."

Via menatap datar ke arahku dan ke arah buku tulisku bergantian. "Lo nulis di posisi yang salah. Lihat, buku lo terbalik, Saodah!"

Perkataan Via membuat mataku nyaris menggelinding ke bawah. Benar saja, saat aku perhatikan lagi, ternyata posisi bukuku terbalik sehingga materi yang telah cape-cape kutulis juga ikut dalam posisi yang salah.

IneffableDonde viven las historias. Descúbrelo ahora